Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lathiefah Widuri Retyaningtyas
"Penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana gerakan feminis transnasional membingkai isu-isu perempuan dalam hubungan internasional. Gerakan feminis transnasional adalah gerakan untuk memajukan hak asasi perempuan yang bekerja serentak baik pada tingkat lokal, nasional maupun global. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus tunggal terhadap Delhi Gang-Rape 2012. Dengan menggunakan perspektif feminis transnasional, penelitian ini menunjukkan bahwa gerakan feminis transnasional berhasil menimbulkan kesadaran terhadap hak-hak dan perlindungan perempuan khususnya dalam isu melawan perkosaan, turut mendorong terjadinya perubahan kebijakan di India dalam meredefinisikan dan mereformasikan hukum serta undang-undang mengenai perkosaan, turut mempelopori penggunaan media sosial sebagai mesin penggerak ekspresi perlawanan terhadap perkosaan. Kemampuan feminis transnasional memengaruhi media massa nasional dalam mengadvokasi isu perkosaan sebagai kejahatan kemanusiaan telah berhasil mendorong perubahan struktur birokrasi di India. Dengan begitu gerakan feminis transnasional menjadi salah satu aktor HI non-negara yang dapat mempengaruhi interaksi di tingkat lokal, nasional dan maupun global.Kata kunci: Feminis Transnasional, Perkosaan, Perkosaan Berkelompok.

This study aims to analyze how transnational feminist movements frame women 39 s issues in international relations. The transnational feminist movements is a movement to promote the rights of women working simultaneously at the local, national and global levels. This study utilizes qualitative methods with a single case study of the 2012 Delhi gang rape. Employing a transnational feminist perspective, this study shows that transnational feminist movements succeeded in raising awareness of women 39 s rights and protection, especially on the issue of rape. Transnational feminist movements have also contributed to policy changes in India in redefining and reforming laws on rape, as well as pioneering the use of social media as a medium for expression against rape. The ability of transnational feminists to influence national mass media in advocating the issue of rape as a crime against humanity has succeeded in inducing change in bureaucratic structures in India. Thus, the transnational feminist movement has become a non state actor in IR capable of influencing interaction at the local, national and global levels.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T51525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savino, John O.
Amsterdam: Elsevier, 2011
363.25 SAV r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Titis Prawitasari
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2005
T59060
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ehrlich, Susan
London: Routledge, 2001
345.73 EHR r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Purwadianto
"Perkosaan memang belum akan segera lenyap dari muka bumi karena walaupun secara moral telah dikecam segenap manusia, namun sistem kemasyarakatan dan hukum "tanpa sadar" masih mempertahankannya. Hampir semua definisi hukum mengakui hubungan dyadic timpang yang menempatkan perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pemerkosanya. Dalam perkosaan terdapat trias yakni penderitaan korban, kebrutalan pemerkosa dan ketidakadilan jender. Trias perkosaan berpengaruh dalam pembuktian mediko-legal saat ini, sehingga adalah utopis diperoleh bukti utama-ideal bila terjadi korban tidak diperiksa secara forensik klinik atau ada keterlambatan lebih dari 3 hari pasca-perkosaan, sehingga yang muncul hanya bukti medik & biomedik berkategori lebih rendah atau tidak ada sama sekali yang kurang atau tidak meyakinkan hakim.
Perkosaan berdasarkan kajian teori epistemologis HAM Alan Gewirth dan analisis kritis James W. Nickel merupakan pelanggaran inti dasar sekaligus keseluruhan dari trias hak-hak asasi perempuan (HAP) masing-masing hak atas persamaan (HAP-1), hak atas otonomi (HAP-2) dan hak integritas pribadi (HAP-3); jugs trias hak reproduksi perempuan (HRP) masing-masing hak atas perencanaan dan informasi keluarga (HRP-1), hak atas pelayanan prima kesehatan reproduksi & seksual (HRP-2) dan hak atas nirdiskriminasi reproduksi (HRP-3) yang kesemuanya merupakan bagian tak terpisahkan dari trias hak asasi manusia (HAM) John Locke yang relevan yakni hak atas kehidupan (HAM-1), hak atas kebenaran (HAM-2) dan hak atas kepemilikan pribadi (HAM-3).
Feminisme dengan aliran teorinya seperti liberal, radikal, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalisis, postmodernlmultikultural dan ekofeminis secara apropriatif berguna dalam membantu merefleksikan trias perkosaan, khususnya perempuan-terperkosa yang terpasung atau terdominasi oleh sistem patnarki yang menyebabkan kekerasan jender. Melalui etika feminis (etika kasih, etika kepedulian) dan trias metodologi hukum feminis dilakukan dekonstruksi landasan filosofis metodologi pembuktian mediko-legal perkosaan saat ini yang senantiasa menyebabkan ketidakadilan bagi korban-terperkosa. Perempuan korban menurut Rawls merupakan pihak yang paling kurang diuntungkan yang berhak mendapat perbedaan perlakuan hukum.
Dongkrakan reflektif guna mencapai kebenaran epistemologis multimetodologi pembuktian mediko-legal perkosaan memunculkan trio pihak yang terlibat : (1) Visum et Reperturn VeR "klasik" saat ini (yang dibuat oleh dokter bidang forensik klinik di "lingkaran luar" korban, seperti dokter spesialis kebidanan & kandungan dan dokter terlatih lainnya dengan menggunakan metode manusia biomedik yang positivistik-reduksionistik-mekanistik yang identik dengan ketubuhan anatomis korban; (2) VeR Holistik oleh dokter di "lingkaran luar""plus" karena disertai psikiater/psikolog di "lingkaran dalam" korban menggunakan model manusia infomedik yang holistik-sibernetik identik dengan tubuh semi-diskurisif korban sebagaimana Protokol Jakarta dalam menguak kasus perkosaan massal Mei 1998 lalu dan (3) VeR Eksistensialistik yang menggunakan metode fenomenologi-eksistensial yang menampilkan kesaksian korban sebagai subyek-eksis diikuti dengan hermeneutika oleh pelbagai ahli "lingkaran dalam" korban, termasuk dokter/psikiater atau relawan-ahli pendamping terhadap tubuh diskursif korban. Gabungan ketiga VeR di atas membentuk VeR Komprehensif yang disusun bersama oleh semua komponen "lingkaran luar & dalam" dalam rangka mencapai keadilan berperspektif korban dengan memakai intersubyektivitas dialogisemansipatorik antar ahli melalui etika diskursus komunikasional Habermas. Dengan VeR Komprehensif diharapkan hakim berkeyakinan pasti secara lebih teguh bahwa pemerkosa terbukti bersalah melakukan perkosaan dan karenanya dijatuhi sanksi setimpal.

Rape, a crime of sexual assault, is still actual It happens daily, in spite of the fact that it is a strongly disapproved, even condemned and morally unacceptable, act. Although rape survivors and victims include men and children, most of the existing rape laws are not accordingly designed; they are fabricated by and in use in patriarchal society, that prejudicially approaches rape cases with the idea that men were the only possible perpetrators and only women could legally be the victims.
Gendered social injustice (the third of rape "triad') plays a significant role in collecting and documenting medico-legal evidences, next to the victims suffering (the first triad) and the perpetrator 's brutality (the second triad). International studies shows that only a small percentage of rape victims/survivors did go to the police to report the sexual assault, or sought medical care for their physical injuries. And only a very small percentage of these women underwent clinical forensic examination. When they did, it is almost always days later, while the ultimate ideal main-medical/biomedical evidences taken later than 3 (three) days after the assault took place is not valid as scientific proof in court.
Rape, according to human rights epistemology of Alan Gewirth and critical analysis of James W. Nickel theory, violate the total as well as the central-core of the triad of women's rights e.g. the right of equality (1s) , autonomy (2nd) , and personal integrity right (3rd) also the triad of women's reproductive rights e.g. the freedom to plan the number, spacing and timing of their children and to have the information and means to do so (1'd), right to attain the highest standard of sexual and reproductive health (2"d) and reproductive free discrimination, coercion and violence (3rd) as an indivisible and in separable part of human rights, especially from John Locke 's category e.g. the right to life (IS), to freedom (2nd) and personal property right (3rd)
Each theory of feminism, e.g. liberal, radical, Marxist, socialist, existentialist, psychoanalyst, postmodern/multicultural and ecofeminist has an important role supporting the reflection toward the rape triad, that oppressed, subordinated and alienated the rape-victim with gender-based violence. Feminism based on women 's perspective of feminist ethics (caring ethics, ethics of love) and feminist legal method, as the deconstruction method of the patriarchy, will strengthen the fundamental principles of new methodology more justly toward the rape-victims. Raped-women, as said by Rawls, were the least advantage parties, that morally have the right to treat differently to emancipate them.
There are three parties improving the philosophical grounds of multi-methodology on medico-legal evidences which should be enacted as a way to reach the epistemological truth of rape: (1) the "Classical''/existing Visum et repertum (medical expertise) based on positivistic-reductionistic-mechanistic approach of a biomedical as well as her given/anatomical body model made by clinical forensic specialist (e.g. obstetric gynecologist or well-trained general practitioner) as an "outer circle" of the victim, (2) the "Holistic" expertise based on cybernetic approach of an info medical as well as her "semi-discursive" body model made both by clinical forensic specialist ( "outer circle') and psychiatrist or psychologist ("inner circle" of the victim), and (3) the "Existentialistic" expertise made by the rape-victim 's testimony based on the existential phenomenological method as well as the hermeneutical of the victim's discursive body. The "Comprehensive" expertise, a combination of three expertise mentioned above through the Habermas' communicational discourse ethics, will give the court the epistemological truth of rape. It will lead to the judges' certainties to punish the perpetrator in a real just sanction."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
D470
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anjani Murti Indra Hapsari
"Sikap menyalahkan korban pemerkosaan yang berkembang di masyarakat menjadikan pemerkosaan salah satu jenis kejahatan yang paling banyak tidak dilaporkan. Penerimaan masyarakat terhadap mitos pemerkosaan dipengaruhi oleh pandangan yang konservatif, seperti peran gender seksis pada budaya patriarkal yang lahir dari ajaran agama yang kuat di masyarakat. Berbagai penelitian berusaha mengungkap peran religiusitas terhadap penerimaan mitos pemerkosaan dan menemukan bahwa religiusitas pada mahasiswa pria memiliki korelasi dengan penerimaan mitos pemerkosaan. Penelitian ini menguji adanya hubungan antara penerimaan mitos pemerkosaan dan religiusitas pada mahasiswa pria di Jakarta dan sekitarnya dan menemukan adanya hubungan negatif yang signifikan (r = -0,150*; p = 0,022; LoS = 0,05). Peneliti menyarankan penelitian lebih lanjut dan intervensi untuk mengurangi berkembangnya penerimaan mitos pemerkosaan khususnya di institusi pendidikan.

Blaming the rape victims is one issue that evolved in our society, making rape as one of the criminal scenes most underreported. Rape myth acceptance is influenced by conservative beliefs, such as sexist gender role in patriarchy culture that was born from strong religious core in certain community. Several studies were conducted to examine the relationship between rape myth acceptance and religiosity and most found that religiosity in male college students correlated with rape myth acceptance. This research is held to find the connection between rape myth acceptance and religiosity in male college students in Jakarta and the surrounding areas and found significant negative correlation (r = -0,150*; p = 0,022; LoS = 0,05). Researcher suggested further studies to be conducted and also intervention to decrease the development of rape myth acceptance, especially in educational settings."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55442
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Audilla
"ABSTRAK
Gerimis yang Sederhana? karya Eka Kurniawan adalah sebuah cerpen yang mengandung unsur sejarah tentang pemerkosaan perempuan etnis Tionghoa pada Tragedi Mei 1998. Melalui penelitian ini, penulis ingin menunjukkan bahwa sebuah karya sastra dapat merekam peristiwa sejarah yang mungkin tidak terungkap di masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode analisis pustaka dengan tinjauan sosiologi sastra berdasarkan latar sejarah dan tempat peristiwa. Konflik batin tokoh Mei akan dianalisis dengan tinjauan psikologi sastra. Berdasarkan analisis cerpen ?Gerimis yang Sederhana? terlihat bahwa Tragedi Mei 1998 membawa pengaruh besar bagi kehidupan tokoh Mei. Ia masih menyimpan luka batin meskipun telah meninggalkan Jakarta dan tinggal di Amerika Serikat selama belasan tahun.

ABSTRACT
Gerimis yang Sederhana? by Eka Kurniawan is a short story that contains elements of the history about the rapings of Chinese women during the May 1998 Tragedy. Through this study, the researcher wanted to show that a literary work can record historical events that may not be revealed in public. This study uses literature analysis with a review of the sociology of literature based on the historical background and events. Inner conflict of Mei figures will be analyzed with a review of psychological literature. Based on the analysis of the short story "Gerimis yang Sederhana" showed that the May 1998 Tragedy had great influence on the lives of Mei. She kept the emotional wounds although she had already left Jakarta and lived in the United States for a dozen years.
"
2016
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Alwiyah Sylvia
"Mitos pemerkosaan adalah sikap dan kepercayaan yang secara umum keliru namun diterima secara luas serta terus dipertahankan, dan berfungsi untuk menyangkal terjadinya agresi seksual serta membenarkan agresi seksual laki-laki terhadap perempuan. Sementara itu seksisme adalah konsep yang menekankan dua komponen yaitu rasa benci atau permusuhan terhadap perempuan dan sikap positif yang subjektif terhadap perempuan terkait idealisasi peran gender tradisional perempuan. Penyebaran seksisme dan mitos pemerkosaan salah satunya adalah melalui internet, di mana konten seksisme dan pemerkosaan ditampilkan dalam bentuk lelucon yang menghina atau disparagement humor. Pada penelitian ini, kami menguji apakah terdapat hubungan antara seksisme dengan penerimaan mitos pemerkosaan pada penikmat lelucon dunia maya.

Rape myths are attitudes and beliefs that are generally false but are widely and persistently held, and that serve to deny and justify male sexual aggression against women. While sexism is a concept that emphasized two components, which are of hostility towards women and the subjectively positive attitude of the endorsement of the female traditional gender roles. Sexism and rape myth acceptance could spread in many ways, one of them would be through the internet where sexist and rape related content are told and retold in a form of disparagement humor. The current research focused on measuring whether there is a relationship between sexism and rape myth acceptance among people who enjoys online humor."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67521
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nike Nadia
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan memaparkan kompleksitas pengalaman perempuan yang
mengalami tindak pemaksaan hubungan seksual tanpa cara kekerasan fisik atau
ancaman kekerasan fisik melalui berbagai cara oleh kekasihnya, seperti bujuk rayu,
janji palsu, dan tipu muslihat dalam sistem hukum pidana Indonesia, khususnya pasal
285 KUHP yang membahas tentang perkosaan. Pengaturan terkait marital rape dalam
UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
tidak menjadi fokus analisis mengingat studi kasus penelitian adalah pada relasi
pacaran. Dalam menganalisis permasalahan kekerasan seksual dalam relasi pacaran,
penulis menggunakan teori the continuum of sexual violence dari Liz Kelly dan feminist
legal methods dari Bartlett. Metode penelitian adalah studi kasus dengan pendekatan
kualitatif berperspektif feminis. Melalui penelitian ini, penulis berargumentasi bahwa
pengalaman perempuan yang mengalami pemaksaan hubungan seksual yang dicapai
tanpa cara kekerasan fisik oleh kekasihnya berpotensi untuk tidak terdokumentasikan
oleh hukum karena sempitnya definisi hukum tentang perkosaan di Indonesia. Padahal,
perempuan yang menjadi korban mendapat dampak yang sangat buruk dari tindak
perkosaan tersebut. Sebagai implikasi, akses perempuan untuk mendapat keadilan dan
pemulihan tidak terjamin dalam kerangka hukum Indonesia. Dengan demikian, rumusan
tindak pidana terkait perkosaan sudah seharusnya mengalami proses redefinisi yang
memiliki keberpihakan bagi perempuan korban.
ABSTRACT
This study aims to describe the complexity of women experience in the rape case by the
act of non- physical violent by her lover, such as seduction and false promise. The study
see this problem through the legal system in Indonesia, especially article 285 of the
Criminal Code (KUHP) which discusses about rape. Article related marital rape in Law
Number 23 of Year 2004 Regarding Elimination of Domestic Violence is not the focus of
analysis considering the case study research is on dating relationships. For analyzing
the problem, the author uses the continuum of sexual violence theory by Liz Kelly and
feminist legal methods from Bartlett. The research method is case study with qualitative
approach with feminist perspective. Through this study, the authors argue that the
experience of women who have forced nonviolent sexual intercourse has the potential to
be undocumented by the law because of the narrowness of the legal definition of rape in
Indonesia. As an implication, the fulfillment of the rights of women victims to get
protection is not guaranteed within the framework of Indonesian law. Thus, the
formulation of criminal offenses related to rape should have undergone a redefinition
process."
2018
T51106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Choky R. Ramadhan
Depok: University of Indonesia, Faculty of Law, 2018
340 UI-ILR 8:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>