Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nani Sukasediati
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian : Sediaan teofilin oral biasanya diberikan setelah makan untuk mengurangi gangguan saluran cerna. Beberapa laporan menunjukkan bahwa makanan mempengaruhi pola absorpsi dan bioavalabilitas teofilin dari beberapa sediaan lepas lambat. Euphyllin retard, satu-satunya sediaan teofilin lepas lambat yang beredar di Indonesia, belum mempunyai data mengenai hal ini.
Penelitian ini dilakukan dengan disain menyilang, tersamar tunggal dan acak pada 10 orang sukarelawan, dalam keadaan puasa dan setelah makan. Darah diambil dari vena kubiti sebelum makan obat dan pada jam-jam ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10, 12, dan 24 setelah makan obat. Kadar serum teofilin diukur dengan cara enzyme-multiplied immunoassay tehnique {EMIT) dan digunakan untuk menghitung luas area kurva kadar teofilin dalam plasma terhadap waktu dari 0 sampai 24 jam (AUCO_24 jam) dan menentukan kadar puncak teofilin dalam plasma (Cmax) dan waktu untuk mencapai (tax).
Uji statistik t berkaitan digunakan untuk membandingkan AUCO_24 jam dan kadar serum pada berbagai waktu pengamatan dan uji Wilcoxon untuk data berkaitan digunakan untuk membandingkan Cmax dan tmax yang dicapai teofilin pada pemberian tanpa dan dengan makan .
Hasil dan kesimpulan: Pada penelitian ini, didapatkan bahwa pola absorpsi dan bioavailbilitas Euphyllin dalam keadaan puasa berbeda dengan pemberian setelah makan. Pemberian Euphyllin retard setelah makan dibandingkan dengan pemberian pada perut kosong memperlihatkan :
a. AUCO-24jam yang lebih tinggi 83,5% (p = 0.02)
b. Kadar serum pada jam ke 4 sampai dengan jam ke 10 lebih tinggi 113.9 - 157.6% (p<0.01)
c. Cmax teramati lebih tinggi 138.5% (p < 0.02), sedangkan tmax tidak berbeda bermakna.
"
1986
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siringoringo, Victor Sahat
"Latar belakang
Teofilin merupakan bronkodilator yang efektif dalam pengobatan asma bronkial dan penggunaannya dalam bentuk garam etilendiamin sebagai bolus i.v. aminofilin merupakan terapi standar dalam penanggulangan penderita asma bronkial akut (1-3).
Dari beberapa hasil penelitian ditunjukkan bahwa baik efek terapi maupun efek toksik teofilin sangat berkaitan dengan kadar teofilin dalam serum. Untuk bronkodilatasi, lajak kadar teofilin serum terapetik adalah sempit yaitu 10 - 20 μg/ml (1,2,4-7). Disamping mempunyai efek terapetik yang rendah, variasi biotransformasi atau bersihan total teofilin, baik intraindividual maupun interindividual sangat berpengaruh pada kadar teofilin serum. Oleh karena itu pemantauan kadar teofilin serum dengan penerapan prinsip farmakokinetik sangat penting dalam optimasi penggunaan teofilin (1,8-12).
Dalam praktek, untuk menanggulangi serangan asma akut, seringkali penderita yang datang ke rumah sakit diberikan dosis awal bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB tanpa memperhitungkan apakah penderita ini telah mendapat teofilin dalam waktu sehari sebelumnya. Kemudian, apabila serangan dapat diatasi, penderita tidak mendapat infus aminofilin melainkan hanya mendapat resep dokter untuk membeli sediaan teofilin per oral di apotek sebagai kelanjutan terapi di rumah. Penatalaksanaan serangan asma bronkial akut yang dianjurkan dalam kepustakaan adalah pemberian bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB. Kemudian dosis awal ini harus dilanjutkan dengan pemberian infus aminofilin untuk mempertahankan kadar teofilin serum terapetik (1,2).
Interval waktu seteiah pemberian bolus i.v. aminofilin yang diberikan di rumah sakit sampai penderita minum sediaan teofilin per oral. di rumah diperkirakan 3 - 6 jam. Oleh karena itu kadar teofilin serum sebelum bolus injeksi aminofilin dan sesudahnya sampai 6 jam serta hubungannya dengan efek terapi dan efek sampingnya perlu diteLiti pada penderita asma bronkial akut yang hanya mendapat bolus i.v. aminofilin dengan dosis standar 5,6 mg/kg BB di rumah sakit?
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rainer Christian
"Sistem pelepasan obat terkendali adalah proses untuk menjaga konsentrasi senyawa aktif dari obat di dalam tubuh. Dosis dari obat dapat dilepaskan di antara batas toksik dan batas terapi, dan mengurangi efek samping dan kerusakan pada jaringan normal. Eksperimen mengenai pelepasan obat terkendali ini secara in vivo memakan waktu dan biaya. Karena itu, pemodelan diperlukan sebelum eksperimen dilakukan. Pemodelan yang dilakukan adalah pelepasan theophylline dengan meninjau pengaruh difusifitas dan ukuran dari obat tersebut. Theophylline memiliki jarak batas terapi dan toksik yang sempit, sehingga pelepasannya di dalam tubuh perlu di kontrol. Simulasi dilakukan dengan bantuan software COMSOL Multiphysics. Dari simulasi, didapatkan pada variasi D = 2 x 10-10 m2/s dan r = 0,007 m adalah variabel yang paling mendekati profil pelepasan yang diinginkan.
Controlled drug release is a process to keep active substance concentration of drugs inside the body. Dosage from the drugs can be released between the toxic and therapeutic limit, and decrease the side effects and the damage on normal tissue. The experiment about drug release in vivo is time and money consuming. So, modeling is needed before the experiment is conducted. The modeling that is conducted is theophylline release with diffusivity and size of the drug as consideration. Theophylline has a narrow therapeutic and toxic limit, so the release in body should be controlled. Simulation is conducted using COMSOL Multiphysics software. From simulation, at the variation D = 2 x 10-10 m2/s and r = 0,007 m is the nearest desired release profile."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43389
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Kurniawan
"Metode fused deposition modelling (FDM) merupakan salah satu teknik pencetakan tiga dimensi (3D-printing) yang sangat berpotensi untuk diaplikasikan dalam pembuatan tablet. Metode ini diawali proses ekstrusi untuk menghasilkan filamen menggunakan polimer termoplastik sebagai bahan pembentuknya, namun pemanfaatan polimer farmasi dalam bidang ini masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan filamen mengandung teofilin berbasis campuran polimer polivinil pirolidon – poli asam laktat (PVP-PLA) serta polikaprolakton (PCL) melalui proses ekstrusi dengan konsentrasi bahan aktif maksimal dan mengamati pengaruhnya terhadap kekuatan mekanis filamen serta pelepasan obat. Filamen yang dibuat menggunakan campuran PVP-PLA dipreparasi dengan alat twin-screw extruder, sementara filamen berbasis PCL dibuat menggunakan alat single-screw extruder. Seluruh filamen hasil ekstrusi dikarakterisasi meliputi bentuk dan diameter, morfologi permukaan (SEM), kekuatan mekanis, analisis kandungan obat dan uji pelepasan obat. Tiga filamen berbasis PVP berhasil dibuat dengan diameter rata-rata berkisar antara 1,51 ± 0,11 mm hingga 1,60 ± 0,10 mm, sementara filamen berbahan dasar PCL berhasil diekstrusi dalam 12 formulasi dengan rentang diameter antara 1,38 ± 0,07 mm hingga 1,56 ± 0,07 mm. Tampilan SEM menunjukkan filamen yang dihasilkan memiliki bentuk permukaan yang cukup halus dengan bahan aktif terlihat tersebar di dalam filamen. Seluruh filamen memiliki kekuatan mekanis yang memenuhi syarat dengan rentang kekerasan antara 0,611 ± 0,044 kg hingga 2,478 ± 0,135 kg dan diamati terjadi penurunan kekuatan mekanis seiring dengan meningkatnya konsentrasi teofilin dalam filamen. Kapasitas pemuatan teofilin maksimal dalam filamen sebesar 18,25 ± 0,29% (b/b) untuk formula berbasis PVP dan 5,09 ± 0,07% (b/b) untuk formula berbasis PCL. Hasil uji pelepasan obat menunjukkan bahwa filamen dengan bahan dasar PVP memiliki karakteristik pelepasan segera, sementara filamen berbasis PCL memiliki karakteristik pelepasan diperlambat. Secara keseluruhan, filamen yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan berpotensi untuk diaplikasikan dalam pembuatan sediaan farmasi dengan bantuan teknologi 3D-printing.

Fused deposition modelling (FDM) is one of the 3D-printing techniques which is potential to be applied in tablet manufacturing. This method started with the hot melt extrusion process which requires thermoplastic polymer as the filament-forming material, but the use of pharmaceutical polymers still has to be developed. This study aims to obtain theophylline-loaded filaments using the combination of polyvinyl pyrrolidone and polylactic acid (PVP-PLA) as well as polycaprolactone (PCL) with maximum drug-loading capacity through extrusion process and observing their impact to the mechanical properties and drug release profile. Filaments made of the PVP-PLA mixture were prepared using twin-screw extruder, while the PCL-based filaments were fabricated using the single-screw extruder. All extruded filaments were characterized for shape and diameter, surface morphology (SEM), mechanical properties, drug content, and drug release profile. Three PVP-based filaments were successfully prepared with average diameter ranging in 1.51 ± 0.11 mm to 1.60 ± 0.10 mm and 12 PCL-based filament formulations were successfully made with the range of diameter between 1.38 ± 0.07 mm and 1.56 ± 0.07 mm. SEM images showed that all filaments have fairly smooth surface and the active ingredients were spread evenly inside the filaments. All filaments have proper mechanical properties with the hardness value ranging in 0.611 ± 0.044 kg to 2.478 ± 0.135 kg and it was observed that the strength was decreased as the amount of theophylline in filaments increased. Maximum drug-loading capacity for the PVP-based filaments was 18.25 ± 0.29% (w/w) and 5.09 ± 0.07% (w/w) for the PCL-based filaments. The results of drug release study showed that filaments using PVP have the immediate-release profile, while the PCL-based filaments have slow release profiles. Overall, the extruded filaments have excellent properties and potential to be applied in the manufacturing of pharmaceutical preparations using the 3D-printing technology."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hanif Fajari
"Penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) merupakan penyakit yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penyakit ini dapat menular melalui cairan yang berasal dari hidung atau mulut penderita. Simulasi penambatan molekul dengan PyRx memprediksi senyawa Teofilin dan Dexamethason dapat berinteraksi baik dengan spike glikoprotein S2 SARS-CoV 2, dengan ΔGbinding yang diperoleh adalah berturut-turut sebesar -6,3; -7,8; -8,1 kcal/mol melalui nteraksi pada residu Ala348, Arg357 dan Val341. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Teofilin dan Dexamethason memiliki potensi untuk dijadikan agen pengenal SARS-CoV 2. Namun simulasi dengan penambatan molekul juga menunjukan bahwa hemagglutinin (HA) H1N1 berpotensi menganggu pengukuran spike glikoprotein SARS-CoV 2. Hasil studi komputasi ini menjadi acuan untuk pengujian potensi Teofilin dan Dexamethason sebagai agen pengenal SARS-CoV 2 dengan HA H1N1 sebagai uji interferensi. Selanjutnya Studi elektrokimia dengan teknik voltametri siklik menggunakan elektroda boron-doped diamond (BDD) pada Teofilin menunjukkan puncak arus oksidasi pada potensial +0,506 V dan puncak arus reduksi pada potensial -0,5 V. Arus yang dihasilkan linear pada rentang konsentrasi 10 μM sampai 100 μM. Deteksi spike glikoprotein S2 SARS-CoV 2 dilakukan dengan melihat penurunan arus oksidasi Teofilin dengan kehadiran spike glikoprotein S2 SARS-CoV 2 dan virus kultur SARS- CoV 2 pada waktu optimum 10 menit. Penurunan arus linier pada rentang konsentrasi 1 ng/mL sampai 200 ng/mL. Sedangkan Dexamethason tidak elektroaktif namun pengukuran dengan spektrofotometri UV-Vis menunjukkan puncak absorbansi pada bilangan gelombang 241 nm.

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is a disease caused by severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). This disease can be transmitted through droplets from the nose or mouth of the patient. Molecular docking simulation with PyRx predicts Theophylline and Dexamethason compounds can interact well with the spike glycoprotein S2 SARS-CoV 2, with Gbindings obtained are -6.3, respectively; -7.8; -8.1 kcal/mol via interaction with residues Ala348, Arg357 and Val341. So that theophylline and dexamethason have the potential to be used as SARS-CoV 2 identification agents. However, simulations with molecular docking also show that hemagglutinin (HA) H1N1 has the potential to interfere with the measurement of the SARS-CoV 2 spike glycoprotein with bioactive compounds. The results of this computational study serve as a reference for testing potential Theophylline and Dexamethasone as identification agents for SARS-CoV 2 and HA H1N1 as an interference compound. Furthermore, electrochemical studies using cyclic voltammetry techniques using boron-doped diamond (BDD) electrodes on theophylline showed peak oxidation currents at +0.548  V potential and peak reduction currents at -0.5 V potentials. The resulting currents were linear in the concentration range of 10 M to 100 M. Detection of spike glycoprotein S2 SARS-CoV 2 was carried out by observing a decrease in the oxidation current of Theophylline in the presence of spike glycoprotein S2 SARS-CoV 2 and cultured virus SARS-CoV 2 at the optimum time of 10 minutes. Linearity current decrease in the concentration range of 1 ng/mL to 200 ng/mL. Meanwhile, Dexamethasone is not electroactive, but measurements using UV-Vis spectrophotometry show the absorbance peak at a wave number of 241 nm. This absorbance is linear in the concentration range of 10 M to 200 M. Detection of spike glycoprotein S2 SARS-CoV 2 with Dexamethasone was carried out by decreasing absorbance in the presence of spike glycoprotein S2 SARS-CoV 2. at the optimum time of 10 minutes. Linearity current decrease in the concentration range of 1 ng/mL to 200 ng/mL. Furthermore, the interference test performed with HA-H1N1 and spike glycoprotein S2 SARS-CoV 2 showed that neither the current in theophylline nor the peak absorption of Dexamethasone changed significantly. These results indicate Theophylline and Dexamethasone are selective against the SARS-CoV 2 spike glycoprotein S2 and can be applied as identification agents on the SARS-CoV 2 spike glycoprotein S2 sensor."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library