Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cecep Effendi
"Sumatra Timor, sekalipun telah di kenal oleh orang-orang Eropa semenjak kontak mereka yang pertama di Asia Tenggara pada abad ke 16 tetap nerupakan daerah yang secara ekonomi terpencil dan secara politik tidak menarik perhatian. Daerah ini terbentang 400 Km dari Tamia_ng di sebelah Utara sampai ke Indragiri di Selatan. Sumatra Timur di penuhi oleh hutan belantara yang lebat di mana terdapat bukit bukit dari daerah pesisir sampai ke pegunungan Bukit Barisan. Penduduk Sumatra Timur terdiri dari penduduk Batak di pedalaman sebelah Utara penduduk Minangkabau di tepi-tepi sungai di Selatan dan penduduk Me_layu yang berbaur dan senantiasa di pengaruhi oleh penduduk Batak, . Aceh dam Minangkabau. Sampai pada pertengahan abad ke 19, di Sumatra Timur terdapat se_jumlah kerajaan kecil di daerah pesisir dan terdapat lebih banyak di daerah pedalaman. Wilayah kerajaan -kerajaan ini menjadi rebutan dan pengaruh antara Aceh di Utara dan Johor di Malaya. Dengan kedatangan perusahaan-perusahaan asing yang di rintis oleh Jacobus Nienhujs serta keterlibatan pemerintah kolonial Belanda, maka Sumatra Timur menunjukkan potensi besar sebagai daerah penghasil dari tanaman-taman exsport seperti tembakau dan karet. Dalam waktu yang kurang dari enam puluh tahun, Sumatra Timur mengalami perubahan yang dramatis. Pada tahun 1930 Sumatra Timur telah npnjadi daerah penghasil tembakau dan karet terbesar di Hindia Belanda. Bersamaan dengan meningkatnya penanaman tembakau, raja-raja Melayu di perkuat posisinya. Hal ini terjadi melalui kontrak yang mereka buat dengan fihak perusahaan-perusahaan perkebunan asing. Perluasan areal perkebunan tembakau, karet dan kopra, telah mempersempit lahan lahan pertanian rakyat setempat. Hal ini dalam tahun 1930an mengakibatkan terjadinya krisis kekurangan tanah yang serius dalam tahun 1920an. Meningkatnya perluasan areal daerah penanaman tembakau telah men_dorang perusahaan-perusahaan perkebunan untuk memenuhi. kebutuhan kuli kuli. Penduduk setempat yang hidup dalam pola pertanian berladang menolak untuk menjadi kuli-kuli perkebunan. Keengganan penduduk asli menjadi kuli-kuli perkebunan untuk mendatangkan kuli-kuli dari Cina dan kemudian dari Jawa. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola kependudukan, mayoritas penduduk asli Melayu dan Batak berubah minoritas sementara pendatang Jawa menjadi penduduk mayoritas di Sumatra Timur. Untuk menjamin, bahwa kuli-kuli yang di datangkan dengan biaya perusahaan-perusahaan perkebunan, pemerintah kolonial Belanda atas desakan dari perusahaan-perusahaan perkebunan., memberlakukan peraturan' yang memberikan sangsi kepada kuli-kuli yang tidak bekerja sebagaimana yang tercantum dalam kontrak mereka atau yang melarikan diri dari pekerjaan mereka. Peraturan ini terkenal sebagai Poenale Sanctie. Kuli-kuli yang menarik diri atau tidak memenuhi kewajiban kerja mereka dapat dikenakan sangsi hukuman penjara. Depresi ekanomi yang terjadi pada akhir tahun 1920-an memberi pukulan tidak hanya terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan asing harus memotong areal produksi, mengurangi jumlah tenaga kerja serta menurunkan harga, akan tetapi juga memukul kehidupan penduduk yang bergantung kepada perusahaan-perusahaan perkebunan. Tanah jaluran yaitu tanah-tanah yang di tinggalkan oleh perusahaan-penisahaan per_kebunan setelah masa panenan selesai untuk digarap oleh para petani peladang. Seperti yang di ketahui, penanaman teuibakau mempergunakan tanah-tanah perkebunannya secara berorasi setiap tahun. Tanah yang telah dipetik hasil tembakaunya ditinggalkan untuk berpindah kepada tanah baru yang masah kosong. Berkurangnya tanah-tanah jaluran se_bagai akibat menurunnya areal produksi perusahaan perkebunan telah menimbulkan persaingan di antara penduduk setempat yaitu Batak dan Melayu yang mengklaim mmiiliki hak-hak istimewa sebagai penduduk asli atas tanah-tanah di Sumatra Timur dengan bekas-bekas kuli-kuli kontrak yang menetap dan bekerja di Sumatra Timur dari pada pulang kembali ke kampumg halaman mereka di Jawa. Sikap raja-raja Melayu dan Batak yang lebih memberikan perhatian kepada keuntungan yang mereka dapat peroleh dari perusahaan-perusahaan perkebunan asing ketimbang terhadap kepentingan rakyat Sumatra-Timur, di samping kegagalan pemerintah kolonia1 Belanda untuk memberikan perlindungan terhadap kuli-kuli di perkebunan-perkebunan, telah mendorong pembentukan organisasi-organisasi pergerakan di Sumatra Timor pada tahun 1910an dan 1920an. Masalah-masalah kekurangan tanah yang di alami oleh penduduk Batak dan Melayu serta keresahan kuli kuli perkebunan sebagai akibat tindakan yang tidak berperikenanusiaan dari assistent-assistent perkebunan telah menjadi bahan pemberitaan surat-surat kabar lokal di Sumatra Timur. Perbaikan sarana komunikasi yang menghubungkan Jawa dan Sumatra Timur, memungkinkan masuknya berbagai ide-ide baru seperti Islam reformis, Komunisme dan Nasionalisme ke Sumatra Timur. Sekalipun damikian persoalan yang dominan tetap di tandai oleh keresahan terhadap exsploitasi perusahaan-perusahaan perkebunan terhadap kuli-kuli maupun menyempttmya lahan-lahan pertanian di Sumatra Timur. Di samping itu, organisasi-organisasi pergerakan di Sumatra Timur di dominasi oleh pemimpin-pemimpin yang berasal dari Jawa, Minangkabau. Penelitian ini berusaha melihat usaha yang dilakukan oleh para pemimpin organisasi pergerakan di Sumatra Timur dalam menyalurkan keresahan-keresahan penduduk menghadapi tekanan ekonomi perkebunan yang memperoleh dukungan pemerintah kolonial Belanda. Penelitian ini juga memberikan perhatian pada masalah-masalah yang mempengaruhi perluasan surat kabar-surat kabar di Sumatra Timur, ketidak puasan terhadap raja-raja setempat serta meluasnya tindak kekerasan sebagai akibat pe berlakuan Poenale Sanctie di perkebunan-perkebunan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S12208
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Onny Wijayanti
"Tulisan ini merupakan suatu deskriptif kronologis mengenai Berdiri dan Rubarnya Negara Sumatera Timur (NST) sampai terbentuknya Negara Kesatuan. Cikal Bakal Berdiri_nya Negara Sumatera Timur berawal pada tahun 1938 sejak berdirinya Persatuan Sumatera Timur kemudian lambat laun membentuk Negara Sumatera Timur pada tahun 1947 dan kemudian meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur politis yang terlibat di dalam peristiwa tersebut, selain itu juga ingin mengetahui hal-hal apakah yang menyebabkan Negara Sumatera Timur (NST) relatif tidak lama berdiri dan kemudian meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12740
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Clinton
"Studi ini dirancang untuk menggambarkan dinamika kehidupan pekerja kontrak Jawa di Deli, Sumatra Timur selama depresi ekonomi 1930-1942. Awal abad ke-20 menjadi awal masuknya sejumlah besar kuli Jawa ke perkebunan Sumatera Timur. Alasan merekrut kuli Jawa semakin sulit mendapatkan kuli dari Cina dan semakin meluas. Para kuli Jawa ini direkrut dari desa-desa Jawa miskin dengan tujuan untuk menjadi lebih baik. Tesis ini menggunakan metode penelitian sejarah. Hasil dari penelitian ini adalah diskusi tentang kesejahteraan kuli Jawa yang telah menurun sejak mereka bekerja di perkebunan. Depresi ekonomi yang melanda Sumatera Timur pada awal 1930-an membuat sosial ekonomi kuli Jawa semakin miskin dan lebih khusus kuli Jawa yang dipecat dari perkebunan. Kuli yang dipecat dari suatu tempat untuk mencari pekerjaan lain dengan bermigrasi ke kota dan beberapa digunakan oleh kuli yang tidak bekerja. Mereka yang melakukan kejahatan untuk mendapatkan uang. Mereka yang melakukan kejahatan akhirnya dikirim kembali ke Jawa. Sementara itu, mantan kuli yang bekerja dengan baik dapat berbaur dengan penduduk asli Sumatera Timur. Dengan demikian, para mantan kuli yang berbaur dengan komunitas ini akan menjadi kelompok etnis terbesar di Sumatera Timur.

This study was designed to describe the dynamics of the life of Javanese contract laborers in Deli, East Sumatra during the economic depression of 1930-1942. The beginning of the 20th century became the beginning of the entry of large numbers of Javanese coolies into East Sumatra plantations. The reason for recruiting Javanese coolies was getting difficult to get coolies from China and increasingly widespread. These Javanese coolies were recruited from poor Javanese villages with the aim of getting better. This thesis uses historical research methods. The results of this study are discussions of the welfare of the Javanese coolies who have declined since they worked on the plantation. The economic depression that struck East Sumatra in the early 1930s made the socio-economic of Javanese coolies increasingly poorer and more specifically Javanese coolies who were fired from plantations. Coolie who was fired from a place to find another job by migrating to the city and some are used by coolies who do not work. Those who commit crimes to get money. Those who made the crime were eventually sent back to Java. Meanwhile, ex-coolies who work well can blend in with the native people of East Sumatra. Thus, the ex-coolies who blend in with this community will become the largest ethnic group in East Sumatra."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sayuti Fitri
"ABSTRAK
Proklamasi kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, diikuti dengan keputusan-keputusan membentuk 3 (tiga) wadah perjuangan (PNI, KNI dan BKR) membutuhkan waktu lama untuk direalisasikan di Sumatera. Bahkan BKR tidak sempat terbentuk di wilayah ini. Mr. M. Hasan sebagai gubernur dan dr. Amir sebagai wakil gubernur bersikap ragu-ragu untuk menjalankan keputusan-keputusan pemerintah pusat itu.
Faktor mendasar membuat mereka ragu-ragu adalah kenyataan bahwa ada polarisasi yang tajam/tinggi menjelang akhir pemerintah Belanda, antara kerajaan (Swapraja atau Ze1f-Bestuur: Melayu, Simalungun dan raja-raja karo). di satu pihak dan kaum nasionalis di pihak lain. Pendudukan Jepang tetap menghidupkan konflik
M. Hasan dan dr. Amir ragu apakah masyarakat yang selama ini diperintah sultan dan raja secara ketat apakah akan mendukung atau tidak segala kebijaksanaan yang akan diambil. Di samping itu, ketidakjelian Hasan dan Amir dalam mencari dukuagan di kalangan nasionalis yang dapat diajak bekerjasama, juga merupakan faktor penghambat.
Perjuangan kemerdekaan di Sumatera timur secara dominan dijalankan oleh badan-badan perjuangan atau laskar rakyat. Masing-masing partai politik yang berdiri sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 mempunyai badan perjuangan atau laskar rakyatnya tersendiri. Partai Nasio_nalis Indonesia (PNI) adalah partai yang paling aktif membina laskar rakyat. Mereka membentuk Nasional Pelopor Indonesia (NAPINDO).
Dalam NAPINDO, kepemimpinannya sebagian besar dipegang oleh para kaum nasionalis dari masa pemerintah kolonial Belanda, para nasionalis yang telah memanfaatkan badan-badan bentukan militer Jepang dan para pemuda nasionalis yang bergerak di bawah tanah.
Di dalam perjuangannya, di samping melakukan perlawanan bersenjata, NAPINDO juga mendirikan pusat-pusat perekonomian rakyat--seperti PUSERA --yang telah terbentuk sejak jaman pendudukan Jepang. Tujuan utama pendirian PUSERA adalah untuk menghidupkan perekonomian rakyat dan memperlemah pere_konomian Jepang.
Dua strategi--perlawanan bersenjata dan mendidikan pusat-pusat ekonomi--yang secara konsisten dijalankan oleh lasykar NAPINDO, yang menjadi faktor yang menentukan berdiri dan tegaknya proklamasi kemerdekaan di Sumatera Timur.

"
1990
S12648
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardi Thesianto
"ABSTRAK
Token perkebunan adalah uang yang dikeluarkan oleh perusahaan perkebunan untuk membayar gaji para pekerjanya, yaitu para kuli. Jadi token perkebunan merupakan alat tukar yang berlaku di perkebunan-perkebunan, khususnya di Sumatera Timur. Dalam penelitian ini digunakan metode klasifikasi taksonomi yang bertujuan membentuk tipe, dan dalam tahap penafsiran data digunakan pula pendekatan sejarah, terutama yang berhubungan dengan kehidupan di perkebunan. Pada penelitian ini secara garis besar, token perkebunan Sumatera Timur terbagi dua, yaitu logam dan kertas. Dari basil pengamatan diketahui terdapat sedikit perbedaan dalam cara penggunaan kedua jenis token tersebut. Janis yang terbuat dari logam dapat digunakan berulang kali, sedangkan yang terbuat dari kertas hanya dapat dipergunakan sekali saja. Hal ini dapat diketahui dari adanya berbagai macam tulisan tambahan seperti cap, nomer, dan tanda tangan yang merupakan tanda sahnya sebuah token yang terbuat dari kertas. Hal lain yang juga menarik adalah bervariasinya bentuk dari token, khususnya yang terbuat dari logam. Hal ini dimungkinkan karena setiap perkebunan umumnya mengeluarkan token sendiri, dan terkadang juga pihak perkebunan menunjuk pihak-pihak lain untuk mengeluarkan token, umumnya mengeluarkan token sendiri. Dari hasil pengamatan, diketahui pula bahwa digunakannya lebih dari satu macam huruf dan bahasa pada kedua jenis token kemungkinan ditujukan untuk memudahkan dalam hal penggunaan, serta mencerminkan komponen pendukung keberadaan token tersebut yang berasal dari berbagai bangsa, baik itu pihak perusahaan perkebunan, kuli ataupun pihak-pihak lain yang berhubungan dengan perkebunan.

"
1996
S11748
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sugihartiningsih S.
"Pemogokan buruh pernah terjadi di beberapa perusahaan seperti perusahaan air minum, listrik, kereta api dan perusahaan perkebunan. Salah satu kasus pemogokan buruh yang penulis ungkapkan adalah kasus pemogokan buruh perkebunan di Sumatera Timur dari tahun 1950-1958.
Memang penulis mengalami kesulitan dalam mengungkapkan semua kasus pemogokan buruh di perkebunan Sumatera Timur, oleh karena itu penulis mencoba untuk mengungkapkan beberapa kasus sebagai mewakili dari kasus pemogokan lainnya. Sementara itu penulis memilih kasus pemogokan yang berhasil dan kasus pemogokan yang tidak berhasil di perkebunan Sumatera Timur setelah kasus-kasus diseleksi berdasarkan pertimbangan sumber-sumber yang ada.
Penulis mempergunakan metode deduktif dalam membahas masalah kasus-kasus pemogokan secara umum, yang kemudian penulis baru memusatkan perhatian secara khusus pada pembahasan kasus-kasus pemogokan yang telah dipilih sebagai obyek penulisan skripsi.
Penulis memperoleh data-data dari beberapa perpustakaan terutama perpustakaan BKSPPS, Medan (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Swasta) yang cukup menyediakan arsip-arsip pemogokan buruh perkebunan di Sumatera Timur pada tahun 1950-an. Penulis berusaha menganalisis data-data tersebut apakah relevan atau tidak dengan obyek pe_nulisan skripsi. Selain itu penulis menginterpretasikan data-data yang ada untuk menutupi kekurangan data-data yang lainnya.
Penulis menyimpulkan bahwa pemogokan buruh perkebunan disebabkan oleh rasa ketidakpuasan pihak buruh terhadap kebijaksanaan majikan. Ketidakpuasan pihak buruh menjadi sebab-sebab pemogokan. Sebab-sebab pemogokan buruh perkebunan tidak saja disebabkan oleh sebab ekonomi saja, melainkan pemogokan buruh perkebunan Sumatera Timur dipengaruhi juga oleh sebab politik, sosial maupun psikologi.
Proses penyelesaian pemogokan buruh perkebunan cukup lama, karena masing-masing pihak tripartie (pihak buruh, majikan dan pemerintah) mempunyai interpretasi yang ber_beda, sehingga pihak buruh tidak selalu puas terhadap keputusan yang telah ditetapkan majikan maupun pemerin-tah. Pemerintah telah menetapkan peraturan yang menga_tur perselisihan perburuhan, namun peraturan itu tidak berhasil pelaksanaannya, kaena pemogokan buruh perkebunan masih saja terjadi dan buruh menganggap bahwa pemogokan hanya dapat dihentikan bukan dengan peraturan itu tetapi dengan dipenuhi tuntutan mereka."
1990
S12581
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eki Ubayakti
"Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), hampir sebagian besar rakyat telah mengalami berbagai kesulitan hidup. Dari mulai penderitaan ekonomi, perlakuan yang semena-mena, sampai pada kenistaan hidup, semua berbaur menjadi suatu image yang sampai kinipun sulit untuk dilupakan, terutama bagi yang mengalaminya. Terlepas dari citra buruk yang disandang oleh Pemerintahan Militer Jepang itu, namun ada juga suatu kesempatan yang diberikan mereka yang telah membawa manfaat untuk sebagian dari masyarakat kita, yaitu dengan diberikannya pendidikan militer bagi pemuda-pemuda pribumi. Institusi militer ini dikenal di Sumatra Timur (sekarang Propinsi Sumatra Utara dikurangi. Tapanuli dan Sibolga) dengan nama Gyu-gun atau Tentara Sukarela. Maksud dari dibentuknya Gyu-gun adalah untuk membantu dan mempermudah tugas-tugas tentara Jepang dalam perang. Dalam skripsi ini penulis ingin melihat bagaimana Gyu-gun dibentuk di Sumatra Timur. Setelah menelusuri later belakang dan tujuan pembentukan Gyu-gun, kemudian penulis melihat adanya sesuatu yang istimewa dari hasil dibentuknya Gyu-gun, Dengan di bentuknya Gyu-gun di Sumatra Timur, maka untuk pertama kalinya dikenal pendidikan militer dalam arti sesungguhnya. Ini penting artinya, karena sebagian besar mantan anggota Gyu-gun inilah yang kemudian bergabung dalam TKR yang turut berperang dalam Perang Kemerdekaan, dan seba_gian dari mereka inilah yang kemudian menjadi instruktur-_instruktur dalam latihan kilat kemiliteran untuk calon-calon perwira TKR di Sumatra Timur."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12338
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1978
919.25 TEN l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Usman Pelly
"Both ecological and population changes are important factors to encourage social and cultural changes in a society. Such changes might not be absorbed and accepted if it against community cultural values and it might raises and inner obsession. Hence, it leads missing cultural ethos and identity in society. This article elaborates those problems - from historical perspective - with a case of Malay people In East Sumatera. The ecological and population changes have happened since 19th century when Dutch founded wide plantations. With coming of various ethnic groups to East Sumatera, it insisted Malays to be minority in terms of occupation, political government, business and number of population especially in urban areas. It occurred necession and indifferent attitude (apathy) of Malay towards the fast changes. "
1991
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Restiyadi
"ABSTRAK
Uang yang berfungsi sebagai alat tukar menyimpan berbagai makna tersembunyi dalam praktik sosialnya di masyarakat. Salah satu yang menarik adalah keberadaan uang kebon yang digunakan oleh para Tuan Kebun dalam hal iini berlokasi di Tanah Deli atau yang lebih dikenal dengan Sumatera Timur. Dalam konteks ini terdapat sebuah permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan uang kebon yaitu bagaimakah praktik kolonialisme pada saat itu, yang tercermin dalam uang kebon? Melalui pisau bedah arkeologi Marxis didapatkan makna uang kebon sebagai alat prakatik hagemoni yang dilakukan oleh para Tuan Kebun terhadap Kuli/pekerjanya."
Medan: Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2017
930 BAS 20:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>