Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Pekanbaru: Riau Pos Grafika Indonesia, 1996
899.221 RIA i
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Maspaitella, Samuel Vaniah Elzaphan
"Komik kerap kali disebut sebagai sastra gambar. Kombinasi antara gambar dan teks membuat alur cerita yang disajikan semakin menarik. Petualangan Tintin merupakan serial komik asal Belgia karangan Georges Remi atau Hergé (1907-1983). Dari 24 seri, seri Tintin dan Picaros merupakan seri ke-23 dan seri terakhir yang berhasil diselesaikan Hergé. Dalam seri ini, hal yang menjadi sumber kelucuan jalan cerita adalah gangguan pendengaran Profesor Lakmus yang membuat percakapan antartokoh menjadi berima. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan ketepatan kosakata yang diterjemahkan dalam percakapan antara Profesor Lakmus dengan Tintin dan Kapten Haddock dalam komik Tintin dan Picaros dan Kuifje en de Picaro’s. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandangan Newmark mengenai metode penerjemahan, pemikiran Venutti mengenai ideologi penerjemahan, serta pendapat Dewi mengenai metode dan ideologi yang tepat dalam menerjemahkan komik. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa dari sepuluh reaksi Profesor Lakmus terhadap kedua tokoh, delapan di antaranya tidak dapat dikatakan sepadan secara semantis. Apabila percakapan-percakapan tersebut diterjemahkan secara sepadan secara semantis, rimanya akan hilang dan akibatnya kelucuan jalan cerita pun akan sirna.
Comics are often called pictorial literary works. The combination of images and text makes the storyline more interesting. The Adventures of Tintin is a Belgian comic series by Georges Remi or Hergé (1907-1983). From 24 bande dessinée albums, Tintin and the Picaros is the twenty-third volume and the last one to be completed by Hergé. In this volume, the thing that becomes the source of the humor of the story is Professor Lakmus' (or Professor Calculus in English version) hearing impairment which makes the conversations between characters rhyme. This study aims to identify the accuracy of vocabulary translation in the conversations between Profesor Lakmus and Tintin and Captain Haddock in Tintin and Picaros and Kuifje en de Picaro's. This study uses a qualitative method with a descriptive analysis approach. Theories used in this study include Newmark's view on the translation method, Venutti's thought on the ideology of translation, and Dewi's opinion on the suitable method and ideology in translating comics. In this study it was found that of the ten reactions of Professor Lakmus to the two characters, eight of them could not be declared semantically equivalent. If these conversations were translated in a semantically equivalent way, the rhyme in the conversations would be lost and as a result, it would eliminate the humor of the storyline."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Salma Atmadinata
"Komik Tintin merupakan salah satu komik asal Belgia yang paling terkenal di seluruh dunia. Hergé pertama kali menerbitkan serial komik ini pada tahun 1930 dengan versi hitam-putih yang mengangkat cerita petualangan Tintin sebagai karakter utama yang berprofesi sebagai wartawan untuk harian Le Petit Vingtième dalam edisi Tintin au pays des Soviets. Mengingat bahwa pada tiap edisinya Hergé mengangkat cerita dengan latar yang berbeda-beda dari berbagai belahan dunia, tentu terdapat unsur-unsur budaya spesifik yang turut disinggung dalam komik. Di Indonesia sendiri terdapat dua penerbit yang menerjemahkan serial komik ini yaitu Indira dan Gramedia. Penelitian ini membahas perbandingan kualitas terjemahan Komik Tintin edisi Tintin au pays des Soviets dari kedua penerbit menggunakan metode kualitatif dengan fokus istilah budaya. Dalam menentukan batasan istilah budaya pada penelitian ini, digunakan teori dari Newmark (1988) mengenai kategorisasi istilah-istilah budaya yang biasa ditemukan dalam penerjemahan. Klasifikasi strategi penerjemahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang dikemukakan oleh Mona Baker (1992). Berdasarkan klasifikasi itu, ditemukan bahwa Indira memiliki kesulitan dalam menerjemahkan istilah-istilah budaya ketika dibandingkan dengan Gramedia. Lebih lanjut, dengan parameter kualitas terjemahan Nababan, Nuraeni & Sumardiono (2012) ditemukan bahwa hasil terjemahan dari Indira lebih alamiah dan lebih mudah dipahami oleh pembaca dibandingkan dengan hasil terjemahan Gramedia yang meskipun akurat, namun pesan yang ingin disampaikan kurang alamiah dan lebih sulit untuk dipahami oleh pembaca. Secara umum dapat dikatakan bahwa Indira memiliki hasil terjemahan dengan kualitas yang lebih unggul.
The Tintin comics are among the most famous Belgian comics in the world. Hergé first published this comic series in 1930 in a black-and-white version featuring the adventures of Tintin as the main character who works as a journalist for the daily Le Petit Vingtième in the Tintin au pays des Soviets edition. Bearing in mind that in each edition Hergé presents stories with different backgrounds from various parts of the world, naturally there are specific cultural elements that are also mentioned in the comics. In Indonesia, there are two publishing houses that have translated this comic series, namely Indira and Gramedia. This study discusses the comparison of the translation quality of the Tintin au pays des Soviets edition of the Tintin comic from the two publishers using a qualitative method with a focus on cultural terms. The theory from Newmark (1988) regarding the categorization of cultural terms commonly found in translation is applied in determining the boundaries of cultural terms in this study. The classification of the translation strategy used in this study is the classification proposed by Mona Baker (1992). The findings show that based on the classification, Indira had difficulties in translating cultural terms compared to Gramedia. Furthermore, based on the translation quality parameters of Nababan, Nuraeni & Sumardiono (2012), the findings show that Indira's translation is more natural and easier for readers to understand than Gramedia's translation, which although accurate, the message to be conveyed seems less natural and more difficult for readers to comprehend. In general, it can be said that Indira has a superior quality translation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library