Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurdin Jusuf
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979
899.231 NUR n
Koleksi Publik  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdin Jusuf
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979
899.231 NUR n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Setia Wibawa
"Kedekatan emosional merupakan salah satu dimensi interpersonal yang banyak digunakan untuk menjelaskan kualitas hubungan antara cucu dan kakek-nenek (Creasey & Koblewski, 1991). Kedekatan emosional didefinisikan sebagai tingkat emosi positif yang meliputi cinta, kasih sayang, kedekatan, kebersamaan, keadilan, kepercayaan, penerimaan, dan rasa hormat terhadap anggota keluarga dan timbal baliknya dari emosi tersebut (Bengston & Schrader, 1982).
Kualitas hubungan dengan kakek-nenek dapat berpengaruh di berbagai bidang kehidupan remaja, salah satunya adalah identitas diri. Salah satu jenis identitas yang berkembang saat remaja adalah identitas moral. Identitas moral adalah tingkat perbedaan individu dalam merefleksikan nilai-nilai moral sebagai inti dari karakteristik dirinya (Blasi, 1984).
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan identitas moral pada mahasiswa. Sebanyak 333 mahasiswa terlibat dalam penelitian ini. Affectual Solidarity Scale digunakan untuk mengukur kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan Moral Identity Questionnaire (MIQ) digunakan untuk mengukur identitas moral.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan identitas moral pada mahasiswa (r = .126, p < .05). Hal tersebut menunjukkan pentingnya hubungan antara kakek-nenek dengan cucu terhadap pembentukan identitas moral.

Emotional closeness is one of the interpersonal dimension that is widely used to describe the quality of the relationship between grandchildren and grandparents (Creasey & Koblewski, 1991). Emotional closeness defined as the degree of positive emotions toward family members and the degree of reciprocity of these positive emotions (Bengston & Schrader, 1982).
The quality of the relationship with the grandparents can affect adolescences in various areas of life, one of which is the identity. One type of identity that develops during adolescence is a moral identity. Moral identity is an individual difference reflecting the degree to which being moral is a central or defining characteristic of a person?s sense of self (Blasi, 1984).
This research aims to investigate the relationship between emotional closeness with grandparents and moral identity in late adolescents. A total of 333 late adolescence involved in this research. Affecctual Solidarity Scale is used to measure the emotional closeness with grandparents and Moral Identity Questionnaire (MIQ) is used to measure the moral identity.
The results showed that there is a significant relationship between emotional closeness with grandparents and moral identity in college students (r = .126, p < .05). It shows the importance of the relationship between grandparents and grandchildren on the moral identity formation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S62682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Agustin Setianingrum
"Masa lanjut usia sering disebutkan sebagai 'usia keemasan' akan ketenangan dan kesentosaan. Orang lanjut usia pun dikenal sebagai orang yang hangat, ramah dan bijaksana. Namun di lain pihak orang lanjut usia juga sering dianggap tidak aktif kurang produktif senang menggerutu dan mengasihani diri sendiri, terisolasi dari keluarga dan teman-teman serta lebih senang menghabiskan waktunya dengan menonton televisi atau mendengarkan radio.
Periode lanjut usia yang dimulai pada saat seseorang berumur 60 tahun, terutama ditandai dengan berbagai macam perubahan yang mengarah pada kemunduran. Penurunan kemampuan fisik baik secara eksternal maupun internal, kemudian dapat pula ikut mempengaruhi perkembangan kognitif, kepribadian dan sosialnya.
Perkembangan sosial pada orang lanjut usia pada dasarnya ditemukan oleh partisipasinya dalam peran sosial serta aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan sesuai dengan usianya. Dalam hal ini, kontak sosial tetap merupakan aktivitas penting yang berlangsung saat orang menjadi tua (Levy, Digman & Shirrefs, 1984). Dalam Social Breakdown-Reconstruction Theory dikemukakan bahwa pemberian dukungan pada partisipasi aktif bagi orang lanjut usia dalam masyarakat akan meningkatkan kepuasan hidupnya dan perasaan positif terhadap diri mereka sendiri. Dalam Teori Aktivitas juga dikatakan apabila orang lanjut usia semakin aktif, maka semakin puas pula mereka terhadap kehidupannya. Disamping itu, individu hendaknya juga terus melanjutkan peran-peran sosialnya. Apabila ada peran yang hilang dari mereka, maka penting untuk menemukan peran pengganti yang dapat membuat orang lanjut usia tetap aktif dan terlibat dalam aktivitas sosial. Dalam hal ini, diantara peran-peran sosial yang dapat memberikan arti bagi kehidupan orang lanjut usia adalah keterlibatannya dengan keluarga dan teman-teman (Aiken, 1995).
Berkaitan dengan hilangnya peran sosial dari kegiatan formal, maka sebenarnya orang lanjut usia tersebut tidak benar-benar kehilangan peran. Orang Ianjut usia merasa tidak berguna karena tidak lagi berperan sebagai pencari nafkah setelah pensiun atau tidak lagi aktif berpartisipasi dalam lingkungan pekerjaan pasangan hidupnya. Padahal sebenarnya mereka dapat menjalankan peran lain yaitu di dalam lingkungan keluarganya. Bagi orang lanjut usia, hubungan dengan keluarga tetap merupakan sumber kepuasan baginya. Mereka merasa bahwa hidupnya sudah Iengkap dan merasa bahagia apabila berhasil menjadi orang tua, dapat berfungsi bagi anak cucu dan menjadi bagian dari keluarga (Duvall & Miller, 1985).
Peran yang dapat dilakukan orang lanjut usia di dalam keluarga sehubungan dengan adanya cucu adalah sebagai kakek atau nenek. Peran yang dijalankan dapat berbentuk formal, mencari kesenangan sebagai orang tua pengganti, sumber kebijaksanaan keluarga serta figur berjarak (Neugarten & Weinstein, 1964 dalam Perlmutter & Hall, 1992).
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk menggali lebih jauh tentang peran-peran apa saja yang dijalankan oleh orang lanjut usia sebagai kakek-nenek. Mengingat bahwa peran kakek nenek terhadap cucu dipengaruhi oleh usia, kondisi kesehatan, jarak geografis, latar belakang suku bangsa dan jenis kelamin kakek-nenek (Denham & Smith, 1989; Hetherington, 1989; Presser, 1989 dalam Vander Zanden, 1993), maka penelitian ini akan dikhususkan pada peran wanita lanjut usia sebagai nenek dalam konteks kebudayaan Jawa. Pemilihan nenek di sini adalah didasarkan pada teori bahwa nenek lebih dekat dan memiliki hubungan yang hangat dengan cucu daripada kakek. Nenek pun lebih memperoleh kepuasan dalam menjalankan perannya dengan adanya cucu (J.L. Thomas, 1986 dalam Papalia & Olds, 1992), sehingga diharapkan penelitian ini akan memberikan hasil yang kaya. Sedangkan pemilihan kebudayaan Jawa adalah dengan pertimbangan bahwa Jawa merupakan kelompok etnis dengan jumlah terbesar dari 10 kelompok etnis besar di Indonesia (Volkstelling, 1930 dalam Ekadjati, 1995) dan secara khusus disebutkan bahwa dalam kebudayaan Jawa, kakek-nenek berperan penting sebagai sumber bantuan material dan kebijaksanaan bagi cucu (Suseno, 1993). Disamping itu, kedudukan orang-orang tua dalam masyarakat Jawa dianggap penting dan keberadaannya dihormati oleh orang-orang yang lebih muda. Kewajiban orang muda untuk menghormati orang-orang yang tua juga diperkuat dengan adanya kepercayaan bahwa orang tua dapat memberikan restu sekaligus hukuman atau "walat" (Mulder, 1996).
Subyek dalam penelitian ini adalah wanita lanjut usia Jawa berusia 60 sampai 79 tahun, yang tinggal bersama keluarga anak dan memiliki cucu berusia 2 sampai 6 tahun (tergolong anak pra-sekolah). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam dengan pedoman wawancara berbentuk pertanyaan terbuka. Data yang diperoleh akan diolah dianalisis secara kualitatif dengan bantuan program Ethnograph.
Dari wawancara yang dilakukan terhadap 7 orang subyek, diketahui bahwa wanita lanjut usia Jawa yang berperan sebagai nenek menjalankan kelima tipe peran seperti yang dilcemukakan oleh Neugarten dan Weinstein (1964 dalam Perlmutter & Hall, 1992). Secara formal, nenek menyerahkan tanggung jawab pengasuhan cucu kepada orang tua cucu dan bertindak sebagai pihak yang mengawasi dan mengingatkan dengan rnenganut prinsip Tut Wuri Handayani. Dalam peran mencari kesenangan, nenek melakukan kegiatan bersama-sama cucu yang memberikan kesenangan bagi kedua belah pihak, misalnya melakukan suatu pemainan bersama-sama, jalan-jalan atau ngobrol-ngobrol dengan cucu. Sebagai orang tua pengganti, nenek ikut berperan membentuk disiplin kepada cucu untuk mematuhi aturan waktu-waktu makan, belajar, tidur serta membaca doa. Beberapa nenek juga ikut mengajarkan pelajaran sekolah pada cucu. Sedangkan sebagai sumber kebijaksanaan keluarga, nenek rnengajarkan tata krama dalarn kehidupan sehari-hari kepada cucu serta memberikan nasehat, baik kepada cucu maupun orang tua cucu. Selain gambaran tentang peran yang dijalankan nenek tersebut, juga diketahui bahwa kehadiran cucu memberikan perasaan bahagia kepada nenek. Perasaan nenek seakan-akan lebih sayang kepada cucu daripada kepada anak dan nenek ikut merasa sedih dan tidak tega apabila cucu dimarahi oleh orang tuanya, dimana hal ini rnenunjukkan adanya ikatan emosional yang erat antara nenek dengan cucu. Sebagai orang Jawa, nenek juga menginginkan agar cucunya sudah mulai mengenal berbagai tradisi dalam kebudayaan Jawa, yang disampaikan melalui dongeng, lagu serta bahasa.
Hal menarik yang ditemukan dari penelitian ini adalah adanya petuah Jawa yang dikenal dengan nama Panca Mutiara yang berasal dari Eyang Manglcunegoro III, dimana petuah tersebut diterakan oleh nenek dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan petuah Jawa tersebut merupakan wujud kepatuhan dan rasa hormat nenek kepada aturan orang tua dan tatanan budaya.
Sehubungan dengan hasil penelitian, maka pada keluarga besar dimana keluarga anak tinggal bersama orang tuanya, maka kakek-nenek hendaknya diikut-sertakan dalam kegiatan mengasuh cucu. Sedangkan bagi keluarga yang tinggal terpisah, hendaknya secara rutin mengunjungi kakek-nenek, sehingga kakek-nenek mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan cucunya, dimana kehadiran cucu menimbulkan perasaan bahagia dalam diri kakek-nenek sebagai orang lanjut usia.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk mengadakan cross-checked pada orang tua dan cucu tentang aktivitas yang hiasa dilakukan nenek bersama cucu dan untuk memperkaya ruang lingkup penelitian maka dapat dilakukanstudi perbandingan mengenai peran yang dijalankan oleh kakek atau sekaligus kakek nenek dari latar belakang suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2665
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husniyati Najmi
"Dengan adanya perubahan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2013 mengenai penjurusan pada saat kelas satu sekolah menengah akhir, siswa kelas 9 sekolah menengah pertama diharapkan sudah memiliki gambaran terkait pilihan jurusan di sekolah menengah pertama. Oleh karena itu, dibutuhkan adaptabilitas karir yang baik pada siswa kelas 9 sekolah menengah pertama.Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara ekspektasisiswa SMP kelas 9 terhadap peran kakek-nenek dan adaptabilitas karier.
Peneliti melakukan pengambilan data kepada 66 siswa SMP kelas 9 di Jakarta dan Depok. Alat ukur yang digunakan untuk adaptabilitas karier adalah Career Adapt-Ability Scale International-Form CAAS-IF dari Savickas dan Porfeli 2012, sedangkan alat ukur peran kakek-nenek adalah Expectation of Grandparent Scale dari McFadden 2001.
Dari hasil penelitian, ditemukan hubungan positif dan signifikan antara ekspektasi siswa SMP kelas 9 terhadap peran kakek-nenek dan adaptabilitas karier r = 0,360, p < 0,05 . Hubungan tersebut menjelaskan semakin besar ekspektasi siswa SMP kelas 9 terhadap peran kakek-nenek, semakin baik pula adaptabilitas karier siswa. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengedukasi orangtua bahwa peran kakek-nenek penting untuk adaptabilitas karier anak.

The changing of government policy based on Ministry of National Education 2013 about high school major for 10th grade high school students, 9th grade junior high school students are expected to have an overview of major selection in high school level. Thus, a good career adaptability is required for those students. This study was conducted to see the relationship between the expectations of 9th grade of junior high school students on the role of grandparents and career adaptability.
The researcher conducted data collection for 66 students in 9th grade of junior high school students from Jakarta and Depok. The measuring tool used for career adaptability is the Career Adapt Ability Scale International Form CAAS IF from Savickas and Porfeli 2012 , while the grandparent 39 s measuring instrument is the Expectation of Grandparent Scale from McFadden 2001.
From the result of the research, It was found out that a positive and significant correlation between the expectation of junior high school student of 9th grade on grandparents 39 role and career adaptability r 0,360, p
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S70115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etania Ranu Andhika
"Gizi buruk merupakan penyebab utama stunting, gangguan fungsi kognitif, prestasi sekolah yang rendah, masalah perilaku, dan kematian pada anak. World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif / Exclusive Breastfeeding (EBF) selama enam bulan pertama untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Namun, berdasarkan Survei Kesehatan Demografi Indonesia tahun 2017, angka EBF hanya 38% untuk anak di bawah enam bulan. Angka ini jauh di bawah target yang ditetapkan oleh WHO dan United Nations Children's Fund (UNICEF) pada 2030, yaitu sebesar 70%. Penelitian ini akan memberikan gambaran terbaru tentang capaian EBF di Indonesia, terutama mengenai pentingnya dukungan harian yang diterima ibu menyusui dalam memengaruhi keputusannya untuk menyelesaikan EBF selama 6 bulan. Dukungan praktis memungkinkan ibu untuk fokus pada menyusui, baik secara langsung maupun tidak. Dengan membantu ibu melakukan pekerjaan rumah atau merawat bayi (termasuk memberikan ASI perah untuk menjamin kelangsungan konsumsi ASI selama ibu tidak di rumah), kehadiran aktor pendukung dalam rumah tangga diyakini menjadi faktor penting dalam keberhasilan EBF. Penelitian ini akan mengungkap hubungan antara sumber dukungan (baik nenek dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, ayah, dan pekerja rumah tangga) dengan pilihan pemberian ASI eksklusif yang dilakukan oleh sang ibu. Selain itu, penelitian ini akan menjadi penelitian pertama yang mengungkapkan apakah ada pengaruh yang berbeda antara nenek dari pihak ayah dan nenek dari pihak ibu dalam mempengaruhi EBF di Indonesia. Penelitian ini juga mengeksplorasi bagaimana faktor- faktor lainnya (pekerjaan ibu, status ekonomi, paritas, tingkat pendidikan orang tua, usia orang tua, jenis tempat tinggal keluarga, dan jenis kelamin bayi) mempengaruhi perilaku pemberian ASI eksklusif. Dengan memanfaatkan data individu pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2019 dan 2020, regresi probit menunjukkan bahwa sumber dukungan di rumah tangga tidak secara signifikan mempengaruhi keberhasilan EBF. Sebaliknya, karakteristik ibu menjadi faktor yang paling menentukan dalam keberhasilan EBF. Ibu yang tidak bekerja, berasal dari status ekonomi yang lebih rendah, pendidikan yang lebih tinggi dan tinggal di daerah perkotaan lebih mungkin untuk menyelesaikan EBF dibandingkan mereka yang tidak. Memiliki bayi perempuan dan suami yang lebih berpendidikan juga secara positif berhubungan dengan keputusan menyusui eksklusif. Karena kehadiran aktor pendukung tidak secara signifikan mempengaruhi keputusan ibu untuk melanjutkan atau menghentikan EBF, aktor utama menyusui tetap ibu menyusui itu sendiri. Oleh karena itu, untuk meningkatkan angka capaian EBF, ibu menyusui harus didukung dalam menghadapi tantangan yang mereka hadapi, terutama di tempat kerja.

Malnutrition is the primary cause of stunting, impaired cognitive function, low school achievement, behavioral problems, and deaths of children under five years old. World Health Organization (WHO) recommends exclusive breastfeeding (EBF) for the first six months to prevent malnutrition from happening in children's early life. However, EBF coverage in Indonesia is still suboptimal. Based on the Indonesia Demography Health Survey in 2017, the EBF rate is only 38% for children below six months. This figure is far below the target EBF rate WHO and United Nations Children's Fund (UNICEF) set in 2030 at 70%. This research will provide the latest insight into EBF completion for children between 6 and 23 months in Indonesia, especially regarding the importance of daily support on impacting the mother's decision to complete EBF. The practical support may enable the mother to focus on breastfeeding, whether directly or indirectly. By helping the mother do housework or taking care of the baby (including giving the expressed breastmilk to secure the breastmilk consumption continuation while the mother is not at home), the sources of support are believed to be critical factors in EBF success. The research will uncover the relationship between the sources of support (both maternal and paternal grandmothers, the father, and the domestic worker) and the exclusive breastfeeding choices made by the mother. Also, it will be the first study that reveals whether there is a different effect of paternal and maternal grandmother cohabitation in influencing EBF in Indonesia. Moreover, this study explores how modifying factors (mother’s employment, economic status, parity, parents’ education level, parents’ age, type of residential area that the family lives in, and the gender of the baby) affect exclusive breastfeeding behavior. Using the latest individual-level data from the 2019 and 2020 National Socio-Economic Survey (SUSENAS), probit regression suggests that support sources in the households are not significantly affecting EBF completeness in this country. In contrast, maternal characteristics become the most decisive factor influencing EBF behavior. Non-working mothers from lower economic status and higher-level education in urban areas are more likely to complete EBF than those who are not. Also, having female infants and a more educated husband are positively associated with exclusive breastfeeding decisions a mother would make. Since the presence of supporting actors does not significantly affect the mother's decision to continue or discontinue EBF, the main actor of breastfeeding is still the breastfeeding mother herself. Therefore, to improve the EBF rate, breastfeeding mothers must be supported in the challenges they face, especially in the workplace."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debbie G. Retnoningsih
"Bagi sebaglan besar ibu bekerja, terutama yang memlliki anak usia balita, kemudahan untuk mendapatkan bantuan pengasuhan merupakan hal yang panting dan berpengaruh terhadap keiancaran pekerjaan mereka (Strong dan DeVault, 1995). Salah satu altematif bantuan pengasuhan bagi ibu bekerja yang memiliki anak usia 3 hingga 6 tahun adalah bantuan dari kakek dan nenek (Strong dan DeVault. 1995). Hal ini sejalan dengan fungsi simbolis kakek dan nenek dalam keluarganya, yang antara lain fungsi kehadiran {being there) dan fungsi pelindung keluarga {family watchdog) (Hagestad, 1985; Troll, 1983, dalam Bengston, 1985). Keterlibatan kakek nenek pada pengasuhan anak memiliki nilai positif baik bagi orang tua, anak maupun bagi kakek nenek itu sendiri. Namun, keterlibatan yang terlalu jauh tidak jarang membawa masalah bagi keluarga, antara lain masalah penerapan disiplin pada anak. Kakek dan nenek tidak menyetujui prosedur pengasuhan yang ingin diterapkan oleh orang tua, atau sebaliknya (Duval dan Miller, 1985; Leninger, 1994). Padahal, masalah penerapan disiplin merupakan masalah yang sangat penting bagi keluarga yang memiliki anak usia prasekolah, karena usia 3 hingga 6 tahun merupakan masa dimana anak membentuk sikap-sikap dasar terhadap dirinya, keluarganya serta dunianya (Signer, 1994; Hamner dan Turner, 1991; Duvall dan Miller, 1985). Oleh karena itu keputusan untuk melibatkan kakek dan nenek sebagai altematif bantuan pengasuhan anak dapat menjadi pedang bermata dua bagi orang tua. Bila keterlibatan kakek nenek terlalu besar dan tidak sesuai dengan keinginan orang tua, justru dapat menimbulkan konflik pada orang tua, ketidakpastian bagi kakek nenek, dan lebih jauh menimbulkan konflik pada hubungan antara kakek nenek dengan orang tua.
Berdasarkan latar beiakang masalah tersebut, peneliti merasa perlu melakukan penelitian mengenai bagaimana peran yang diharapkan ibu bekega dari kakek dan nenek pada pengasuhan anak mereka yang berusia prasekolah. Subyek penelitian ini adalah ibu beken'a yang memiliki anak usia 3 hingga 6 tahun (usia prasekolah), berpendidikan minimal SMA, dan melibatkan kakek atau nenek atau keduanya untuk membantu pengasuhan anaknya tersebut, baik secara regular (setiap hari) maupun temporer (sesekali saja bila diperlukan).
Penelitian ini merupakan penelitian awal berupa studi deskriptif, dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran harapan ibu bekeija teitiadap peran kakek dan gambaran harapan ibu bekerja terhadap peran nenek, sekaligus ingin melihat profil harapan pada masing - masing peran kakek nenek tersebut, serta ingin melihat perbedaan gambaran harapan terhadap peran kakek dan peran nenek. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuesioner, dimana alat yang digunakan untuk mengukur harapan terhadap peran kakek dan peran nenek berupa skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori peran kakek dan nenek yang dikemukakan oleh Neugarten dan Weinstein serta Cherlin dan Furstenberg.
Penarikan sampelnya dilakukan secara insidental, di sekitar wilayah Jakarta, Bogor dan Bekasi. Untuk pengolahan datanya dilakukan perhitungan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Dari 101 orang subyek, yang terdiri dari ibu bekerja yang melibatkan kakek saja. nenek saja, serta kakek maupun nenek, hasil yang diperoleh antara lain bahwa peran kakek dan nenek yang paling diharapkan adalah sebagai sumber kebijaksanaan keluarga, yaltu mengajarkan berbagai nilai dan pengetahuan serta menjadi teladan bagi cucu maupun bagi orang tua cucu. Sementara, ada perbedaan antara harapan terhadap peran kakek dan harapan terhadap peran nenek, dimana nenek lebih diharapkan berperan sebagai figur formal, sebagai teman cucu dan sebagai orang tua pengganti."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2698
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bangkit Ari Sasongko
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan penanganan penerapan HukumProgresif atas kasus pencurian 3 biji kakao oleh nenek Minah di wilayah PolresBanyumas. Penyidik Polres Banyumas, seharusnya tidak melihat kasus tersebuthanya dari hukum positif saja, melainkan harus juga melihatnya dari perspektifhukum progresif. Penegakan hukum sering mengingkari rasa keadilan. Penegakanhukum ini terlihat jika berhadapan dengan orang lemah, yang tidak mempunyaikekuasaan dan sebagainya, hukum bisa menjadi sangat tajam. Dari perspektifhukum progresif, maka kasus Nenek Minah idealnya tidak relevan sampai padaranah pengadilan. Bahkan, proses penegakan hukum tersebut selainmengeyampingkan rasa keadilan masyarakat, juga merupakan bukti bahwa kiblathukum di Indonesia adalah hukum positivime, tanpa memperdulikan dimensisosiologis yang ada. Penegakan hukum terhadap nenek Minah harus dilepaskandari unsur-unsur sosial serta moralitas, karena menurut kaca mata aliran ini tujuanhukum adalah kepastian, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akantercapai walaupun harus mengenyampingkan rasa keadilan. Padaperkembangannya terkait dengan penegakan hukum, Polisi diminta untukmenggunakan falsafah integrasi solutif yang terdapat pada sila KeempatPancasila, yakni musyawarah yang merupakan prioritas utama untuk mencapaikebijaksanaan yang adil dan menciptakan perdamaian. Falsafah seperti itulahdalam hal ini bisa dijadikan alternatif atau cara lain peradilan kriminal denganmelakukan pendekatan integrasi atau pembauran antara pelaku dengan korban/masyarakat hingga menjadi satu kesatuan yang utuh untuk mencari solusi denganharapan dapat kembali pada suatu hubungan yang baik dalam masyarakatnantinya. Alternatif penghukuman inilah yang biasa disebut sebagai restorativejustice. Tidak ada salahnya polisi mencoba menggunakan kewenangannya melaluipenerapan keadilan restorative atau restorative justice. Keberanian polisimenerapkan keadilan restorative justice diperlukan, agar Polri tidak selaludisalahkan dalam menangani suatu kasus, yang menurut masyarakat telahmencederai hukum itu sendiri. Tidak ada kepentingan umum yang terganggu jikapenyidik melakukan Diskresi. Polisi juga sebenarnya dapat melakukan DiskresiPemidanaan kalau memang alasan dari pihak perkebunan kakao PT. Rumpun SariAntan RSA IV Darmakradenan hanya untuk memberi efek jera. Bagi masyarakatmiskin, dibawa ke kantor polisi saja mereka sudah ketakutan dan bisa menimbulkan efekjera.

ABSTRACT
The purpose of this research is to describe the handling of the application ofprogressive law on the three cacao beans theft case perpetrated by GrandmaMinah in the jurisdiction of Banyumas resort police. The Banyumas resort policedetectives should not regard the case solely from the standpoint of positive law,but must also regard it from the progressive law perspective as well. Lawenforcement often denies sense of justice. This law enforcement is visible whendealing with the weak, the ones who lack power and the like, in which downwardlaw is greater. From a progressive law perspective, ideally Grandma Minah rsquo s casehas no relevance to reach the court. In fact, in addition to ruling out thecommunity sense of justice, the law enforcement process is also proof that thelegal direction in Indonesia is legal positivism, without taking heed of the existingsociological dimension. Law enforcement against Grandma Minah must bedetached from social elements and morality because according to this genre, thepurpose of law is certainty. Without legal certainty, the purpose of law cannot beachieved even though sense of justice must be put aside. In its developmentrelated to law enforcement, the police force are asked to use the philosophy ofsolutive integration contained in the Fourth Principle of Pancasila, which isdeliberation as the first priority to gain fair wisdom and create peace. Suchphilosophy in this case can be an alternative or other means of criminal justice byapplying the integration approach or assimilation between offenders and theirvictims society until they become a unified whole in order to search for a solutionin the hope of repairing the relationships in the community eventually. Suchalternative punishment is called restorative justice. It does no harm for the policeforce to try to exert their authority through the application of restorative justice.The police force should have courage to apply restorative justice so that theIndonesian police are not always to blame in handling cases, which society deemsas harming the law itself. If detectives use discretion, public interest is notdisturbed. In fact, police can also exercise Criminal Discretion if indeed themotivation of cocoa plantation PT. Rumpun Sari Antan RSA IV Darmakradenanis merely to deter. For the poor, being brought in to the police station itself isterrifying and can lead to a deterrent effect."
2018
T49491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadek Andre Setiawan
"Masa transisi menjadi orang tua membuat ibu memiliki efikasi diri yang rendah mengenai cara pengasuhannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran coparenting orang tua-kakek-nenek di Indonesia dan mencari tahu hubungan antara coparenting orang tua-kakek-nenek dan maternal self-efficacy pada ibu emerging adult. Coparenting orang tua-kakek-nenek diukur dengan Coparenting Relationship Scale (CRS; Feinberg, Brown, & Kan, 2012). Sementara itu, maternal self-efficacy diukur dengan Self-Efficacy for Parenting Task Index-Toddler Scale Short Form (SEPTI-TS SF; Van Rijen, Gasanova, Boonstra, & Huijding, 2014). Partisipan penelitian adalah 142 ibu emerging adult yang berusia 19-25 tahun. Mereka adalah ibu yang baru pertama kali memiliki anak usia batita dan melakukan coparenting bersama kakek-nenek. Hasil penelitian menunjukan bahwa ibu emerging adult dapat membangun hubungan coparenting yang baik dengan kakek-nenek. Semakin baik hubungan coparenting antara ibu dan kakek-nenek, maka semakin baik maternal self-efficacy ibu emerging adult.

Transition to parenthood makes mothers have low self-efficacy in their parenting. This study conducted to obtain the description of parent-grandparent coparenting in Indonesia and the relationship between parent-grandparent coparenting and maternal self-efficacy in emerging adult mothers. Parent-grandparent coparenting measured by Coparenting Relationship Scale (CRS; Feinberg, Brown, & Kan, 2012), and maternal self-efficacy measured by Self-Efficacy for Parenting Task Index-Toddler Scale Short Form (SEPTI-TS SF; Van Rijen, Gasanova, Boonstra, & Huijding, 2014). Participants in this study were 142 emerging adult mothers aged 19-25 years old. They were first-time mothers of a toddler who did coparenting with grandparents. The result showed that emerging adult mothers could build a good relationship with grandparents during coparenting. High levels of parent-grandparent coparenting associated with higher levels of maternal self-efficacy in emerging adult mothers."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library