Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rania Imaniar
"Latar belakang: Asma dan PPOK merupakan dua penyakit berbeda. Beberapa kelompok pasien, terutama perokok dan usia tua seringkali memiliki gambaran klinis yang mirip dengan asma dan PPOK sehingga diagnosis sulit ditegakkan. Hal ini telah memunculkan suatu entitas klinis baru yang disebut STAP.
Tujuan: Mengetahui prevalens dan karakteristik STAP pada pasien asma dan PPOK di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian menggunakan studi potong lintang, dilakukan di Poli Asma-PPOK RSUP Persahabatan Jakarta pada Maret-Agustus 2018. Kriteria GINA/GOLD 2017 yang dimodifikasi digunakan untuk mendiagnosis STAP.Pasien didiagnosis STAP apabila memiliki minimal tiga karakteristik klinis yang mendukung asma dan PPOK.
Hasil:Penelitian melibatkan 60 subjek. Prevalens STAP didapatkan 58,3%. Sebanyak 51,4% pasien STAP memiliki jenis kelamin perempuan, 65,7% tidak bekerja, 65,7% berpendidikan tinggi, 54,3% memiliki riwayat merokok dengan median indeks Brinkman 0,5 (0-1536) dan memiliki rerata IMT 24,9±3,8 kg/m2. Satu tahun terakhir, median eksaserbasi kelompok STAP adalah 1 (0-10) kali dan median rawat inap di RS adalah 0 (0-1) kali.Uji provokasi bronkus positif ditemukan pada 97,1% pasien STAP.
Kesimpulan: Prevalens STAP pada penelitian ini sebesar 58,3%. Kebanyakan pasien STAP adalah perempuan, tidak bekerja, berpendidikan tinggi, memiliki riwayat merokok, indeks Brinkmann yang rendah, IMT normaldan memiliki uji bronkodilator yang positif.

Asthma and COPD are two different diseases. Some patients, in particular smokers and elderly patients, often have overlapping clinical features of asthma and COPD so that the diagnosis is difficult to establish. This has led to a new clinical entity called ACOS.
Objectives: To determine the prevalence and characteristics of ACOS in patients with asthma and COPD.
Methods: This study was a cross sectional study conducted at Asthma-COPD Polyclinic of Persahabatan Hospital, Jakarta in March-August 2018. ACOS diagnosis was made using the modified 2017 GINA / GOLD criteria. Patients are diagnosed with ACOS if they have at least three clinical characteristics that support asthma and COPD.
Results: The study involved 60 subjects. ACOS prevalence was 58.3%.51.4% of ACOS patients were female, 65,7% did not work, 65,7% were highly educated, 54,3% had a history of smoking with  median Brinkman index 0.5 (0-1536) and had mean BMI of 24,9±3.8 kg/m2.In the past year, median exacerbation of the ACOS group was 1 (0-10) time and median hospitalization was 0 (0-1) times. Positive bronchial challenge test found in 97,1% ACOS patients.
Conclusion: ACOS prevalence in this study was 58,3%. Most of ACOS patients are female, unemployed, highly educated, had history of smoking, low Brinkmann index, normal BMI, had complaint of shortness of breath and had positive bronchial challenge test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Musafir Kolewora
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama angka kesakitan dan kematian di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalens PPOK di Indonesia sebanyak 3,7% dan menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengetahui prevalens PPOK di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan metode consecutive sampling pada pasien PPOK yang berkunjung di RSUP Persahabatan Jakarta pada bulan April-September 2018. Diagnosis PPOK dilakukan dengan menggunakan COPD Diagnostic Questionnaire (CDQ) dan pemeriksaan spirometri.
Hasil: Subjek penelitian sebanyak 875 subjek. Sampel akan dilakukan penapisan awal menggunakan CDQ dengan skor nilai ≥19,5 sebanyak 332 subjek. Hasil pemeriksaan spirometri pada 332 subjek sebelum pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 83 subjek (25%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% dan 249 subjek (75%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70%. Hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 78 subjek (94%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% yang berarti menderita PPOK dan 5 subjek (6%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70% yang berarti tidak menderita PPOK sehingga prevalens PPOK adalah 8,9% dari keseluruhan sampel. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk (43,6%), terdapat dahak (50%), dan sesak (39,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur (nilai-p = 0,040), lama merokok (nilai-p = 0,012), jumlah rokok yang dihisap per hari (nilai-p = 0,000) dan derajat berat merokok (nilai-p = 0,000) sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin (nilai-p = 0,585) dan indeks massa tubuh (nilai- p = 0,953).
Kesimpulan: Prevalens PPOK di rumah sakit Persahabatan Jakarta adalah 8,9%. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk, terdapat dahak dan sesak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur, lama merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan derajat berat merokok sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin dan indeks massa tubuh.

ABSTRACT
Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is the main cause of morbidity and mortality rates in the world including in Indonesia. The result of Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) in 2013 showed the prevalence of COPD in Indonesia was 3.7% and was ranked 6th from 10 causes of death in Indonesia. This study is the preliminary study to determine of prevalence of COPD in Persahabatan Hospital.
Method: This is a cross sectional study design with consecutive sampling method in COPD patient who visited to the Persahabatan Hospital Jakarta in April- September 2018. COPD diagnosed by using COPD Diagnostic Questionnare (CDQ) and spirometry examination.
Result: Study subject were 875 subject. The sample will be screened preliminary by using CDQ whom get score ≥ 19.5 only 332 subject. The results of spirometry tests on 332 subject before inhaled bronchodilators showed that 83 subject (25%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 249 subject (75%) had results VEP1/KVP ≥70% which means not diagnose COPD. The results of spirometry after inhaled bronchodilators showed that as many as 78 subject (94%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 5 subject (6%) had results VEP1/KVP ≥70%, which means not diagnose COPD so that the prevalence of COPD is 8.9% from all the sample. There were some of symptoms of COPD patients reported such as daily coughing (43,6%), coughing with phlegm (50%), and wheezing (39,7%). Statistical test results indicate that factors associated with COPD in this study are age, duration of smoking, number of cigarettes smoked per day and the degree of smoking-free while the unrelated factors are gender and Body Mass Index."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Handoko
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Penyakit komorbid pada PPOK berkontribusi terhadap rendahnya status kesehatan, mempengaruhi lama perawatan bahkan kematian. Osteoporosis merupakan komorbid yang cukup sering ditemukan pada PPOK. Di Indonesia khususnya di RSUP Persahabatan belum ada data prevalens osteoporosis pasien PPOK stabil.
Objektif: Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan angka prevalens osteoporosis pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Disain penelitian ini adalah potong lintang. Pasien PPOK stabil yang berkunjung di poliklinik Asma/PPOK RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek diperiksa densitas mineral tulang menggunakan dual energy x-ray absorptiometry (DXA) dan diperiksa kadar vitamin D darah. Saat pasien berkunjung, dilakukan anamnesis gejala, eksaserbasi, riwayat merokok, penggunaan kortikosteroid (oral atau inhalasi), komorbid, penilaian status gizi. Selanjutnya dilakukan analisis dengan uji statistik.
Hasil: Subjek terbanyak adalah laki-laki (90,6%) dengan kelompok usia 65-75 tahun (53,1%), riwayat merokok terbanyak (84,4%). Berdasarkan derajat PPOK terbanyak adalah GOLD II (46,9%) dan grup B (50%) dengan menggunakan kortikosteroid sebanyak (65,7%). Pada penelitian ini didapatkan prevalens osteoporosis sebesar 37,5%, artinya lebih dari sepertiga pasien mengalami osteoporosis. Dalam Penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara grup PPOK, derajat PPOK, jenis kelamin, riwayat merokok, riwayat kortikosteroid, usia, kadar 25-OHD, faal paru dengan terjadinya osteoporosis pada pasien PPOK stabil (p>0,05). Pada penelitian ini didapatkan hubungan bermakna pada IMT yang rendah sebagai faktor risiko osteoporosis pada PPOK stabil (p<0,001).
Kesimpulan: Prevalens osteoporosis pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta adalah 37,5%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara IMT dengan osteoporosis pada pasien PPOK stabil (p<0,001).

ABSTRACT
Background: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a major cause of morbidity and mortality in the world. Comorbid diseases in COPD contributing to low health status, affecting the duration of treatment and even death. Osteoporosis is a quite often comorbid that found in COPD. In Indonesia, particularly in Persahabatan Hospital there are no data of prevalence on osteoporosis in patient with stable COPD.
Objective: The purpose of this research is to get the prevalence?s data of osteoporosis in patients with stable COPD at Persahabatan Hospital-Jakarta.
Method: The studie?s design was cross-sectional. Patients with stable COPD who came to the Asthma/COPD policlinic at Persahabatan Hospital-Jakarta who meet the criteria of inclusion and exclusion. Subjects had an examined of bone mineral density using dual energy x-ray absorptiometry (DXA) and had an examined of vitamin D blood level. At the time of visit, conducted anamnesis of symptoms, exacerbations, history of smoking, used of corticosteroid (oral or inhaled), comorbid, assessment of nutritional status. Then we did statistical test for analysis.
Results: Subjects were dominated with male (90.6%) in the age group 65-75 years old (53.1%), and smoking history (84.4%). The most degree of COPD of the subject were GOLD II (46.9%) and group B (50%) that using corticosteroid (65.7%). In this study we found prevalence of osteoporosis was 37.5%, meaning that approximately more than one third of the patients have had osteoporosis. There were no statistically significant relationship between COPD group, the degree of COPD, sex, smoking history, history of corticosteroid, age, levels of 25-OHD, pulmonary function with the occurrence of osteoporosis in patients with stable COPD (p>0.05). We found a significant relationship on low BMI as a risk factor for osteoporosis in stable COPD (p<0.001).
Conclusion: The prevalence of osteoporosis in patients with stable COPD in Persahabatan Hospital-Jakarta is 37.5%. There are a statistically significant relationship between BMI with osteoporosis in patients with stable COPD (p <0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Nina Rosrita
"ABSTRAK
Latar belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Penyakit ini merupakan salah satu
penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Penyakit ini mempunyai beberapa komorbid seperti osteoporosis, gagal jantung,
diabetes dan depresi. Depresi merupakan gangguan emosional yang sering terjadi
pada penderita PPOK dan makin menurunkan kualitas hidup penderita namun
sering tidak terdiagnosis di pelayanan kesehatan.
Objektif : Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan angka prevalens depresi
pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta dan hubungannya dengan
kualitas hidup.
Metode : Desain penelitian ini adalah potong lintang. Pasien PPOK stabil
berkunjung ke poliklinik Asma/PPOK RSUP Persahabatan yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
spirometri untuk memastikan diagnosis PPOK dan pembagian grup dilanjutkan
dengan wawancara menggunakan MINI ICD 10 (Mini International
Neuropsychiatric Interview - International Classification of Disease 10) kemudian
dilakukan analisis statistik.
Hasil : Subjek terbanyak adalah laki-laki (92,9%) dengan kelompok usia > 65
tahun (48,9%). Jumlah depresi adalah 27 orang dari total 141 subjek dengan
prevalens 19,1%. Penelitian ini mendapatkan bahwa nilai CAT sedang berat (≥
10) mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah dan berisiko 14 kali terjadi
depresi dibanding CAT ringan (p<0,001). Penelitian ini mendapatkan hubungan
bermakna pada grup PPOK yang dibagi berdasarkan gejala (p<0,001), penderita
PPOK yang depresi dengan status terpajan rokok (p<0,007) dan indeks
Brinkmann (p<0,026) namun tidak pada grup PPOK yang dibagi berdasarkan
risiko (p>0,799) dan hambatan aliran udara yang diukur dengan spirometri.
Kesimpulan : Prevalens depresi pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan
Jakarta adalah 19,1%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara
kualitas hidup dengan depresi pada pasien PPOK stabil, grup PPOK yang dibagi
berdasarkan gejala dalam meningkatkan risiko depresi, status merokok dan indeks
Brinkmann, tidak ditemukan hubungan grup PPOK yang dibagi berdasarkan
risiko dan hambatan aliran udara yang dinilai dengan spirometri.ABSTRACT Background : Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a major cause
of morbidity and mortality in the world. This diesease is one the main diseases
problem in Indonesia. It can cause comorbid such as osteoporosis, heart failure,
diabetes and depression. Depression is a common comorbid affecting COPD
patients that influence quality of life but unfortunatelly this comorbid often mis or
underdiagnosed.
Objective : The purpose of this study is to get the prevalence of depression in
stable COPD patients in Persahabatan Hospital Jakarta and its relation to the
quality of life.
Methods : The study design was cross-sectional. Stable COPD patients who
visited the Asthma/COPD clinic in Persahabatan Hospitals Jakarta who met the
inclusion and exclusion criteria. Subjects were asked for history of disease,
physical examination and spirometry then underwent MINI ICD 10.
Results : Most subjects were male (92,9%), in the age group > 65 years (48,9%).
Prevalence of depression was 19,1%. Subjects with moderate-high CAT (≥ 10)
has lower quality of life compared to subjects with mild CAT (< 10) and 14 times
higher risk in having depression (p<0,001). In this study there was statistically
significant relationship in COPD group that divided by symptomps (p<0,001) in
causing depression, smoking status (p<0.007) and Brinkmann index (p<0,026).
This study also suggests that there is no statistically relationship in COPD group
that divided by risk (p>0,799) and airflow limitation that measured by spirometry
(p>1,000).
Conclusion : The prevalence of depression in stable COPD patients in
Persahabatan Hospital Jakarta is 19.1%. There is statistically significant
relationship between quality of life with depression in stable COPD patients,
COPD group that is divided by symptomps in causing depression, smoking status
and Brinkmann index, there is no statistically significant relationship in COPD
grup that is divided by risk and airflow limitation."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
Sp-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Lely N. M.
"ABSTRAK
Sesak napas dan fatigue merupakan gejala utama yang dialami oleh pasien penyakit paru obstruktif kronik PPOK . Gejala ini menurunkan kinerja fungsional, fungsi kognitif, fisik dan psikososial hingga akan memperburuk kesehatan dan menurunkan kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian latihan Active Cycle of Breathing Technique ACBT terhadap penurunan skor sesak napas dan fatigue pada pasien PPOK. Penelitian quasi eksperimen ini melibatkan 30 orang responden yang dipilih dengan menggunakan teknik concecutive sampling yang dibagi menjadi dua kelompok. Hasil uji bivariat dengan independent t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penurunan skor sesak dan fatigue yang bermakna antara kelompok kontrol dan intervensi p value =0,0001 . Latihan ACBT berpengaruh terhadap penurunan skor sesak dan fatigue pada pasien PPOK. Latihan ACBT dapat direkomendasikan untuk menurunkan sesak dan fatigue pada pasien PPOK.

ABSTRACT
Dyspnea and fatigue are the main symptoms experienced by patients with chronic obstructive pulmonary disease COPD . These symptoms affect functional performance, cognitive, physical and psychosocial limitations that affect on patients quality of life. This study aimed to determine the effect of Active Cycle of Breathing Technique ACBT on the decrease of dyspnea and fatigue scale in patients with COPD. This quasi experiment study involved 30 respondents which selected by consecutive sampling technique and divided into two groups. The result of independent t test showed that there is significant mean difference of dyspnea and fatigue scale between two groups p value 0.0001 0,05 . ACBT has an effect on decreasing dyspnoea and fatigue in patients with COPD. ACBT can be recommended as an intervention to reduce the dyspnea and fatigue in patients with COPD."
2018
T50285
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wily Pandu Ariawan
"Latar belakang: Laju penurunan VEP1 dan VEP1/KVP pada pasien PPOK dari beberapa data yang ada menunjukkan penurunan yang lebih tajam dibandingkan normal, namun untuk penelitian yang dilakukan selama 1 tahun belum pernah diperbarui di RSUP Persahabatan. Penelitian ini mencoba untuk mengetahui laju penurunan nilai VEP1, VEP1/KVP pada pasien PPOK setelah 1 tahun pengobatan.
Metode: Penelitian kohort retrospektif ini dilakukan untuk mengukur laju penurunan nilai VEP1, VEP1/KVP pasien PPOK di klinik Asma PPOK RSUP Persahabatan setelah pengobatan selama 1 tahun.
Hasil: Laju penurunan nilai VEP1 setelah 1 tahun pengobatan adalah sebesar 121,53 120ml/tahun sedangkan laju penurunan nilai VEP1/KVP setelah 1 tahun pengobatan adalah sebesar 2,75 0,47 p10 80,6, derajat GOLD 2 64,5 , mengkonsumsi LABACs 64,5 dan usia terdiagnosis ≥60 tahun 64,5 . Laju penurunan VEP1 lebih banyak terjadi pada kelompok D 110ml/tahun sedangkan laju penurunan VEP1/KVP lebih banyak terjadi pada kelompok B 3,29.
Kesimpulan: Pada penelitian ini diketahui sebagian besar pasien mengalami laju penurunan VEP1 dan VEP1/KVP yang bermakna secara statistik dan sebagian kecil yang mengalami kenaikan meskipun tidak bermakna secara statistik. Tidak didapatkan hubungan yang berbeda bermakna baik antara jenis kelamin, usia, keluhan respirasi, riwayat merokok, IB, jenis rokok, komorbid, tingkat pendidikan, usia terdiagnosis, IMT, kelompok A-B dan C-D, kelompok A-C dan B-D, riwayat eksaserbasi, CAT, derajat obstruksi dan pemberian terapi LABACs dengan laju penurunan nilai VEP1 dan VEP1/KVP. Kata kunci: Penurunan fungsi paru, PPOK.

Background: The rate of decline in FEV1 and FEV1/FVC in COPD patients from some of the available data shows more decline than normal, but for a 1 year study has not been updated in Persahabatan Hospital. This study attempted to determine the rate of FEV1 and FEV1/FVC decline in COPD patients after 1 year treatment.
Methods: This retrospective cohort study was conducted to measure the rate of FEV1 and FEV1/FVC decline in COPD patients at Asthma COPD Clinic Persahabatan Hospital after 1 year treatment.
Results: The rate of decline in FEV1 after 1 year treatment was 121.53 120ml/year while the rate of decline in FEV1/FVC after 1 year treatment was 2.75 0.47 p 10 80.6 , GOLD 2 64.5 , with LABACs treatment 64.5 and diagnosed ge;60 years 64.5 . The rate of decline in FEV1 was more prevalent in group D 110ml/year while the rate of decline in FEV1/FVC was more prevalent in group B 3.29.
Conclusions: In this study most patients have a statistically significant rate of decline in FEV1 and FEV1/FVC, however a small proportion of patients experienced increases in FEV1 and FEV1/FVC although it does not reach statistical treshhold. No significant differences are found between sex, age, respiratory complaints, smoking history, BI, type of cigarette, comorbid, educational level, diagnosed age, BMI, AB and CD group, AC and BD group, history of exacerbations, CAT, obstruction and treatment of LABACs with rate of decline in VEP1 and VEP1 / KVP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Yandinoer Moelamsyah
"Latar belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit tidak menular yang menjadi salah satu masalah di Indonesia dan dunia. Kepatuhan pasien PPOK dalam menggunakan inhaler ditemukan relatif buruk dengan tingkat ketidakpatuhan berkisar antara 50 dan 80%. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri faktor-faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan pasien PPOK dalam penggunaan inhaler. Metode: Penelitian ini adalah potong lintang menggunakan total 75 subjek yang dilakukan di poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan Jakarta. Kuesioner yang digunakan merupakan adaptasi dari kuesioner test of adherence to inhaler (TAI) yang telah dilakukan alih bahasa,uji validitas, dan reliabiliatas. Hasil: Dari total seluruh subjek, 57,3% memiliki kepatuhan baik, 26,7% memiliki kepatuhan sedang, dan 16% memiliki kepatuhan buruk. Sebanyak 68% subjek memiliki ketidakpatuhan sporadis, 46,7% subjek memiliki ketidakpatuhan disengaja, dan 56% subjek memiliki ketidakpatuhan tidak disengaja. Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan subjek adalah jumlah device yang digunakan (p=0,025), jumlah eksaserbasi per tahun (p=0,002), durasi kontrol (p=0,009), lama pengobatan (p=0,013), nilai mMRC (p=0,011), dan nilai CAT (p=0,030). Kesimpulan: Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien PPOK terhadap penggunaan inhaler adalah jumlah device inhaler yang digunakan, durasi saat kontrol, dan lama pengobatan yang telah dijalani. Kepatuhan terhadap penggunaan inhaler berhubungan dengan jumlah eksaserbasi per tahun, nilai mMRC, dan nilai CAT. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih luas serta kuesioner yang lebih objektif.

Background: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a non-communicable disease that is a problem in Indonesia and the world. COPD patients' compliance in using inhalers was found to be relatively poor with non-compliance rates ranging between 50 and 80%. This study aims to explore factors that may influence COPD patients' adherence in using inhalers. Methods: This study was a cross-sectional study using a total of 75 subjects conducted at the asthma-COPD clinic at Persahabatan Central General Hospital Jakarta. The questionnaire used was an adaptation of the test of adherence to inhaler (TAI) questionnaire which had been translated, tested for validity, and tested for reliability. Results: Of the total subjects, 57.3% had good compliance, 26.7% had moderate compliance, and 16% had poor compliance. A total of 68% of subjects had sporadic noncompliance, 46.7% of subjects had deliberate noncompliance, and 56% of subjects had unintentional noncompliance. Factors associated with adherence were the number of devices used (p=0.025), number of exacerbations per year (p=0.002), duration of control (p=0.009), length of treatment (p=0.013), mMRC score (p=0.011), and CAT score (p=0.030). Conclusion: Factors associated with COPD patients' adherence to inhaler use were the number of inhaler devices used, duration at control, and length of treatment. Adherence is associated with the number of exacerbations per year, mMRC scores, and CAT scores. Further research needs to be done with a wider sample and a more objective questionnaire."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widyantri Wulandini
"ABSTRAK
Latar Belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang persisten, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi kronik. Proses inflamasi yang terjadi akan mengeluarkan nitrit oksida (NO) sehingga pengukuran fraksi nitrit oksida ekspirasi saat ini dapat digunakan sebagai penanda hayati inflamasi yang dapat digunakan klinisi untuk memonitor derajat keparahan suatu penyakit dan efikasi dari pengobatan anti inflamasi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan pada bulan Februari - April 2019 untuk melihat kadar NO ekspirasi pada pasien PPOK stabil. Pemilihan subjek dilakukan secara consecutive sampling dan dilakukan wawancara, pemeriksaan fisis, pemeriksaan uji faal paru, pemeriksaan FeNO dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil : Sebanyak 53 subjek ikut serta dalam penelitian ini dengan subjek terbanyak laki - laki (86,79%) dengan rerata usia subjek adalah 63,45 + 8,53. Pada penelitian ini juga dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu PPOK non eosinofilik (58,5%) dan PPOK eosinofilik (41,5%). Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK stabil sebesar 18 ppb. Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK non eosinofilik adalah 17 ppb dan pada kelompok PPOK eosinofilik adalah 22,5 ppb. Terdapat perbedaan bermakna pada nilai kadar NO ekspirasi pada kedua kelompok namun tidak terdapat hubungan antara nilai kadar NO ekspirasi dengan hitung eosinofil maupun riwayat merokok pada kelompok PPOK non eosinofilik maupun PPOK eosinofilik.
Kesimpulan : Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK stabil adalah 18 ppb.

ABSTRACT
Background : Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a lung disease that characterized by persistent airflow limitation, progressive and correlated with chronic inflammatory response. Inflammation process that occur will release nitric oxide (NO) then it makes fraction exhaled nitric oxide as an inflammation biomarker that clinician could use to monitor the degree of severity disease and efficacy of anti inflammation therapy.
Methods : This is cross sectional study that was conducted from February - April 2019 at National Referral Respiratory Center Persahabatan Hospital to know the value of exhaled nitric oxide in stable COPD patient. Subjects were taken to participate in this study in a consecutive sampling basis and all patients were interviewed, physical examination, lung function test, FeNO test and laboratory test.
Results : Total 53 subjects were participated in this study with dominant male subjects (86,79%) and the mean age value is 63,45 + 8,53. This study is divided into two main groups which are COPD non eosinophilic (58,5%) and COPD eosinophilic (41,5%). The mean value of exhaled nitric oxide in COPD stable is 18 ppb. The mean value of exhaled nitri oxide in COPD non eosinophilic is 17 ppb and for group COPD eosinophilic is 22,5 ppb. There is a significant difference between exhaled nitric oxide in those two groups but there is no relation between exhaled nitric oxide with eosinophil count or smoking history in COPD non eosinophilic group and COPD eosinophilic.
Conclusion : Mean value of exhaled nitric oxide in stable COPD patient is 18 ppb."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wiwien Heru Wiyono
"Pasien penderita penyakit pant obstruktif kronik ( PPOK ) tampaknya mendapatkan manfaat dari program rehabiltiasi paru. Penelitian ini mengkaji manfaat program rehabilitasi paru pada pasien rawat jalan yang menderita PPOK, dengan menggunakan St George Respiratory Questionnaire (SGRQ) dan six min walking distance test (6MWD), yang mengukur kualiti hidup kesehatan dan toleransi latihan fungsional sebagai hasil pengukuran utama. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, terbuka, acak dengan kelompok kontrol paralel yang diberikan program rehabilitasi pasien rawat jalan pada 56 pasien penderita PPOK (52 orang laki-laki dan 4 orang perempuan). Kelompok aktif(n= 27) diberikan program edukasi dan latihan selama 6 minggu. Kelompok kontrol (n= 29) diperiksa secara rutin sebagai pasien medis rawat jalan. SGRQ dan 6MWD ditakukan pada saat awal penelitian dan setelah 6 minggu. Didapatkan hasil SGRQ dan 6MWD sebelum dan sesudah terapi. Berdasarkan statistik, SGRQ menurun dan skor 6MWD meningkat secara signifikan pada kelompok aktif dibandingkan kelompok kontrol. Disimpulkan bahwa program selama 6 minggu pada pasien rawat jalan ini secara signifikan telah rneningkatkan kualiti hidup dan kapasitas fungsional pasien PPOK derajat ringan hingga sedang. (MedJ Indones 2006; 15:165-72)

Patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) have been shown to be benefit from pulmonary rehabilitation programs. We assessed an entirely outpatient-based program of pulmonary rehabilitation in patients with COPD, using the Si George's Respiratory Questionnaire (SGRQ) and six minutes walking distance test (6MWD) (which measures health-related quality of life and functional exercise tolerance) as the primary outcome measure. We undertook a randomized, opened, prospective, parallel-group controlled study of outpatient rehabilitation program in 56 patients with COPD (52 men and 4 women). The active group (n~27) took part in a 6-weeks program of education and exercise. The control group (n=29) were reviewed routinely as medical outpatients. The SGRQ and 6MWD were administered at study entry and after 6 weeks. Outcome with SGRQ and 6MWD before and after therapy was performed. Decrease score SGRQ and increase 6MWD in both groups of study, it was analyzed by statistic study and in active group the decrease of SGRQ and the increase of 6MWD was statistically significant. In conclusion 6-weeks outpatient-based program significantly improved qualify of life and functional capacity in mild-to-moderate COPD patient. (Med J Indones 2006; 15:165-72)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-3-JulySept2006-165
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>