Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cahayatunnisa
"Judgment of Taste yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa melalui kajian selera dapat diungkap makna dan faktor-faktor yang mendorong terbentuknya suatu praktik sosial termasuk terhadap sebuah material culture. Masjid kerajaan merupakan salah satu bentuk bangunan peninggalan bercorak Islam yang pada dasarnya tidak memiliki aturan khusus atau panduan dalam pendiriannya. Dalam konteks masjid kerajaan, penguasa memiliki peran penting dalam menentukan bentuk bangunan yang menjadi representasi kewibawaan dan kekuasaannya. Oleh karenanya, ingin diungkap melalui pendekatan selera Pierre Bourdieu dengan analisis arkeologi bagaimana masjid-masjid kerajaan dijadikan sebagai representasi selera penguasa. Metode yang digunakan berupa penelitian kualitatif dengan tahap-tahap yakni pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan interpretasi data. Kajian ini menggunakan analisis arkeologi yang terdiri dari analisis morfologi, gaya dan kontekstual. Hasil yang diperoleh adalah bahwa masjid-masjid Kesultanan Langkat memiliki bentuk arsitektur dan ornamen yang beragam sebagai bentuk representasi selera penguasa. Selera penguasa tersebut didorong oleh ruang sosial atau arena, habitus dan berbagai modal, baik modal sosial, budaya, simbolik maupun ekonomi. Hasil kajian ini juga mengungkap perbedaan antara bentuk masjid pusat pemerintahan dengan masjid-masjid yang ada di daerah bagian (kejuruan) dan dipimpin oleh raja kecil. Selera sultan yang pada awalnya direpresentasikan pada masjid pusat pemerintahan, pada pembangunan berikutnya juga diikuti pula oleh masjid-masjid yang berada di kejuruan sehingga menjadi identitas masjid-masjid di bawah kekuasaan Kesultanan Langkat.

Judgment of Taste proposed by Pierre Bourdieu explains that through the study of taste can be revealed the meaning and factors that encourage the formation of a social practice including a material culture. The royal mosque is one form of Islamic heritage building which basically has no specific rules or guidelines for its establishment. In the context of the royal mosque, the ruler has an important role in determining the shape of the building which represents his authority and power. Therefore, it wants to be revealed through Pierre Bourdieu's taste approach with archaeological analysis how royal mosques are used as a representation of the ruler's taste. The method used is qualitative research with the stages of data collection, data processing, data analysis and data interpretation. This study uses archaeological analysis consisting of morphological, stylistic and contextual analysis. The results obtained are that the mosques of the Langkat Sultanate have diverse architectural forms and ornaments as a form of representation of the tastes of the ruler. The ruler's taste is driven by social space or arena, habitus and various capitals, both social, cultural, symbolic and economic capitals. The results of this study also reveal the difference between the form of the mosque at the center of government and the mosques in the provinces (kejuruan) and led by small kings. The sultan's taste, which was initially represented in the central government mosque, was also followed by the mosques in the vocational area so that it became the identity of the mosques under the rule of the Sultanate of Langkat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shela Octavia
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas surat Riouw 197 (selanjutnya disingkat R-197), yaitu koleksi surat kesultanan Langkat pada masa 1866-1868. Surat R-197 disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan dicatat dalam Daftar Katalog Sub Direktorat Layanan Arsip terbitan ANRI. Secara spesifik, koleksi-koleksi Langkat ditemukan dalam Katalog Riouw yang bernomor K-37. Surat R-197 yang menjadi bahan penelitian memperlihatkan konflik-konflik yang dihadapi Pangeran Langkat dengan para penguasa lokal Tamiang. Penelitian terhadap surat R-197 diawali dengan cara kerja filologi, yaitu dengan mentransliterasikan teks yang beraksara Jawi ke aksara Latin. Selanjutnya, isi teks dikaji dengan menggunakan studi pustaka. Surat R-197 menambah kisah dalam sejarah Langkat dan upayanya menegakkan kedaulatan di Tamiang. Pembahasan dalam surat berlatar pada tahun 1866 sampai 1868. Namun, perebutan atas Tamiang telah terjadi sebelum tahun 1866. Persaingan antara Kesultanan Aceh dan pemerintah Belanda menjadi salah satu penyebab utama konflik Langkat. Keterlibatan Kesultanan Aceh dan pemerintah Belanda sangat berpengaruh dalam konflik Langkat serta kedudukan beberapa kesultanan lain di Sumatra. Keterlibatan Kesultanan Siak dan Kesultanan Deli dalam konflik internal Langkat sangat berpengaruh dalam proses penyelesaian masalah. Hubungan antara Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli, dan Kesultanan Siak merupakan hasil dari sejarah kekerabatan yang panjang.

ABSTRACT
This paper discusses the 197 Riouw letter (abbreviated as R-197), the collection of Langkat Sultanate letters in the period 1866-1868. The letter R-197 is kept in Arsip Nasional Republik Indonesia (the National Archives of the Republic of Indonesia/ANRI) and recorded in the Catalog List of Sub Directorate of Archive Services published by ANRI. Specifically, Langkat collections are found in the Riouw Catalog numbered K-37. As the subject of research, the letter R-197 shows the conflicts between King Langkat and the local authorities of Tamiang. Before analyzing the contents of the text, the letter R-197 is translated from Jawi script to latin script. Then, the contents of the text are examined using literature studies. The letter R-197 contains the history of Langkat and its efforts to uphold sovereignty in Tamiang. The discussion in the letter took place between 1866 and 1868. However, the struggle for Tamiang had taken place before 1866. Competition between the Sultanate of Aceh and the Dutch government became one of the main causes of the Langkat conflict. The involvement of the Aceh Sultanate and the Dutch government was very influential in the Langkat conflict and the position of several other sultanates in Sumatra. The involvement of the Siak Sultanate and the Deli Sultanate in Langkat internal conflict was very influential in the problem solving process. The relationship between the Langkat Sultanate, the Deli Sultanate, and the Siak Sultanate is the result of a long history of kinship."
2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library