Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reeza Andi Nova
"Terorisme merupakan salah satu permasalahan yang sangat serius di Indonesia. Apabila tidak ditanggulangi dan dengan reaksi yang cepat (counter reaction) dapat menjadi sebuah ancaman besar bagi stabilitas dan keamanan baik nasional maupun regional. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi terorisme melalui pendekatan lunak salah satunya dengan Program Deradikalisasi. Koordinator Deradikalisasi menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang didukung oleh beberapa Kementerian dan Lembaga lain. Penelitian ini menemukan adanya kekosongan antara pengaturan terkait deradikalisasi yang diatur dalam Undang-undang dan peraturan turunnya dengan pelaksanaan Deradikalisasi di lapangan. Secara faktual, pelaksanaan deradikalisasi untuk para pelaku tindak pidana terorisme dari tahapan pada status tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana hingga mantan narapidana tindak pidana terorisme selama ini dilakukan oleh Densus 88 AT secara intensif. Idealnya, jika pada status tersangka deradikalisasi dilakukan oleh Densus 88 AT, status terdakwa oleh Kejaksaan, terpidana oleh Pengadilan, Narapidana Oleh Lembaga Pemasyarakatan dan mantan narapidana dilakukan oleh BNPT. Selain itu, guna deteksi dini perkembangan jaringan teror didalam maupun diluar Lembaga pemasyarakatan. Sehingga, dipandang penting bahwa personil Densus harus melekat dalam setiap tahapan untuk memberikan rekomendasi yang sesuai. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pemilihan informan secara purposive sampling. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Program Deradikalisasi yang dilakukan oleh densus 88 AT sesuai antara regulasi dan implementasinya. Hal tersebut dilakukan karena adanya kekosongan (gap) antara regulasi dan implementasi Program Deradikalisasi di lapangan dipandang dari sudut pandang normatif, karena Densus 88 AT melakukan pekerjaan melebihi dari yang diamanahi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, namun hal tersebut dianggap baik karena merupakan kebutuhan yang harus dilakukan dalam penanganan terorisme di Indonesia dan mencegah aksi terorisme dimasa depan.

Terrorism is a very serious problem in Indonesia. If not handled and with a quick reaction counter reaction it can become a big threat to stability and security both nationally and regionally. The Indonesian government's policy in tackling terrorism is through a soft approach, one of which is the Deradicalization Program. The Deradicalization Coordinator according to Law Number 5 of 2018 is the National Counter-Terrorism Agency (BNPT) which is supported by several Ministries and other Institutions. This study found a gap between the regulations related to deradicalization regulated in the Act and its regulations and the implementation of deradicalization in the field. Factually, the implementation of deradicalization for perpetrators of criminal acts of terrorism from the stages of the status of suspects, defendants, convicts, convicts to ex-convicts of criminal acts of terrorism has so far been carried out intensively by Densus 88 AT. Ideally, if the status of deradicalization suspect is carried out by Densus 88 AT, the status of defendant is by the Prosecutor's Office, convicted by the Court, Convicts by the Correctional Institution and ex-convicts is carried out by BNPT. In addition, for early detection of the development of terror networks inside and outside prisons. Thus, it is deemed important that Densus personnel must be attached to each stage to provide appropriate recommendations. This study uses a qualitative approach with the selection of informants by purposive sampling. The results of this study explain that the Deradicalization Program carried out by Densus 88 AT is in accordance with the regulation and its implementation. This was done because there was a gap between regulation and the implementation of the Deradicalization Program in the field from a normative point of view, because Densus 88 AT did more work than was mandated by Law Number 5 of 2018, but this was considered good because it was a necessity. that must be done in dealing with terrorism in Indonesia and preventing future acts of terrorism"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tubagus Ami Prindani
"Penelitian ini berlatar belakang dari kasus penyerangan Menko Polhukam oleh Syahrial Alamsyah alias Abu Rara yang merupakan target operasi intelijen Densus 88. Densus 88 menggunakan surveilans untuk memantau perilaku target dengan tujuan memengaruhi, mengelola atau mengarahkan, dan mencegah suatu perbuatan tindak pidana terorisme. Namun terjadinya kasus tersebut menunjukkan bentuk kegagalan dari surveilans. Tujuan penelitian ini untuk mendapat gambaran tentang latar belakang Syahrial Alamsyah menjadi target surveilans Densus 88, faktor yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut dan optimalisasi manajemen surveilans untuk meningkatkan pencegahan tindak pidana terorisme. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Dalam proses pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latar belakang Syahrial Alamsyah menjadi target operasi Densus 88 dikarenakan keterlibatanya dalam kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan sebagai simpatisan ISIS. Terjadinya kasus tersebut dipengaruhi oleh faktor (1) internal meliputi kurangnya anggota tim surveilans untuk memantau pergerakan target, perubahan pola komunikasi dan pergerakan target yang dirasa belum mampu dideteksi oleh anggota dan sarana prasarana yang tersedia. (2) eksternal meliputi pengamanan VVIP yang dilakukan personel kurang ketat. Optimalisasi dapat dilakukan dengan pelatihan baik dibidang kognitif yakni masalah pengetahuan psikology, dan secara teknis dapat dilakukan dengan pelatihan dibidang teknis intelijen secara umum dan pelatihan surveilans secara khusus.

This research is based on the case of the attack by the Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs by Syahrial Alamsyah alias Abu Rara, who was the target of the Densus 88 intelligence operation. Detachment 88 uses surveillance to monitor the behavior of targets with the aim of influencing, managing or directing, and preventing an act of terrorism. However, the occurrence of such cases shows a form of failure from surveillance. The purpose of this study is to get an overview of the background of Syahrial Alamsyah to be the target of surveillance Detachment 88, the factors that led to the case and the optimization of surveillance management to improve the prevention of terrorism offenses. This research uses a qualitative approach. In the process of data collection it is done by library research and interviews. The results of this study indicate that Syahrial Alamsyah's background was the target of the Special Detachment 88 operation due to his involvement in the Jamaah Ansharut Daulah (JAD) group and as ISIS sympathizers. The occurrence of the case was influenced by internal factors (1) including the lack of surveillance team members to monitor target movements, changes in communication patterns and target movements that were felt to be unable to be detected by members and available infrastructure. (2) external includes security of VVIP by less strict personnel. Optimization can be done by training both in the cognitive field, namely the problem of knowledge of psychology, and technically it can be done by training in the field of technical intelligence in general and specialized surveillance training."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T55504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.M.S. Urip Widodo
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan teror bom buku yang terjadi di Jakarta merupakan modus baru para teroris dalam melakukan aksinya, karena yang menjadi targetnya adalah individu sehingga apabila tidak dilakukan penanganan, maka akan berdampak pada psikologi masyarakat yaitu tingginya rasa kecemasan dan kekhawatiran masyarakat. Teror bom buku, apabila melihat jumlah korban dan kualitas ledakan, tidak sebanding dengan bom yang ditempatkan di gedung-gedung tertentu seperti pada kasus-kasus teror bom sebelumnya. Akan tetapi dampaknya hampir sama, bahkan teror bom buku sudah menyentuh aspek psikologi masyarakat awam. Ketakutan dan kepanikan yang melanda sampai ditingkat rumah tangga adalah bentuk keberhasilan aksi bom buku ini menjadi sebuah teror.
Mengacu pada hukum formal yang berlaku di Indonesia, maka aksi dan pelaku bom buku dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Mencermati perkembangan terorisme dengan organisasi dan jaringan global yang dimilikinya, dimana kelompokkelompok terorisme internasional mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama, baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung.
Berkaca pada kondisi tersebut, aparat kepolisian Republik Indonesia sesuai yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri merupakan ujung tombak dalam memberikan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat dengan memberantas pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia, seperti menangkap pelaku, mencegah, melakukan penyelidikan dan penyidikan, bahkan menembak mati para pelaku teror. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Polri adalah dengan membentuk Detasemen Khusus (Densus 88) Antiteror yang berada pada garis terdepan dalam memberantas aksi terorisme tersebut.
Dapat dipastikan, peranan Polri untuk pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut tidak terlepas dari 3 (tiga) fungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dimana Polri harus melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan yang mengancam jiwa warga negara Indonesia. Dalam hal ini Polri melalui Densus 88 Antiteror harus berpedoman kepada undang-undang yang mendasarinya yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonsia.

The research aims at explaining the terror of book bomb occuring in Jakarta Suchterror is a new modus operandi of terrorists in doing their actions because their targets are individuals If the police do not handle the case immediately such terror will psychologically affect communities in the forms of high anxiety and worriness Book bombings in the context of their victims and the quality of their explosions can not be compared with the previous bombings happening in certain buildings However both of bombing types have similar effects Moreover book bombings have nearly touched the psychological aspects of common people The fearness and panic attacking families are the forms of the terrorists success of committing book bombings leading to a terrorizing act
In accordance with formal law prevailing in Indonesia the act and perpetrator of book bombings can be categorized as a terrorism act Terrorists have currently cooperated with other groups and networks that posses good relationship and working mechanism either in the context of infra structural operation or supporting infrastructures.
By looking at such situation and condition the Indonesian National Police as stated in Law No 2 2002regarding Indonesian National Police is the front liner in providing protection and security to people in combating terrorism in Indonesia The Indonesian National Police does the responsibilities by arresting the perpetrators preventing investigating interrogating and even shooting death the perpetrators One of the Indonesian National Police efforts is the establishment of an special detachment 88Antiterror Special Detachment
It can be concluded that the role of the Indonesian National Police can not be separated from the three functions protector shelter and servant of public The Indonesian National Police must protect people from acts threatening their lives The Indonesian National Police through 88 Antiterror Special Detachment in conducting such duties and responsibilities must be guided by Law No 2 2002 regarding the Indonesian National Police
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library