Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Debora Justice Valentina
"[ABSTRAK
Feminisme dan hak perempuan merupakan isu yang masuk ke Jepang pada awal abad 20. Pada masa ini perempuan
hidup dibawah bayang-bayang laki-laki. Hal ini menjadi latar belakang kebangkitan gerakan feminisme di Jepang
pada tahun 1868. Status perempuan Jepang pada masa sekarang, tidak lepas dari perjuangan para feminis yang
menyuarakan perubahan pada Jaman Meiji. Salah satu feminis Jepang yang terkenal dan pelopor feminisme di
Jepang adalah Hiratsuka Raicho. Ia dikenal sebagai aktivis yang berani menantang norma yang berlaku di Jepang, tentang dominasi laki-laki. Salah satu pemikiran feminismenya adalah perempuan tidak terlahir untuk melayani lakilaki.
Ia juga berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki seharusnya dipandang sebagai individu yang sama, dan
tidak saling mendominasi. Berdasarkan tulisan ini, diharapkan pembaca memahami kebangkitan gerakan feminisme
di Jepang yang dipelopori oleh Hiratsuka Raicho. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kepustakaan dengan pengumpulan data sekunder. Selanjutnya, kesimpulan ditarik berdasarkan data sekunder yang terkumpul.

ABSTRACT
Feminism and women's rights are issues which come to Japan in the early 20th century. In this period, women lived under the shadow of men. This is the background to the rise of the Japanese feminism movement in 1868. Japanese
women's status in the present cannot be separated from the struggle of feminists who voiced a change in the Meiji era. One of the famous Japanese feminists and feminist pioneer in Japan is Hiratsuka Raicho. She is known as an
activist who dared to challenge the norm in Japan, about men dominance. One of her feminism thought were women not born to serve men. She also argued that women and men should be regarded as the same individual, and not
dominate one to another. According to this article, the reader would understand the rise of the feminist movement in
Japan by Hiratsuka Raicho. The method of this research is the method of literature with secondary data collection. Moreover, the conclusions drawn based on secondary data collected.;Feminism and women's rights are issues which come to Japan in the early 20th century. In this period, women lived under the shadow of men. This is the background to the rise of the Japanese feminism movement in 1868. Japanese
women's status in the present cannot be separated from the struggle of feminists who voiced a change in the Meiji era. One of the famous Japanese feminists and feminist pioneer in Japan is Hiratsuka Raicho. She is known as an
activist who dared to challenge the norm in Japan, about men dominance. One of her feminism thought were women not born to serve men. She also argued that women and men should be regarded as the same individual, and not
dominate one to another. According to this article, the reader would understand the rise of the feminist movement in
Japan by Hiratsuka Raicho. The method of this research is the method of literature with secondary data collection. Moreover, the conclusions drawn based on secondary data collected., Feminism and women's rights are issues which come to Japan in the early 20th century. In this period, women lived under the shadow of men. This is the background to the rise of the Japanese feminism movement in 1868. Japanese
women's status in the present cannot be separated from the struggle of feminists who voiced a change in the Meiji era. One of the famous Japanese feminists and feminist pioneer in Japan is Hiratsuka Raicho. She is known as an
activist who dared to challenge the norm in Japan, about men dominance. One of her feminism thought were women not born to serve men. She also argued that women and men should be regarded as the same individual, and not
dominate one to another. According to this article, the reader would understand the rise of the feminist movement in
Japan by Hiratsuka Raicho. The method of this research is the method of literature with secondary data collection. Moreover, the conclusions drawn based on secondary data collected.]"
2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Pradita Vilkasari
"Skripsi ini membahas tentang pengaruh kebijakan pemerintah Meiji terhadap kebebasan pers di Jepang, terutama terkait sistem sensor. Selama masa Meiji, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan pers Jepang seperti Peraturan Pers dan Peraturan Penerbitan tahun 1869; Peraturan Pers tahun 1875; Peraturan Penerbitan tahun 1893 dan Undang-undang Pers tahun 1909. Walaupun selama zaman Meiji, kebebasan pers Jepang dibatasi, namun pada kenyataannya pers Jepang tetap mampu menyuarakan pendapat. Hal ini dapat dilihat pada masa Perang Jepang Cina (1894-1895) dan perang Rusia Jepang (1905-1907) yang memberi keuntungan bagi pers Jepang karena menarik perhatian publik.

This study examines the effect of Meiji government policies on press freedom in Japan, especially the censorship system. In Meiji Era, the government issued regulations concerning Japanese press such as Press Ordinance and Publication Ordinance in 1869; Newspaper Ordinance in 1875; Publishing Ordinance in 1893; and Publishing Law in 1909. Despite of the restrictment of Meiji government regulations, in fact, Japanese press still could state their opinions.These freedom of press could be seen during Sino Japanese War (1894-1895) and Russo War (1905-1907) because the press could attract public attention."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S65484
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Sendra
"Sejak zaman Meiji (1868-1912) sampai Perang Dunia II, pertanian merupakan pekerjaan seumur hidup bagi 5,5 juta keluarga atau 13,7 juta orang penduduk Jepang, Sejak tahun 1870 80 % dari penduduk Jepang bermatapencaharian sebagai petani, tetapi dengan pertumbuhan penduduk angka tersebut menurun, meskipun jumlah petaninya secara absolut tetap sama. (Tadashi Fukutake, 1989:1).
Menurut Emiko Dhnuki Tierney (1992:34) menyebutkan bahwa pertanian khususnya pertanian sawah diusahakan di Jepang sebagai pertanian utama, di samping itu juga ada pertanian lainnya seperti: gandum (multi), jawawut (kibi), wijen (goma), yang ditanam di daerah yang kurang subur dan tidak memerlukan perhatian yang banyak dibandingkan dengan tanaman padi. Di Jepang istilah pertanian sawah disebut suiden, di samping itu juga ada istilah lainnya seperti hatake yang artinya ladang, yaitu jenis pertanian yang diusahakan di daerah yang memiliki topografi yang tinggi seperti di daerah pegunungan karena air sulit diperloleh. Tanaman padi yang menghasilkan beras sebagai makanan pokok merupakan pertanian utama, sekitar 55 persen dari total lahan yang bisa diolah dan ditanami yaitu kira-kira 5,2 juta ha (Takekazu Ogura, 1967:8), berupa pertanian sawah dengan jaringan irigasi yang luas, yang bisa ditemukan di setiap wilayah di Jepang, terutama di bagian Utara Jepang yaitu wilayah Hokaido (R. P. Dore, 1959:8).
Salah satu ciri utama dari sistem pertanian Jepang adalah pertanian sawah dalam sekala kecil sebagai usaha pertanian yang dominan dan sifat ini berlanjut sampai zaman Meiji. (Takekazu Ogura, 1970:147). Pertanian Jepang sebelum Perang Dunia II berakar dalam suatu sistem yang ditandai oleh unit-unit pertanian yang kebanyakan sangat sempit dan digarap dengan tangan, kemungkinan untuk memperluas lahan garapan yang terbatas secara geografis sangat kecil. Tadashi Fukutake (1989:1-3) menjelaskan bahwa sebagai petani zaman kuno, rakyat Jepang selalu memanfaatkan setiap jengkal tanahnya yang dapat dikerjakan, dan pada umumnya le yang memiliki lahan-lahan pertanian yang luas menggunakan anggota-anggota le untuk mengolah lahan pertanian tersebut.
Keterbatasan lahan garapan ini akan dapat mengancam kehidupan le dalam susunannya yang lama, apabila terjadi pergantian dari generasi tua kepada generasi yang baru. Permasalahan ini akan muncul apabila kepala le harus digantikan oleh penggantinya dan anak-anaknya menuntut hak atas kekayaan yang dimiliki oleh le tersebut. Oleh karena itu harus ada norma-norma khusus yang mengatur pergantian tersebut. Norma ini berupa aturan-aturan mengenai pewarisan yang mengatur pengalihan dan penguasaan terhadap kekayaan yang dimiliki oleh le. (Eric R Walt 1995:129).
Dalam kehidupan sehari-hari petani Jepang, pengaturan mengenai pola-pola pewarisan harta warisan le diatur dalam pranata sosial le. Pranata ini mencakup aturan-aturan yang berkenaan dengan kedudukan dan penggolongan dalam struktur sosial le, yang mengatur peran, serta berbagai hubungan dan peranan dalam tindakan dan kegiatan yang dilakukan (Parsudi Suparlan, 1981/1982:84-85)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T9035
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library