Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Departemen Kehakiman, Ditjen.Kumdang, 1995
345.05 IND h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Departemen Kehakiman, Ditjen.Kumdang, 1997
345.05 IND h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1985
S25356
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kanter, Lionard
"Hukuman yang berat dengan hukuman mati bila dilaksanakan secara tegas dan konsisten akan mengurangi kejahatan narkoba. Namun adanya Grasi sebagai kekuasaan yang absolut tersebut tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan merupakan hal yang dapat menggugurkan leak untuk melaksanakan eksekusi. Pennasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah mengenai pengaruh grasi terhadap eksekusi hukuman mati khususnya kepada terpidana kasus narkoba diwilayah pengadilan Tangerang. Serta berupaya untuk mengupas masaiah yang berkenaan dengan penerapan Undang-undang Grasi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif-sosiologis dan metode deskriptif analitis. Metode yuridis nonnatif-sosiologis, yang menitikberatkan penelitian terhadap data sekunder berupa Mahan hukum primer. Sedangkan metode deskriptif analitis untuk memperoleh gambaran secara integral dan komprehensif serta sistematis tentang teori-teori hukum pidana dalam memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat dari para pelaku tindak pidana narkoba. HashI penelitian menunjukkan bahwa grasi dalam rangka menyelenggarakan keadilan bagi masyarakat, sebagai salah satu fungsi Pemerintah menjaiankan tanggung jawabnya untuk menciptakan kondisi yang kondusif. Pada dasarnya sikap Presiden keras, tegas, dan konsisten terhadap pemberantasan narkoba dan tidak alum .memberikan grasi kepada mereka yang merusak generasi muds, menghancurkan masa depan. Hal ini jelas menunda dan menangguhkan eksekusi mati terpidana. Adanya kasus terpidana yang mengajukan grasi untuk kedua kalinya dan putusan penolakan grasi yang sulit dilaksanakan menunjukkan Undang-undang Grasi perlu ditinjau kembali. Dan eksekusi hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana narkoba merupakan salah satu upaya penegakan hukum di Indonesia. Serta hanya bagian dari upaya dalam pemberantasan kejahatan narkoba selain adanya peran langsung dari masyarakat.

The hardest sentence by death sentence if it is realized consistently and firmly, then, it will reduce criminal case of narcotics and elicit drugs. Nevertheless, such a pardon granted by state as absolute power that may not be controlled or valued by court it may result in the abortion of right to realize execution. The problem arising in this research is regarding a pardon impact against execution of death sentence for case of narcotics and elicit drugs in district court of Tangerang specially. And also to discuss the problems pertaining to application of laws on a pardon granted by state. This research used both normative-sociologic juridical and descriptive analytical methods. Normative-sociologic juridical method underlying secondary data such as primary legal books, whereas, descriptive analytical method in order to obtain integral and comprehensive illustration and systematic of criminal law theory to give legal protection for society from criminal actors of narcotics and elicit drugs. Research result indicating that a pardon within framework to perform justice for society as one government functions to implement their duties and responsibilities to create conducive condition. Basically, the attitude of President is firm, consistent and strong to fight narcotics and elicit drugs and will not give a pardon for who had destructed young generation and eliminate the national future. Obviously, it had postponed and delayed death sentence execution. The case of criminal actor who had filed the second a pardon and judgement of a pardon refusal that may not be realized easily, it indicates that laws on a pardon should be reviewed. And execution of death sentence against criminal actor of narcotics and elicit drugs is one of efforts to enforce law in Indonesia. And as part of efforts to fight criminal commitment of narcotics and elicit drugs as well as direct participation from society."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19282
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhian Deliani
"Pemberian grasi merupakan kekuasaan prerogatif Presiden. Keberadaan grasi sebagai kekuasaan yang absolut dan mutlak, dapat mengubah keputusan hakim yang sudah berkekuatan tetap. Dengan adanya perubahan UUD 1945, maka kekuasaan ini tidak bersifat mandiri lagi karena dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan grasi dalam UUDNRI 1945, bagaimanakah pelaksanaan kekuasaan presiden dalam pemberian grasi dan hambatan dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan 2010 dan bagaimanakah dengan pengaturan dan perbandingan grasi di negara lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, syarat adanya pertimbangan meningkatkan peran MA dalam menjalankan mekanisme checks and balances, namun tidak mengurangi kekuasaan Presiden. Kedua, dalam kurun waktu tahun 2010 terdapat 191 permohonan grasi dan 62 Keppres grasi dengan prosentase Presiden dalam hal memperhatikan pertimbangan MA sebesar 85,5% dan prosentase tidak memperhatikan pertimbangan MA sebesar 14,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pertimbangan MA cukup berpengaruh dalam sebuah pengambilan keputusan grasi oleh Presiden. Ketiga, Pelaksanaan grasi di negara Amerika, Kanada dan Filipina berbeda dengan di Indonesia, ketiga negara tersebut telah memiliki standar operasional pemberian grasi dan dilakukan tanpa pertimbangan dari cabang lembaga kekuasaan lain. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan perbandingan. Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari studi kepustakaan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Granting pardon is a prerogative power of the President. The existence of clemency as absolute and independent power, can change the judge's decision. With the amandement of UUD 1945, then this rule no longer be independent because it is done by taking into consideration the Supreme Court. The problems that were analyzed in this study is about the implementation of clemency in the UUDNRI 1945, how the implementation of the president's powers in granting pardons and constraints in during the administration of President Susilo Bambang Yudhoyono in the period 2004 to 2010 and how the arrangement and comparison of clemency on other countries. Research results showed that the first requirement to take into account increases the role of the Supreme Court in the running mechanism of checks and balances, but does not reduce the power of the President. Second, in the period of 2004 -2010 there were 191 requests for clemency and 62 Keppres, the percentage of President in terms of taking into consideration the Supreme Court for 85.5% and the percentage is not taking into consideration the Supreme Court by 14.5%. This suggests that consideration of the Supreme Court is quite influential in a decision-making clemency by the President. Third, implementation of the clemency in the United States, Canada and the Philippines differ from those in Indonesia, three countries have operational standards and granting pardons made without consideration of other branches of power institutions. This research used normative juridical methods with legislation approach, comparative approach and concept approach. Type of data used is secondary data. The secondary data obtained through library research and analyzed descriptively."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28595
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Perkasa
"Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis, pendekatan historis, dan pendekatan komparatif. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 merugikan korban, termasuk keluarga korban dan masyarakat, karena korban sebagai pihak yang paling dirugikan tidak memiliki peran apapun dalam pengambilan keputusan pemberian grasi. Konsep pemberian pengampunan yang tidak mengabaikan hak korban kejahatan adalah konsep pemberian pengampunan yang sesuai dengan hukum Islam dan hukum adat. Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945, Syariat Islam wajib diberlakukan terhadap orang Islam. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden bertentangan dengan konsep pemaafan terhadap tindak pidana hudud, qishash dan diyat dalam Syariat Islam, tetapi tidak bertentangan dengan konsep pemaafan terhadap tindak pidana ta'zir. Kewenangan tersebut juga tidak sesuai dengan konsep negara republik yang berintikan demokrasi sebagai lawan dari kediktatoran, serta sistem pemerintahan presidensiil yang memberikan kewenangan kepada kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang memungkinkan terjadinya campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap putusan hakim yang bertentangan dengan teori pemisahan kekuasaan. Tujuan negara hukum, pembentukan konstitusi, dan pemisahan kekuasaan diantaranya mencegah perbuatan sewenang-wenang penguasa dan menjamin hak-hak rakyat. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden selain membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan, juga melanggar hak asasi manusia, diantaranya hak korban, termasuk keluarga korban dan masyarakat. Hak memperoleh keadilan dan hak beragama menekankan bahwa konsep pemberian pengampunan harus memperhatikan korban dan pelaku kejahatan secara seimbang. Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 dan UU tentang Grasi harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat dua alternatif konsep dalam merumuskan dan/atau mengubah peraturan perundang-undangan terkait dengan grasi yakni konsep unifikasi hukum dan konsep pemisahan hukum. Pemberian pengampunan terkait dengan tindak pidana hudud dan qishash tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam bagi orang Islam, dan hukum adat bagi orang non-Islam. Terkait dengan tindak pidana ta'zir, kewenangan pemberian pengampunan sebaiknya diberikan kepada hakim agar sesuai dengan tujuan negara hukum, pembentukan konstitusi, dan pemisahan kekuasaan.

This research using normative law research with juridical approach, historical approach, and comparative approach. The authority of pardon granted by President regulated in Article 14 paragraph (1) Constitution 1945 is giving great loss to the victim, including their family and to the society, since the victim as the most suffering side has no role in the process of pardon. Pardon concept where the rights of victim were not neglected is appropriate with Islamic law and Adat law. According to President Decree July 5th, 1959, Preambule of Constitution 1945, and Article 29 paragraph (1) and (2) of Constitution 1945, Islamic syariah shall applicated to all muslim. The authority of pardon granted by President is contradicted with the concept of pardon as in Hudud criminal act, Qishash, and Diyat in Syariah, but not contrary to Ta?zir criminal act. Those authority also not suitable with the Republic State concept with democracy as the core as the opponent of dictatorship, and Presidential government system which giving the authority to the head of state as well as to the head of government which make the executive power participate in judicial verdict which make it contrary to the theory of power separation. The aim of law state, formation of constitution, and separation of power are made to restrain arbitrariness of the ruler and ensure the rights of people. The authority of pardon granted by President, besides open the opportunity for arbitrariness also contravene with human rights, some of them are victim rights, including their family and society. Right to obtain justice and Right in religion emphasize the concept of pardon must giving equal position to the victim and the perpetrator as well. Article 14 paragraph (1) Constitution 1945 and Pardon Act shall be adjusted to make sure it will not contradicted with Preambule of Conitution 1945 and the concept of Negara Kesatuan Republik Indonesia. There are two alternative concepts for the formulation and/or regulation amendment of pardon, they are unification and separation of law concepts. Pardon related to Hudud criminal act and Qishash should not be contradicted with Islamic law for muslim, and Adat law for non-muslim. While related to Ta'zir criminal act, the authority of pardon shoud be given to judges to ensure the aim of law state, formation of constitution, and separation of power"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library