Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Inayati Noor Thahir
"Tesis ini meneliti mengenai hak jaminan kebendaan yang dapat dibebankan atas pesawat terbang setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan metode analisis kualitatif. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan tidak menyebutkan secara tegas lembaga jaminan yang dapat dibebankan atas pesawat udara. Penjaminan pesawat terbang dan helikopter dengan menggunakan hipotik yang berlangsung saat ini tidaklah menimbulkan hak preferen bagi kreditor karena yang dapat dilaksanakan hanya Akta Kuasa Membebankan Hipotik. Pencatatan yang dilakukan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan hanya menghasilkan Surat Keterangan. Gadai juga tidak bisa dibebankan pada pesawat udara karena debitor harus melepaskan pesawat udara dari kekuasaannya dan menyerahkannya pada kreditor. Pesawat udara juga tidak mungkin dibebankan dengan hak tanggungan karena objek dari hak tanggungan adalah hak atas tanah dan benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan fidusia tidak dapat dibebankan pada pesawat udara. Namun dalam undang-undang tersebut tidak ada larangan untuk menjadikan bagian pesawat udara seperti mesin pesawat udara dan/atau suku cadang pesawat udara untuk dijadikan objek jaminan fidusia. Dengan demikian Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan belum memberikan jalan keluar mengenai lembaga jaminan kebendaan yang dapat dibebankan atas pesawat udara di Indonesia. Kaitan antara hak jaminan kebendaan atas pesawat terbang dan Konvensi Cape Town adalah perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan perlindungan sebagai kepentingan internasional berdasarkan Konvensi Cape Town. Ratifikasi Konvensi Cape Town dan pengaturannya dalam Undang-undang Penerbangan hanya memberikan jalan keluar bagi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang dibebankan atas pesawat udara yang dipasang berdasarkan hukum asing, tetapi pesawatnya didaftarkan dan dioperasikan di Indonesia. Perlindungan kreditor berdasarkan Kovensi Cape Town salah satunya adalah penghapusan pendaftaran pesawat udara dan melakukan eksport pesawat udara dengan seketika dan tanpa putusan pengadilan melalui Surat Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk memohon penghapusan pendaftaran dan ekspor (Irrevocable deregistration and export request authorization/ IDERA) atas pesawat udara yang memiliki tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran Indonesia. IDERA hanya dapat dilaksanakan di Indonesia apabila telah didaftarkan/dicatat oleh Menteri Perhubungan. Peran Notaris dalam pembebanan jaminan fidusia atas mesin pesawat udara dan/atau suku cadang pesawat udara adalah dengan membuat akta Jaminan Fidusia dan melakukan pendaftaran fidusia pada Kantor Pencatatan Fidusia, selain itu Notaris juga dapat bertindak selaku kuasa dari debitor untuk mendaftarkan IDERA.

This thesis discusses about the security right may be charged for the aircraft after the enactment of Law Number 1 Year 2009, using a normative juridical research methods and qualitative analysis methods. Law Number 1 Year 2009 does not expressly mention the security right that can be charged for the aircraft. Security for both aircraft and helicopters using mortgage today does not give any secured right for creditors since only the Deed of Power of Attorney to Mortgage Charges is able to be exercised. The recordation conducted by the Directorate General of Air Transportation of the Ministry of Transportation only issues a statement letter. A pledge cannot also be charged to the aircraft because in this scheme the debtor must deliver it to the creditor. Moreover, aircraft is also not possible to be charged through Hak Tanggungan due to its object which is only land or others belonging to the land. On the other hand, Law Number 42 Year 1999 regarding Fiduciary Guaranty clearly states fiduciary guaranty cannot be charged to the aircraft; although, there is no provision in the law which prohibits charging parts of an aircraft, such as its engines and/or spare parts, as the object of the fiduciary guaranty. In other words, it indicates that Law Number 1 Year 2009 has not provided any solution for problems about what security right may be charged to the aircraft. The correlation between this issue and the Cape Town Convention is that security agreement is a way to gain protection as an international interest under this convention. Ratification of the Cape Town Convention and the adoption of it into the Indonesian Aviation Law only gives solution for creditors who hold security right?conducted with the foreign laws?of aircraft, but it is registered and operated in this country. One of the protections for creditors under the convention is the deregulation of aircraft registration and export immediately and without the court decision, through a power of attorney that cannot be revoked to request of nullification of the registration and export (irrevocable deregistration and export request authorization/IDERA) of the aircraft with Indonesian nationality and registration marks. The IDERA can be enforced in Indonesia only after it has been registered or recorded by the Ministry of Transportation. The roles of Notary in this fiduciary assignment of aircraft engines and/or its spare parts are to prepare the related deed and register it to the Fiduciary Registration Office. In addition, Notary also acts as an attorney of the debtor to register the IDERA."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27785
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Cindamora
" ABSTRAK
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak menyebutkan secara tegas lembaga jaminan apa yang dapat dibebankan bagi pesawat udara di Indonesia. Praktek yang berlaku sekarang ini adalah debitur menggunakan Lembaga Jaminan Fidusia untuk menjaminkan komponen-komponen pesawat udara karena Undang-Undang No. 42 tentang Jaminan Fidusia tidak melarang untuk menjadikan komponen-komponen pesawat udara sebagai objek Fidusia. Namun demikian, tetap dibutuhkan pembaharuan terkait pengaturan hukum jaminan terhadap pesawat udara yang paling sesuai dengan kebutuhan di Indonesia. Dalam merancang hukum jaminan terhadap pesawat udara tersebut, hendaknya Indonesia memperhatikan tata cara hukum jaminan negara lain, terutama negara yang menjadi supplier pesawat udara, salah satunya adalah Amerika Serikat. Oleh karena itu, sebagai fungsi inspiratif, dilakukan perbandingan hukum jaminan terhadap pesawat udara antara Indonesia dan Amerika Serikat dengan metode perbandingan yang menghasilkan bentuk penelitian yuridis-normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa hukum jaminan terhadap pesawat udara di Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat memiliki persamaan dan juga perbedaan. Perbedaan utama yang terlihat adalah di Amerika Serikat, semua objek suatu pesawat udara baik secara utuh maupun bagian-bagiannya dapat dijadikan jaminan, dan Amerika Serikat memiliki lembaga yang melakukan pendaftaran terhadap jaminan pesawat udara. Hal ini memperlihatkan bahwa peraturan di Amerika Serikat sangat mengakomodir pesawat udara untuk dijadikan jaminan.
ABSTRACT Law no. 1 of 2009 on Aviation does not specify the security interest that can be charged for aircraft in Indonesia. The current practice shows that debtors use Fiducia Security to charge parts on aircraft because there is no provision in the Law no. 42 of 1999 on Fiducia Security which prohibits charging parts of an aircraft as the object of Fiducia Security. However, it remains necessary to renew the regulation regarding security interest in aircraft that best suits the needs. In designing the regulation, Indonesia should pay attention to law on the security interest in aircraft in other countries, especially countries that are suppliers of aircraft, among others, United States of America. Therefore, as an inspired function, a comparison of security interest in aircraft is made between Indonesia and the United States under comparison method producing forms of normative juridical research. This research shows that the security interest in aircraft in Indonesia, as compared to that in the United States has similarities and differences. The main visible difference is that in the United States, all objects of an aircraft either in whole or its part can be charged as collateral, and the United States has institution that manages the registration of security interest in aircraft. This fact shows that the regulations in the United States are very accommodative to the parties that want to charge an aircraft as a collateral for the debt."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S63570
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ita Roikhatul Jannah
"Pengadaan pesawat udara melalui perjanjian leasing di Indonesia menjadi salah satu cara maskapai penerbangan untuk mengembangkan bisnisnya dikarenakan mahalnya biaya pengadaan pesawat udara jika melalui jual beli. Untuk membantu pengadaan pesawat udara tersebut, Indonesia telah mengaksesi Konvensi Cape Town 2001 beserta protokolnya dan telah melakukan penyesuaikan dalam Undang-Undang Penerbangan 2009. Namun demikian, aksesi tersebut menyebabkan ketentuan mengenai lembaga jaminan hipotek atas pesawat yang sebelumnya terdapat dalam Undang-Undang Penerbangan 1992 hapus. Dalam Undang-Undang Penerbangan 2009 hanya menyebutkan bahwa pesawat untuk dapat dibebani kepentingan internasional yang merupakan terjemahan dari istilah international interest dalam Konvensi Cape Town 2001. Hal tersebut menimbulkan permasalahan lembaga jaminan apakah yang berlaku atas pesawat udara setelah diaksesinya Konvensi Cape Town 2001. Dalam penulisan ini akan digunakan metode penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder.
Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa jaminan yang berlaku atas pesawat udara di Indonesia setelah diaksesinya Konvensi Cape Town 2001 adalah hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162-1232 KUH Perdata dan Pasal 314-315 KUHD. Selain itu, sesuai ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Penerbangan 2009 yang menyatakan bahwa ketentuan Konvensi Cape Town 2001 beserta Protokolnya berlaku sebagai lex specialis dalam undang-undang ini sehingga ketentuan Article VIII II Protokol Konvensi Cape Town 2001 yang mengatur mengenai pilihan hukum para pihak berlaku pula untuk menentukan hukum jaminan atas pesawat udara. Dengan demikian, ketiadaan peraturan yang mengatur mengenai jaminan atas pesawat udara secara tegas dalam Undang-Undang Penerbangan 2009 tidak mengakibatkan terjadi kekosongan hukum karena ketentuan dalam KUH Perdata dan KUHD tentang hipotek dan ketentuan dalam Konvensi Cape Town 2001 beserta protokolnya mengenai pilihan hukum berlaku untuk mengatur hukum jaminan atas pesawat udara.

Aircraft procurement through leasing agreement in Indonesia is one of several ways for airlines to develop their business due to the high cost of aircraft procurement by buying and selling. To assist the procurement of an aircraft, Indonesia has accessioned The Cape Town Convention 2001 and its protocol and also adopted it in Law Number 1 Year 2009 on Aviation. After the accession, the provisions regarding mortgage in Law Number 15 Year 1992 on Aviation is revoked. In the Cape Town Convention 2001, the term international interest is defined by Law Number 1 Year 2009 on Aviation as an ldquo kepentingan internasional rdquo . It raises the question of what securities under Indonesian law applies to the aircraft after the accession of the Cape Town Convention 2001. In this thesis will uses juridical normative research method using secondary data.
From the results of the research, the author found the law under Article VIII II of the Protocol to Cape Town Convention 2001 applies to the aircraft security after the accession of Cape Town Convention 2001. The provision of Article 1162 1232 Civil Code Indonesia and Article 314 315 Commercial Code Indonesia on mortgage still valid. Beside that, the provision of the Cape Town Convention 2001 and Its Protocol is applicable under the virtue of the Article 82 of Law Number 1 Year 2009 on Aviation states that the provisions of the Cape Town Convention 2001 as lex specialis in this law. The absence of aircraft security regulations in the Law Number 1 Year 2009 on Aviation cannot be considered as a legal vacuum as the provision in the Civil Code Indonesia, Commercial Code Indonesia and the Cape Town Convention 2001 and Its Protocol provide the laws governing aircraft security."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tantri Nurma Lita
"Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak mengatur secara jelas mengenai lembaga jaminan apa yang seharusnya tersedia untuk pembebanan pesawat udara di Indonesia. Setelah dilakukan penelitian, berdasarkan Naskah Akademik Badan Pembinaan Hukum Nasional, dilihat dari praktek yang berlaku saat ini yaitu Debitur menggunakan Lembaga Jaminan Fidusia untuk menjaminkan komponen-komponen pesawat udara sebagai objek jaminan fidusia karena di dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia tidak ada ketentuan pelarangan komponen pesawat udara sebagai objek Jaminan Fidusia. Akan tetapi, tetap dibutuhkan pengaturan hukum jelas terkait pengaturan hukum jaminan terhadap pesawat udara dan sesuai dengan kebutuhan di Indonesia. Ketika melakukan pembaharuan pengaturan hukum jaminan terhadap pesawat udara, pemerintah Indonesia perlu memperhatikan peraturan mengenai tata cara hukum dari negara lain, salah satunya adalah Negara Singapura. Oleh sebab itu, skripsi ini dilakukan perbandingan hukum jaminan atas pesawat udara antara Indonesia dan Singapura dengan metode perbandingan yang menghasilkan bentuk penelitian yuridis- normatif. Dalam penelitian ini, menunjukkan terdapat persamaan ataupun perbedaan antara hukum jaminan di Indonesia maupun Singapura. Perbedaan utama yang terlihat adalah di Singapura semua objek suatu pesawat udara baik secara utuh maupun komponen- komponennya dapat dijadikan jaminan, dan di Singapura memiliki lembaga yang melakukan pendaftaran terhadap jaminan pesawat udara. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan di Singapura lebih mengakomodir pesawatudara untuk dijadikan jaminan, meskipun kegunaan nya di Singapura belum banyak diketahui oleh pihak perusahaan penerbangan yang ingin menjaminkan pesawat.

Law No. 1 of 2009 on Aviation does not specify the security interest that can be available for the imposition of aircraft guarantees in Indonesia. After doing the research, based on the Academic Paper of the National Legal Development Agency, the current practice shows that the debtor uses the Fiducia Security because in the Law No. 42 of 1999 are no provisions prohibiting aircraft components as objects of fiduciary guarantees. However, there is still necessary for specify arrangements regarding the law on guarantees for aircraft and according to the needs in Indonesia. When renewing aircraft guarantee law arrangements, the Indonesian government needs to pay attention to legal procedures from other countries, one of which is Singapore. Therefore, as an inspired function, a comparison of security interest in aircraft is made between Indonesia and Singapore under comparison method producing forms of normative juridical research. This research shows that the security interest in aircraft in Indonesia, as compared to that in Singapore has similarities and differences. The main visible difference is that in Singapore, all objects of an aircraft either in whole or its part can be charged as collateral, and Singapore has institution that manages the registration of security interest in aircraft. This fact shows that the regulations in Singapore are accommodative to the parties that want to charge an aircraft as collateral for the debt, even though its use in Singapore is not widely known by the airline companies who want to guarantee the aircraft."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library