Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suryo Adi Ari Santosa, supervisor
"Indonesia telah mengadopsi tingkat panduan dosis yang direkomendasikan oleh IAEA BSS 115 untuk beberapa jenis pemeriksaan sejak 2003. Pengukuran dosis masuk permukaan (entrance surface dose /ESD) untuk kepala dan cervical spine dengan menggunakan TLD dilakukan atas 4 pesawat sinar-X pada 3 rumah sakit di Jakarta yang diberi kode 1D, 1F, 1H dan 3H dengan reseptor sistem Kodak CR (computed radiography). Pengukuran ESD juga dilakukan berdasarkan parameter eksposinya menggunakan metode kalkulasi. Juga dilakukan pengukuran ESD pada fantom kepala ANSI dengan tujuan untuk mendapatkan faktor konversi fantom-pasien yang akan berguna dalam pengumpulan data ESD tanpa pasien.
Pelaksanaan penelitian dimulai dari penentuan ukuran standar orang dewasa Indonesia, uji fungsi pesawat sinar-X, preparasi TLD, pengambilan data ESD pasien dan diakhiri dengan pembuatan dan verifikasi fantom kepala ANSI. Sebanyak 20 orang pasien dewasa menjalani pemeriksaan kepala dengan 2 atau 3 proyeksi (AP/PA, lateral dan waters), dan 17 pasien dewasa menjalani pemeriksaan cervical spine dengan 2 proyeksi (AP dan lateral). Pengukuran ESD dengan TLD dengan cara menempatkan TLD pada kulit pasien pada pusat lapangan radiasi.
Dari pengukuran ESD menggunakan TLD pada pasien didapatkan nilai ESD pada kuartil ke-3 sebesar 1.4 mGy mGy, 1.4 mGy, dan 2.1 mGy untuk pemeriksaan kepala AP/PA, lateral, dan waters, serta 1.3 mGy dan 1.4 mGy untuk pemeriksaan cervical spine AP dan lateral. Sedangkan dari metode kalkulasi didapatkan nilai yang lebih tinggi, yaitu 2.7 mGy, 1.8 mGy dan 5.2 mGy untuk pemeriksaan kepala AP/PA, lateral, dan waters, serta 1.5 mGy for AP and 2.3 mGy untuk pemeriksaan cervical spine AP dan lateral. Rasio antara ESD pasien dengan fantom yang disebut faktor konversi fantom didapatkan sebesar 0.64 dan 0.77 untuk skull AP/PA dan lateral.
Dalam penelitian ini, nilai ESD lebih dipengaruhi oleh kebiasaan radiografer dalam penentuan faktor eksposi yang akan digunakan. Meski demikian, nilai ESD yang didapatkan cenderung lebih kecil daripada nilai referensi yang ada. Selain itu penggunaan fantom kepala ANSI akan sangat bermanfaat dalam pengumpulan data ESD mengingat jumlah pemeriksaan kepala cukup jarang.

Indonesia has adopted radiation dose guidance levels recommended by IAEA BSS 115 for several diagnostic examinations since 2003. Measurements of entrance surface dose (ESD) for head and cervical spine using TLD (thermo luminescence dosimeter) were carried out with 4 X-ray machines at 3 hospitals in Jakarta which were coded by 1D, 1F, 1H and 3H with Kodak CR (computed radiography) receptor system. Based on exposure, ESD for these examinations were also determined. ESD measurements were also conducted on ANSI skull phantom aiming to get conversion factors of phantom to patient that will be useful in collecting ESD data without patients.
This study began with determining Indonesian adult standard size, following by X-ray machine performance test, TLDs preparation, patient ESD measurement and ended with making ANSI skull phantom and ESD verification. There 20 adult patients for head examination with 2 or 3 radiography projections (AP/PA, lateral and waters), and 17 adult patients for cervical examination. The ESD was measured by TLD (thermo lunminiscence dosimeter), placed on the patient's skin, at the center of radiation field.
From the patient's ESD measurement using TLDs, the 3rd quartile ESD values were 1.4 mGy mGy, 1.4 mGy, and 2.1 mGy for head examination of AP/PA, lateral, and waters, while for AP and lateral cervical spine were 1.3 mGy and 1.4 mGy. Whereas ESD values from the calculation method based on exposure were higher, i.e. AP/PA, lateral and waters head examinations were 2.7 mGy, 1.8 mGy, and 5.2 mGy respectively, and for AP and lateral cervical spine examination were 1.5 mGy for AP and 2.3 mGy. The ratio between patient ESD and phantom ESD, namely conversion factors, were 0.641 and 0.765 for AP/PA and lateral skull examination.
In this study, ESD values found were more affected by technical habit of the radiographer in setting the exposure condition. In spite of that fact, it was found that these ESD values were still lower than references. Besides that, the usage of inhouse ANSI skull phantom will be beneficial for collecting ESD data considering the low frequency of head examinations.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
T29007
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widjajalaksmi Kusumaningsih
"ABSTRAK
Persepsi sensasi fantom yang timbul pasca amputasi anggota gerak, mengikuti arahan pola spesifik yang berkaitan dengan persepsi tubuh sendiri yang berkaitan dengan teori Neuromatriks dari Melzack dan Hukum Hebb. Nyeri fantom berhubungan dengan pengalaman nyeri pra-amputasi dimana terjadi disinhibisi memori nyeri pra-amputasi. Fenomena ini menganggu aktivitas sehari - hari bahkan dapat menciderakan penderita pasca amputasi anggota gerak. Fenomena ini dapat dideskripsikan sebagai adanya suatu persepsi berkelanjutan dari bagian tubuh dengan atau tanpa nyeri dalam suatu periode. Dalam perjalanan waktu terjadi perubahan karakteristik dari fenomena fantom (telescoping , sensasi fantom menjalar dan nyeri fantom) yang dimodulasi oleh berbagai substrat seperti kortisol, substansi P dan serotonin yang berfluktuasi untuk menciptakan keseimbangan homeostasis. Guna memahami fenomena ini diperlukan pendekatan metoda kuantitatif (dengan mengukur fluktuasi neurohumoral dalam suatu periode dan melakukan evaluasi terhadap kondisi puntung) dan metoda kualitatif antara lain melalui pemetaan gejala sensasi fantom, guna memahami lokasi neuroanatomis. Terapi nonfarmakologis sederhana diberikan sesuai diagnosis berdasar lokasi neuroanatornis.
Tempat : Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Ortopedi, RSCM 1 FKUI, RSU Fatmawati, RSPAD, PusRehCat Bintaro, Laboratorium Makmal Terpadu FKUI, Panti Sosial Bina Daksa, Jakarta.
Populasi dan Sampel : Semua pasien laki-laki dan perempuan usia 17 -- 55 tahun pasca amputasi terminal tunggal anggota gerak atas dan bawah, dextra dan sinistra (transfemoral, transtibial, transhumoral dan transradial, dextra dan sinistra), stadium pasca amputasi pra prostetik tanpa nyeri puntung.
Subyek penelitian dialokasikan dalam dua kelompok yaitu kelompok pengguna prostesis (P) dan kelompok bukan pengguna prostesis (NP). Kedua kelompok dievaluasi tiga kali (tahap awal, tahap pertengahan, tahap akhir) selama kurun waktu 6 bulan. Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar kortisol, serotonin dan substansi P antara jam 8.00 - 9.00 pagi (variasi diurnal) dilaboratorium Makmal FKUI pada tahap awal dan tahap akhir. Kadar kortisol menggunakan tehnik RIA (Radioimunoassay), serotonin dan substansi P menggunakan tehnik ELISA (Enzym Linked Imunno Sorbent Assay). Pengukuran lingkar otot puntung berdasarkan The International Standard Measurement for Limb Muscle Girth pada level amputasi transfemoral transtitibial, transhurneral dan transradial. Pengukuran sinyal listrik otot puntung dengan pressure biofeedback (Myomed 932). Penilaian tahapan telescoping dan penilaian sensasi fantom menjalar menggunakan modifikasi pengukuran imaginasi visual dan gerak. Penilaian nyeri fantom dengan VAS (Visual Analogue Scale) Studi kualitatif meliputi pemetaan sensasi fantom menjalar, pemetaan tahapan telescoping, kuesioner mengenai gejala fenomena fantom termasuk pengalaman nyeri pra amputasi.
Dilakukan perbandingan antara kedua kelompok, yaitu kelompok yang aktif menggunakan prostesis fungsional secara kontinu dengan kelompok yang tidak menggunakan prostesis. Jumlah subyek dengan jenis kelamin laki-laki jauh lebih besar dibanding perempuan, yaitu laki-laki sebanyak 22 (52,4%) pada kelompok P dan 20 (47,6%) pada kelompok NP. Sebaran berdasar jenis kelamin pada kelompok adalah homogen dimana jumlah laki-laki mendominasi pada tiap kelompok. Hal ini sesuai dengan data amputasi anggota gerak akibat trauma yang lebih banyak menimpa laki-laki. Distribusi usia menunjukkan pada kelompok NP rerata usia 29,8 (SD 10,27), dan 29,52 (SD 6,51) adalah rerata usia pada kelompok P. Berdasarkan usia kedua kelompok adalah homogen, (p=0,909). Berdasarkan jenis pekerjaan terdapat perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok (p = 0,038) dimana buruh mendominasi kelompok NP yaitu 12 (66,7%) dan TNI mendominasi kelompok P yaitu 15 (78,9%). Dari berbagai jenis amputasi, terlihat amputasi anggota gerak bawah (transfemoral dan transtibial, baik dextra dan sinistra) mendominasi pada masing-masing kelompok yaitu sebanyak 14 (56%) pads kelompok NP dan 22 (88%) pada kelompok P. Sebaran berdasar jenis amputasi pada kedua kelompok adalah homogen (p = 0,221). Dalam perjalanan waktu selama enam bulan pasta amputasi, didapatkan korelasi yang bermakna antara peningkatan derajat telescoping (PS) dan peningkatan sensasi fantom menjalar (RPLS) pada tiap tahap. Path tahap evaluasi akhir didapatkan korelasi positif bermakna dengan bentuk hubungan kuat (korelasi Pearson, r =0,999 , p < 0,0001). Dengan regresi linear didapatkan adanya peningkatan hubungan antara derajat telescoping dengan sensasi fantom menjalar dalam masa enam bulan, dan Rsq () 0,8440 yang berarti bahwa 84% variasi peningkatan nilai sensasi fantom menjalar berhubungan dengan peningkatan derajat telescoping dalam masa enam bulan pasca amputasi anggota gerak. Hal ini membuktikan bahwa selain terjadi peningkatan derajat telescoping akan diikuti perubahan sensasi fantom menjalar yang berbeda bermakna (p < 0,0001), sebagai konsekuensi reorganisasi area kortikal somatosensori, yang juga menunjukkan adanya hubungan yang kuat diantara keduanya (r = 0,999, p < 0,0001). Proses ini dipicu penggunaan aktif prostesis fungsional. Kondisi puntung pengguna prostesis berbeda dengan kondisi puntung bukan pengguna prostesis. Terjadi peningkatan bermakna dari rerata sinyal elektrik otot puntung (EA) baik kelompok NP maupun kelompok P (p <0,0001). Dengan korelasi Pearson, ditemukan korelasi negatif bermakna dengan bentuk hubungan berkekuatan sedang, antara perubahan tahapan telescoping (PS) dan peningkatan sinyal elektrik otot puntung J EA (r = 0,444 , p = 0,001). Dengan regresi linear didapatkan adanya peningkatan hubungan antara derajat telescoping dan sinyal listrik otot puntung dalam masa enam bulan pasca amputasi, regresi linear dengan Rsq (r2) 0,1974 yang berarti bahwa 19% variasi peningkatan derajat telescoping berhubungan dengan atau ditentukan oleh peningkatan sinyal listrik otot puntung enam bulan pasca amputasi. Dengan terjadinya perubahan pada tahapan telescoping dan sensasi fantom menjalar dalam kurun waktu enam bulan, terjadi juga penurunan nilai rerata intensitas nyeri fantom yang bermakna diantara kedua kelompok (p < 0,0001). Dengan korelasi Pearson terdapat korelasi negatif yang bermakna antara peningkatan telescoping (PS) dan penurunan nyeri fantom (PP) dalam masa enam bulan (r = - 0,676 , p < 0,0001) dengan sifat hubungan kuat. Juga ditemukan korelasi negatif dengan sifat hubungan sedang, yang bermakna dalam masa observasi enam bulan antara RPLS dan PP (r = 0,693 , p < 0,0001). Dengan korelasi Pearson didapati hubungan berkekuatan sedang antara peningkatan telescoping dengan penurunan intensitas nyeri fantom pada tahap pertengahan masa observasi 6 bulan (r = - 0,503 , p < 0,0001). Dan pada akhir masa observasi sifat hubungan kuat (r = - 0,676 , p < 0,0001). Regresi linear menunjukkan hubungan yang kuat antara penurunan nilai nyeri fantom dan peningkatan derajat telescoping. Regresi linear dengan Rsq (r2) 0,4572 berarti bahwa 45% variasi penurunan nyeri fantom berhubungan dengan peningkatan derajat telescoping enam bulan pasta amputasi. Demikian pula regresi linear dengan Rsq (r) 0,4808 berarti bahwa 48% variasi penurunan nyeri fantom berhubungan dengan peningkatan nilai sensasi fantom menjalar dalam masa enam bulan pasta amputasi. Enam bulan pasca amputasi anggota gerak terjadi penurunan nyeri fantom yang berbeda bermakna antara kelompok NP dan P (p = 0,002). Didapatkan nyeri fantom awal sebanyak 31 (62%) dan melalui uji independen didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok NP dan P (p < 0,0001) dalam hal sebaran adanya pengalaman nyeri praamputasi dan terjadinya nyeri fantom awal. Enam bulan pasca amputasi didapatkan peningkatan kadar serotonin dan penurunan substansi P pada kelompok P dan NP. Didapatkan penurunan bermakna kortisol enam bulan pasca amputasi antara kelompok P dan kelompok NP (p =0,047). Dengan ditemukan Korelasi Pearson korelasi positif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan penurunan nilai nyeri fantom selama enam bulan pasca amputasi anggota gerak (r = 0,390 , p = 0,005). Terdapat pula korelasi negatif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan peningkatan derajat telescoping selama 6 bulan pasca amputasi (r = - 0,331 , p = 0,01 9 ). Terdapat korelasi negatif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan peningkatan nilai sensasi fantom menjalar enam bulan pasca amputasi (r = -0,377, p = 0,007). Hubungan antara penurunan kadar kortisol dengan peningkatan derajat telescoping, penurunan nyeri fantom dan perubahan nilai sensasi fantom menjalar (konsekuensi proses neuroplastisitas) diperlihatkan dengan analisis regresi. Regresi kuadratik sederhana dengan Rsq (r2) 0,1456 yang berarti 14% variasi perubahan derajat telescoping berhubungan dengan atau ditentukan oleh perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi. Regresi kuadratik sederhana Rsq (r) 0,1520 berarti 15% variasi penurunan nilai nyeri fantom berhubungan dengan perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi. Regresi kuadratik sederhana Rsq (r) 0,1998 berarti bahwa 19% variasi perubahan nilai sensasi fantom menjalar berhubungan dengan atau ditentukan oleh perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi.
Kesimpulan : (1) Enam bulan pasca amputasi anggota gerak terjadi perubahan peta somatotopik, pada subyek pasca amputasi anggota gerak yang merupakan konsekuensi proses neuroplastisitas pada area korteks somatosensori. (2) Perubahan karakteristik tersebut berkaitan dengan fluktuasi tiga substrat panting yaitu kortisol, serotonin, dan substansi P, yang mempengaruhi proses neuroplastisitas, memori dan nyeri. (3) Perubahan karakteristik, peningkatan tahapan telescoping, peningkatan nilai sensasi fantom menjalar dan penurunan intensitas nyeri fantom berbeda bermakna diantara kedua kelompok (NP dan P). (4) Pengalaman nyeri pra amputasi menimbulkan nyeri fantom. (5) Kehilangan anggota gerak tidak berarti kehilangan representasinya di otak, teori Neuromatriks dari Melzack mengenai adanya engram pada fenomena fantom yang menyatakan tubuh sebagai kesatuan bagian dari diri sendiri. Persepsinya tidak akan hilang dan pada kondisi tertentu akan dimunculkan kembali ke perrnukaan.
Terjadi perubahan signifikan pada karakteristik fenomena fantom dalam perjalanan waktu, pasca amputasi anggota gerak pada manusia dewasa akibat trauma, yang merupakan konsekuensi neuroplastisitas sentral. Adaptasi sentral berkaitan dengan adaptasi perifer yang diikuti penumnan kadar kortisol, substansi P dan peningkatan serotonim dalam masa 6 bulan pasca amputasi. Berbagai perubahan karakteristik dipercepat dengan penggunaan aktif prostesis fungsional. Ditemukan perubahan signifikan menunjukkan adanya korelasi antara berbagai faktor fisik maupun kimiawi. Dapat disimpulkan peran prostesis tidak hanya terbatas untuk aktifitas sehari-hari tapi terutama mempercepat perubahan karakteristik fenomena fantom.

ABSTRACT
Phantom limb sensation always occurs after sudden traumatic limb amputation whether by accident or surgery. It follows a spesific pattern that is related with body image (Neuromatrix and Neurosignature theory by Melzack). Phantom pains are highly variable, very individual and have a correlation with the experience of pain in the same limb before amputation. It was proposed that there is a reactivation of pre-amputation pain memory (engrain). Phantom limb phenomenon can be described as continuing memory with or without pain of self body perception/image that is not there anymore, modulated by neurohormon and neurotransmitters to reach homeostasis balance. The changing characteristic of phantom phenomen characteristic was modulated neurohumorally which will show in the fluctuation of cortisol, serotonin and substance P levels in circulation. Two methods will be used, quantitative and qualitative. To analyze the study outcome by comparison between two groups, groups that are using prosthesis (group P) and groups that do not use prosthesis or use cosmetic prosthesis (group NP). Study on the changing characteristics of phantom phenomenon and the relation with the effect of cortisol, serotonin and substance P fluctuation in circulation.
Place and time : Department Orthopedics Surgery and Department of Rehabilitation Medicine Cipto Mangunkusumo Hospital, Makrnal Laboratory, Faculty of Medicine University of Indonesia, the Department of Orthopedics Surgery and the Department of Rehabilitation Medicine, Gatot Subroto Army Hospital, Department of Orthopedics Surgery and the Department of Rehabilitation Medicine, Fatmawati Hospital, Center for the Disabled (Pusrehcat) Bintaro and Panti Sosial Bina Daksa, all in Jakarta, Indonesia.
Population and sample : All male and female patients, age between 17 - 55 years of age, post traumatic limb amputation, upper limb and lower limb, dextra and sinistra (transfemoral, transtibial, transhumeral and transradial). In preprosthetic stage will be observed for six months.
Method : Subjects are allocated witihin 2 groups, subjects using a functional definite prosthetic (P group) and subjects that do not use prosthetic (NP group). Within six months 3 evaluation will be done on the first, second and third phase. Serotonin, cortisol and substance P in circulation will be taken twice on the first and third phase, between 8.00 AM - 09.00 AM. The level of cortisol will be examined by RIA, serotonin and substance P level will be examined by ELISA. Stump circumference will be measured by the International Standard Measurement for Limb Muscle Girth. Stump electrical activity will be measured by Myomed 932 1 Electromyography Biofeedback. Telescoping degree (PS) and Referred Phantom Limb Sensation (RPLS) will be measured by using the modification of Visual and Movement Imagination Score. Phantom pain measured by VAS. Qualitative study used the sensory mapping of telescoping degree, in depth questioner also for pre-amputation experience.
Subjects were allocated in two groups, group using prosthetic (group P) and the other group that do not use prosthetic (group NP). Based on gender, men dominate in each group, NP and P. The distributions based on gender are homogenous (chi --- square test, p 0,445). Distribution based on age in each group, NP and P are homogenous (p = 0,909). It shows that both workers and military personnel dominate the whole sample. Worker dominate the NP group 12 (66,7%) and military personnel dominate the P group 15 (78,9%). Within six months after amputation, it shows that the use of continuing definite prosthetic will accelerate telescoping process, referred phantom limb sensation and lower phantom pain intensity significantly (p < 0,0001). At the end of six months observation with Pearson correlation there is a positive, strong correlation between an increase in telescoping degree (PS) and an increase in the score of referred phantom limb sensation (RPLS) (r = 0,999, p < 0,0001). Linear regression with Rsq (r2) = 0,8440 means that 84% variation in the increase of telescoping degree is related with the increase of referred phantom limb sensation six months after limb traumatic amputation. This shows that an increase in telescoping degree will be followed with an increase score in RPLS, this is a consequence of neuroplasticity process. By Anova repeated measurement there is a significant difference in the increase of electrical sigryil isometric muscle stump contraction in each group (p < 0,0001). Pearson correlation at the end of the observation (six month after traumatic limb amputation) shows a positive correlation with average relation between increase in telescoping degree (PS) and an increase in electrical stump muscle isometric contraction (EA) (r = 0,444 , p = 0,00 1). Linear regression with Rsq [r2) = 0,1974 which means that 19 % variation of an increase in electrical signal of isometric muscle stump contraction (EA) is related with an increase in telescoping degree (PS) after six months. In both groups (NP and P) there is a significance difference in the decrease of phantom pain intensity within six month from phase 1 through phase 3. Between group NP and P the difference in lower phantom pain intensity, decrease significantly on the second and third evaluation (p < 0,0001). With Pearson correlation at the end of six month observation shows a significance negative correlation with strong relation between the increase in telescoping degree and the decrease in phantom pain intensity (PP) (r = 0,676 , p < 0,0001). There is a negative correlation with strong relation (r = 0,693 , p < 0,0001) between the increase in referred phantom limb sensation (RPLS) and the decrease in phantom pain intensity (PP). Linear regression with Rsq (r2) = 0,4572 which means that 45 % variation in the decrease of phantom pain intensity (PP) is related with the increase in telescoping degree (PS) after six months observation. All this show a strong relationship between lower phantom pain intensity and increase in telescoping process within six months after amputation. There is also a significance difference decrease in phantom pain intensity (PP) within six months in group NP (p = 0,02). The decrease in phantom pain intensity (p < 0,05) within six months in group P. By using independent t test there is a significance difference in both group (p < 0,0001) in the distribution of pre-amputation pain experience (PNPA }) and the incidence of phantom pain (PP1) with score above 0 (zero). The mean score of PP1 are 6,16 (SD 1,96) in group NP and 5,26 (SD 1,47) in group P The same occur on those without pre-amputation pain experience (PNPA -) and no phantom pain incidence or the score of PP1 = O. There is a significance negative correlation between the decrease in cortisol level and the increase in telescoping grade (r = - 0,331, p =0,019). There is a significant positive correlation between decrease in cortisol level and decrease in phantom pain intensity (r = 0,390 , p = 0,005). There is a significance negative correlation level between the decrease in cortisol level and increase in referred phantom limb sensation (r= - 0,377 , p = 0,007). With simple quadratic regression, with Rsq (r) = 0,1456, which means that 14% difference of variation in telescoping degree is correlated with the fluctuation in cortisol level within six months, or can be predicted by cortisol fluctuation. Linear regression Rsq (?) = 0,1520, it means that 15% variation in the decrease of phantom pain intensity are correlated to the decrease in cortisol level within six months. Simple quadratic regression with Rsq (r2) = 0,1998, mean 19 % variation of referred phantom limb sensation is related with the fluctuation of cortisol level within six months.
The changes in the somatotopics map of post traumatic limb amputee subjects are the consequences of neuroplasticity rearrangement in the somatosensory cortical area. Changing characteristics, telescoping process, referred phantom limb sensation and phantom pain differ significantly between group NP and P. The changing pattern of phantom phenomenon is also influenced by three important substrates such as substance P, serotonin and cortisol that also influenced the neuroplasticity process, memory and phantom pain mechanism. Pre amputation pain experience will lead to the occurrence of phantom pain. A loss of a body part (limb) does not mean that the representations on brain surface are also loss. The body image are never erased or loss (Neuromatrix Theory of Melzack), exspecially those part which has the biggest area and the most dense representation in the homunculus. There is an engram that states that the body is our selves, those perception will never be erased (Neuromatrix Theory). The use of functional prosthetic continually that cause some effect on stump muscle condition, will hasten the characteristics of phantom phenomenon that is a consequence of central neuroplasticity proces, which is an increase in telescoping degree (PS), increase in referred phantom limb perception score (RPLS) and decrease in phantom pain intensity (PP), which also show a relation with neurohumoral fluctuation in circulation in which is a decrease in cortisol and substance P levels , and an increase in serotonin levels. The changing characteristic is accelerated by the use of definite functional prosthetics. There is a significant correlation between physical behavior and neurochemistry. Apart from daily use, the use of prosthetics is very important to lead the acceleration in the changing pattern of phantom phenomenon.
"
2004
D590
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Yulia Dimitri
"Pada fantom air dibuat mekanik sistem pengendali ketinggian detektor menggunakan motor DC sebagai penggerak detektor dengan metode pengendalian proporsional.Penentuan ketinggian detektor menggunakan PC(LabView).Drat ulir yang digunakan terbuat dari besi dan sensor rotary encoder menghasilkan pulsa 8026 cacahan untuk 1mm. Alat ini telah diuji mampu bergerak sejauh 200 mm dengan hasil yang mendekati setpoint dan didapat error yang paling besar adalah 9 cacahan. Hasil PDD menggunakan fantom air ini mendekati nilai PDD acuan dengan akurasi yang paling besar adalah 99.43%danstandardeviasi0.05% "
Deepok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S29480
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yaya Umaya
"Pemberian radiasi bertujuan untuk mengontrol penyebaran sel kanker dan mencegah kerusakan terhadap jaringan normal. Berkas elektron dipilih karena penetrasi radiasinya dapat dikontrol dengan energi tertentu. Penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan distribusi dosis hingga ke paru melalui simulasi perlakuan kanker payudara postmastectomy pada fantom rando dengan berkas elektron 6 MeV menggunakan TLD dan film gafChromic EBT2 untuk lapangan 6x6 cm2, 10x10 cm2 dan 14x14 cm2.
Hasil pengukuran TLD yang dibandingkan dengan kalkulasi TPS menunjukkan perbedaan dosis untuk lapangan 6x6 cm2 sebesar 81,6 cGy pada kedalaman 2,7 cm sedangkan lapangan 10x10 cm2 dan 14x14 cm2 perbedaan maksimum terjadi di kedalaman 2,8 cm berturut-turut 80,36 cGy dan 89,7 cGy. Sedangkan simulasi pengukuran menggunakan film untuk lapangan 6x6 cm2, 10x10 cm2 dan 14x14 cm2 perbedaan maksimum terjadi pada kedalaman 3,3 cm berturut-turut 14,1%, 13,5% dan 22,4 %.
Ketelitian perhitungan dosis dengan terapi elektron sangat kurang disebabkan data inhomogenitas jaringan belum dimasukkan dalam TPS. Dampak dari perbedaan hasil pengukuran PDD paru yang lebih tinggi pada TLD dan film mengakibatkan dosis paru lebih tinggi dari dosis preskripsi dalam perlakuan radioterapi ini yang berarti paru akan menerima overdose.

The aims of radiation are controlling the spread of cancer cells and prevent damage to normal tissue. Electron beam radiation chosen because of penetration can be controlled with a certain energy. This study aimed to determine the dose distribution to the lungs through simulation postmastectomy breast cancer treatment at rando phantom with a 6 MeV electron beam using TLD and gafChromic EBT2 films for field 6x6 cm2, 10x10 cm2 and 14x14 cm2.
TLD measurement results are compared to TPS calculation show the differences dose for 6x6 cm2 field of 81.6 cGy at a depth of 2.7 cm while the field of 10x10 cm2 and 14x14 cm2 maximum difference occurs at a depth of 2.8 cm respectively 80.36 cGy and 89.7 cGy. While simulation measurement used film for 6x6 cm2, 10x10 cm2 and 14x14 cm2 field, the maximum difference 14.1%, 13.5% and 22.4% occurred at a depth of 3.3 cm. Therapeutic dose calculation accuracy is very less due to inhomogenity data have not been included in the TPS network.
The impact of differences in the results of measurements of higher lung PDD at TLD and film result in higher lungs doses of prescription dose in the radiotherapy treatment, which means that the lungs will receive overdose.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T35578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nur Hidayati
"Penelitian ini menggunakan fantom abdomen in house dengan tujuan mengukur dosis di berbagai daerah organ yaitu hepar, ginjal, reproduksi dan bladder. Pengukuran dosis pada daerah organ dilakukandengan menggunakan dosimeter gafchromic dan TLD. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil dosis sepanjang sumbu-z dan image quality dengan variasi pitch factor. Faktor eksposi yang digunakan disesuaikan dengan aplikasi klinis abdomen yaitu 130 kV, 80 mAs, rotation 1.5 s dan delay 3 s. Pemilihan parameter pitch factor pada pemeriksaan CT abdomen akan mempengaruhi nilai dosis dan image quality. Variasi Pitch factor yang digunakan 0,8; 1 dan 1.5. Secara umum pengukuran dosis dengan gafchromic dan TLD di berbagai daerah organ memperlihatkan bahwa semakin besar penggunaan pitch factor maka dosis yang didapatkan semakin kecil. Profil dosis sepanjang sumbu-z berbentuk parabola yang simetris dengan dosis maksimum di sekitar 3.45 mGy dan dosis minimum pada awal dan akhir scanning sekitar 3.286 mGy. Hubungan nilai SNR dan slice untuk ketiga nilai pitch 0.8, 1 dan 1.5 pada umumnya sinusoidal dan untuk obyek di daerah kanan dan kiri menunjukkan kurva yang berbeda fase. Demikian juga antara dua titik atas dan bawah. Pengukuran kesesuaian antara citra obyek dengan ukuran obyek sebenarnya dari 512 data diperoleh hasil pada pitch factor 0.8 deviasi diameter 0 ndash; 5 sekitar 50.5 dan selebihnya 49.5 deviasinya diatas 5 . Pada pitch factor 1 deviasi 0 ndash; 5 sekitar 53.5 dan deviasi lebih dari 5 sekitar 46.7 , sedangkan untuk pitch factor 1.5 deviasi 0 ndash; 5 sekitar 68 dan deviasi lebih dari 5 sekitar 32.

This study uses in house phantom abdomen with the aim of measuring doses in different regions of the organ namely liver, kidney, reproduction and bladder. Measurement of dose in the organ region is done by using gafchromic and TLD dosimeter. In addition, this study aims to determine the profil dose along the z axis and image quality with variation of pitch factor. The exposure factors were adjusted for the clinical application of abdomen 130 kV, 80 mAs, rotation 1.5 and delay 3 s. Selection of pitch factor parameters on abdominal CT examination will affect the dose value and image quality. Variation of pitch factor used 0.8 1 and 1.5. In general, Measurements dose with gafchromic and TLD in different organ regions showed that the greater the use pitch factor the smaller the dose. Profil doses along the z axis are parabolic shapes symmetrical with maximum doses about 3.450 mGy and minimum doses at the start and end of scanning around 3.286 mGy. The relation of SNR and slice values to the three pitch values 0.8 1 and 1.5 is generally sinusoidal and for the object in the right and left regions show different curves of phase. Likewise between the two points above and below. Measurement of conformity between object image and actual object size from 512 data obtained result on pitch 0.8 deviation of 0 ndash 5 diameter around 50.5 and 49.5 deviation over 5 . In pitch factor 1 deviation 0 ndash 5 about 53.5 and deviation more than 5 about 46.7 , while for pitch factor 1.5 deviations 0 ndash 5 about 68 and deviation more than 5 about 32 ."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T49770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Natalia Marjaya
"Penelitian ini bertujuan untuk membuat fantom payudara yang menerapkan analisis kontras detail dengan latar berstruktur untuk uji kualitas citra pada modalitas Mamografi dan Digital Breast Tomosynthesis. Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap, yakni; pembuatan, validasi, dan studi aplikasi fantom. Tahap pembuatan fantom mencakup pemilihan material fantom serta desain dan fabrikasi fantom. Pada tahap validasi, faktor eksposi dan nilai piksel dari citra fantom dibandingkan dengan mamogram klinis. Pada tahap studi aplikasi, fantom untuk menguji kualitas citra Mamografi dan DBT dengan mengukur signal-to-difference noise ratio (SDNR), dan ketajaman citra (Full width half maximum (FW HM) dan artifact spread function (ASF)) pada 3 level dosis (1/2 automatic exposure setting (AEC), AEC dan 2 AEC). Contrast detail structured phantom berhasil diproduksi dengan variasi ukuran dan posisi objek mikrokalsifikasi. Nilai piksel target memiliki kesamaan 85,34 %, dengan nilai piksel mikrokalsifikasi mamogram klinis, sedangkan latar fantom memiliki kesamaan 86,07 % dengan jaringan payudara pasien. Studi aplikasi menunjukkan bahwa fantom dapat digunakan untuk menguji kualitas citra khususnya terkait detail mikrokalsifikasi. Perbedaan posisi target dan level dosis mempengaruhi hasil pengukuran. Contrast detail structured phantom telah berhasil diproduksi dan diujicobakan; fantom ini dapat digunakan untuk menguji kualitas citra pesawat mamografi dan DBT dengan mempertimbangkan struktur heterogen pada jaringan payudara


This work is aimed to construct a contrast detail structured phantom for mammography and Digital Breast Tomosynthesis. The study was divided into 3 stages: production, validation and application. Production stage covered materials preparation, design and fabrication phantom. In validation stage, the phantom was compared to clinical mammogram in terms of exposure settings used in the image acquisition and their pixel values. Last stage was to study the application of the phantom to assess the image quality of mammography and DBT systems in terms of signal difference-to-noise ratio (SDNR), and sharpness (fullwidth half maximum, FWHM and artifact spread function, ASF) at 3 dose level (1/2 × automatic exposure control (AEC), AEC and 2 × AEC settings). The contrast detail structured phantom was successfully created with variations on microcalcification object size and position. In comparison with clinical mammogram, maximum pixel value of Sn sphere shows 85,34 % similarity while their background tissue had 86,07 % similarity. The study of applications of the phantom shows that the phantom can be used to assess the image quality particularly to detail of microcalcifications. The position of targets and dose level settings afflicted the measured parameters. The contrast detail structured phantom has been successfully construct and studied; this phantom allows assessing image quality of digital mammography and DBT by including the presence of structured breast tissue -like

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priska Andini Putri
"Cone Beam CT adalah perangkat citra pemandu yang diintegrasikan pada perangkat LINAC radioterapi. Perangkat tersebut banyak digunakan untuk verikasi posisi pasien dalam tindakan radioterapi. Dalam penelitian ini telah dilakukan untuk estimasi dosis pada daerah kepala, dada, dan pelvis dan untuk evaluasi citra dengan menggunakan perlakuan Cone Beam CT satu putaran penuh. Fantom rando digunakan pada penelitian ini untuk mensimulasikan keadaan yang mendekati sebenarnya dengan kondisi klinis 100 kVp 145 mAs, 110 kVp 262 mAs, dan 125 kVp 680 mAs untuk berturut-turut prosedur perlakuan CBCT kepala, dada, dan pelvis. Dosimeter yang digunakan dalam penelitian ini adalah TLD yang dikalibrasi di PTKMR BATAN dengan kondisi yang sesuai dengan kondisi klinisnya. Fantom Catphan 504 digunakan untuk mengevaluasi citra CBCT dengan menggunakan kondisi klinis protokol pelvis, yaitu dengan energi 125 kV. Hasil estimasi dosis yang diperoleh dari penelitian ini adalah 4.018±0.334 mGy, 4.210±0.428 mGy, dan 12.547±3.046 mGy berturut-turut pada kepala, dada, dan pelvis. Hasil citra dari penelitian ini dievaluasi menggunakan Image J yang menghasilkan nilai densitas material yang ada pada fantom Catphan mendekati nilai acuannya, didapatkan ketebalan slice sebesar 2.153 mm, resolusi uji citranya sebesar 5 lp/cm, dan uji uniformitas pada pusat ROI adalah 34.610±40.999 HU.

Cone Beam CT is an image guided device which is integrated in radiotherapy LINAC. The device often used to verify the positions of patient in radiotherapy treatment. Dose estimation for three different clinically scan sites (head, thorax, and pelvis) and image evaluation were performed during the research using full circular treatment by Cone Beam CT. Rando phantom was also used in this research to simulate the real condition for clinical scans (100 kVp 145 mAs for head, 110 kVp 262 mAs for thorax, and 125 kVp 680 mAs for pelvis). TLDs were used and calibrated at PTKMR BATAN with the real condition as clinical condition to mesure the dose. For image evaluation were performed using pelvis clinical scan (125 kV) and using Catphan 504 phantom. Results of dose estimation are 4.018±0.334 mGy for head, 4.210±0.428 mGy for thorax, and 12.547±3.046 mGy for pelvis. Results of image evaluation which was using Image J generated the approximate recommendation value of material density on the Catphan Phantom; slice thickness is 2.153 mm, high resolution is 7 lp/cm, and uniformity in center ROI is 34.610±40.999 HU.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54790
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dila Nelvo Dasril
"ECVT (Electrical Capacitance Volume Tomography) untuk pencitraan payudara merupakan teknik pencitraan yang memanfaatkan nilai kapasitansi. Sensor ECVT yang digunakan berupa setengah bola, terdiri dari 24 elektroda dengan bentuk 3 tingkat susunan berbentuk segitiga dan trapesium. Sensor mengukur nilai kapasitansi listrik yang dipengaruhi oleh distribusi permitivitas yang terdapat di dalam objek, yang kemudian direkonstruksi untuk mendapatkan citra probabilitas Fantom payudara yang tidak homogen. Penelitian aplikasi ECVT untuk biomedical imaging ini dilakukan dengan membuat Fantom dengan berbagai kondisi seperti bentuk, volume dan posisi. Fantom payudara tersebut memiliki nilai yang ekivalen dengan jaringan payudara manusia, jaringan kanker dan glandular yang disesuaikan dengan kondisi yang sesungguhnya.
Hasil uji karakteristik sensor dengan LCR-Meter menunjukkan bahwa nilai kapasitansi yang kontras antara medium udara dan air berada pada tingkat 2 sensor. Dari hasil citra rekonstruksi ECVT belum dapat menggambarkan anatomi bentuk asli dari Fantom karena medan listrik yang dihasilkan tidak homogen dan tidak lurus sehingga hanya pada tingkat 2 sensor yang bisa digunakan untuk pencitraan. Dalam menentukan sensitifitas ECVT dari Fantom payudara didapatkan hasil ratio a dan b yang mendekati 1 dari diameter aksial berada pada slice ke-8 s/d slice ke-12 dan untuk potongan lateral berada pada slice ke-16 karena melewati bidang utama sensor. Hasil citra ECVT yang bisa dijadikan untuk pencitraan adalah pada daerah tingkat 2 dengan menganalisa hasil rekonstruksi potongan aksial citra.

ECVT (Electrical Capacitance Volume Tomography) for breast imaging is an imaging technique that takes the advantage of electrical capacitance value. ECVT’s sensor used here is a half-ball shaped, consist of 24 triangular and trapezoidal electrodes. The sensor measure the value of electrical capasitance affected by permittivity distribution across the object, and then reconstructed to obtain probability image of inhomogen breast phantoms. This ECVT application research for biomedical imaging is done by making various breast phantoms. These phantoms have different shape, volume and object position. They have equivalent value with a real human breast tissue, glandular, and cancer tissue.
Sensor characterization using LCRmeter shows that there is a contrast capacitance value between air and water on the level 2 sensor. ECVT reconstructed image result hasn't been able to image the real anatomy of the phantom because the electricel field is inhomogen and not straight, so only level 2 sensor can be used for imaging. The result of determining ECVT sensitivity shows that the a and b ratio are closed to 1 for axial diameter on the 8th and 12th slice and for lateral direction on 16th slice, because they pass through the sensor's main plane. ECVT image result that can be used for imaging is the image from the level 2 sensor by analizing the axial slice reconstructed image result.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T42183
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyan Muharam
"Penggunaan prosedur radiologi diagnostik dalam pencitraan (imaging) yang memanfaatkan radiasi pengion khususnya sinar-X dalam dunia medis sangat berkembang pesat. Saat ini sistem digital yaitu Computed Radiography (CR) dan Digital Radiography (DR) menggantikan sistem radiografi konvensional, tetapi banyak rumah sakit dan fasilitas kesehatan tidak memiliki dosimetri dan juga alat untuk melakukan pengecekan terhadap kualitas peralatan tersebut. Dalam penelitian ini telah didesain fantom quick quality control (QQC) untuk sistem CR dan DR dengan mengamati parameter kualitas citra untuk kontras rendah dan juga kontras tinggi. Untuk penentuan kontras rendah dibuat obyek dengan variasi ukuran dan juga kedalaman obyek pada kuadran I dan IV sedangkan untuk kontras tinggi (resolusi spasial) ditambahkan obyek Leed test object dan juga lembaran Cu untuk mengukur nilai MTF pada kuadran II dan III.Untuk faktor eksposi yang digunakan adalah berkas standar RQA 3-RQA 7. Kemudian hasil citra yang diperoleh dievaluasi menggunakan imageJ untuk mendapatkan nilai SNR dan resolusi spasial. Hasil pengukuran dengan menggunakan fantom QQC didapakan bahwa untuk resolusi kontras rendah citra dengan menggunakan RQA 7 memenuhi kriteria detektabilitas. Sedangkan untuk resolusi spasial, nilai yang diperoleh berdasarkan MTF untuk CR berada pada rentang 2,38-2,59 lp/mm dan 2,45-3,00 lp/mm untuk DR. Sedangkan untuk bar pattern nilai resolusi spasial yang diperoleh berada pada rentang 3,15-3,55 lp/mm dan 2,24-2,5 lp/mm. Kemudian faktor konversi (rasio resolusi Leeds test dengan resolusi MTF) untuk sistem DR mendekati 1 sedangkan untuk sistem CR dalam rentang 1,22-1,49.

The use of diagnostic radiology procedures in imaging (imaging) that utilizes ionizing radiation, especially X-rays in the medical world is growing rapidly. At present digital systems namely Computed Radiography (CR) and Digital Radiography (DR) replace conventional radiography systems, but many hospitals and health facilities do not have dosimetry and also tools to check the quality of the equipment. This research has designed a phantom quick quality control (QQC) system for CR and DR systems by observing image quality parameters for low contrast and high contrast. For the determination of low contrast, an object with variations in size and depth of objects in quadrants I and IV was made, while for high contrast (spatial resolution) Leed test object and Cu sheet were added to measure the MTF values in quadrants II and III. For the exposure factors used is the standard file RQA 3 - RQA 7. Then the image results obtained are evaluated using imageJ to obtain the SNR value and spatial resolution. The results of measurements using the QQC phantom are found that for low contrast resolution images using RQA 7 meet the detectability criteria. As for spatial resolution, the values obtained based on MTF for CR are in the range of 2,38 – 2,59 lp / mm and 2,45 – 3,00 lp/mm for DR. As for the bar pattern, the spatial resolution values obtained are in the range of 3,15 – 3,55 lp/mm and 2,24 – 2,5 lp/mm. Then the conversion factor (the ratio of the Leeds test resolution to the MTF resolution) for the DR system approaches 1 while for the CR system in the range 1.22 - 1.49."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhlisin
"Gerak tumor akibat pernapasan pasien merupakan masalah yang signifikan dalam pengobatan radioterapi kanker paru-paru, khususnya teknik radioterapi modern Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) dan Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT). Interaksi gerakan antara gerak target tumor dan MLC (interplay effect) memiliki keterbatasan dalam hal modulasi intensitas radiasi, probabilitasnya hanya sebagian kecil Planning Target Volume (PTV) menerima dosis radiasi sesuai perencanaan dosis Treatment Planning System (TPS) pada waktu tertentu.
Penelitian ini melakukan verifikasi dosimetri antara dosis yang direncanakan TPS dan dosis yang diterima volume tumor, akibat adanya interplay effect pada teknik IMRT dan VMAT. Penelitian menggunakan fantom toraks dinamik in-house dengan target tumor bergerak translasi arah superior-inferior dengan variasi amplitudo dan periode gerak tumor sebesar 9,3 mm dan 2,3 sekon, 20 mm dan 3,44 sekon, 30 mm dan 4,22 sekon. Pengukuran dosis titik dengan meletakkan dosimeter TLD-100 LiF:Mg,Ti dan Film Gafchromic EBT2 pada titik tengah target tumor dan organ at risk spinal cord. Penyinaran teknik IMRT menggunakan 7-field dan teknik VMAT menggunakan Rapidarc partial double arc dengan dosis preskripsi (95%) sebesar 200 cGy per fraksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran gerak target tumor paru-paru menyebabkan efek dosimetri yang tidak diinginkan berupa underdosage dalam volume tumor. Deviasi dosis rata-rata pada target tumor antara perencanaan dosis TPS dan hasil pengukuran pada teknik IMRT dengan target tumor bergerak statis, bergerak 9,3 mm, bergerak 20 mm, bergerak 30 mm berturut-turut sebesar 0,3% sampai 0,5%, -2,7% sampai -3,0%, -3,7% sampai -4,6%, dan -6,0% sampai -6,6%, sedangkan deviasi dosis pada teknik VMAT berturut-turut sebesar 0,2% sampai 0,9%, -1,6% sampai -1,9%, -2,9% sampai -3,1%, dan -5,0% sampai -5,3%. Hal berbeda, deviasi dosis untuk organ at risk spinal cord pada teknik IMRT berturutturut sebesar -5,6% sampai -1,0%, -6,8% sampai -6,9%, -3,7% sampai -5,9%, dan 0,7% sampai 1,0%, sedangkan deviasi dosis pada teknik VMAT berturut-turut sebesar -1,4% sampai -3,1%, -3,0% sampai -6,3%, -1,6% sampai -4,2%, dan 0,1% sampai 0,9%. Kenaikan amplitudo gerak target tumor menyebabkan dosis yang diterima volume tumor menurun. Namun sebaliknya, adanya kenaikan amplitudo gerak target tumor menyebabkan dosis yang diterima organ at risk spinal cord meningkat.

Tumor motion due to patient's respiratory is a significant problem in radiotherapy treatment of lung cancer, especially in modern radiotherapy treatment of Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) and Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT). The interplay effect is the effect that may occur as the motion of Linac (primarily the MLC) and motion of the tumor target interferes. At delivery dose treatment, a small part of Planning Target Volume (PTV) does not recover dose according to Treatment Planning System (TPS) Prescription.
This investigation was carried out through dosimetry verification between TPS and actual dose by tumor volume due to the interplay effect in IMRT and VMAT treatment. Tumor target of in-house dynamic thorax phantom was designed in linier sinusoidal motion toward superior-inferior direction with amplitude and period variation of tumor motion of 9,3 mm and 2,3s, 20 mm and 3,44s, 30 mm and 4,22s respectively. For point dose measurement, TLD-100 LiF:Mg,Ti and gafchromic EBT2 film detectors were took placed at midpoint of tumor target and spinal cord. IMRT treatment irradiation was applied by 7-fields and VMAT treatment by partial double arc, with prescription dose (95%) of 200 cGy per fraction.
The results showed that the occurrence of lung tumor target motion causes underdosage dosimetry effect in tumor volume. Mean dose deviation of tumor target between TPS and measurement in IMRT treatment by tumor target moves at condition of static, 9,3 mm, 20 mm and 30 mm were 0,3% to 0,5%, -2,7% to -3,0%, -3,7% to -4,6%, and -6,0% to -6,6% respectively while dose deviation in VMAT treatment were 0,2% to 0,9%, -1,6% to -1,9%, -2,9% to -3,1%, and -5,0% to -5,3% respectively. On the other hand, mean dose deviation of spinal cord in IMRT treatment were -5,6% to -1,0%, -6,8% to -6,9%, -3,7% to -5,9%, and 0,7% to 1,0% respectively and in VMAT treatment were -1,4% to -3,1%, -3,0% to -6,3%, -1,6% to -4,2%, and 0,1% to 0,9% respectively. The increment amplitude of tumor target motion reduced dose received by tumor volume and conversely, increased dose received by spinal cord.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
T43728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>