Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Noviyanti
"Platelet rich plasma (PRP) sebagai bahan suplemen medium kriopreservasi, mengandung plasma yang merupakan bagian dari darah dan mengandung banyak sekali albumin. Albumin diketahui sebagai CPA ekstraseluler alami yang bekerja dengan cara menstabilkan membran sel yang dapat terganggu akibat kriopreservasi. Bahan suplementasi medium kriopreservasi selama ini menggunakan bahan yang berasal dari hewan. Penggunaan bahan suplementasi dari hewan telah diketahui memiliki berbagai kendala seperti tersandung dengan komunitas perlindungan hewan dan juga dapat mencetuskan reaksi immunologi jika digunakan pada manusia. Karena itu, perlu dicari alternatif lain untuk bahan suplementasi medium kriopreservasi. Penelitian ini meneliti apakah PRP dapat digunakan sebagai alternatif FBS sebagai medium kriopreservasi sel punca asal tali pusat manusia dengan menilai viabilitas, morfologi dan proliferasi sel punca pasca kriopreservasi. Penelitian diawali dengan isolasi dan propagasi sel punca asal tali pusat manusia dari satu buah tali pusat manusia yang memenuhi kriteria dengan metode eksplan. Sel punca kemudian disubkultur sampai mencapai jumlah sel yang dibutuhkan untuk kriopreservasi. Kriopreservasi sel punca dilakukan dalam delapan protokol kriopreservasi dengan variasi bahan suplemen, konsentrasi bahan suplemen dan konsentrasi sel. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara FBS dan PRP dalam mempertahankan viabilitas dan morfologi sel bahkan PRP lebih baik ketika dilihat dari ukuran dan proliferasi pasca kriopreservasi. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa PRP dapat digunakan sebagai alternatif penggunaan FBS dalam medium kriopreservasi sel punca asal tali pusat manusia.

Platelet rich plasma ( PRP ) as supplemental material cryopreservation medium , containing plasma which is part of the blood and contains a lot of albumin. Albumin is known as a natural extracellular CPA works by stabilizing cell membranes that can be disrupted by cryopreservation .One of the materials in cryopreservation medium that is used nowadays is derived from animals. Use of animal derived metarial has been known to pose various problems such as facing the animal protection community and also can trigger immunological reactions when used in humans. So it is necessary to find an alternative for animal derived material in cryopreservation medium. This study examined whether PRP could be used as an alternative to FBS as cryopreservation medium for human umbilical cord stem cells by assessing the viability, morphology and proliferation of stem cells after cryopreservation. The study began with the isolation and propagation of human umbilical cord stem cells from one human umbilical cord that meets the criteria using explant method. Stem cells then subcultured to achieve the required number of cells for cryopreservation. Cryopreservation of stem cells was done in eight cryopreservation protocols with various supplements, concentrations of the supplements, and cell concentrations. The results showed no difference between FBS and PRP in maintaining cell viability and morphology. PRP was even better when viewed from the size and proliferation of the cells after cryopreservation . In conclusion, this study shows that PRP can be used as an alternative to FBS in cryopreservation medium for human umbilical cord stem cells.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58929
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Aryudi
"Latar Belakang: World Health Organization melaporkan sebanyak 11 kematian anak dibawah lima tahun terjadi karena komplikasi intapartum termasuk keadaan asfiksia intrapartum. Hipoksia/asidemia fetal intrapartum berpotensi menyebabkan berbagai morbiditas baik jangka pendek seperti hypoxic-ischemic ensephalopathy maupun jangka panjang seperti cerberal palsy. FIGO mengatakan bahwa pH dibawah 7,2 adalah keadaan asidemia. Onset kerusakan otak yang terjadi saat asidemia dapat berjalan dengan cepat sehingga dibutuhkan pemantauan dini. Pola denyut jantung fetus yang abnormal berkaitan dengan 2,86 kali risiko asidemia dibanding pola CTG yang normal.
Tujuan: Mencari hubungan antara katagori CTG dan pola CTG dengan kejadian asidemia janin, sehingga dapat memprediksi keluaran janin dan tatalaksana kehamilan selanjutnya.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cohort retrospektif, menggunakan data rekam medis pasien persalinan dengan diagnosis gawat janin di RSCM pada Januari 2016-Desember 2017, yang kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok CTG mencurigakan dan patologis dengan kejadian asidemia janin atau tidak. Kemudian dilakukan analisis statistik untuk menilai hubungan antara gambaran kardiotokografi dengan kejadian asidemia.
Hasil: Terdapat 32 (30,8%) subjek dari 104 subjek dengan CTG mencurigakan dan terdapat 40 (40%) subjek dari 100 subjek dengan CTG patologis mengalami asidemia. Tidak didapatkan hubungan bermakna secara statistik kejadian asidemia antara kelompok CTG dengan kejadian asidemia janin (p=0.168; 95% CI 0.529-1.119). Asidemia janin terjadi pada 36,8% pada kelompok dengan pola CTG reduced variability, 38,5% pada absent variability, 20% pada tachycardia, 25% pada late deceleration, 58,3% pada late deceleration and reduced variability, 30,8% pada variable deceleration, 50% pada variable deceleration and reduced variability dengan semua hamil uji statistic menunjukan nilai p>0,05. Tidak terdapat pola CTG yang berhubungan yang bermakna dengan kejadian asidemia janin. Nilai pH pada penelitian ini memiliki median 7.24 dan nilai median pH pada kasus asidemia adalah 7.082.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara katagori CTG dengan kejadian asidemia janin, namun didapatkan trend bahwa CTG patologis lebih sering mengalami asidemia. Tidak terdapat hubungan antara pola CTG dengan kejadian asidemia janin, namun pola CTG late deceleration and reduced variability cenderung lebih sering mengalami asidemia janin.

Introduction: WHO stated that there were 11 of infant mortality rate due to intrapartum complication including asphyxia. Intrapartum fetal hypoxia or acidemia causes short and long-term morbidity such as hypoxic ischemic encephalopathy and cerebral palsy. FIGO concluded that pH level under 7.2 was academic condition. Onset of brain dysfunction occurred rapidly; early monitoring is needed. Abnormal fetal heart rate is related with 2.86 times of academic risk compared with normal CTG pattern.
Aims: Determine the relation between CTG category and pattern to intrapartum fetal acidemia so that we can predict fetal outcome and further pregnancy treatment.
Methods: This cohort retrospective study design conducted through medical records in RSCM from January 2016-December 2017. All delivery patients with fetal distress diagnosis consisted of two groups including suspicious and pathological CTG group corresponding to fetal academic. Statistical analysis determine the relationship between cardiotocography and acidemia incidence.
Results: There were 32 subjects (30.8%) from 104 subjects with suspicious CTG, and 40 subjects (40%) from 100 subjects with pathological CTG having acidemia. There was no significant relationship statistically with acidemia incidence between CTG category and fetal acidemia (p=0.168; 95% CI 0.529-1.119). Fetal acidemia was 36.8%, 38.5%, 20%, 25%, 58.3%, 30.8%, 50% in reduced variability, absent variability, tachycardia, late deceleration, late deceleration and reduced variability, variable deceleration, and variable deceleration and reduced variability CTG group; respectively, with statistical test results all p value >0.05. There was no relationship between CTG pattern and fetal acidemia. The pH value in this study had 7.24 for median with median pH in this acidemia case was 7.082.
Conclusion: There is no relationship between CTG category and fetal acidemia; however, pathological CTG was more often in acidemia cases. There was no relationship between CTG pattern and fetal acidemia incidence; however, late deceleration and reduced variability CTG pattern tends to more often in fetal acidemia. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zakiyah
"Hati merupakan organ yang memiliki kemampuan regenerasi tinggi setelah mengalami kerusakan. Sel punca mesenkimal asal tali pusat merupakan sumber progenitor hati yang dapat ditranplantasikan dan dapat digunakan pada kasus kerusakan hati yang parah. Kerusakan hati yang parah akan memunculkan sel oval sebagai pertahanan tingkat ke dua. Proses regenerasi hati yang diperantarai sel oval sangat kompleks karena melibatkan sitokin, faktor pertumbuhan, hormon dan morfogen. DLK1 (Delta-Like 1 homolog) merupakan salah satu morfogen yang diekspresikan kembali pada kasus kerusakan hati dengan kondisi proliferasi hepatosit yang dihambat. DLK1 diekspresikan oleh sel oval dalam jumlah yang terbatas.
Penelitian ini bertujuan mengetahui ekspresi DLK1 dan proliferasi hepatosit yang dinilai menggunakan Ki67 pada kerusakan yang diinduksi 2AAF/CCl4. Selain itu juga akan dinilai pengaruh sel punca pada ekspresi DLK1 dan proliferasi hepatosit yang dinilai menggunakan Ki67 pada saat proses regenerasi hati. Penelitian ini menggunakan 30 tikus jantan strain Wistar berusia 8 minggu yang dibagi menjadi 5 kelompok (n=6). Proses Induksi kerusakan hati menggunakan 2AAF/CCl4 selama 12 minggu kemudian diberikan injeksi sel punca mesenkimal asal tali pusat manusia dengan dosis 1x106 sel melalui vena ekor. Dua kelompok (kontrol dan induksi 2AAF/CCl4) diterminasi pada akhir minggu ke-12 sebagai model kerusakan hati sedangkan tiga kelompok lainnya (kontrol, kelompok dengan sel punca dan kelompok tanpa sel punca diterminasi pada akhir minggu ke-14.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perbedaan signifikan ekspresi DLK1 namun tidak terdapat perbedaan signifikan pada tingkat proliferasi hepatosit yang dinilai dengan Ki67 pada kerusakan hati yang diinduksi 2AAF/CCl4. Sedangkan pada regenerasi hati tidak ditemukan perbedaan signifikan ekspresi DLK1 dan Ki67 antara kelompok yang diberikan sel punca dan tidak diberikan sel punca.

The liver is an organ that has a high regeneration ability after being injured. Mesenchymal stem cells from the human umbilical cord are transplanted sources of liver progenitors and can be used in cases of severe liver injury. Severe liver damage will bring out oval cells as a second level defense. The process of liver regeneration which is mediated by oval cells is very complex because it involves cytokines, growth factors, hormones and morphogens. DLK1 (Delta-Like 1 homologue) is one of the morphogens that is expressed again in cases of liver injury with inhibited hepatocyte proliferation. DLK1 is expressed in subpopulation in oval cells compartement of rat liver.
This study aims to determine the expression of DLK1 and hepatocyte proliferation which was assessed using Ki67 in the 2AAF/CCl4 induced severe injury. It will also be assessed the effect of mesenchymal stem cells on DLK1 expression and hepatocyte proliferation which was assessed using Ki67 during the liver regeneration process. This study used 30 male 8-week-old Wistar strain rats divided into 5 groups (n = 6). The process of induction of liver injury using 2AAF/CCl4 for 12 weeks was then given mesenchymal stem cell injection from human umbilical cord at a dose of 1x106 cells through the tail vein. Two groups (control and 2AAF/CCl4 groups) were terminated at the end of the 12th week as models of liver injury while the other three groups (control, groups with stem cells and groups without stem cells were terminated at the end of week 14.
In this study it was found that there was a significant difference in DLK1 expression but there was no significant difference in the rate of hepatocyte proliferation assessed by Ki67 in 2AAF/CCl4 induced liver injury, whereas in liver regeneration there was no significant difference in DLK1 and Ki67 expression between groups given stem cells and not given stem cells.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nibras Zakiyah
"Terapi penyakit degeneratif menggunakan sel punca mesenkim (SPM) dikembangkan dengan pendekatan seluler ataupun dengan conditioned medium (CM) yang mengandung faktor pertumbuhan dan vesikel ekstraseluer (VE). Sel punca kanker merupakan populasi kecil sel dalam jaringan kanker yang berkaitan dengan resistensi terapi. Belum diketahui dampak VE SPM tali pusat terhadap kepuncaan sel kanker payudara. Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak pemberian VE SPM tali pusat terhadap kepuncaan sel kanker payudara. VE diisolasi dengan kromatografi kolom; diidentifikasi dengan mikroskop konfokal dan transmission electron microscope. Internalisasi VE oleh sel kanker payudara dikonfirmasi dengan mikroskop konfokal. Analisis viabilitas sel pasca kokultur VE dilakukan menggunakan trypan blue exclusion assay, ekspresi mRNA OCT4 dengan qRT-PCR, ekspresi protein OCT4 dengan Western Blot, aktivitas enzim ALDH dengan ALDEFLUOR™. Hasil, VE SPM tali pusat berhasil diisolasi serta diidentifikasi. Derajat internaliasasi VE oleh ketiga jenis sel kanker payudara berbeda. VE 5% meningkatkan viabilitas ketiga jenis sel serta ekspresi mRNA OCT4 sel MCF7 dan ALDH+. Tingkat ekspresi protein OCT4 sel MCF7 dan ALDH+ berbanding terbalik dengan peningkatan konsentrasi VE. VE 5% meningkatkan ekspresi protein OCT4 sel MDA-MB-231. VE 5% meningkatkan aktivitas ALDH ketiga sel kanker payudara. Pada VE 10%, aktivitas ALDH sel MDA-MB-231 dan MCF7 menurun, namun pada sel ALDH+ meningkat. Kesimpulan, pemberian VE SPM tali pusat dengan konsentrasi yang berbeda memberikan dampak berbeda terhadap kepuncaan berbagai sel kanker payudara, berkaitan dengan regulasi ekspresi OCT4 dan aktivitas ALDH.

Therapy of degenerative diseases using umbilical cord mesenchymal stem cells (UCMSCs) are currently developed either using the cell or the conditioned medium containing extracellular vesicles (EVs). Cancer stem cells are a minor subpopulation of cells within cancerous tissue that had been associated with therapy resistance. This study aimed to investigate the effect of EVs secreted by UCMSC (UCMSC-EVs) on the stemness of human breast cancer cells. UCMSC-EVs were isolated using SEC, then identified using confocal microscope and TEM. UCMSC-EV uptake by MDA-MB-231, MCF7, and ALDH+ cells was analyzed by confocal microscope. The viability of co-cultured breast cancer cells was determined using trypan blue exclusion assay, mRNA and protein expression of OCT4 as well as ALDH activity were analyzed qRT-PCR, Western Blot, and ALDEFLUOR™, respectively. As the result, UCMSC-EVs were successfully isolated and identified. The internalization ability of each type of breast cancer cell seemed different. Notably, 5% EVs increased the viability of those three cells. Five percent of EVs increased the mRNA expression of OCT4. On MCF7 and ALDH+ cells, the higher the EVs concentration given, the lower expression of OCT4 protein was. Supplementation of EVs 5% increased the ALDH activity of cells. In conclusion, supplementation of UCMSC-EVs in different concentrations gives different impacts in terms of stemness that was correlated with OCT4 and ALDH regulation within the treated cells."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Azenda
"Latar Belakang: Hipoksia diperkirakan dapat memicu terjadinya kerusakan jaringan akan terjadi pelepasan sinyal-sinyal yang dapat memobilisasi sel punca. Hingga saat ini belum ada penelitian yang menilai pengaruh kondisi hipoksia janin, yang dinilai dari pH dan APGAR skor, terhadap peningkatan jumlah sel punca darah tali pusat.
Tujuan: Diketahuinya pengaruh kondisi hipoksia janin terhadap jumlah sel punca darah tali pusat.
Metode: Penelitian ini adalah studi observasi dengan rancangan cross sectional, di IGD FKUI-RSCM tahun 2013-2014. Kelompok diteliti adalah janin yang mengalami hipoksia pada Ibu bersalin dengan hamil cukup bulan (37-40 minggu), kehamilan tunggal hidup intra uterin, dengan kontrol janin yang tidak mengalami hipoksia. Dilakukan pengambilan darah tali pusat masing-masing Ibu pada kedua kelompok, dengan cara semiclosed system. Kemudian dilakukan dua jenis proses, yaitu volume reduction dan red blood cells depletion. Pemeriksaan kandungan sel punca CD34+ dilakukan di Laboratorium Terpadu FKUI.
Hasil: Didapatkan 17 janin dengan hipoksia dan 17 janin tanpa hipoksia. Didapatkan perbedaan bermakna antara jumlah CD34 dengan hipoksia janin (31.77 sel/uL vs 13.65 sel/uL, p = 0.037). Tidak didapatkan korelasi antara jumlah sel punca dengan derajat hipoksianya (p = 0.153, r = -0.362).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah sel punca janin yang mengalami hipoksia dengan janin yang tidak mengalami hipoksia.

Background: Hypoxia was estimated to trigger tissue injury and release signals which could cause stem cells mobilization. There was still no other study about relationship between fetal hypoxic condition and increasing number of umbilical cord?s stem cells by counting pH and APGAR score.
Aim: To find out the relationship between fetal hypoxic condition and umbilical cord?s stem cells.
Method: This was an observational study using cross sectional design. It was held at the Emergency Room of FMUI-RSCM between the year of 2013 and 2014. Studied group consist of hypoxic fetus in labour woman with aterm pregnancy (37-40 weeks), singleton-viable intrauterine pregnancy and not hypoxic fetal control. Umbilical cord blood collecting within both groups used the semiclosed system. And then we done the volume reduction and red blood cells depletion. The examination of CD34+ stem cell was held at Integrated Laboratory of FMUI.
Result: We found 17 fetus with hypoxia and 17 others without hypoxia. There are significant differences between CD34 with hypoxic fetus (31.77 cells/uL vs 13.65 cells/uL, p = 0.037). There is no correlation between stem cells and hypoxic grading condition (p = 0.153, r = -0.362).
Conclusion: There is significant difference between the number of stem cells in hypoxic fetus and not hypoxic fetus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liliana
"[ABSTRAK
Pada kehamilan dibutuhkan asupan zat gizi yang adekuat untuk menunjang
pembelahan sel dan pertumbuhan yang cepat. Seng merupakan kofaktor dari hampir
sekitar 200 enzim yang berperan penting dalam embryogenesis. Defisiensi seng
berhubungan dengan komplikasi pada ibu selama kehamilan dan persalinan serta
gangguan pertumbuhan dan kelainan kongenital pada janin. Konsentrasi seng
serum menurun sejak kehamilan trimester pertama hingga ketiga. Penelitian ini
merupakan penelitian dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk
mengetahui korelasi antara konsentrasi seng serum maternal dengan tali pusat pada
kehamilan trimester ketiga. Penelitian dilakukan di 10 puskesmas di Jakarta Timur
pada bulan Maret 2015 sampai bulan April 2015. Pengambilan subyek dilakukan
dengan cara konsekutif dan didapatkan 63 orang subyek yang memenuhi kriteria
penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara meliputi data usia, usia
kehamilan, paritas, pajanan rokok, pendapatan rumah tangga, pendidikan maternal,
serta asupan protein, besi, tembaga dan seng dengan metode Food Frequency
Questionnaire (FFQ) semikuantitatif. Pengukuran antropometri untuk menilai
status gizi dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi konsentrasi seng serum dan
tali pusat. Didapatkan rerata usia 27,63 ± 4,96 tahun dan sebagian besar subjek
berada dalam kategori pendidikan tinggi dan pendapatan tinggi. Asupan seng
menunjukkan 98,4% subjek memiliki asupan seng kurang dari Angka Kecukupan
Gizi (AKG) Indonesia. Nilai median konsentrasi seng serum maternal 53,70 (28.18
-67,61) μg/dL dan 82,5% subyek tergolong dalam kategori adekuat. Nilai median
konsentrasi seng serum tali pusat adalah sebesar 85,11
(57.54 - 154,88) μg/dL, sedangkan 65,1% subjek tergolong dalam kategori tidak
adekuat. Didapatkan rasio di antaranya 0,63 dengan korelasi tidak bermakna antara
konsentrasi seng serum maternal dengan tali pusat (r=0,04, p=0,78).

ABSTRACT
Pregnancy is a period of rapid growth and cell differentiation, when both of the
mother and the fetus are very susceptible to alterations in dietary supply, especially
of nutrients which are marginal under normal circumstances. Zinc is required for
cellular division and differentiation, and is an essential nutrient for normal
embryogenesis. Zinc deficiency has been associated with complications of
pregnancy and delivery, as well as growth retardation and congenital abnormalities
in the fetus. It has been found that zinc levels keep decreasing during pregnancy
from first trimester to third trimester. The aim of this cross sectional study was to
find the correlation between serum maternal and cordblood zinc level during third
trimester. Data collection was conducted during March 2015 to April 2015 on 10
selected primary health service in East Jakarta. Subjects were obtained using
consecutive sampling method. A total of 63 pregnant subjects had met the study
criteria. Data were collected through interviews including age, gestation age, parity,
tobacco exposure, household income, maternal education, zinc intake, protein
intake, iron intake, and copper intake. Anthropometry measurements to assess the
nutritional status and laboratory examination i.e blood levels of maternal and
cordblood zinc. Mean age was 27.63 ± 4.96 years and majority of the subjects were
high-educated and well-income. Intake of zinc showed 98.4% of the subjects were
less than recommended dietary allowances (RDA). Median of serum maternal zinc
levels was 53.95 (27.97 ? 74.93) μg/dL, while 82.5% the of subjects were
categorized as adequate zinc levels. Median of serum cordblood zinc levels was
84.92 (56.95 ? 155.86) μg/dL. No significant correlation was found between serum
maternal and cordblood zinc (r=0.04, p=0.78) with the ratio between serum
maternal and cordblood zinc was 0.63, Pregnancy is a period of rapid growth and cell differentiation, when both of the
mother and the fetus are very susceptible to alterations in dietary supply, especially
of nutrients which are marginal under normal circumstances. Zinc is required for
cellular division and differentiation, and is an essential nutrient for normal
embryogenesis. Zinc deficiency has been associated with complications of
pregnancy and delivery, as well as growth retardation and congenital abnormalities
in the fetus. It has been found that zinc levels keep decreasing during pregnancy
from first trimester to third trimester. The aim of this cross sectional study was to
find the correlation between serum maternal and cordblood zinc level during third
trimester. Data collection was conducted during March 2015 to April 2015 on 10
selected primary health service in East Jakarta. Subjects were obtained using
consecutive sampling method. A total of 63 pregnant subjects had met the study
criteria. Data were collected through interviews including age, gestation age, parity,
tobacco exposure, household income, maternal education, zinc intake, protein
intake, iron intake, and copper intake. Anthropometry measurements to assess the
nutritional status and laboratory examination i.e blood levels of maternal and
cordblood zinc. Mean age was 27.63 ± 4.96 years and majority of the subjects were
high-educated and well-income. Intake of zinc showed 98.4% of the subjects were
less than recommended dietary allowances (RDA). Median of serum maternal zinc
levels was 53.95 (27.97 – 74.93) μg/dL, while 82.5% the of subjects were
categorized as adequate zinc levels. Median of serum cordblood zinc levels was
84.92 (56.95 – 155.86) μg/dL. No significant correlation was found between serum
maternal and cordblood zinc (r=0.04, p=0.78) with the ratio between serum
maternal and cordblood zinc was 0.63]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sastia Winda Astuti
"ABSTRAK
Latar belakang: Menurut WHO stroke merupakan penyebab kematian nomor duadi dunia, yaitu sebanyak sekitar 15 juta kasus dengan jenis kasus terbanyak adalahstroke iskemia. Populasi sel mononuklear MNC darah tali pusat manusiamengandung sel progenitor dan prekursor sel endotel dalam jumlah banyak yangsering digunakan dalam penelitian stroke. Dalam penelitian sebelumnya terbuktibahwa pemberian MNC darah tali pusat manusia secara intraarterial dan intravenadapat meningkatkan vaskulogenesis.Tujuan: Membandingkan efek neurogenesis dari pemberian MNC darah tali pusatmanusia secara intraarterial dan intravena kepada tikus model stroke.Metode: Penelitian eksperimental menggunakan tikus model stroke iskemia obstruksi arteri cerebri media, n=24 . Hewan coba dibagi menjadi empat kelompokyaitu normal kontrol , stroke dengan pemberian plasebo, stroke dengan pemberianMNC secara intraarterial dan stroke dengan pemberian MNC secara intravena. Duaminggu pasca perlakuan dilakukan terminasi dan pewarnaan sediaan otak denganHematoxylin Eosin HE untuk mengetahui perubahan bentuk sel dan morfologijaringan serta dengan pewarnaan imunohistokimia menggunakan antibodi anti-Neun untuk mengetahui jumlah neuron.Hasil: Dari hasil pewarnaan HE diketahui adanya gliosis dan shrunken cell padaarea korteks tikus stroke. Terdapat perbedaan hasil yang bermakna antara kelompokyang diberi plasebo dengan yang diberi MNC. Dari hasil pewarnaanimunohistokimia juga didapatkan peningkatan jumlah neuron yang signifikanantara kedua kelompok tersebut. Tidak ada perbedaan jumlah neuron yangsignifikan antara pemberian MNC darah tali pusat secara intraarterial denganintravena.Kesimpulan: Pemberian MNC darah tali pusat manusia secara intraarterial danintravena memiliki efek neurogenesis yang sama pada jaringan otak tikus pascastroke iskemia.

ABSTRACT
Background According to WHO, stroke is the second leading cause of death inthe world about 15 million cases with ischemic stroke as the most common type.Human umbilical cord blood derived mononuclear cell MNC populationcontains large numbers of progenitor cells and endothelial cell precursors that arefrequently used in stroke studies. In previous studies it has been shown thatintraarterial and intravenous administration of human umbilical cord blood MNCcan increase vasculogenesis.Objective Comparing the neurogenesis effect of intra arterial with intravenousdelivery of MNC to stroke model rats.Methods Experimental study using ischemic stroke model Wistar mice cerebralartery media obstruction, n 24 . The animals were divided into four groups normal control , stroke with placebo delivery, stroke with MNC intra arterialdelivery and stroke with MNC intravenous delivery. After two weeks treatmentmice were terminated and histologic preparations of brain are made and stainedwith Hematoxylin Eosin HE to determine cellular and tissue morphology changesand with immunohistochemical staining using anti Neun to determine the numberof neurons.Result Microscopic observation of HE staining slides showed existence of gliosisand shrunken cells in cortical area of stroke rats. There were significant differencesin outcomes between the placebo treated and MNC treated groups. From theimmunohistochemical staining results also obtained increasing numberof neurogenesis effect. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Handoko
"Tujuan: Penelitian ini membandingkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada serum maternal, darah tali pusat dan jaringan plasenta pada ibu hamil normal dan preeklamsia. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah sampel 86 pasien yang melakukan persalinan di RS Cipto Mangunkusumo dan RSUD Tangerang. Setelah itu data disajikan dalam tabel dan dianalisis dengan uji parametrik, yaitu uji-t berpasangan bila sebaran data normal atau uji non parametrik, yaitu uji Mann-Whitney bila sebaran data tidak normal Hasil: Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 serum maternal kelompok preeklamsia sebesar 16.30 6.20-49.00 ng/mL sedangkan pada sampel kelompok tidak preeklamsia, sebesar 13.50 4.80 ndash; 29.20 ng/mL di mana didapatkan nilai p = 0,459, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia sebesar 11.80 3.50 ndash; 38.60 ng/mL sedangkan kelompok tidak preeklamsia sebesar 11.70 1.00 ndash; 28.80 ng/m, di mana didapatkan nilai p = 0.964, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 49.00 22.00 ndash; 411.00 ng/mL. sedangkan kelompok tidak preeklamsia, sebesar 43.40 11.80 ndash; 153.00 ng/mL, di mana didapatkan nilai p 0.354 dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 serum kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.80 6.20 ndash; 41.90 ng/mL sedangkan kelompok preeklamsia awitan lanjut sebesar 18.00 7.00 ndash; 49.00 ng/mL dengan nilai p = 0,133, di mana tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.65 3.50 ndash; 38.60 ng/mL. sedangkan pada kelompok preeklamsia awitan lanjut, sebesar 12.65 6.40 ndash; 33.20 ng/mL. di mana didapatkan nilai p = 0.377 dengan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 79.00 36.00 ndash; 411.00 ng/g. sedangkan pada kelompok tidak preeklamsia sebesar 40.00 22.00 ndash; 171.00 ng/g. di mana didapatkan nilai p 0.006, dengan didapatkan perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum, tali pusat dan jaringan maternal pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum dan tali pusat pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia Terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada plasenta wanita preeklamsia dan tidak preeklamsiaKata kunci: 25- OH -vitamin D3, preeklamsia, serum, tali pusat, jaringan plasenta

Abstract Objective: This study is designed for comparing 25- OH -vitamin D3 levels in maternal serum, cord blood and placental tissue in non preeclampsia and preeclampsia pregnant women.Methods: This study is a cross sectional study with the number of samples of 86 patients who deliver in Cipto Mangunkusumo Hospital and Tangerang District Hospital. After that the data is presented in the table and analyzed by parametric test, ie paired t-test when the distribution of normal data or non parametric test, ie Mann-Whitney test when the data distribution is not normal..Results: The serum maternal 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 16.30 6.20-49.00 ng / mL while in the non-preeclamptic sample group, 13.50 4.80 - 29.20 ng / mL were obtained p = 0.459, with no statistically significant difference . The umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 11.80 3.50 - 38.60 ng / mL while the preeclampsia group was 11.70 1.00 - 28.80 ng / m, where p = 0.964 was obtained, with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissue in the preeclampsia group by 49.00 22.00 - 411.00 ng / mL. while the group did not preeclampsia, amounting to 43.40 11.80 - 153.00 ng / mL, where p value of 0.354 was obtained with no statistically significant difference Earning serum 25- OH -vitamin D3 serum pre-eclampsia group onset was 10.80 6.20 - 41.90 ng / mL whereas the onset of pre-eclampsia group was 18.00 7.00 - 49.00 ng / mL with p value = 0.133, where no statistically significant difference was obtained. The results of the umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of early onset preeclampsia group were 10.65 3.50 - 38.60 ng / mL. whereas in the onset of pre-eclampsia group, it was 12.65 6.40 - 33.20 ng / mL. where obtained p value = 0.377 with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels in placental tissue preeclampsia group of 79.00 36.00 - 411.00 ng / g. while in the pre-eclampsia group was 40.00 22.00 - 171.00 ng / g. where obtained p value of 0.006, with statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissueConclusion: There was no statistically significant difference in mean serum 25- OH -vitamin D3 levels in serum, cord blood and maternal tissue in women with preeclampsia and not preeclampsia. There was no statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels in serum and umbilical blood in pre-eclampsia and non-preeclampsia women. There were statistically significant differences in mean 25- OH -vitamin D3 levels in female placenta preeclampsia and not preeclampsia Keywords: 25- OH -vitamin D3, preeclampsia, serum, umbilical cord, placental tissue "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Nugroho Putri
"Asfiksia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatus. Deteksi dini asfiksia penting untuk mencegah keluaran buruk jangka pendek. Analisis gas darah tali pusat merupakan metode objektif untuk menilai hipoksia-asidosis janin yang merupakan dasar patologi asfiksia. Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama merupakan penelitian comparative cross-sectional untuk menilai hubungan pO2 vena, pCO2 arteri, ΔpO2 vena-arteri, ΔpCO2 arteri-vena tali pusat, dan fractional tissue oxygen extraction dengan keluaran sekunder, yaitu dengan skor Apgar <7 pada menit ke-5. Tahap kedua menggunakan desain nested case-control untuk menilai keluaran primer, yaitu keluaran buruk jangka pendek, meliputi perdarahan intraventrikular, ensefalopati hipoksik-iskemik, perawatan neonatal intensive care unit, serta kematian neonatal dini. Total subjek adalah 47 subjek. Tahap pertama penelitian hanya mendapatkan empat kasus sehingga tidak dapat dinilai hubungan dengan skor Apgar rendah menit ke-5. Tahap kedua penelitian mendapatkan 10 kasus dan 37 kontrol. Delta pO2 vena-arteri tali pusat lebih rendah bermakna (p=0,041), sedangkan fractional tissue oxygen extraction lebih rendah namun tidak bermakna (p=0,059) pada neonatus yang mengalami keluaran buruk jangka pendek dibanding tanpa keluaran buruk. Ketiga parameter lain tidak berhubungan dengan keluaran buruk jangka pendek. Titik potong optimal untuk memprediksi keluaran buruk jangka pendek neonatus adalah ≤3,35 mmHg (Sn=83,8%; Sp=60,0%) untuk ΔpO2 vena-arteri tali pusat dan ≤16,2% (Sn=81,1%; Sp=60,0%) untuk FTOE. Delta pO2 vena-arteri tali pusat (OR=7,75 (p=0,010; IK95% 1,66 – 36,01) maupun FTOE (OR=6,43; p=0,017; IK95% 1,42 – 29,08) prediktif terhadap keluaran buruk jangka pendek neonatus. Model prediksi dibuat menggunakan parameter FTOE.

Asphyxia remains one of the most common cause of morbidity and mortality in neonates. Early detection is crucial to prevent asphyxia-related short-term adverse outcomes. Umbilical cord blood gas analysis provides objective measurement of fetal hypoxia and acidosis which define asphyxia. This study aimed to evaluate association of umbilical cord venous pO2, arterial pCO2, arterio-venous ΔpCO2, veno-arterial ΔpO2, and fetal fractional tissue oxygen extraction (FTOE) ratio with neonatal short-term adverse events, including intracranial hemorrhage, hypoxic-ischemic encephalopaty, admission to neonatal intensive care unit, and early neonatal death, as primary outcomes, and low 5-minute Apgar score as secondary outcomes. We used nested case-control design to evaluate primary outcomes and comparative cross-sectional design for the latter. A total of 47 subjects were recruited. Low 5-minute Apgar scores were found in four subjects, which did not fulfill the minimum sample size requirement for analysis. Short-term adverse outcomes were found in 10 cases. Delta pO2 was significantly lower (p=0,041), while FTOE was lower albeit not statistically significant (p=0,059) in case compared to control group. The other three parameters failed to show any significant associations. Optimal cutoff value for pO2 was ≤3,35 mmHg with 83,8% sensitivity dan 60,0% specificity, and ≤16,2% for FTOE (Sn=81,1%; Sp=60,0%). Either umbilical veno-arterial ΔpO2 (OR=7,75; p=0,010; 95%CI 1,66 – 36,01) or FTOE (OR=6,43; p=0,017; IK95% 1,42 – 29,08) was predictive for neonatal short-term adverse outcomes. A prediction model was developed for FTOE."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sanny Kusuma Sary
"Masa yang paling rentan sepanjang kehidupan anak adalah masa neonatus dengan kematian paling banyak terjadi dalam minggu pertama kehidupan. Penyebab kematian tertinggi adalah kelahiran prematur, asfiksia, infeksi dan cacat lahir. Deteksi dini dengan pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk memahami faktor yang berpengaruh terhadap keluaran buruk dalam menentukan pengawasan ketat dan tindakan intervensi dengan segera. Pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan darah tali pusat dapat menjadi solusi. Penelitian ini menganalisa hubungan antara kadar glukosa, hemoglobin (Hb) dan nilai hematokrit (Ht) darah tali pusat dengan keluaran buruk jangka pendek neonatus yang terdiri dari skor Apgar 5 menit < 7, IVH, distres napas atau kardiovaskular yang butuh perawatan intensif, diagnosis sepsis neonatorum dan kematian neonatus. Empat puluh empat subjek yang terdiri dari 22 subjek dengan keluaran buruk dan 22 subjek tanpa keluaran buruk diikutsertakan dalam penelitian ini. Rerata kadar glukosa, Hb dan nilai Ht pada kelompok neonatus dengan keluaran buruk lebih rendah dari kelompok neonatus tanpa keluaran buruk. Terdapat hubungan antara kadar glukosa, Hb dan nilai Ht dengan tingkat kejadian keluaran buruk jangka pendek neonatus. Parameter kadar glukosa, Hb dan nilai Ht masing-masing memiliki area under curve (AUC) 70,6%; 71,1% dan 65%. Analisis regresi logistik menghasilkan model probabilitas keluaran buruk menggunakan parameter metode persalinan, usia kehamilan dan kadar Hb tali pusat dengan titik potong 15,55 g/dL.

The most vulnerable period throughout a children life is neonatal period with most deaths occurring in the first week of life. The leading cause of death are prematurity, asphyxia, infection and birth defects. Early detection using laboratory testing is needed to understand factors that influence bad outcomes and to determine intensive care or immediate intervention. Laboratory testing using umbilical cord blood sample can be a solution. This study analyzed the relationship between cord blood glucose, hemoglobin (Hb) levels and hematocrit (Ht) values with short-term neonatal bad outcomes consisting of 5-minute Apgar score less than 7, intraventricular hemorrhage (IVH), respiratory or cardiovascular distress requiring intensive care, diagnosis of neonatal sepsis and neonatal death. Forty-four subjects consisting of 22 subjects with bad outcomes and 22 subjects without bad outcomes were included in this study. The mean glucose, Hb levels and Ht values in the group of neonates with bad outcomes were lower than the group of neonates without bad outcomes. There is a relationship between glucose, Hb levels and Ht values with the incidence of short-term neonatal adverse outcomes. Cord blood glucose, Hb levels and Ht values each have an area under curve (AUC) of 70.6%; 71.1% and 65%. Logistic regression analysis showed a bad outcome probability model using delivery method, gestational age and the cord blood hemoglobin levels cut-off point of 15,55 g/dL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>