Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adrieanta
"Pasien anak dengan keganasan dapat mengalami episode demam neutropenia. Etiologi bakterimia pada demam neutropenia berbeda-beda pada tiap pusat pelayan kesehatan dan berubah secara periodik. Antibiotik empiris diberikan pada pasien demam neutropenia berdasarkan klasifikasinya. Skor Rondinelli mengklasifikasikan pasien demam neutropenia menjadi risiko rendah dan risiko tinggi. Luaran dengan menggunakan skor Rondinelli belum pernah dilaporkan.
Tujuan : Mengetahui karakteristik etiologi dan perjalanan klinis demam neutropenia pada anak dengan keganasan yang dirawat inap di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM.
Metode : Penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Sampel diambil dari data sekunder berupa rekam medis pasien anak dengan keganasan yang mengalami demam neutropenia yang menjalani rawat inap di bangsal Departemen IKA FKUI/RSCM mulai bulan Januari 2010 hingga bulan September 2013.
Hasil : Penelitian dilakukan pada 86 pasien anak yang mengalami 96 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Prevalensi bakterimia pada episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 17%. Proporsi kuman penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia adalah Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumonia (19%) dan Escherichia coli (13%). Penelitian ini mendapatkan luaran episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 40% memiliki luaran sembuh, 49% memiliki luaran tidak sembuh dan 6% meninggal dunia. Berdasarkan skor Rondinelli didapatkan 30 (61%) episode demam neutropenia risiko rendah memiliki luaran sembuh dan hanya 13 (28%) episode demam neutropenia risiko tinggi yang memiliki luaran sembuh.
Simpulan : Sebagian besar hasil kultur darah pada demam neutropenia adalah steril. Kuman gram negatif penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia. Demam neutropenia memiliki morbiditas yang tinggi. Skor Rondinelli dapat digunakan untuk mengklasifikasikan demam neutropenia pada anak dengan keganasan.

Cancer children could have febrile neutropenia (FN) episodes. The bacteremia etiology of FN from each health center was different and periodically changed. Empirical antibiotic was given to the patient according to the classification. Rondinelli’s score classify FN patient to low risk and high risk. Outcome of Rondinelli’s score is not yet reported.
Purpose: To know the clinical pathway and characteristic of etiology FN in cancer children in Department of Child Health RSCM ward.
Methods: The retrospective descriptive study. Samples were taken from secondary data in medical report of a cancer child with FN in ward in Department of Child Health FKUI/RSCM from January 2010 to September 2013.
Results: There were 86 children with 96 FN episodes that fulfill the inclusion and exclusion criteria. Bacteremia prevalence in cancer child with FN episodes was 17%. The most frequent proportion bacteria as FN etiology were Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumoniae (19%), and Escherichia coli (13%). The outcome of cancer children with FN were 40% recover, 49% not recover, and 6% pass away. Rondinelli's score outcome showed 30 (61%) episodes of low risk FN recover and only 13 (28%) episodes of high risk FN recover.
Conclusions: Most of blood culture result of FN was sterile. Gram negative bacteria were the most frequent etiology for FN. FN has high morbidity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchlis Adenan
"ABSTRAK
Sejak pertama kali dilaporkan adanya penderita DBD tahun 1974 dari Palembang, jumlah penderita DBD di Sumatera Selatan terus menunjukkan kecenderungan untuk meningkat dan merupakan suatu masalah kesehatan yang sulit ditanggulangi. Khusus untuk Kotamadya Palembang, menunjukkan bahwa angka penderita DBD didaerah ini selalu merupakan jumlah, prosentase maupun Incidence Rate DBD tertinggi dibandingkan daerali tingkat II lain yang terdapat di Sumatera Selatan.
Cara mencegah penularan demam berdarah dengue adalah dengan memutuskan rantai penularannya. Kebijaksanaan maupun strategi yang dianggap paling efektif oleh Departemen Kesehatan RI untuk memutuskan rantai penularan tersebut dewasa ini adalah dengan pengendalian vektor utama penular DBD di Indonesia yaitu Aedes Aegypti. Pengendalian vektor tersebut sangat berkaitan erat dengan perilaku manusia, terutama perilaku pencegahan penyakit DBD.
Survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI cq Proyek P2M Propinsi Sumatera Selatan tahun 1990 menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku penduduk Kotamadya Palembang mengenai hal yang berhubungan dengan penyakit DBD ternyata menunjukkan suatu tingkat pengetahuan yang baik dan tinggi. Dilain pihak hasil survey index vektor di Kotamadya Palembang menggambarkan tingkat index yang tinggi atau jelek.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana hubungan dan pengaruh perilaku pencegahan DBD yang dilaksanakan penduduk Palembang terhadap index vektor DBD sendiri. Dengan metode survey analitik dan deskriptif serta pendekatan cross sectional, dilakukan pengumpulan data primer dengan menggunakan kuesioner wawancara untuk memperoleh data perilaku dan formulir survey index vektor untuk mengetahui index vektor disaat penelitian.
Lokasi penelitian Kotamadya Palembang dengan sample dipilih seiumlah kelurahan yang dianggap memenuhi kriteria sample yang telah ditentukan. Sedangkan responden adalah kepala keluarga atau yang mewakili.
Data diberi skor hingga berbentuk skala interval, lalu diolah dengan uji statistik parametrik secara univariate (deskriptif), bivariate ( korelasi) dan multivariate (multiple regressi), menggunakan piranti lunak SPSS/PC+ dan EPI INFO versi 5.
Hasil penelitian membuktikan secara statistik bahwa perilaku PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan Proteksi mempunyai hubungan bermakna dan berpengaruh terhadap tingkat index vektor yangdiukur dengan CI (Container Index) dan HI (House Index). Sedangkan perilaku Abatisasi secara statistik tidak mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap CI dan HI. Secara keseluruhan perilaku pencegahan penyakit DBD mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap index vektor CI dan HI. Khususnya beberapa perilaku spesifik seperti menanam sampah bekas yang bisa terisi air, membersihkan saluran air limbah hujan, PSN secara massal dan mengurangi pakaian tergantung mempunyai peranan penting dalam hubungan dan pengaruh terhadap CI dan HI.
Beberapa saran antara lain untuk memperhatikan peranan "social support" dan perilaku spesifik daerah agar perilaku pencegahan DBD bisa ditingkatkan sehingga dapat mengendalikan vektor penular DBD. Perencanaan pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD hendaknya juga dikaitkan dengan geiala sosial yang ada disuatu daerah selain angka insidens dan kematian."
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Larasati
"Latar Belakang: Profil Data Kesehatan Indonesia 2011 mencatat penyakit pulpa dan periapeks urutan ke-7 penyakit rawat jalan di Indonesia.
Tujuan: Penelitian ini memberikan informasi distribusi penyakit pulpa dilihat dari etiologi dan klasifikasi di RSKGM, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia.
Metode: Studi deskritif melalui rekam medik pasien tahun 2009-2013 dengan variabel etiologi dan klasifikasi penyakit pulpa.
Hasil: Etiologi paling banyak ditemukan disebabkan karies (98.5%) dan penyakit pulpa paling sering ditemukan adalah nekrosis pulpa (45%).
Kesimpulan: Kasus penyakit pulpa pada pasien di RSKGM-FKGUI paling banyak disebabkan oleh karies dan penyakit pulpa paling banyak ditemui adalah nekrosis pulpa.

Background: Profil Data Kesehatan Indonesia 2011 recorded pulpal and periapical disease as the seventh disease treated in the outpatient in Indonesia.
Aim: This study was to provide information about distribution of pulpal disease based on etiology and classification in RSKGM, Faculty of Dentistry, University of Indonesia.
Method: Description study from medical record of patients period 2009-2013 with variable etiology and classification of pulpal disease.
Results: The most found etiology is caries (98.5%) and pulpal disease is necrosis pulp (45%).
Conclusion: Pulpal disease in patients of RSKGM-FKGUI is mostly caused by caries and pulpal disease that mostly found is necrosis pulp.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anka Aliya Matriani
"Penyakit periapikal merupakan lanjutan dari penyakit pulpa akibat karies atau trauma. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai penyakit periapikal berdasarkan etiologi dan klasifikasi di RSKGM FKG UI tahun 2009-2013 sehingga dapat digunakan untuk rencana pencegahan. Jenis penelitian adalah studi cross-sectional deskriptif melalui data rekam medik dengan variabel etiologi dan klasifikasi penyakit periapikal. Hasil menunjukkan persentase penyakit periapikal 10% dari total penyakit pulpa dan periapikal, 98.28% disebabkan oleh karies dan 1.72% disebabkan oleh trauma. Diagnosis yang paling banyak ditemui adalah abses alveolar kronis (57.72%).

Periapical disease is a continuity from pulpal disease caused by caries or trauma. This study aimed to obtain information about periapical disease etiology and classification in RSKGM FKG UI in 2009-2013 so that it can be used for the prevention. Type of study is a cross-sectional descriptive study through dental medical records with etiology and classification of periapical disease as variable. The result shows the percentage of periapical disease by 10% of the total pulpal and periapical disease cases. 98.28% were caused by caries and 1.72% were caused by trauma. Periapical disease that commonly found is chronic alveolar abscess (57.72%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadhina
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Kualitas hidup dan fertilitas merupakan isu yang ingin ditangani pada kasus amenorhea primer, dan kedua masalah ini menjadi alasan utama pasien mencari pengobatan. Penundaan diagnosis dan tatalaksana dapat mempengaruhi masa depan jangka panjang pasien. Walaupun prevalensi amenorhea primer sangat jarang (<0.1%), belum didapatkan data di senter pelayanan rawat jalan poliklinik Endokrinologi-Reproduksi RSCM. Tujuan: Meneliti karakteristik pasien amenorhea primer yang ditemui di poliklinik endokrinologi RSCM selama tahun 2014. Metode: Telaah retrospektif rekam medik dengan desain studi deskriptif kategorik terhadap pasien amenore primer yang berobat jalan di poliklinik imunoendokrinologi-reproduksi RSCM selama tahun 2014. Hasil dan simpulan: Terdapat 57 subyek penelitian. Selama 1 tahun terdapat 74% kasus baru dan 26% kasus lama, mayoritas kasus rujukan (79%) dengan karakteristik: Usia pada awal kontrol 22 ± 5.9 tahun. Keluhan utama yang tersering ditemukan adalah belum menstruasi (91.2%). Keluhan penyerta lain berupa gangguan pertumbuhan seks sekunder (8.7%). Sebanyak 93% tidak memiliki riwayat operasi dan obatan. Setengah populasi (50%) pasien tidak pernah mengalami perdarahan haid. Indeks massa tubuh pasien sebesar 20.77±3.5 kg/m2. Sebanyak 22.8% pasien amenore primer berperawakan kecil, serta 56.14% pasien amenore primer tidak memiliki pertumbuhan seks sekunder. Sebanyak 98.3% pasien tanpa hirsutisme, pembesaran tiroid, galaktore atau massa inguinal. Sebanyak 68.5 % dengan genitalia eksterna normal. Sebanyak 56.2% pasien dengan hipoplasi uterus, dan 49.1% dengan hipoplasi ovarium. Amenore primer hipergonadotropin-hipogonadisme adalah profil lab yang tersering ditemukan (33.33%). Dari gambaran kariotipe tersering 38% adalah 46XX. Etiologi dasar pada yang tersering adalah disgenesis gonad (36.8%), diikuti kelainan pembentukan duktus muller (28.07%) dan kelainan sentral (15.79%). Tatalaksana yang dilakukan terhadap kasus amenore primer berupa, induksi haid 42.1% dengan terapi hormonal. Pasien yang mendapat terapi hormonal, 24.56% mengalami perdarahan sela; Pada 28% mengalami perubahan klasifikasi Tanner. Operasi penyesuaian jender dilakukan pada 5 kasus (11%).

ABSTRACT
Background : Quality of life and fertility are the two main issues to be handled in cases of primary amenorhea, as they become the main reasons for patients to seek medical care. Delay in diagnosis and treatment may affect the patient in the long term. Prevalence of primary amenorrhea is very rare (<0.1%) and there is minimal data on our reproductive endocrinology clinic at RSCM. Aim: To study the characteristics of primary amenorrhea patients at the reproductive endocrinology outpatient clinic during 2014. Methods: retrospective medical record review with cathegorical descriptive study to patients at reproductive-imunoendocrinology outpatient clinic during 2014. Results and conclusion: There were 57 study subjects. During 1 year there wer e74% new cases and 26% old cases with majority of referred casess(79%) with characteristics as such. Age at first control was 22 ± 5.9 years old. The most frequent chief complaint were no menstruation (91.2%). Other frequent complaint were disorder of secondary sex characteristics (8.7%). As much as 93% did not have history of surgery nor medication. Half of the cases (50%) never had menstruation. Body mass index mean was 20.77±3.5 kg/m2. As much as 22.8% patients were short-statured with 56.14% with no signs of secondary sex characteristics growth. Mostly (99.3%) patients had no hirsutism, thyroid enlargement nor inguinal. Normal external genitalia was found at 68.5% cases. 56.2% patient had uterus hipoplasia, and 49.1% with hipoplasia of the ovaries. Most often laboratory profile found was hypergonadotropin-hypogonadism (33.3%). Most frequent karyotpe were 46XX (38%). Most frequent etiology of primary amenorrhe in this study is gonadal dygenesis (36.8%) and mullerian dysgenesis/agenesis, and central disorders (15.79%). Most frequent etiology found was gonadal dysgenesis (36.8%), mullerian dysgenesis (28.07%) and central disorder (15.79%). Hormonal therapy was the most frequent treatment (42.1%). on patient with hormones, 24.6% had breakthrough bleeding, 28% had Tanner stage changes, and 11% had gender change. ;Background : Quality of life and fertility are the two main issues to be handled in cases of primary amenorhea, as they become the main reasons for patients to seek medical care. Delay in diagnosis and treatment may affect the patient in the long term. Prevalence of primary amenorrhea is very rare (<0.1%) and there is minimal data on our reproductive endocrinology clinic at RSCM. Aim: To study the characteristics of primary amenorrhea patients at the reproductive endocrinology outpatient clinic during 2014. Methods: retrospective medical record review with cathegorical descriptive study to patients at reproductive-imunoendocrinology outpatient clinic during 2014. Results and conclusion: There were 57 study subjects. During 1 year there wer e74% new cases and 26% old cases with majority of referred casess(79%) with characteristics as such. Age at first control was 22 ± 5.9 years old. The most frequent chief complaint were no menstruation (91.2%). Other frequent complaint were disorder of secondary sex characteristics (8.7%). As much as 93% did not have history of surgery nor medication. Half of the cases (50%) never had menstruation. Body mass index mean was 20.77±3.5 kg/m2. As much as 22.8% patients were short-statured with 56.14% with no signs of secondary sex characteristics growth. Mostly (99.3%) patients had no hirsutism, thyroid enlargement nor inguinal. Normal external genitalia was found at 68.5% cases. 56.2% patient had uterus hipoplasia, and 49.1% with hipoplasia of the ovaries. Most often laboratory profile found was hypergonadotropin-hypogonadism (33.3%). Most frequent karyotpe were 46XX (38%). Most frequent etiology of primary amenorrhe in this study is gonadal dygenesis (36.8%) and mullerian dysgenesis/agenesis, and central disorders (15.79%). Most frequent etiology found was gonadal dysgenesis (36.8%), mullerian dysgenesis (28.07%) and central disorder (15.79%). Hormonal therapy was the most frequent treatment (42.1%). on patient with hormones, 24.6% had breakthrough bleeding, 28% had Tanner stage changes, and 11% had gender change. , Background : Quality of life and fertility are the two main issues to be handled in cases of primary amenorhea, as they become the main reasons for patients to seek medical care. Delay in diagnosis and treatment may affect the patient in the long term. Prevalence of primary amenorrhea is very rare (<0.1%) and there is minimal data on our reproductive endocrinology clinic at RSCM. Aim: To study the characteristics of primary amenorrhea patients at the reproductive endocrinology outpatient clinic during 2014. Methods: retrospective medical record review with cathegorical descriptive study to patients at reproductive-imunoendocrinology outpatient clinic during 2014. Results and conclusion: There were 57 study subjects. During 1 year there wer e74% new cases and 26% old cases with majority of referred casess(79%) with characteristics as such. Age at first control was 22 ± 5.9 years old. The most frequent chief complaint were no menstruation (91.2%). Other frequent complaint were disorder of secondary sex characteristics (8.7%). As much as 93% did not have history of surgery nor medication. Half of the cases (50%) never had menstruation. Body mass index mean was 20.77±3.5 kg/m2. As much as 22.8% patients were short-statured with 56.14% with no signs of secondary sex characteristics growth. Mostly (99.3%) patients had no hirsutism, thyroid enlargement nor inguinal. Normal external genitalia was found at 68.5% cases. 56.2% patient had uterus hipoplasia, and 49.1% with hipoplasia of the ovaries. Most often laboratory profile found was hypergonadotropin-hypogonadism (33.3%). Most frequent karyotpe were 46XX (38%). Most frequent etiology of primary amenorrhe in this study is gonadal dygenesis (36.8%) and mullerian dysgenesis/agenesis, and central disorders (15.79%). Most frequent etiology found was gonadal dysgenesis (36.8%), mullerian dysgenesis (28.07%) and central disorder (15.79%). Hormonal therapy was the most frequent treatment (42.1%). on patient with hormones, 24.6% had breakthrough bleeding, 28% had Tanner stage changes, and 11% had gender change. ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Utami B. Roeslan
"RINGKASAN EKSEKUTIF
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Pengobatan kanker payudara sudah
banyak diupayakan, melalui tindakan bedah, radioterapi, kemoterapi
dan terapi hormonal, namun hasilnya kurang memuaskan. Yang sangat
didambakan dan ideal ialah cara pencegahan timbulnya kanker atau
setidaknya upaya menekan perkembangan kanker. Beberapa jenis
bahan makanan telah dilap orkan mempuny ai kh asiat mencegah
timbulnya keganasan . Vitamin A alami maupun sintetik dilaporkan
dapat mempengaruhi pertumbuhan sel, sehingga \litamin A dosis tinggi
diperkirakan dapat mencegah atau menghambat pertumbunan tumor.
Dilakukan penelitian eksperimental untuk menilai daya hambat retinil
asetat terhadap pertumbuhan tumor transplantabel kele njar susu
mencit. Tiga kelompok mencit ja tan strain GR, umur ± 2 bulan dan
berat badan 18 - 23 g, masing-masing 12 ekor, diinokulasi secara subkutan
dengan 0,2 ml suspensi tumor kelenjar susu yang diperoleh dari
mencit GR donor. Tiga jam kemudian kelompok perlakuan RA dicekok
dengan sonde lambung 0,2 ml larutan retinil asetat 1500 IU, dan
dila njutkan se tiap li ari selama 14 h a ri. Kelompok kontro l KP
mempero leh 0,2 ml akuades sebagai ganti retinil asetat, sedangkan
kelompok K tidak dibeliikan apa-apa. Daerah inokulasi diraba setiap
hari untuk mengetahui pertumbuhan tumor. Volume tumor dan berat
badan mencit diukur setiap 3 haui, dan pada hari ke-15 semua mencit
dimatikan dengan cara dislokasi servikal. Tumor diangkat dan diukur
volumenya, lalu dibuat sediaan mikroskopik dengan pewarnaan HE.
Hasil dan Kesimpulan: Volume tumor pada mencit kelomQok RA ternyata
Jebih kecil daripada elompok KP dan K (p < 0,01). Tumor pada
kedua kelompok kontrol maupun perlakuan RA menunjukkan gambaran
adenokarsinoma, namun indeks mitosis pada kelompok RA lebih kecil
daripada kedua kelompok kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pemberian retinil asetat 1500 IU setiap hari selama 14 hari
dengan dicekokkan dapat menghambat pertumbuhan tumor transplantabel
kelenjar susu mencit GR.
Scope and Method of Study: Breast cancer has been treated by various
means of surgery, radiotherapy, chemotherapy and hormonal therapy,
however, the outcome are still unsatisfactory. The ideal approach
should be through prevention, or at least the development and progress
of cancer inhibited. Different kinds of foodstuffs have been reported
to be useful in the protection against malignancy. Vitamin A, either
natural or synthetic, has been reported to affect cell growth, and a
high dose was considered to be protective and inhibit tumor growth.
An experiment was carried out on male GR mice, approximately 2
months old and weighing 18 - 23 g, to evaluate the inhibitory action
of retinyl acetate on the growth of transplantable mammary tumor.
Thirty six mice were divided into 3 groups of 12. They were all inoculated
subcutaneously with a porridge of tumor cells (0.2 ml) prepared
from a donor mouse. Three hours following inoculation, each of the
treatment group (RA) was given through a gastric tube 1500 IU of
retinyl acetate in 0.2 ml of distilled water, and the treatment continued
daily for 14 days. The control group KP received daily 0.2 ml of distilled
water, and group K was without any treatment. The mice were
observed daily for tumor growth, and tumor volume and body weight
were measured every three days starting from day 3. At the end of the
experiment (day 15), the mice were sacrificed by cervical dislocation.
The tumor was excised from each mouse and the volume measured,
and further processed for microscopic examination by HE stain.
Findings and Conclusions: The volume of the tumor of the mice receiving
retinyl acetate was significantly smaller than those of the control
groups K and KP (p < 0.01). Tumors from the treatment group as well
as both control groups showed the characteristics of adenocarcinoma,
but the mitotic index was significantly smaller in the treatment group.
It is concluded that treatment with retinyl acetate, 1500 IU daily for
14 days, could inhibit the growth of transplantable mammary tumor in
GR mice.
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Tanti
"Etiologi gangguan sendi temporomandibula adalah kompleks dan multifaktorial. Selama ini diagnosa ditegakkan berdasarkan tanda klinis dan gejala. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan suatu indeks berdasarkan etiologi dalam penetapan diagnosis, sehingga pencegahan dan perawatan yang tepat dapat dilaksanakan. Penelitian dibagi dalam dua tahap. Pertama, tahap kualitatif eksploratif melalui konsep konsensus pakar untuk menentukan variabel dan indikator yang diduga menjadi penyebab gangguan sendi temporomandibula dan akan digunakan pada kuesioner etiologi gangguan sendi temporomandibula. Tahap ke dua penelitian kuantitatif, pembuatan indeks berdasarkan etiologi gangguan sendi temporomandibula, menggunakan baku emas RDC/TMD dengan desain kasus kontrol. Dihasilkan indeks yang mudah, sederhana, dan akurat untuk memprediksi etiologi gangguan sendi temporomandibula. Indeks tersebut terdiri atas stres, kebiasaan buruk, jenis kelamin, dan free way space yang merupakan bagian dari faktor maloklusi. Komponen kebiasaan buruk dan komponen stres diukur menggunakan kuesioner yang didapat dari proses ekploratif kualitatif. Kuesioner ini adalah valid (sahih) dan reliable (andal) untuk digunakan dalam penentuan etiologi gangguan sendi temporomndibula.

The etiology of temporomandibular disorders is complex and multifactorial. Usually diagnosis was done by clinical signs and symptoms. The purpose of this research is to produce an index based on etiology so early prevention and prompt treatment can be done. This study was divided in two stages. Firstly the qualitative explorative concept. It was done to get a consensus between the experts to define variables and indicators that were suspected as the causes of temporomandibular disorders. The variables and indicators will be used in the questionnaire based on the etiology of Temporomandibular disorders. Then, followed by a quantitative study with case-control design using the RDC/TMD as a gold standard, producing an easy, simple, and accurate index to predict the etiology of temporomandibular disorders. Included in this index are stress, bad habits, gender, and free way space which is a part of a malocclusion. Bad habit and stress could be measured by using a questionnaire which was obtained from a qualitative explorative study. This questionnaire is valid and reliable in the determination of the etiology of temporomandibular disorders."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hartaniah Sadikin
" LATAR BELAKANG
Penyakit diare hingga kini masih merupakan penyebab utama angka kesakitan dan angka kematian pada balita. Telah dilakukan usaha terus-menerus untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas diare, namun masih ada dugaan bahwa belum seluruh masyarakat terutama ibu dan petugas kesehatan melakukan tatalaksana diare secara besar.
Angka kesakitan diare di Indonesia dewasa ini diperkirakan antara 120-300 kejadian per 1000 penduduk per tahun, 60-80% di antaranya terdapat pada balita. Dari sejumlah ini diperkirakan sebanyak 1% akan menderita diare dehidrasi berat dengan angka kematian sekitar 175.000 per tahun, di antaranya terdapat 135.000 bayi dan anak balita (Ditjen PPM & PLP Depkes, 1990). Di negara sedang berkembang, 45 % populasi adalah anak berumur kurang dari 15 tahun, dengan jumlah balita sebanyak 20% (BPS, 1979). Di Indonesia, pada tahun 1987 terdapat 39,4 % anak berumur kurang dari. 15 tahun, dari sejumlah ini terdapat balita sebanyak 12,6 % (Grant, 1989).
Selain itu diare jugs merupakan penyebab utama gizi kurang, yang akhirnya dapat menimbulkan kematian karena penyebab lain, misalnya infeksi saluran nafas. Sebagian besar angka kematian diare ini diduga karena kurangnya pengetahuan masyarakat terutama ibu, mengenai upaya pencegahan dan penanggulangan diare dehidrasi (Munir, 1982).
Tinggi rendahnya angka kejadian diare ini dalam masyarakat ditentukan antara lain oleh : 1). Faktor lingkungan dan 2).Faktor perilaku masyarakat. Kedua faktor ini memegang peranan yang penting dalam mencegah dan menanggulangi diare, sehingga untuk dapat menunjang program pembangunan nasional di bidang kesehatan yang bertujuan mencapai " Sehat untuk semua pada tahun 2000 ". harus mendapat perhatian yang besar ( Sunoto, 1986).
Sernboyan atau motto yang berbunyi " Pengobatan diare mulai di rumah dan penderita diare sebenarnya tidak perlu meninggal " telah dicanangkan sejak 15 tahun yang lalu. Sejak itu telah dipromosikan Oralit dan URO (Upaya Rehidrasi Oral), namun usaha tersebut belum mencapai sasaran pada seluruh lapisan masyarakat dan bahkan para petugas kesehatan pun masih banyak yang belum menggunakannya (Ismail, 1990).Hingga kini, masih saja ada masyarakat yang beranggapan bahwa (1). Diare merupakan gejala anak mau bertambah pintar, ngenteng-ngentengi "indah", dan sebagainya ;(2). Perlu menghentikan makanan dan minuman sehari-hari. tarmasuk ASI, selama diare; 3). Perlu memberikan obat. baik obat tradisional (jamu). daun jambu, popok daun-daunan. kerikan, maupun obat modern, baik yang harus dibeli dengan resep dokter, maupun yang dapat dibeli bebas di apotik atau di toko obat . Keadaan di atas kiranya sangat berkaitan dengan perilaku masyarakat terhadap penyakit diare dan perilaku masyarakat ini dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan. lingkungan, keadaan social ekonomi, peranan tenaga penyuluh kesehatan, dan sebagainya (Ismail. dkk., 1986)
Dalam upaya mencapai "Sehat Untuk Semua" masih dirasakan kurangnya sumber daya yaitu tenaga, dana dan sarana-prasarana.
Untuk ini perlu peran serta masyarakat, khususnya ibu, yang mempunyai perilaku yang menunjang, yang selanjutnya juga berperan sebagai 'dokter' terdekat bagi keluarga. terutama bagi anaknya. Khusus pada diare. peran ibu ini sangat penting dalam usaha pencegahan dan penanganannya.
Peran ibu ini menjadi sangat penting karena di dalam merawat anaknya, ibu seringkali berperan sebagai pelaksana dan pembuat keputusan dalam pengasuhan anak, yaitu dalam hal memberi makan, memberi perawatan kesehatan dan penyakit, memberi stimulasi mental (Titi Sularyo dkk., 1984). Dengan demikian bila ibu barperilaku baik mengenai diare, ibu sebagai pelaksana dan pembuat keputusan dalam pengasuhan, diharapkan dapat memberikan pencegahan dan pertolongan pertama pada diare dengan baik.
Akhirnya penelitian mengenai seberapa jauh peran serta masyarakat terutama ibu. khususnya perilaku ibu mengenai diare pada balita dan penanganannya, perlu dilakukan, yang setahu peneliti, penelitian seperti ini belum pernah dilakukan di Bagian Anak FKUI/RSCM Jakarta
"
1991
T 6593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mashoedojo Pranotodihardjo
"Imunisasi merupakan salah satu upaya kesehatan yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian bayi, diantaranya adalah imunisasi campak. OCI minimal 30% sampai akhir Desember 1990 untuk imunisasi campak merupakan tantangan yang harus dicapai, dipertahankan, ditingkatkan dan juga diratakan sampai kepada daerah tingkat administrasi yang paling rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada ibu dalam melaksanakan imunisasi campak di wilayah Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Pada penelitian ini yang menjadi subyek penelitian adalah ibu dari anak berusia 9-11 pada Januari-Desember 1990 yang seharusnya melaksanakan imunisasi campak pada wilayah kerja Puskesmas Duri Kepa, Jakarta Barat.
Jenis penelitian ini adalah Cross Sectional Study dan analisa data digunakan adalah distribusi frekuensi, analisa presentase, tabulasi silang dan uji Chi-square.
Dari enam faktor yang berpengaruh pada ibu ternyata hanya dua faktor yang terbukti mempunyai hubungan yang bermakna dengan pelaksanaan imunisasi campak, yaitu faktor pengetahuan dan faktor pendorong pada ibu. Dan didapatkan kenyataan bahwa media TV/radio menduduki urutan terbesar sebagai sumber informasi imunisasi campak dan menyusul peranan petugas dan kader kesehatan.
Disarankan dari segi pengelolaan program ini perlunya mengembangkan peta wilayah kerja menjadi peta data sasaran. Dan perlunya peningkatan penyuluhan dan materi penjelasan pada saat pelayanan imunisasi campak dilaksanakan. Serta sebagaimana dikemukakan didepan bahwa subyek penelitian ini adalah ibu-ibu, maka diharapka akan dilakukan penelitian juga terhadap petugas kesehatan maupun kader kesehatan beserta sarana/prasarana pendukungnya dihadapkan dengan pelaksanaan imunisasi campak."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Sih Wargiati
"Fluor adalah senyawa an organik yang banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari yaitu tcrdapat pada makanan seperti ikan salmon dan teri jengki, pada minuman seperti teh dan susu dan pasta gigi yang mengandlmg fluor. Cara mengkonsumsi fluor yaitu secara sistemik artinya melalui makanan dan minuman, secara topical aplikasi (pengolesan fluor pada permukaan gigi), kumur-kumur dengan air yang mengandung fluor dan pemakaian pasta gigi yang mengandung fluor. Fluor dalam air dengan konsentrasi cukup atau memenuhi syarat (0,05-O,5)ppm dapat menoegah karies gigi. Para ahli berpendapat bahwa fluor adalah unsur yang penting dalam pembentukan tulang dan gigi.
Karies gigi adalah penyakit yang disebabkan olch banyak faktor, faktor utama yaitu interaksi antara mikroorganisme (streptoccocus mutans), gigi dan saliva, karbohidrat dan waktu. Falctor lain yang ikut berkontribusi diantaranya kandungan fluor dalam air yang dikonsumsi. Prevalensi karies gigi siswa SD di kota Bandung tahun 2004 adalah 80%, dan survei yang dilakukan olch PPKGM kota Bandung tahun 2002, diremukan angka DMF-T (indeks karies gigi) pada siswa kelas 6 SD yaitu 1,6 dengan prcvalensi karies sebesar 88%. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kandungan fluor dalam air yang dikonsumsi siswa SD dengan karies gigi (DMF-T).
Untuk melihat hubungan antara kandungan fluor dalam air yang dikonsumsi siswa SD dengan penyakit karies gigi digunakan studi cross sectional/potong lintang. Populasi studi adalah siswa SD kota Bandung dan sample 200 siswa. berumur I0-I2 tahun yang tersebar secara acak di 40 SD. Hasil penelitian menunjukkan angka lcandungan fluor air yang dikonsumsi adalah 0,33 ppm dan rata-rata angka DMF-T adalah l,49. Didapat hubungan yang bermakna antara kandungan fluor dalam air yang dikonsumsi untuk minum dan berkumur dengan penyakit karics gigi (DMF-T).
Perlu dilakukan penyuluhan tentang pentingnya iluor yang memenuhi syarat untuk dikonsumsi dan melakukan kegiatan kumur-kumur dengan larutan fluor di Sekolah Dasar, serta melakukan penelitian lebih lanjut untuk menelitj hubungan konsumsi fluor dalam air secara sitemik atau melalui kumur-kumur dengan larutan fluor, dengan penyakit karies gigi.

The Association fluorides contain in drinking water and rinsing water with caries in elemtery school students at Bandung in 2006 Fluor is an oraganic compound which resent in daily lifes for example in food eg: salmon, teri jengki, tea and milk, tooth-pastes with fluor. Flour consuming method is present systemically sistematicelly, which means through foods and drink, application topicaly (lubricating tluor on tooth surface), rinse water wich countainaing fluor, tooth paste with oountaining fluor. Fluor that countaining in water with sufhcient consentration (0,05-0,5)ppm could protect caries.The research have a conclution that fluor is very important for the bone and tooth.
Dental caries is a kind of disease wich cause by so many factors, the mainly factor are interaction between microorganism (streptococcus mutans ), teeth and saliva, carbohydrate and time. Other factor that contribution of flour substance in consumed waters. Dental caries prevalens of elementary shool students at Bandung in 2004 is 80%, the reseach was done PPKGM Bandung in 2002 is was found that the DMF-T nd value for 6? grade elementary school is 1,6 with prevalensi caries 88%. The purpose of the reseach is have a result association the fluor countain in water wich consumed of elementary school with dental caries (DMF-T).
To have a result association between fluor contains of elementary school students with dental caries was using Cross Sectional method. Study populations are elementary school students (SD) Bandung with 200 sample for the students with ages 10 - 12 years old, Distributed randomly on 40 SD locations of SD randomly selected. This reseach shows that the value of fluor containing of water that consume is 0,33 ppm and DMF-T score is l,49. It's fotmd association tluor contain in water that consuming for drink and rinse with dental caries (DMF-T).
A suggestion has to be giving to Health Departement for conseling about the very important tluor to be consume and doing a rinsc activity with fluor contain in solution for each elementary shcool, also further more reseach to line association consuming fluor in water sistematically or rinse with fluor solution.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T34355
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>