Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kalista Putri
"Pandemi COVID-19 yang melanda dunia semenjak tahun 2020 menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap kehidupan manusia, salah satunya meningkatnya gejala depresi. Salah satu kelompok umur yang paling rentan terkena depresi adalah dewasa awal, karena banyaknya transisi yang sedang mereka alami, kurangnya interaksi dengan teman dan pasangan yang merupakan hal penting, serta kurangnya keterlibatan orangtua ketika anak beranjak dewasa. Walaupun begitu, terdapat berbagai metode yang dapat digunakan untuk mengurangi gejala depresi, salah satunya adalah mindfulness. Penelitian ini dilakukan terhadap 158 individu individu dalam rentang usia dewasa awal (18 – 25 tahun) yang bertempat tinggal di Indonesia. Variabel gejala depresi diukur dengan alat ukur Beck Depression Inventory – II (BDI-II) dan variabel mindfulness diukur dengan Mindfulness Attention & Awareness Scale (MAAS). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa mindfulness berkontribusi negative secara signifikan terhadap gejala depresi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuat masyarakat meningkatkan mindfulness mereka dalam kehidupan mereka sehari-hari.

The COVID-19 pandemic that has been happening since 2020 negatively affected a lot of aspects in the world, including increasing depressive symptoms in human. A developmental period where depression is most likely to occur is emerging adult, where they are in the middle of many transition, lack of support system during the pandemic, and lack of parental involvement as they are adulting. However, there are several techniques that can be used to prevent depression, one of them is mindfulness. This study is conducted on 158 emerging adult (age ranging between 18 – 25 years old) living in Indonesia. Depressive symptoms are measured with Beck Depression Inventory – II (BDI-II) and mindfulness is measured with the Mindfulness Attention & Awareness Scale (MAAS). Simple regression analysis showed that mindfulness has a significant negative contribution to depressive symptoms in emerging adults during COVID-19 pandemic. This finding hopefully will encourage people to increase their mindfulness."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evita Nur Indahsari
"ABSTRACT
Mahasiswa merupakan kelompok usia dewasa awal yang rentan memiliki sleep hygiene tidak adekuat sebagai akibat dari tuntutan kehidupan akademis dan sosialnya, serta kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan tidur. Praktik sleep hygiene yang tidak adekuat secara langsung mempengaruhi kualitas tidur pada mahasiswa sehingga dapat menyebabkan beberapa dampak negatif seperti penurunan konsentrasi, perasaan mengantuk sepanjang hari, dan mudah emosi. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan mengenai tidur dengan praktik sleep hygiene pada mahasiswa program sarjana reguler Universitas Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pengetahuan mengenai tidur berhubungan positif dengan praktik sleep hygiene mahasiswa p=0,023; ?=0,05 . Oleh karena itu, dibutuhkan upaya promotif seperti adanya pendidikan kesehatan tidur untuk meningkatkan kualitas tidur mahasiswa.

ABSTRACT
College student is a young adult age group that prone to have inadequate sleep hygiene as a result of the demands of their academic and social life, and also because their lack of sleep knowledge. Inadequate sleep hygiene practice affects the quality of sleep so that they can lead to several negative consequences for students such as decreased concentration, feeling sleepy during the day, and irritable. This study used a cross sectional study which aimed to determine the relationship between sleep knowledge and the sleep hygiene practices in undergraduate regular student University of Indonesia. Based on this research, the results show that the sleep knowledge is positively associated with student sleep hygiene practices p 0,023 0,05 . Therefore, promotive intervention is needed such as sleep health education to improve the students rsquo sleep quality."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saniyya Sridarmi
"Quarter life crisis adalah kondisi yang menggambarkan krisis atas identitas yang dirasakan oleh seorang individu dari mereka remaja dan kemudian beranjak menjadi seorang individu dewasa dengan sumber krisis yang berpusat pada belum siapnya individu dalam proses transisi antar status tersebut. Secara umum, dampak yang dihasilkan pada saat seseorang mengalami situasi krisis ini adalah mereka akan merasakan penurunan tingkat percaya diri, menarik diri secara sosial, cemas hingga depresi. Dalam menghadapi situasi ini, individu diharapkan memiliki sumber penguatan dari dalam dirinya dan lingkungan sekitarnya. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat quarter life crisis pada Individu dewasa awal. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan jenis survei. Sampel dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan metode probability sampling dengan teknik stratified random sampling, sedangkan untuk instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner. Alat ukur dukungan sosial disusun dengan mengacu kepada teori oleh House (1981) tentang 4 aspek mengenai dukungan sosial, sedangkan untuk alat ukur quarter life crisis, peneliti mengadaptasi kuesioner oleh Hassler (2009) tentang quarter life crisis. Responden dalam penelitian ini berjumlah 85 mahasiswa yang seluruhnya terhimpun sebagai mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia angkatan 2019. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan signifikan antara dukungan sosial dengan tingkat quarter life crisis dengan arah hubungan antara keduanya adalah negatif (r=-0,686**) di mana semakin rendah dukungan sosial maka semakin tinggi tingkat quarter life crisis yang dialami oleh seseorang, dan berlaku untuk sebaliknya.

Quarter life crisis is an identity crisis phenomenon that occurs to the unpreparedness in the transition process from a teenager and then turns into an adulthood. The impact that is produced when someone experiences this crisis situation is that they will feel a decrease in their level of self-confidence, anxiety and depression. To dealing with this situation, individuals are expected to have a source of reinforcement from within themselves and their surroundings. Therefore, this study aims to determine the relationship between social support and quarter life crisis in early adulthood. This study uses a quantitative research approach with a survei type. The sample in this study was measured using the probability sampling method with stratified random sampling technique, while the research instrument used was a questionnaire. The measuring instrument for social support was prepared with reference to the theory by House (1981) regarding 4 aspects of social support, while for the measuring instrument for quarter life crisis, researchers adapted the questionnaire by Hassler (2009) about quarter life crisis. Respondents in this study totaled 85 students, all of whom were final year students at the Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia class of 2019. The results showed that there was relationship between social support and the level of quarter life crisis. The direction of the relationship between the two was negative ( r=-0.686**). The lower the social support score, the higher the level of quarter life crisis experienced by a person, and vice versa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ulil Amri
"Pentingnya keberhasilan pencapaian tugas perkembangan tahap dewasa awal menjadi latar belakang dalam penelitian ini. Salah satu tugas tersebut adalah proses membangun hubungan intim untuk membentuk sebuah keluarga. Tingginya tingkat kesiapan menikah pada kelompok dewasa awal, sayangnya tidak dibarengi dengan persiapan yang matang sehingga menyebabkan pencapaian pelaksanaan tugas perkembangan keluarga yang rendah dan lebih lanjut mengurangi kepuasan pernikahan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran tingkat pengetahuan tugas perkembangan keluarga tahap I dan II pada kelompok dewasa awal. Desain yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan metode deskriptif yang dianalisis melalui uji univariat. Sampel yang digunakan sebanyak 103 responden yang diambil menggunakan teknik non probability sampling. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tingkat pengetahuan sampel terhadap tugas perkembangan keluarga secara keseluruhan berada pada kategori sedang (45,6%) sampai tinggi (54,4%). Secara terpisah, gambaran pengetahuan pada variabel tugas perkembangan keluarga tahap I lebih baik secara statistik daripada variabel lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan responden tergolong cukup baik, tetapi masih perlu adanya upaya peningkatan pengetahuan secara berkesinambungan pada kelompok dewasa awal sesuai dengan tahap perkembangan masing-masing individu. Peneliti menyarankan bagi mahasiswa keperawatan untuk menguasai konsep keluarga dengan baik agar dapat memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan populasi dan kuesioner yang lebih luas dan terukur sehingga dapat menggambarkan kondisi populasi yang sebenarnya.

This research is motivated by the importance of successful achievement of developmental tasks in the early adult stage. One of these tasks is the process of building intimate relationships to form a family. Unfortunately, the high level of readiness for marriage in the early adult group is not accompanied by proper preparation, which results in low achievement of family development tasks and further reduces marital satisfaction. This study aims to describe the level of knowledge of family development tasks stages I and II in the early adult group. The design used is quantitative research with descriptive methods which are analyzed through univariate tests. The sample used was 103 respondents who were taken using a non-probability sampling technique. The results of this study found that the overall level of knowledge of the sample on family development tasks was in the moderate (45.6%) to high (54.4%) category. Separately, the picture of knowledge on the stage I family development task variable is statistically better than the other variables. Thus, it can be concluded that the level of knowledge of respondents is quite good, but there is still a need for efforts to increase knowledge on an ongoing basis in the early adult group according to the stage of development of each individual. Researchers suggest for nursing students to master the concept of family well in order to provide comprehensive nursing care. Further research is recommended to use a broader and measurable population and questionnaire so that it can describe the actual condition of the population."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gemini Rosiana
"Kelompok umur yang berpeluang besar mengalami quarter-life crisis adalah individu pada masa dewasa awal, ini dikarenakan individu sedang mengalami masa transisi dalam membangun kehidupan, karir, dan hubungan interpersonal dengan individu lain secara mandiri. Akan tetapi, metode mindfulness diajukan dapat mengurangi quarter-life crisis. Penelitian dilakukan kepada 175 partisipan dengan proporsi perempuan 57,7% yang berada pada masa dewasa awal dengan rentang usia 18-25 tahun. Pengukuran dilakukan dengan cara self-report, variabel mindfulness diukur dengan MAAS (Mindfulness Attention & Awareness Scale) dan Quarter-life Crisis Scale yang sudah diadaptasi dalam Bahasa Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa mindfulness berkontribusi positif signifikan terhadap quarter-life crisis yang dialami dewasa awal (r(175) = 0,500, dengan p < 0,05) dan tidak ada perbedaan signifikan pada skor quarter-life crisis antara laki-laki dan perempuan. Implikasi penelitian adalah perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai mindfulness dan quarter-life crisis pada individu dewasa awal setelah pasca pandemi.

Individual in emerging adulthood period are the age group that most likely to experience quarterlife crisis; this mainly caused by individual that experiencing a transitional period whereas trying to build a life, career, and interpersonal relationships with other individuals. However, the mindfulness method is proposed to reduce quarter-life crises. The study was conducted on 175 participants, with a total proportion of 57.7% females who were in their early adulthood with an age range of 18–25 years. The measurement was carried out by utilizing a self-report questionnaire which has been adapted to Bahasa. While the mindfulness variable is measured by the MAAS (Mindfulness Attention and Awareness Scale), the quarter-life crisis variable is measured by a Quarter-life Crisis Scale. The results of the analysis showed that mindfulness made a significant positive contribution to the quarter-life crisis experienced by early adulthood (r(175) = 0.500, with a p<0.05) while there is no significant differences between man and woman for quarter-life crisis score. The results implied the urgency to conduct further research upon post-pandemic period on mindfulness and quarter-life crisis in emerging adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miniwaty Halim
"Kematian merupakan hal yang pasti akan terjadi pada semua manusia Walaupun demikian, kematian tetap tinggal sebagai suatu misteri karena manusia tidak pernah tahu kapan, dimana, bagaimana kematiannya akan terjadi serta apa yang akan terjadi setelah kematiannya. Sifat kematian sebagai misteri yang tak terelakkan ini menimbulkan perasaan ketakutan atau kecemasan pada diri manusia. Konstruk inilah yang dikenal dengan death anxiety atau fear of death, dimana penggunaan istilah ketakutan maupun kecemasan dapat saling menggantikan dalam topik tentang kematian (Rahim dkk, 2003). Peneiitian mengenai death anxiety umumnya diarahkan untuk menghasilkan alat ukur, misalnya Tempier's Death Anxiety Scale, Threat Index dan Bugen's Death. Shale (Mooney dalam Rahim dkk 2003). Di Indonesia sendiri alat ukur death unxiety dikembangkan oleh Sihombing dengan dasar teori dari Florian & Kravetz (Sihombing, 2002), yaitu Skala Ketakutan Akan Kematian. Alat yang kedua dikembangkan oleh Rahim dkk (2003) dengan dasar teori Florian & Kraveiz (Sihombing, 2002) serta Kastenbaum & Aisenberg (1976), yaitu Skala Ketakutan Terhadap Kematian Diri Sendiri. Skala ini terdiri dari empat dimensi death anxiety, yaitu Dying (ketakutan akan proses menghadapi kematian), Ajterlife (ketakutan akan apa yang terjadi setelah kemntian), Extinction (ketakutan akan kehilangan eksistensi diri, materi dan identitas sosial akibat kematian) serta Interpersonal Consequnces (ketakutan akan konsekuensi kematian diri sendiri terhadap orang-orang dekat).
Skala ini menggunakan bentuk skala sikap 2 poin, yaitu setuju/tidak setuju. Pada pengujian reliabilitas dan validitas skala ini, didapat hasil yang cukup baik Reliabilitas total alat ini adalah 0,87- Sedangkan reliabilitas masing-masing dimensi berkisar antara 0,61 sampai 0,83. Sampel yang digunakan berjumlah 38 orang, terdiri dari orang dewasa berusia 40-65 tahun yang beragama Islam, Katolik dan Kristen. A Namun alat ukur ini masih memiliki beberapa kekurangan. Bentuk item setuju/tidak setuju kurang mampu mendiskriminasi derajat ketakutan subyek, bahasa dalam kalimat pernyataan beberapa item cenderung ambigu, serta indikator perilaku dalam dimensi Alterlfe dan Extinction yang masih tumpang tindih. Kekurangan-kekurangan ini mengakibatkan sebanyak I2 item dalam skala ini harus direvisi karena tidak valid.
Penelitian ini bertujuan untuk merevisi Skala Ketakutan terhadap Kemaiian Diri Sendiri dari Rahim dkk (2003), Revisi ini terdiri dari revisi indikator perilaku dari dimensi Afterlife dan Extinction, revisi bentuk item menjadi skala Likert 6 poin, revisi atas kalimat pemyataan item termasuk menambah jumlah item negatif serta revisi alas sampel penelitian ini. Sampei penelitian ini menjadi 80 orang. Dari kelompok usia dewasa awal yang berkisar 20 sampai 40 tahun sebanyak 40 orang. Dari kelompok dewasa madya yang berkisar 40-65 tahun juga sebesar 40 orang. Sampel penelitian berasal dari agama Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha
Dari hasil analisis data ternyata diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara derajat ketakutan pada kelompok usiadewasa awal dan dewasa madya. Hasil ini tidak mendukung teori yang menyatakan bahwa kelompok usia dewasa madya merupakan kelompok dengan derajat ketakutan terhadap kematian yang paling tinggi (Papalia dkk, 1998). Implikasi dan hasil analisis data ini adalah bahwa kelompok usia dewasa awal dan dewasa madya dapat diperlakukan sebagai kelompok norma yang sama. Pengujian reliabilitas dengan menggunakan metode koefisien alpha menghasilkan koeflsien sebesar 0,92- Koeflsien reliabilitas sebesar ini menunjukkan bahwa skala revisi memiliki konsistensi yang baik (Anastasi & Urbina, 1997). Sedangkan korelasi antara item dengan dimensi mendapatkan adanya 2 item yang tidak: valid, yaitu item 4 dan item 17. Hal ini tampaknya disebabkan bahasa kalimat pernyataan yang susah dipahami. Item 4 menggunakan kalimat negasi ganda sedangkan item 17 mengandung kata kata yang ambigu Korelasi dimetsi dengan skor total juga menunjukkan hasil yang baik dimana semua dimensi berkordinasi secara signifikan pada level 0,01 dengan skor total. Hal ini berarti semua dimensi valid untuk memprediksi skor total subyek. Penghitungan norma dengan standard score menghasilkan tabel norma yang mencakup kelompok usia dewasa awal dan dewasa madya. Yang perlu dicermati dalam penelitian ini adalah bahwa subyek penelitian cenderung menghasilkan skor yang rendah pada dimensi Extinction. Sedangkan dimensi Afterlife memiliki standar deviasi yang paling besar. Tampaknya pada kelompok usia dewasa awal dan dewasa madya di Indonesia, ketakutan akan hilangnya eksistensi diri akibat kematian tidak terlalu berpengaruh. Sedangkan ketakutan akan apa yang terjiadi setelah kematian (kehidupan setelah mati) tampaknya dipengaruhi pandangan religiusitas subyek, dimana ada subyek yang sangat takut dan ada subyek yang tidak takut.
Dari penclitian ini juga muncul indikator perilaku khas budaya yang tampaknya belum tercakup dalam teori Kastenbaum & Aisenberg (1976) serta Florian & Kravetz (Sihombing, 2002). lndikator perilaku ini adalah ketakutan akan sendirian dalam menghadapl proses kematian (loneliness). Indikator ini dapat menjadi sumbangan pada dlmensi Dying pada pengembanan lebih lanjut dari Skala Ketakutan terhadap Kematian Diri Sendiri."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Fionna Callista
"Rasa bersalah dalam kedukaan merupakan salah satu respon emosional ketika individu merasa telah gagal memenuhi standar dan harapannya dalam hubungannya dengan almarhum dan/atau kematian. Rasa bersalah yang dirasakan secara intens dan berkepanjangan ini beresiko menghambat keberfungsian dan kesejahteraan individu dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan kemungkinan individu mengalami masalah kesehatan mental, hingga resiko untuk bunuh diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi intervensi Acceptance and Commitment Therapy (ACT), berjumlah empat sesi, untuk menurunkan rasa bersalah yang dialami individu. Partisipan penelitian berjumlah tiga, yang memenuhi kriteria, yaitu berusia 18-30 tahun, mengalami kehilangan (meninggal dunia) orang terdekat, mengalami rasa bersalah selama masa kedukaan yang dijalani, dan belum pernah mendapatkan penanganan psikologis terkait kedukaan sebelumnya. Desain penelitian adalah one group before-after (pretest-posttest) untuk mengevaluasi pengaruh intervensi dengan membandingkan hasil pengukuran sebelum dan sesudah intervensi. Data kuantitatif didapatkan menggunakan alat ukur Bereavement Guilt Scale (BGS), Acceptance and Action Questionnaire-II (AAQ-2), Cognitive Fusion Questionnaire (CFQ), dan Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ), sedangkan data kualitatif didapatkan lewat hasil wawancara dan observasi selama intervensi. Hasil kuantitatif menunjukkan adanya penurunan skor rasa bersalah dan meningkatnya fleksibilitas psikologis partisipan. Secara kualitatif, intervensi terbukti dapat membantu partisipan dalam proses pemaafan dirinya terhadap perilaku yang dilakukan selama almarhum masih hidup, mengurangi kecenderungannya untuk menyalahkan diri, keluar dari pemikiran bahwa ia merupakan penanggung jawab atas kematian almarhum, dan menerima bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan usaha terbaik yang telah diusahakannya saat almarhum masih hidup. Dapat disimpulkan bahwa ACT dengan total 4 sesi terbukti mengatasi rasa bersalah pada partisipan penelitian.

Guilt in grieving is an emotional response when individuals feel they have failed to meet their standards and expectations concerning the deceased and/or death. Intense and prolonged feeling of guilt has the risk of hampering the functioning and well-being of individuals in everyday life, increasing the likelihood of individuals experiencing mental health problems, to the risk of suicide. The study aims to evaluate the effectiveness of Acceptance and Commitment Therapy (ACT) intervention, totaling four sessions, to reduce feelings of guilt experienced by individuals. Three participants were aged 18-30 years, experienced the loss (passed away) of a loved one, has experienced guilt during their grieving period, and had never received any psychological treatment. The research design was a one group before-after (pretest-posttest) design to evaluate the effect of the intervention by comparing the results of measurements before and after the intervention. Quantitative data obtained using the Bereavement Guilt Scale (BGS), Acceptance and Action Questionnaire-II (AAQ-2), Cognitive Fusion Questionnaire (CFQ), and Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ), while qualitative data obtained through interviews and observations during the intervention. Quantitative results show a decrease in the score of guilt and an increase in the psychological flexibility of the participants. Qualitatively, the intervention was proven to be able to help participants in the process of forgiving themselves for the behavior they committed during the life of the deceased, reducing the tendency to blame themselves, getting out of thinking that they are responsible for the death, and accepting that the decisions made were the best they could take. It is shown that ACT of 4 sessions is proven to overcome guilt in research participants."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Elvina
"Non-suicidal self-injury (NSSI) merupakan isu kesehatan global dengan prevalensi yang tinggi dan meningkat di kalangan dewasa awal. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai kecenderungan perilaku NSSI pada dewasa awal di Indonesia serta menemukan hubungan antara stres, koping religius positif dan negatif, dan keparahan perilaku NSSI. Data dikumpulkan dari 311 partisipan berusia 18–29 tahun (M = 23.37, SD = 2.38) menggunakan kuesioner daring, yang mencakup alat ukur stres (Perceived Stress Scale-10), koping religius positif dan negatif (Brief RCOPE), serta karakteristik perilaku NSSI (Non-Suicidal Self-Injury Function Scale). Dalam penelitian ini, 40.2% partisipan pernah atau masih melakukan NSSI. Hasil menunjukkan bahwa kenaikan pada stres secara statistik signifikan memprediksi peningkatan pada keparahan perilaku NSSI. Koping religius negatif memiliki efek moderasi yang signifikan secara statistik pada hubungan antara stres dan keparahan NSSI, namun koping religius positif tidak memiliki efek moderasi yang signifikan secara statistik. Penelitian ini mendemonstrasikan bahwa stres dan koping religius negatif memainkan peran penting dalam memperparah perilaku NSSI. Penelitian ini mengilustrasikan pentingnya program prevensi dan intervensi untuk NSSI yang menargetkan stres dan koping religius negatif.

Non-suicidal self-injury is a global health issue with a high and increasing prevalence among emerging adults. This study is aimed to examine the tendency of NSSI among emerging adults in Indonesia while also investigating the relationship between stress, positive and negative religious coping, and NSSI severity. Data was gathered from 311 participants aged 18–29 years old (M = 23.37, SD = 2.38) using online questionnaire, which included measures of stress (Perceived Stress Scale-10), positive and negative religious coping (Brief RCOPE), and NSSI severity (Non-Suicidal Self-Injury Function Scale). This study revealed that 40.2% of participants had or were still engaging in NSSI. Results indicated that an increase in stress predicted with statistical significance an increase in NSSI severity. Negative religious coping had a statistically significant moderation effect on the relationship between stress and NSSI severity, while positive religious coping did not. Thus, this study demonstrated that stress and negative religious coping play important roles in exacerbating NSSI. This study illustrated the importance of prevention and intervention programmes for NSSI that target stress and negative religious coping. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanira
"ABSTRAK
Hubungan akrab dengan orang lain merupakan kebutuhan mutlak untuk
hampir setiap individu. Hubungan akrab merupakan sarana individu untuk
berbagi rasa, mengenal diri lebih mendalam dan juga sebagai tempat meminta
bantuan di kala membutuhkannya. Tidak dimilikinya hubungan yang akrab
tersebut merupakan pencetus timbulnya perasaan kesepian dengan sejumlah
akibat buruknya.
Tuntutan untuk memiliki hubungan akrab dengan orang lain ternyata
merupakan salah satu tugas penting bagi mereka yang berada di masa dewasa
awal. Keadaan di masa tersebut menyebabkan dibutuhkannya hubungan khusus
dengan orang lain terutama dengan pasangan atau lawan jenis sebagai tempat
berbagi dan juga sebagai persiapan mereka untuk tuntutan selanjutnya yaitu
membentuk keluarga. Namun tidak semua dewasa awal memiliki hubungan
seperti itu. Mereka tidak ?memiliki' orang lain yang akrab dengan dirinya, yang
dapat diajak berbincang dan berbagi dalam banyak hal. Keadaan ini merupakan
keadaan yang tidak menyenangkan dan seperti telah dijelaskan sebelumnya,
merupakan penyebab timbulnya perasaan kesepian.
Namun, untuk mendapatkan suatu hubungan yang berkualitas seperti itu,
diperlukan proses dan usaha tertentu. Individu perlu saling mengungkapkan
dirinya masing-masing secara jujur. Memberikan informasi yang sifatnya pribadi
dan mengungkapkan diri kepada orang lain merupakan perilaku yang memiliki
konsekuensi negatif. Akibat negatif yang mungkin timbul antara lain tidak
ditanggapinya pengungkapan diri yang telah dilakukan maupun penyalahgunaan
informasi yang telah diberikan melalui pengungkapan diri tersebut untuk tetap
dapat melakukan hal itu walaupun terdapat kemungkinan adanya konsekuensi
yang merugikan, individu harus memiliki rasa percaya terhadap orang lain. Rasa
percaya membuat individu berkeyakinan bahwa orang lain merupakan orang yang
baik dan pengungkapan diri yang ia lakukan tidak akan berefek negatif.
Perkembangan menuju suatu hubungan yang akrab terjadi melalui proses
keterbukaan diri yang dilandaskan rasa percaya tersebut. Dengan berkembangnya
hubungan tersebut, diharapkan individu tidak mudah terserang kesepian.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka timbul pertanyaan apakah
perasaan kesepian memiliki kaitan dengan rasa percaya terhadap orang lain.
Penelitian yang dilakukan untuk menjawab permasalahan ini menggunakan
sampel dewasa awal yang tidak memiliki pasangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara
perasaan kesepian dengan rasa percaya pada orang lain. Semakin tinggi perasaan
kesepian yang dialami, semakin rendahlah rasa percayanya pada orang lain.
Sebaliknya bila perasaan kesepiannya rendah maka ia memiliki rasa percaya yang
tinggi pada orang lain.
Dari hasil penelitian tersebut, maka saran yang dapat diberikan untuk
mereka yang mengalami kesepian adalah agar mereka memperluas lingkup
pergaulannya dengan ikut serta dalam berbagai kegiatan. Cara lainnya adalah
melalui pelatihan tentang bagaimana meningkatkan rasa percaya dan
mengungkapkan diri kepada orang lain dengan tingkatan yang sesuai sehingga
timbul peluang untuk mengembangkan hubungan ke arah yang lebih akrab.
Namun, untuk dapat mengetahui secara lebih tepat kaitan kedua hal tersebut
maupun manfaat saran di atas, sebaiknya diadakan penelitian lain yang lebih
baik."
1997
S2295
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilma Ramadina
"Perceraian orang tua dapat berdampak pada anak hingga dewasa. Salah satunya berdampak pada sikap terhadap pernikahan individu. Self-Compassion (SC) sebagai faktor internal yang positif diduga memiliki hubungan dengan sikap terhadap pernikahan pada usia dewasa awal yang orang tuanya bercerai. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara Self-Compassion (SC) dan Attitudes Toward Marrigae (ATM) pada masa dewasa awal (18-25 tahun) dengan orang tua bercerai. Total peserta yang diperoleh sebanyak 210 peserta. Pengukuran SC dilakukan dengan menggunakan alat ukur Self-Compassion Scale-Short Form (SCS-SF). sedangkan pengukuran ATM dilakukan dengan menggunakan alat ukur Marital Attitudes Scale (MAS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif (r= 0,408; p= <0,01) antara SC dan ATM pada dewasa awal dengan orang tua bercerai. Artinya, semakin tinggi SC pada masa dewasa awal yang orang tuanya bercerai, semakin positif ATM tersebut. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa enam komponen SC (self-kindness, common kemanusiaan, mindfulness, self-judgment, isolasi, over-identification) memiliki hubungan yang signifikan dengan ATM. Terdapat perbedaan skor rata-rata SC jika dilihat dari data demografi masyarakat yang tinggal bersama peserta saat ini.
Divorce of parents can have an impact on children to adulthood. One of them has an impact on attitudes towards individual marriage. Self-Compassion (SC) as a positive internal factor is thought to have a relationship with attitudes towards marriage in early adulthood whose parents are divorced. This study was conducted to determine the relationship between Self-Compassion (SC) and Attitudes Toward Marrigae (ATM) in early adulthood (18-25 years) with divorced parents. The total participants obtained were 210 participants. SC measurements were performed using the Self-Compassion Scale-Short Form (SCS-SF) measuring instrument. while ATM measurements were performed using the Marital Attitudes Scale (MAS) measuring instrument. The results showed that there was a significant and positive relationship (r= 0.408; p= <0.01) between SC and ATM in early adulthood with divorced parents. That is, the higher the SC in early adulthood whose parents divorced, the more positive the ATM was. The results also showed that the six components of SC (self-kindness, common humanity, mindfulness, self-judgment, isolation, over-identification) had a significant relationship with ATM. There is a difference in the average SC score when viewed from the demographic data of the people living with the current participants."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>