Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

"Pada tanggal 10 Agustus 1948 Moeso kembali ke Indonesia. Sejak tahun 1926, setelah pemberontakan komun is, ia menghilang ke Moskow dan mengabdikan dirinya pada Komintern - Komun is Internasional. Pada tahun 1936 sebagai agen rahasia ia tinggal selama enam bulan di Surabaya untuk membangun kembali Partai Komun is Indonesia (PK I). Kemudian ia bermukim di Uni Soviet dengan aktivitas utamanya sebagai penasihat untuk urusan Indonesia. Sesudah kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia II dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, PK I memperoleh posisi yang kuat di dalam Republik, tapi tetap mempertahankan eksistensinya yang setengah ilegal. Anggota-anggotanya menyebar masuk ke dalam berbagai macam partai. Amir Sjarifoeddin - anggota rahasia PK I - pernah menjadi perdana menteri, tapi pada Januari 1948 ia mengundurkan diri. Kabinet di bawah pimpinan Wakil Presiden Hatta tampil tanpa mengikutsertakan komun is. Sementara itu, Soviet mengubah haluan politiknya menjadi beroposisi keras terhadap Barat. Moeso mendapat restu dari Moskow untuk melakukan reorganisasi terhadap PK I."

"The place that human rights occupies in national and international discourse ha> been hard thought for over the past live decades. Now. it is safe to predict that governments' agendas at national, regional and global levels will include human rights in domestic and foreign bilateral and multilateral matters, whether involving economic assistance, diplomacy, trade, or military assistance. Human rights is an evolving system that has increasingly become integral to today's global affairs. At the same time, human rights continues to reflect the value system that more man live decades ago was instmmental in generating the promotion and protection of human rights. Within the evolving human rights system, the seminal notion of ot each human being's entitlement to equal rights is based on the fact that he or she has been born - nothing more than that, and nothing less.' The system's mechanisms and procedures keep pace with political developments. As a result, while the human rights value system maintains its integrity, the mechanisms and procedures bear less resemblance to those of fifty years ago.This article first considers the foundations of the human rights system enshrined in the United Nations Charter of 1945 and the Universal Declaration of Human Rights of 1948.' It then touches on examples of practical questions of implementation of human rights via the treaty-based committee system, and ends by surveying problematic questions of universality of rights in relation to cultural relativism and traditionalism.Today, human rights looks back un five decades of successes and failures. The system has developed often useful but often futile implementation methods, and broad dissemination of human rights goes on alongside widespread censorship. Overwhelming numbers of people in every corner of the globe each day suffer violations of basic rights ? the right to be secure from torture and other maltreatment, the right to an adequate diet and to health care, the right to protection of the right to think and speak. Indeed, a deep-seated right that is basic to all those rights ? the right to learn that everyone has rights - represents perhaps the most deep-seated contradiction of all. Despite the current Decade of Human Rights Education', education on human rights conlinues to exist more in theory than in practice. Recognition of" the urgent need for human rights education was expressed recently by a distinguished Indonesian who stated firmlyThe Indonesian government will relentlessly continue to pursue political reforms

---

. so that the

people will know their rights and exercise them with confidence that they will he respected and protected. Knowing and exercising their rights, they can more actively participate in the decision-making process that affects their lives."'

"

"ABSTRAKSalah satu pasal dari Persetujuan Renville berisi bahwa akan diadakannya plebisit di daerah-daerah pendudukan guna memungkinkan rakyat setempat memilih antara bergabung dengan Republik atau bergabung dengan sebuah negara lain di dalam NIS. Atas dasar itulah di Jakarta didirikan Gerakan Plebisit Republik Indonesia (GPRI) yang bertujuan untuk menginsafkan rakyat akan arti pentingnya plebisit dan berkampanye untuk RI.Walaupun pada akhimya plebisit itu gagal dilaksanakan karena Belanda lebih dahulu melakukan agresi militernya yang kedua pada tanggal l9 Desember 1948, tetapi GPRI telah membuktikan besarnya dukungan dari rakyat. Perjuangan rakyat di daerah-daerah pendudukan, melalui GPRI, tidak pernah berhenti tetapi berganti corak dari peluru ke kotak suara.Satu hal yang menarik dari pembentukan GPRI adalah bahwa gerakan ini berbeda dibandingkan dengan gerakan-gerakan rakyat lain yang ada pada masa perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia, yaitu tidak mengandalkan kekuatan senjata. Gerakan ini satu-satunya gerakan yang mempergunakan pemungutan suara atau plebisit untuk merebut kembali wilayah RI yang jatuh ke tangan Belanda akibat ditandatanganinya Persetujuan Renville.Sumber-sumber yang digunakan penulis berasal dari arsip-arsip Kementerian Penerangan RI tahun 1945-1949, arsip Algemene Secretarie, surat-surat kabar tahun 1948, sumber lisan, dan sumber-sumber sekunder."