Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Winantuningtyas Titiswasanany
"Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan salah satu instrumen bagi penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Permasalahannya banyak daerah yang tidak merasa puas dengan implementasi kebijakan yang dilaksanakan selama ini. Daerah masih menghadapi realitas pembangunan yang tidak merata, pembangunan ekonomi yang diskriminatif dan praktek korupsi yang merajalela. Ironinya, banyak elit daerah yang melihat jalan keluarnya secara sederhana dengan menuntut kebijakan pembentukan DOB. Tuntutan masyarakat untuk membentuk DOB ini mengalir deras dan sangat sulit dibendung. Diharapkan mendekatkan locus policy formulation di pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat, pelayanan publik menjadi efisien dan efektif untuk percepatan kesejahteraan rakyat dan daya saing.
Hasil studi menunjukkan sejumlah DOB mengalami kegagalan, utamanya pada 4 (empat) sektor pembangunan yaitu; kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Dari sejumlah 205 DOB (1999-2008),ternyata 70% gagal. (Kemendagri, 15 Desember 2012). Salah satunya disebabkan proses formulasi kebijakan pembentukan DOB belum transparan dan akuntabel. Daerah yang belum memiliki kesiapan dan kemampuan mandiri dibentuk menjadi DOB. Pada proses ini para perumus mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Pada tahap ini diidentifikasi berbagai problema yang terjadi, ditetapkan riil problem, memilih alternatif bagi kebijakan. Jika proses ini tidak tepat akan membawa dampak pada implementasinya. Rangkaian implikasi negatif yang timbul selama ini, menunjukkan pentingnya penelitian tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB perspektif democratic governance.
Penelitian ini melalui dua tahapan. (1) peneliti mendiskripsikan potret proses formulasi kebijakan DOB selama ini; Institusi dan kualitas proses. Peneliti melakukan participant observation, wawancara dengan anggota Komisi II dan pejabat pemerintahan. Descriptive research dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi pentingnya democratic governance bagi proses kebijakan pembentukan DOB.(2) membangun model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB. Peneliti melakukan pengumpulan data primer dengan mewawancara sekitar 40 (empat puluh) orang informan; melakukan Focus Group Discussion dan seminar. Untuk data sekunder dianalisis berbagai jenis referensi sebagai strategi untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dalam perspektif democratic governance. Hasil penelitian ini diharapkan obyektif, terstruktur, mendalam, faktual dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Hasil penelitian tahap pertama dan kedua disampaikan sebagai berikut: Secara praktis proses formulasi kebijakan merupakan tahapan penting dan strategis dalam proses kebijakan secara keseluruhan. DPR dan Pemerintah berperan penting dalam proses ini, yang akhirnya menghasilkan kebijakan pembentukan DOB.
1) Mengenai Faktor-faktor pendorong usulan pembentukan DOB pada umumnya terkait masalah Administrasi dan Finansial, mengingat luasnya wilayah, penduduk yang menyebar, ketertinggalan pembangunan dan infrastruktur, masalah financial ini merupakan faktor yang cukup signifikan dan menentukan bagi DOB untuk survive. Umumnya daerah mengandalkan transfer dana dari pusat dan daerah merasa memiliki kekayaan alam yang cukup. Political: inisiatif usulan pembentukan DOB tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari elit yang lebih cenderung kepada tujuan bagi kepentingan politik.
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan democratic governance adalah:
(a) Kepentingan Eksistensi Politik di Daerah; (b) Lemahnya penegakan hukum; (c)Kontrol yang Lemah; (d) Dorongan masyarakat; (e) Peran Kepemimpinan.
3) Faktor-faktor yang mendorong penerapan Democratic Governance adalah: (a) Tujuan yang dirumuskan secara jelas; (b) Pemerintah dalam penerapan unsureunsur Democratic Governance; (c) Akses Informasi bagi Pelayanan Publik; (d) Menyediakan dialog Publik.
4) Faktor-faktor pendorong persutujuan usulan kebijakan pembentukan DOB;
(a) Dorongan masyarakat dan tokoh daerah agar usulan mereka membentuk DOB diluluskan; (b) Hasil verifikasi dan klarifikasi data sudah memenuhi persyaratan; (c) Hasil penelitian Tim teknis dan evaluasi tim independen terhadap kelayakan usulan, serta rekomendasi DPOD; (d) Terdapat karakteristik masalah daerah yang harus dibantu. (e) Pada konteks yang berbeda, DPR dan Pemerintah dapat menginisiasi pembentukan DOB untuk kepentingan keamanan negara.
Implkasi teoritik, Penelitian dengan tema ini masih sangat sedikit dilakukan di kalangan ilmu administrasi. Dalam konteks proses formulasi kebijakan pembentukan DOB di Indonesia yang bersifat buttom-up, di mana lingkungan kebijakannya (civil society dan market) masih lemah, faktor strong leadership harus berperan aktif membangun masyarakat, agar mampu aktif dalam penerapan democratic governance. Perlu penelitian mengenai pola penghitungan insentif dan dis-insentif bagi daerah dan DOB. Implikasi Praktis, Penelitian ini dimaksudkan agar kedepan, baik DPR maupun Pemerintah mempersiapkan institusi dan sarana publik untuk membangun masyarakat agar memahami kebijakan secara komperhensif dan sekaligus membangun mental dan kultural masyarakat.
Rekomendasi penelitian ini meliputi:
(a) Konsepsi model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB disebut integrated public policy democratic governance and resource-based capacities leadership. Konsep ini mengcover berbagai problema daerah, melibatkan peran dan kontribusi multi organisasi, mengkoordinasikan seluruh sumber daya, mengintegrasikan hasil dan seluruh potensi organisasi untuk satu tujuan; (b) Menggunakan metode kolaboratif dalam prosesnya; (c) Nilai-nilai democratic governance sudah given dalam pola manajemen pemerintahan. Institusi perumus kebijakan menerapkan democratic governance melalui business processnya; (d) Diberikan insentif bagi DOB yang ingin bergabung dan dis-insentif bagi calon DOB yang tidak memenuhi persyaratan;(e) Proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dilakukan oleh Panitia khusus DPR dan dibahas satu per-satu (RUU); (f) Sistem pengelolaan PNS terbuka secara nasional, sehingga memungkinkan kebutuhan PNSD dipenuhi dari daerah lain atau dari PNS Pusat. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1397
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The power of national and transnational constitutional courts to issue binding rulings in interpreting the constitution or an international treaty has been endlessly discussed. What does it mean for democratic governance that non-elected judges influence politics and policies? The authors of Judicial Power - legal scholars, political scientists, and judges - take a fresh look at this problem. To date, research has concentrated on the legitimacy, or the effectiveness, or specific decision-making methods of constitutional courts. By contrast, the authors here explore the relationship among these three factors. This book presents the hypothesis that judicial review allows for a method of reflecting on social integration that differs from political methods, and, precisely because of the difference between judicial and political decision-making, strengthens democratic governance. This hypothesis is tested in case studies on the role of constitutional courts in political transformations, on the methods of these courts, and on transnational judicial interactions."
United Kingdom: Cambridge University Press, 2019
e20528940
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Rutiana Dwi Wahyuningsih
"Abstract. Social accountability has been believed as an approach to overcome the deficit of the formal accountability (both horizontal and vertical accountability). Social accountability is percieved as a public accountability which is initiated by and aimed for the society. Several studies found the effectiveness of social accountability in encouraging a more transparent government and a wider public involvement. Those studies identified variables which contribute to the social accountability, i.e. the degree of government openness; the density of community organizations and their advocation capability; social, political, and cultural environment; and the public information accessibility. Data for this paper is collected through in-depth interviews and focused group discussion with the major players in the budget policy making process, including local government officers, members of local house of representatives (DPRD), and activists of the local community groups in the Regency of Karanganyar. This paper argues that despite its effectiveness, social accountability also produce some counterproductive excesses. The term social accountability paradox is used in this paper to represent the abuse of social accountability and it risks. This paper aims to identify the practices of social accountability abuse in the local budget policymaking process, with the case of the Regency of Karanganyar. Based on the study, there are some requirement to be fulfilled In order to increase the social accountability of the public budget policy making process, i.e. (1) revision of regulations to encourage a more transparency in the budget public information; (2) the development of community-based monitoring and dialogues forums; and (3) the increasing of the capability of community groups in conducting social accountability audit.
Abstrak. Akuntabilitas sosial dalam perkembangan wacana akuntabilitas diyakini sebagai pendekatan untuk menambal defisit akuntabilitas formal, baik akuntabilitas horisontal maupun akuntabilitas vertikal. Akuntabilitas sosial adalah akuntabilitas publik yang secara langsung atau tidak langsung diinisiasi masyarakat atau ditujukan kepada masyarakat. Banyak studi menemukan bahwa akuntabilitas sosial efektif untuk mendorong pemerintah lebih transparan dan membuka ruang pelibatan publik lebih luas. Variabel yang ditemukan berkontribusi membangun akuntabilitas sosial adalah derajad keterbukaan pemerintah; densitas organisasi/kelompok komunitas dan tingkat kapasitasnya melakukan advokasi; lingkungan sosial, politik, dan budaya, serta keterbukaan akses informasi publik. Data untuk tulisan ini dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan diskusi terfokus dengan para aktor utama yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan anggaran, baik dari pemerintah, DPRD, dan kelompok warga/komunitas lokal di Kabupaten Karanganyar. Tulisan ini berpendapat bahwa di samping keefektifannya, akuntabilitas sosial juga menimbulkan beberapa dampak yang kontraproduktif. Tulisan ini menggunakan istilah paradoks akuntabilitas untuk mewakili penyalahgunaan dan resiko dari akuntabilitas sosial. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi praktek penyalahgunaan akuntabilitas sosial dalam proses penganggaran daerah, dengan kasus di Kabupaten Karanaganyar. Berdasar hasil dari kajian ini, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk meningkatkan akuntabilitas sosial dalam proses penganggaran daerah, yaitu: (1) revisi kebijakan untuk mendorong transparansi informasi anggaran daerah; (2) pengembangan forum monitoring dan dialog berbasis masyarakat; dan (3) peningkatan kapabilitas kelompok warga masyarakat untuk melakukan audit akuntabilitas sosial. "
universitas sebelas maret, faculty of political and science, 2014
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library