Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mochtar Kusumaatmadja
Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerjasama denan Penerbit P.T. Alumni, 2003
341 MOC p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wallace, Rebecca M.M.
London: Sweet & Maxwell, 1992
341.01 WAL i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Starke, J.G.
Jakarta: Sinar Grafika, 2001
341 STA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wallace, Rebecca M.M.
Semarang : IKIP Press, 1993
341.01 WAL h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Starke, J.G.
[place of publication not identified]: Aksara Persada Indonesia, 1989
341 STA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Starke, J.G.
Jakarta: Sinar Grafika, 2007
341 STA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Starke, J.G.
Jakarta: Sinar Grafika, 2008
341 STA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Nurjaya
"The era following the 1972 Stockholm Declaration and subsequently the 1992 Rio de Janeiro Declaration, brought about a great amount of concern of the international community, in developed as well as under-developed countries, for human environment and natural resources preservation, management and protection. It includes the equitable allocation and distribution of natural resources as well as fair participation in environmental decision-making, respect and recognition of rights of the people and particularly indigenous communities. This is the so called access to justice for all that refers to a genuine access by people and communities to obtain just and fair democratic mechanism in respect and recognition of their basic legal rights in controlling and utilizing natural environment and resources for survival. Furthermore, access to justice means strengthening the fair involvement of the people with respect to preserving and managing the natural environment for sustainable development as to fulfill human rights as reflected in the State?s Constitution and legislation. In the context of Indonesia, the above mentioned rights of the people and communities to ecological justice are clearly articulated in the 1945 Constitution. The paper attempts to convey a critical analysis as to whether the 1945 Constitution provides a genuine or pseudo respect and recognition in relation to access to ecological justice of the people and particularly for marginalized people, namely indigenous people (masyarakat adat) in the multicultural state of Indonesia.
Dekade setelah Deklarasi Stockholm tahun 1972 dan kemudian dilanjutkan dengan Deklarasi Rio de Jenairo pada tahun 1992 dapat dikatakan sebagai titik awal perubahan cara pandang masyarakat internasional di negara-negara maju maupun sedang berkembang mengenai bagaimana seharusnya lingkungan hidup dan sumber daya alam dimanfaatkan dan dikelola dalam pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Karena itu, sejak tahun 1980-an wacana akses untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat dan keadilan dalam alokasi dan distribusi pemanfaatan sumber daya alam (keadilan ekologi)sebagai hak warga negara menjadi perbincangan serius terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Wacana serius yang dimaksud adalah bagaimana Negara memberi jaminan pengakuan dalam pemenuhan hak warga negara memperoleh lingkungan yang baik dan sehat dan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam terutama bagi warga negara yang termarjinalisasi seperti persekutuan-persekutuan masyarakat hukum adat di daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artikel mencoba untuk mengkaji kritis dan memberi pemahaman apakah akses memperoleh keadilan lingkungan dan pemanfaatan, khususnya akses warga masyarakat hukum adat di Indonesia, seperti dalam Konstitusi Negara Tahun 1945 adalah pengaturan dan pengakuan yang hakiki (genuine) atau semu dan setengah hati (pseudo)?"
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
M.Ya’kub Aiyub Kadir
"Indonesia is a former Dutch colony which declared its independence on August 17, 1945. However,
it was not internationally recognised until December 27, 1949, when the Netherlands formally
transferred the sovereignty of the Dutch East Indies to a new political entity called ‘Indonesia’ at
the Round Table Conference in the Hague. This occasion marked the political union of all diverse
kingdoms and regional communities spread over the Indonesian archipelago. This step has been
frequently associated with the global spirit of many other countries around the world to gain
independence from Western colonisers and with the international principle of self-determination.
However, the relationship between the central government in Java and some regional
communities has been fluctuating for decades after the independence. This paper examines three
conflicts over the rights of self-determination in in three areas in Indonesia by reflecting on the
historical background of Indonesia’s struggle for self-determination. Besides that, it also seeks
to demonstrate the way Indonesia’s integrity has been negotiated to accommodate internal and
external forces to achieve self-determination from international law perspective. Furthermore,
this paper also contributes to the scholarly discussion on the concept of self-determination and the
conflicts that it caused in Indonesian context, while also proposing some insights into the efforts to
preserve Indonesia’s unity and integrity for years to come.
Indonesia adalah sebuah negara bekas jajahan Belanda yang memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, Indonesia baru diakui secara internasional pada tanggal
27 Desember 1949 ketika Belanda secara formal menyerahkan kedaulatan negeri Hindia-
Belanda kepada entitas politik baru yang disebut ‘Indonesia’ di dalam Perundingan Meja
Bundar yang diadakan di Den Haag. Peristiwa ini menyatukan secara politis berbagai kerajaan
dan komunitas lokal di seantero nusantara. Peristiwa ini pun dianggap sebagai implementasi
dari semangat global anti penjajahan asing dalam bingkai hukum self-determination. Namun
demikian, hubungan antara pemerintah pusat di Jawa dengan wilayah-wilayah tertentu
mengalami dinamika dalam bentuk konflik yang terjadi selama beberapa dekade. Tulisan ini
ditujukan untuk mengkaji latar belakang dari tiga konflik yang berhubungan dengan hak selfdetermination
dan cara Indonesia bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan self-determination,
baik internal maupun ekternal, ditinjau dari sudut padang hukum internasional. Kajian ini
diharapkan dapat menambah pemahaman teoritis tentang konflik terkait self-determination dan
upaya penyelesaiannya dalam rangka mempererat persatuan dan integritas bangsa Indonesia di
masa yang akan datang."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, E. Fernando M.
"Ernst Utrecht adalah salah seorang sarjana hukum terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Pandangan politiknya menempatkan dirinya sebagai seorang intelektual organik; sarjana hukum yang terlibat dan mengutarakan kesadaran umum yang ada di dalam masyarakat, baik itu di arena akademis, maupun di arena politis. Keterlibatannya yang kontroversial ini berakhir tragis, karena membuatnya meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Artikel ini memaparkan dan merefleksikan beberapa ide hukum dan politik Utrecht yang cukup kontroversial; yaitu, pertama, pengayoman sebagai tujuan hukum Indonesia, sebuah tujuan hukum yang nyaris tidak termasuk arus utama tujuan hukum dalam teks-teks hukum masa kini, karena ia merelevansikannya dengan ide revolusi dan ajaran Marxisme, namun dengan cara yang lebih kritis. Kedua, Pancasila sebagai etika kenegaraan dan grundnorm, tema yang terus menjadi perdebatan hingga masa kini, walaupun Kelsen jelas-jelas mengatakan bahwa grundnorm harus bersih dari unsur bukan hukum, dan oleh karenanya menerima Pancasila sebagai etika kenegaraan berimplikasi hilangnya dasar teoritis menerima Pancasila sebagai grundnorm. Yang terakhir mengenai asas legalitas, yang ia kritik secara keras, karena keberadaan asas tersebut hanya merefleksikan kepentingan kaum yang berkuasa. Pemikirannya ini semua tak pelak lagi mengokohkan predikatnya sebagai salah seorang sarjana hukum terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
Ernst Utrecht is one of the best legal scholars Indonesia has ever had. His political views position him as an organic intellectual; a legal scholar involved in and expressing the social consciousness, both in the academic as well as in the political arena. His controversial involvement came to a tragic end, causing him to leave Indonesia for good. This article describes and reflects on some of Utrecht?s rather controversial ideas about law and politics; namely, first, "pengayoman" (guardianship) the purpose of law in Indonesia, a purpose of law which is almost completely absent from the mainstream conception of the purpose of law in contemporary legal texts, as he relates it to the idea of revolution and the teaching of Marxism, albeit taking a more critical approach. Second, Pancasila as state ethics and grundnorm, a theme which remains debated up to the present time, in spite of Kelsen?s express statement that grundnorm must be clean from non-legal elements, thus the implication of recognizing Pancasila as state ethics is that Pancasila as grundnorm loses its theoretical ground. Finally, the principle of legality, subject to Utrecht?s strong critique for reflecting the interest of those in power only. All of his above described thinking undoubtedly reaffirm Utrecht?s predicate as one of the best legal scholars Indonesia has ever had.
"
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>