Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S5879
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Fakhrizal
"Ayatullah Khomeini Iran. Revolusi Iran, yang mencapai pucaknya pada bulan Februari 1979, lelah menghasilkan perubashan yang radikal dalam sistem politik dan bentuk pemerintahan di Iran. Sebelum revolusi tahun 1979, bentuk pemerintahan Iran adalah monarki absolut dengan Shah Pahlevi sebagai kepala negara dan juga kepala pemerintahan. Setelah revolusi tahun 1979, bentuk Republik Islam Iran pun secara resmi disetujui mayoritas (98, 2 %) rakyat Iran melalui referondum yang diadakan pada tanggal 1 April 1979."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S13168
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fatimah
"ABSTRAK
Peringatan Asyura adalah suatu peringatan yang selalu diperingati oleh seluruh umat Islam Syiah di seluruh dunia. la telah memberikan spirit bagi sebagian umat Islam yang menjadikan terjaganya ajaran Islam yang suci sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. Perjuangan Imam Husain adalah sebuah realitas keadilan sehingga bukan hanya menjadi relevan bagi perjuangan kemanusiaan dimanapun, tetapi lebih mendasar lagi, perjuangan tersebut layak menjadi paradigma setiap gerakan sosio-kultural masyarakat dalam mencapai kemuliaan di sisi Tuhan. Peringatan seremonial menjadi panting karena acara seperti itu dapat menjadi sarana untuk melahirkan momentum-momentum baru yang dapat menjadi inspirator dalam usaha-usaha mentransforrnasi sistem nilai Asyura ke dalam paradigma praktis kontemporer masyarakat
Di Iran sebagai Negara mayoritas berpenduduk Islam Syiah, peringatan Asyura menjadi inspirasi bagi Revolusi Islam Iran ketika Imam Khomeini membawa pesan-pesan Asyura ke dalam Revolusi Islam Iran, dan mempersamakan Syah Iran dengan Yazid bin Muawiyah sebagai pemimpin dzalim, haus kekuasaan, serta mempergunakan kekuasaannya untuk memperkaya keluarganya dan para antek-anteknya.
Kepemimpinan Imam Khomeini adalah salah satu faktor terpenting dalam keberhasilan transformasi peringatan Asyura dan ajaran-ajaran Asyura tentunya dalam kemenangan Revolusi Islam Iran.

ABSTRACT
Ashura has always been commemorated by the Shi'ite Muslims all over the world. It gives a spirit for some Muslim community, which makes it a vanguard of the Islamic Creed as thought by the Prophet Muhammad. Imam Husain's struggle is a struggle for justice which is not only compatible for humanity, but also became a paradigm for socio-cultural movement in society in order to achieve glory in God's side. This ceremonial commemoration become important, because this kind of commemoration could became a vehicle to construct new momentums which could lead to inspirations to transforms a believes in Ashura's commemoration into practical paradigm in contemporary society.
Iran as a country which Shi'ite Muslims are the majority, Ashura commemoration became an inspiration for the Islamic Revolution when Imam Khomeini brought massages of Ashura into the revolution. In which Khomeini portrayed the Shah of Iran as Yazid ibn Muawwiyah as usurper, dictator, and using his power to gain money for himself and his cronies.
Khomeini's leadership is one of the most important factors in the success in transforming Ashura commemoration and Ashura teachings, which made the Islamic Revolution in Iran as a huge success.
"
2007
T20763
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Humaidi Hambali
"[ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya suatu sistem pemerintahan yang di gulirkan
oleh seorang tokoh Syi?ah Ayatullah Khumaini, yang selanjutnya terkonsep dalam
bentuk sistem yang disebut Wilayah Faqih, yang berbeda dengan sistem
pemerintahan di negara lain yang menganut sistem pemerintahan Islam sekalipun.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mencari jawaban tentang
bagaimana bentuk kongkrit sistem pemerintahan Republik Islam Iran?
Sebagai kerangka teori dalam penelitian ini menggunakan teori politik Islam
Syi?ah. Dan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
Hasil temuan dalam penelitian ini bahwa pemikiran politik Islam Syi?ah tertuang
dalam konstitusi negara dengan berlandaskan teks agama baik dari al-Qur?an
maupun al-Hadist, atau konsep ini juga dikenal dengan sebutan Teo-Demokrasi,
walau demikian kekuasaan ada pada rakyat dalam hal partisipasi politik. Wilayah
Faqih juga mengadopsi sistem trias politica, dimana kekuasaan terbagi dalam
tiga lembaga ; Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif. Yang menjadi pembeda adalah
landasan pada masing-masing bagian. Dalam sistem Wilayah Faqih terdapat
kekuasaan di atas 3 lembaga tersebut, yaitu Rahbar.

ABSTRACT
This research is motivated existence of a system of government in the scroll by a
Shiite leader Ayatollah Khomeini, who subsequently conceptualized in the form
of a system called Wilayah Faqih, which is different from the system of
government in other countries that embrace the Islamic government system
though. Therefore, this study was conducted to seek answers about how the
concrete form system of government of the Islamic Republic of Iran
As a theoretical framework in this study using Shiite Islamic political theory. And
this study used qualitative research methods.
The findings in this study that the Shiite Islamic political thought contained in the
state constitution on the basis of religious texts from both the Koran and al-
Hadith, or the concept is also known as Teo-Democracy, however power is in the
people in terms of political participation. Wilayah Faqih also adopted trias
politica system, in which power is divided in three institutions; Judiciary,
Executive and Legislative. That the difference is the cornerstone on each section.
In the system there is power in the Wilayah Faqih on 3 institutions, namely
Rahbar, This research is motivated existence of a system of government in the scroll by a
Shiite leader Ayatollah Khomeini, who subsequently conceptualized in the form
of a system called Wilayah Faqih, which is different from the system of
government in other countries that embrace the Islamic government system
though. Therefore, this study was conducted to seek answers about how the
concrete form system of government of the Islamic Republic of Iran?
As a theoretical framework in this study using Shiite Islamic political theory. And
this study used qualitative research methods.
The findings in this study that the Shiite Islamic political thought contained in the
state constitution on the basis of religious texts from both the Koran and al-
Hadith, or the concept is also known as Teo-Democracy, however power is in the
people in terms of political participation. Wilayah Faqih also adopted trias
politica system, in which power is divided in three institutions; Judiciary,
Executive and Legislative. That the difference is the cornerstone on each section.
In the system there is power in the Wilayah Faqih on 3 institutions, namely
Rahbar]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangku
"ABSTRAK
Dalam Islam mazhab Syiah Isna Asyariah dikenal doktrin ajaran Imamah. Doktrin ajaran ini lahir ketika umat Islam pada masa-masa awal perturnbuhannya berpolemik mengenai siapa yang lebih berhak menggantikan posisi Nabi Muhammad SWA memimpin umat setelah Ia wafat. Sedangkan posisi kerasulannya bukan terrnasuk yang diperdebatkan. Kelompok Syiah berpendapat Ali ibn Abi Talib beserta keturunannya yang lebih berhak. Inilah permulaan lahirnya doktrin Imamah. Pada praktiknya doktrin ini merupakan ajaran yang lengkap dalam pandangan urnat Islam Syiah. Doktrin Imamah tidak saja mengurusi persoalan agama tetapi juga aspek-aspek kehidupan sosial lainnya, terrnasuk kehidupan kenegaraan. Namun demikian timbul masalah dalam perkembangan sejarah selanjutnya Masalah yang ada berkaitan dengan berakhirnya siklus Imamah yang ditandai oleh periode keghaiban besar Imam AI-Mahdi serta wafatnya empat orang wakil khusus Al-Mahdi. Menghadapi masalah ini para fakih Syiah Isna Asyariah berbeda pendapat. Kelompok fakih Akhbari cenderung membiarkan kevakuman...

"
1996
S13279
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sy. Nana Raihana
"Iran, pasca Revolusi 1979, mengubah bentuk negaranya dari negara monarki menjadi bentuk Republik Islam Iran (Mazhab Syi'ah) dengan sistem Wilayah al-Faqih (kewenangan/otoritas ahli agama). Menurut Imam Khomeini, sebagai pengkonsep sistem ini, rakyat harus memutuskan wewenang mereka dengan suatu cara tertentu, kehendak orang banyak (rakyat) tersebut harus diikat oleh kehendak Ilahiyyah. Dan ikatan ini dimanifestasikan dengan pengendalian Wilayah al-Faqih atas pemerintah. Ini pula yang sering ia sebut sebagai hukum Ilahiyyah-manusia atau yang lebih sering ia sebut dengan demokrasi Islam.
Dalam mewujudkan hukum Ilahiyyah-manusia atau pemerintahan yang berdemokrasi Islam ini, suatu pemerintahan harus memenuhi dua syarat. Pertama ia harus legal, artinya ia telah mendapat restu/kelegalan dari Allah sebagai Sang pembuat hukum. Restu yang diberikan Allah ini hanya kepada orang-orang yang sudah mengenal lebih Allah dan hukumnya (Nabi/Rasul, Imam, Faqih/ahli agama). Kedua, harus legitimate. Selain diperlukannya `restu' Allah, maka untuk pelaksanaannya diperlukan pula legitimasi dan rakyat dan bisa diperoleh melalui pemilu. Kedua syarat inilah yang menjadi pilar dari demokrasi Islam.
Bahwa dalam konsep Wilayah al-Faqih yang diterapkan di Republik Islam, Iran (RII), nampaknya Imam Khomeini mencoba menggabungkan sistem politik Barat (dengan keberadaan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif) dengan sistem politik Islam (dengan keberadaan Dewan Perwalian, Dewan Kemashlahatan Nasional dan Imam/ Rahbar, yang bertugas mengawasi dan membatalkan suatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan hukum Islam, konstitusi RII dan cita-cita revolusi).
Bahwa dalam perjalanannya, konsep Wilayah al-Faqih ini mendapat kritik bahkan ditentang oleh sebagian rakyat Iran, dan ini terjadi sejak awal perjalanan negara ini pasca revolusi. Hal ini disebabkan beragamnya ideologi yang diusung kelompok-kelompok politik oposan di Iran. Kelompok-kelompok ini terdiri dari: kelompok nasionalis-liberal, kelompok kiri/Marxis, kelompok suku Kurdi (Sunni) dan kelompok Royalis (pro Shah).
Bahwa konflik atau pertarungan antara kubu reformis dan konservatif di Iran saat Ini merupakan suatu fenomena demokrasi yang sedang berjalan. Tuntutan dari kubu reformis selama ini tidak sampai pada tuntutan mengubah tatanan bangunan Republik Islam Iran. Tuntutan perubahan masih terbatas pada butir-butir dalam konstitusi, meninjau kembali kekuasaan mutlak Pemimpin/Rahbar dan sekaligus memberi kekuasaan yang lebih besar kepada Presiden.

Islam and Democracy: Institutional Format of Democracy in Islamic Republic of Iran After Islamic revolution of 1979, Iran reshapes its political system from monarchy into Islamic Republic (Shi'a sect) based on the principle of velayat-e-faqih (guardianship of the supreme jurist-theologian). To supreme leader Ayatollah Khomeini, the originator of that concept, the people have to stipulate their authority through a certain way, namely the desire of majority (people) must be bind by God's rule and legislation. This bind is manifested in form of velayat-e-faqih control over government. This is indeed what he calls man-deity legislation or what is often termed Islamic democracy.
To implement this man-deity legislation or government based on the Islamic democracy, two requirements must meet. Firstly, it shall be legal, namely obtaining approval from God as the Legislator. The approval of God is only given to ones who know God as well as His legislation much better (namely Prophet/Messenger, Leader, jurist-theologian). Secondly, it shall be legitimate. For the sake of implementation, in addition to obtaining God' approval, it is necessary to get legitimacy from the people, and this can be reached through election.
Based on principle of velayat-e-faqih as implemented in the Islamic Republic of Iran, in addition to clergy institutions themselves, there are also democratic institutions whose functions and tasks are exactly the same as democratic institutions in other countries. However, their authority is limited to the power of clergy institutions, (such as the Guardian Council, Expediency Discernment Council of the System, and the Supreme Leader/Rahbar) whose functions are to oversee and annul a legislation that is in contravention Islamic order, Iran's constitution, and revolutionary goal.
During the course of its implementation, this concept of velayat-e-faqih has gotten criticism and even opposition from some walks of life in Iran, and this truly has been taking place since the beginning of the country's course in the post-revolutionary period. This happens because the varieties of ideology that are put forward by some political opposition groups in Iran. These groups consist of nationalist-liberal group, left/Marxist group, Kurd group (Sunni), and Royalist group (pro-Shah).
Actually, conflict or struggle for power between reformist and conservative party in Iran must be deemed as a normal phenomenon in on-going democracy. The reformist's demand so far doesn't exceed to reshape structural pillar of the Islamic Republic of Iran. It is only limited to some articles included in Iran's constitution, to reconsider absolute power of the Supreme Leader (Rahbar), and to share more authority to the president as executive power. As a matter of fact, these demands were ever voiced and fought by moderate group during Ayatollah Khomeini in power.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11936
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Hindiarta Kusuma
"Tesis ini ingin menjelaskan unsur-unsur Confidence-Building Measures (CBMs) dalam politik luar negeri Presiden Muhammad Khatami dapat mempengaruhi perubahan hubungan antara Republik Islam Iran dan negara-negara yang tergabung dalam GCC. Iran dan negara-negara tetangganya terlibat dalam kesalingcurigaan dalam kurun waktu lebih dari satu dekade ketika Revolusi Islam Iran terjadi pada tahun 1979. Retorika-retorika para pembuat kebijakan di Iran memberikan kekhawatiran yang luar biasa pada para pemimpin negara-negara GCC. Hal itu ditambah lagi dengan reputasi Iran yang mempunyai keinginan kuat untuk menjadi hegemon di kawasan, dengan tetap mempertahankan status quo teritorial dan pembangunan fasilitas pertahanan, khususnya pembuatan rudal-rudal, pembangunan pertahan maritim yang semakin kuat di Teluk dan pengejaran senjata nuklir.
Rasa khawatir para pemimpin GCC terhadap Iran terus berlanjut walaupun bapak Revolusi Iran, Ayatullah Khomeini, telah meninggal dunia, dan orientasi politik luar negeri Iran cenderung pragmatis.
Kesalingcurigaan tersebut pada akhirnya membuat kawasan Teluk menjadi teramerikanisasi dan membahayakan keberadaan pemerintah Iran. Apalagi ketika pasukan AS berhasil menaklukkan Irak pada Maret 2003. Persepsi pemerintah Iran dalam memandang keamanannya adalah terkepung diantara negara-negara yang berada di bawah kontrol Amerika. Perbaikan hubungan dengan Amerika Serikat sampai saat ini belum bisa diwujudkan, padahal Iran harus mencari alternatif bagi pembangunan negerinya yang membutuhkan dana yang tidak sedikit dan melindungi rezim penguasa saat ini.
Pilihan strategisnya adalah pendekatan yang dilakukan pada negara-negara Teluk yang selama ini menjadi target revolusi. Presiden Khatami telah memulainya sejak memegang jabatan presiden Iran pada tahun 1997, dan sedikit banyak telah mendapat perkembangan yang baik. Konflik konservatif-reformis mendukung perbaikan hubungan ini karena negara-negara Teluk adalah negara-negara muslim juga, walaupun memiliki kerja sama keamanan dengan AS.
Saling kunjung para pejabat negara diantara dua pihak telah terjadi dan itu sebagai tanda tercapainva CBMs pada tahap awal. CBMs itu masih sangat jauh membantu upaya penciptaan sistem keamanan regional yang berbasiskan pada ide-ide dan kepentingan negara-negara kawasan, karena masih adanya berbagai kecurigaan yang timbul karena sengketa yang belum terselesaikan, seperti sengketa tiga pulau strategis.
Daftar Pustaka : 39 buku; 10 artikel jurnal; 34 artikel dan berita website; 2 sumber lain"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13337
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Maulana
"Politik luar negeri Iran pada masa Presiden Khomeini memang menarik untuk dibahas. Iran di bawah kepemimpinannya ingin memainkan peranan yang besar di kawasan Teluk Persia, dan berusaha untuk terus meningkatkan hubungannya dcngan negara-negara lain. Terlebih ketika ketika aksi Amerika menyerang Irak pada Maret 2003.
Secara geografis, Iran diapit oleh negara-negara pro-AS. sedangkan hubungan Iran-AS sendiri kian memanas. Satu sisi lain, Irak sebagai kaum sesama Arab, tapi juga musuh lama Iran. Dengan demikian, politik luar negeri Iran pada Perang Teluk II bersikap netral dan tidak memihak pada satu pihak tertentu. Posisi Iran yang serba dilematis membuat politik luar negeri Iran bersikap demikian. Uniknya, politik luar negeri Iran sangat bergantung dari faktor internal Iran sendiri.
Tulisan ini berusaha mengeksplorasi politik luar negeri Iran di kawasan Timur Tengah pada umumnya, dan terhadap serangan AS ke Irak secara khusus. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana politik luar negeri Iran terhadap serangan AS ke Irak pada tahun 2003, dan faktor-faktor apa yang secara signifikan mempengaruhi politik luar negeri Iran terhadap serangan AS ke Irak pada tahun 2003.
Kerangka pemikiran yang digunakan untuk menjelaskan semua ini adalah teori kebijakan luar negeri dan konsep kepentingan nasional. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Iran bersikap netral terhadap serangan AS ke Irak. Hubungan Iran dengan negara tetangga dan Uni Eropa membaik, kecuali dengan AS yang kian meruncing. Dalam tesis ini juga dibahas tentang faktor-faktor internal yang banyak mempengaruhi politik luar negeri Iran, dan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi sikap politik luar negeri Iran terhadap serangan AS ke Irak."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library