Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Allysa Julia Yusman
"Hostile Architecture merupakan salah satu gaya arsitektur yang mulai menjadi fitur umum pada kota-kota besar untuk mengatasi perilaku-perilaku yang tidak diinginkan pada ruang publik. Jakarta merupakan salah satu kota di dunia yang mulai menerapkan konsep Hostile Architecture pada ruang publik di mana penerapan tersebut sudah bisa dijumpai pada semua Stasiun Commuter Line Jakarta yang berupa street furniture bangku tunggu pada peron kereta. Mode transportasi commuter line merupakan mode transportasi yang tidak pernah sepi akan pengguna meskipun hari libur karena dianggap murah dan terhindar dari kemacetan ibu kota. Dengan demikian, ruang publik stasiun commuter line harus menciptakan rasa nyaman bagi penggunanya saat berada pada peron stasiun untuk menunggu kereta api datang. Kenyamanan seringkali dihubungkan dengan ergonomi, yaitu ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dan desain, serta faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi tersebut yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kinerja sistem dengan cara meningkatkan interaksi antara manusia dengan desain yang digunakan. Maka dari itu, penerapan hostile architecture dengan pendekatan konsep ergonomi yang dapat mempengaruhi perilaku penggunanya dalam memilih tempat duduk untuk menunggu kereta dapat menjadi suatu kajian yang dapat didalami sebagai suatu hal yang dapat memberikan dampak dalam perilaku manusia dengan lingkungannya. Sehingga dengan adanya penulisan ini, penggunaan hostile architecture pada ruang publik stasiun commuter line akan memberikan dampak yang baik dalam kesesuaian antara perilaku manusia dengan sistem kerjanya. Dimana dalam hal ini, rancangan yang mempunyai kompatibilitas tinggi dengan penggunanya akan sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang nyaman, baik, dan efisien serta mengurangi bahaya akibat adanya kesalahan desain pada fungsi ruang di Stasiun Commuter Line Sudirman Jakarta.

Hostile Architecture, an emerging architectural style, is increasingly prevalent in major urban design as a means to mitigate undesirable behaviours in public spaces. Jakarta, among the world's cities, has adopted this concept, with its application evident in the street furniture specifically waiting benches that can be found at Jakarta Commuter Line Stations. The commuter line mode of transportation garners a constant stream of users, even on holidays, as it is deemed affordable and circumvents traffic congestion in the capital. Consequently, it is important that these public spaces encourage user’s comfort while waiting for the train to arrive. Comfort is often associated with ergonomics, which examines the interaction between humans and designs, along with the factors influencing these interactions, aiming to enhance system performance by optimizing human-design compatibility. Therefore, exploring the implementation of hostile architecture with an ergonomic approach focusing on seating preferences becomes a significant avenue for studying the potential impact on human behaviour within these environments. Employing hostile architecture in public spaces within commuter line stations may positively affect the harmony between human behaviour and the operational system. In this particular case, a design that aligns closely with its users becomes essential in creating a comfortable, efficient, and hazard-free environment, thereby mitigating any design-related issues concerning the functionality of the Sudirman Jakarta Commuter Line Station."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulie Pusvitasary
"Skripsi ini membahas mengenai upaya pengidentifikasian tempat duduk yang dipahatkan di relief Lalitavistara Candi Borobudur. Relief Lalitavistara memiliki jumlah keseluruhan 120 panil, dengan pembagian 4 sektor yang didasarkan atas tahapan kehidupan Sidharta Gautama. Identifikasi akan ditelusuri melalui beberapa tahapan, yakni deskripsi dan penomoran tempat duduk, selanjutnya analisa yang diacu dengan analisis bentuk dan kontekstual. Selain itu dipergunakan pula interpretasi analogi dengan penggunaan naskah Kuna.
Hasil penelitian memperlihatkan pembagian bentuk tempat duduk menjadi 8 tipe dengan variasi bentuk yang bermacam-macam Selain itu, ditemukan pula adanya hubungan penggambaran relief yang ada di Candi Borobudur umumnya, relief Lalitavistara khususnya dengan penggambaran di Stupa Sanci dalam hal pembagian sektor yang didasarkan atas tahap-tahap kehidupan Siddharta Gautama.

Writing focus consists on the identification of seats that carved in bas-reliefs, concern part on Lalitavistara scenes at Borobudur Temple. These Lalitavistara reliefs? scenes were having its total of 120 panels, which divided in 4 sectors based on the phase of Siddharta Gautama?s life. Identification process was determined in several steps: identification and numbering of seats, and continued by analysis in two constraints, form and contextual analysis. Further it would have an additional analogy with the used of ancient manuscript.
The research produced types of 8 seats form by variety. Moreover, it would also conclude that there was some interconnection link between reliefs at Borobudur Temple, particularly on Lalitavistara bas-relief, with the carvings on Sanci Stupa at India, in the context of sector distribution based on the phase of Siddharta Gautama's life."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S11926
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tarisya Ramadhani Putriutami
"Ruang terbuka publik dalam sebuah kota harus dapat menjadi sarana rekreasi masyarakat kota. Sebagai sarana rekreasi, ruang terbuka publik menawarkan berbagai macam aktivitas outdoor yang terdiri dari passive recreation dan active recreation. Pelaksanaan aktivitas-aktivitas tersebut tentunya harus dapat diakomodasi oleh elemen fisik yang ada pada sebuah taman. Salah satu elemen fisik yang pasti ada dan dapat mengakomodasinya adalah tempat duduk. Tempat duduk pada ruang terbuka tidak hanya sebagai tempat untuk duduk tetapi juga dapat memicu terjadinya aktivitas-aktivitas lainnya. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori affordance bahwa suatu lingkungan menawarkan potensi-potensinya untuk makhluk hidup melakukan aktivitas dengan cara yang berbeda-beda. Taman Mal Bintaro Xchange dan Taman Lapangan Banteng merupakan dua taman yang menawarkan berbagai macam jenis tempat duduk untuk manusia melakukan berbagai macam aktivitas outdoor. Penulis menggunakan metode observasi dan wawancara pengunjung untuk mengetahui bagaimana manusia cara mengokupansi ruang pada tempat duduk di taman. Kemudian, penulis akan membahas bagaimana passive dan active recreation dapat terjadi pada tempat duduk di taman.

Public open space in a city must accommodate recreation activity for its citizen. As a recreation place, public open space offer many outdoor activity such as passive recreation and active recreation. The execution of those activities should be accommodate by the physical element at the park. One of the physical element that must be there and could accommodate the activity is sitting place. Sitting place in an open space is not only a place to sit but should triggered another activity to happen. This phenomenon could be explained by affordance theory that. Gibson (1986) said that affordance is how the environment provides a lot of possibility for human to do an activity with so many different ways. Taman Mal Bintaro Xchange and Taman Lapangan are two parks that have some kind of sitting place to accommodate outdoor activity. This study will be using literature review, observation and interviewing the park visitors to know how they occupied the space at the sitting place in park. This study examines how passive and active recreation could happen at the sitting place in park."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library