Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rhea Putri Ulima
"Pendahuluan. Saat ini, infeksi daerah operasi (IDO) tetap menjadi komplikasi paling umum dari prosedur bedah. Dalam pencegahannya, antibiotik profilaksis menjadi pilihan pertama dan menyebabkan penggunaan antibiotik yang tinggi. Namun, pemberian antibiotik harus didasarkan pada strategi, yaitu stewardship. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menilai penggunaan antibotik menggunakan metode Gyssens. Metode Studi kohort retrospektif menganalisis pemberian antibiotik pada sebagian besar operasi elektif besar, termasuk tiroidektomi, mastektomi, dan kolesistektomi yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia dari Januari hingga Juli 2023. Indikasi, jenis, dosis, waktu, interval, durasi, dan rute pemberian adalah variabel yang diteliti. Hasil Dari 191 subjek yang menjalani prosedur bedah elektif paling umum, 30 menggunakan antibiotik kombinasi. Kategori Gyssens 0 terdiri dari 165 subjek (86,5%), dan 11 subjek (5,8%) diklasifikasikan sebagai kategori IIA, yang menunjukkan dosis yang tidak sesuai (tidak memadai, tidak mencukupi). Ketidakakuratan penggunaan antibiotik teridentifikasi sebagai pemberian pada waktu yang salah (5,8%), pemilihan antibiotik yang kurang tepat (3,1%), dosis yang salah (2,6%), dan waktu pemberian yang tidak tepat (2,1%). Hubungan antara kategori Gyssens dengan SSI menunjukkan nilai p > 0,05 dengan odds ratio 1, yang menunjukkan bahwa pemberian antibiotik yang sesuai maupun tidak sesuai dari kategori Gyssens tidak menunjukkan hubungan pada kejadian IDO atau non-IDO. Kesimpulan Tingkat kepatuhan penatagunaan antibiotik pada kasus bedah elektif terbanyak di Departemen Bedah RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo yang dinilai menggunakan alur Gyssens mencapai 86,4% dan memerlukan perbaikan.

Introduction. Nowadays, surgical site infections (SSI) remain the most common complication of surgical procedures. In prevention, the prophylactic antibiotic is the first option and somehow leads to the high use of antibiotics. However, antibiotic administration should be based on the strategies, which is the stewardship. Thus, the study aimed to assess using Gyssens' method. Method. A retrospective cohort study analyzed the antibiotic administration of most major elective surgeries, including thyroidectomy, mastectomy, and cholecystectomy proceeded in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia from January to July 2023. Indication, type, dosage, timing, interval, and duration and route of administration were the variables of interest. Results. Of 191 subjects who underwent the most common elective surgery procedures, 30 used combination antibiotics. Gyssens category 0 consists of 165 subjects (86.5%), and 11 subjects (5.8%) were classified as category IIA, indicating inappropriate dose (inadequate, insufficient). Inaccuracies were identified as mistimed administration (5.8%), less effective antibiotic selection (3.1%), incorrect dosage (2.6%), and inappropriate timing (2.1%). The association of Gyssens categories with SSIs showed a p–value of > 0.05 with an odds ratio of 1, indicating that both appropriate and inappropriate antibiotics of the Gyssens category showed no impact on SSIs or non–SSIs. Conclusion. The adherence to antimicrobial stewardship in the most common elective surgery in the Department of Surgery, dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital was 86.4 and subjected to improvement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Dzatir Rohmah
"Meningitis bakterial dianggap sebagai kasus kegawatdaruratan neurologik dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mortalitas akibat meningitis bakterial dapat mencapai 34% terutama pada infeksi yang disebabkan oleh S. pneumoniae dan L. meningitidis. Sementara morbiditas pada pasien meningitis bakterial yaitu sekuele neurologis jangka panjang dapat mencapai 50% pada survivor meningitis. Terapi antibiotik dengan penggunaan yang rasional dapat menurunkan angka kematian. Sebaliknya, penggunaan terapi antibiotik yang tidak rasional akan meningkatkan terjadinya resistensi yang berdampak pada peningkatan morbiditas, mortalitas, dan biaya kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotik pada pasien meningitis bakteri dengan metode Gyssens. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode retrospektif cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Fatmawati, Jakarta. Subyek penelitian adalah 27 pasien meningitis bakterial yang memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan evaluasi penggunaan antibiotik diagram alir Gyssen diperoleh hasil 11 (40,7%) subyek menggunakan antibiotik yang tepat dan 16 subyek (59,3%) menggunakan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang belum tepat tersebar dalam beberapa kategori sebagai berikut yaitu kategori IVc sejumlah 2 subyek (7,4%), kategori IVd sejumlah 2 subyek (7,4%), kategori IIIA sejumlah 3 subyek (11,1%), kategori IIIB sejumlah 1 subyek (3,7%), kategori IIA sebanyak 13 subyek (48,1%), dan kategori IIB sebanyak 3 subyek (11,1%). Penggunaan antibiotik yang sesuai berdasarkan evaluasi menggunakan algoritma Gyssen pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap outcome pasien dengan nilai p=1,000 (nilai p>0.05). Variabel jenis kelamin merupakan variabel yang berpengaruh secara signifikan (p<00,5) terhadap kerasionalan antibiotik pada pasien meningitis bakterial.

Bacterial meningitis is considered as neurologic emergency with high morbidity and mortality rates. Mortality can reach 34%, especially in infections caused by S. pneumoniae and L. meningitides, while morbidity in bacterial meningitis patients, namely long-term neurologic sequelae, can reach 50% amongst survivors. If antibiotics are used properly, they can lower mortality rates. On the other hand, the irrational use of antibiotic therapy will raise the likelihood of resistance, which raises morbidity, mortality, and costs for health care. This study aims to determine the quality of antibiotic use in bacterial meningitis patients using the Gyssens method. It is an observational study employing the retrospective crosssectional method conducted at Fatmawati General Hospital, Jakarta. The research subjects were 27 patients with bacterial meningitis who met the inclusion criteria. In this study, 40.7% of the subjects had been administered appropriate antibiotics and 59.3% inappropriate ones, which were spread across several categories, namely category IVc for two subjects (7.4%); category IVd for two subjects (7.4%); category IIIA for three subjects (11.1%); category IIIB for one subject (3.7%); category IIA for 13 subjects (48.1%); and category IIB for three subjects (11.1%). The use of appropriate antibiotics based on evaluation using the Gyssens algorithm did not significantly affect patient outcomes (p=1,000). Gender is a variable that has a significant effect (p<00.5) on the rationale for antibiotics in patients with bacterial meningitis."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaswin Dhillon
"Latar belakang dan tujuan: Dari berbagai literatur, salah satu penyebab kegagalan respons klinis pasien pneumonia komunitas adalah akibat pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat. Pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko kematian dan resistensi antibiotik di kemudian hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik dengan menggunakan metode Gyssens yang merupakan alat penilaian kualitatif yang dipakai oleh PPRA di Indonesia serta membandingkannya dengan luaran pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari rekam medis pasien berusia di atas 18 tahun yang didiagnosis pneumonia komunitas dan dirawat inap selama periode Januari- Desember 2019. Penelitian ini menganalisis pemberian antibiotik empiris pada saat pasien pertama kali didiagnosis pneumonia komunitas.
Hasil: Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 108 subjek. Proporsi pasien yang diberikan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens adalah 58,3% dan yang diberikan antibiotik empiris telah tepat adalah 41,7%. Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik empiris tidak sesuai dengan pedoman PDPI memiliki risiko meninggal sebesar 2,875 kali lipat (IK 95% 1,440 – 5,739, p=0,004). Pasien yang diberikan antibiotik empiris dalam waktu setelah 8 jam didiagnosis pnemunia komunitas memiliki risiko meninggal sebesar 3,018 kali lipat (IK 95% 1,612 – 5,650, p=0,002). Dari analisis multivariat, faktor prediktor independen yang berhubungan dengan kejadian mortalitas pasien pneumonia komunitas dalam 30 hari adalah kejadian pneumonia berat dengan risiko sebesar 7,3 kali lipat (IK 95% 2,24-23,88, p=0,001), penyakit CVD dengan risiko sebesar 5,8 kali lipat (IK 95% 1,28-26,46, p=0,023), dan ketidaktepatan pemberian antibiotik empiris dengan risiko sebesar 4,2 kali lipat (IK 95% 1,02-17,74, p=0,048).
Kesimpulan: Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens dengan luaran pasien yaitu kejadian mortalitas 30 hari (p=0,001).

Background and Purpose: From many literatures, one of the causes of clinical response failure in community-acquired pneumonia patients is due to the inappropriate empirical antibiotics use. Improper administration of empirical antibiotics can increase the risk of death and antibiotic resistance later in life. The purpose of this study is to evaluate the appropriateness of the empirical antibiotics use using the Gyssens method which is a qualitative assessment tool used by the antibiotic stewardship program in Indonesia and to compare it with the outcome of community-acquired pneumonia patients.
Method: This study is a retrospective cohort study at the Persahabatan General Hospital. Data is taken from the medical records of patients over the age of 18 who are diagnosed with community-acquired pneumonia and hospitalized during the January- December 2019 period. This study analyzes the administration of empirical antibiotics when the patient is first diagnosed with community-acquired pneumonia.
Results: The number of samples in this study were 108 subjects. The proportion of patients who were given empirical antibiotics incorrectly based on the Gyssens method was 58.3% and those given empirical antibiotics were appropriate was 41.7%. Patients who received empirical antibiotic therapy not in accordance with PDPI guidelines had a 2.875-fold risk of death (95% CI 1.440 - 5.739, p = 0.004). Patients who were given empirical antibiotics after 8 hours of being diagnosed by the community-acquired pneumonia had a risk of death of 3,018-fold (95% CI 1.612 – 5.650, p = 0,002). From a multivariate analysis, independent predictors related to the mortality of community- acquired pneumonia patients within 30 days were the incidence of severe pneumonia with a risk of 7.3-fold (95% CI 2.24-23.88, p = 0.001), CVD with a risk of 5.8-fold (95% CI 1.28-26.46, p = 0.023), and inappropriate empirical antibiotics use with a risk of 4.2 fold (95% CI 1.02-17.74, p = 0.048).
Conclusion: In this study there was a significant relationship between the use of inappropriate empirical antibiotics use based on the Gyssens method and the outcome of community-acquired patients, which was the 30-days mortality (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library