Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vini Wardhani
"Salah satu fase yang krusial dalam tahapan perkembangan manusia adalah dewasa muda. Pada tahap ini, seseorang sudah dianggap melewati masa remaja dan mampu hidup secara mandiri (Atwater & Duffy, 1999). Masa ini merupakan titik tolak yang cukup signifikan bagi individu untuk memulai hidupnya sebagai individu yang independen dalam menentukan masa depan dan mengatur kehidupannya. Fase ini rnerupakan masa produktif seseorang, masa di mana seseorang mulai membangun kehidupannya dan dihadapkan pada serangkaian tugas perkembangan yaitu pemilihan karir untuk kehidupan yang lebih mandiri dan membina hubungan dengan lawan jenis untuk membangun keluarga dan menjadi orang tua.
Pemilihan karier yang tepat merupakan saiah satu usaha menuju kemandirian baik secara fmansial maupun psikologis. Karier merupakan bentuk ekspresi diri, mengatakan status dan memberikan kepuasan serta harga diri (Turner & Helms, 1995). Perlmutter & Hall (dalam Hoffman, Paris & Hall, 1994) mengatakan bahwa bekerja menempatkan individu pada suatu posisi dalam masyarakat, memberikan makna bagi individu yang bersangkutan dan menyediakan kegiatan yang memuaskan, juga sebagai stimulasi sosial dan sarana untuk mengasah kreativitas. Karenanya, kerja dapat mempengaruhi kualitas hidup individu.
Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) mengatakan individu dewasa muda sebaiknya membangun intimacy dengan Iewan jenisnya. Jika pada tahap ini individu dewasa muda tidak berhasil untuk menjalin hubungan intim dengan pasangannya, maka akan cenderung menjadi terisolasi, merasa kesepian karena terisolasi dart teman-teman sebaya dan mengalami depresi. Hal ini menunjukkan bahwa menjalin hubungan intim dapat berdampak pada kualitas hidup.
Tidak semua individu pada masa dewasa muda mampu menyelesaikan tugas perkembangannya dengan balk. Ini dapat menimbulkan suatu krisis pada individu yang dinamakan quarter life crisis. Hampir setiap individu pada tahap dewasa muda mengalami krisis ini (Sandles, 2002). Ketidakmampuan mengatasi krisis ini dapat berdampak sangat buruk, seperti ketergantungan pada narkoba, delinquent behavior, gangguan emosional (Atwater & Duffy, 1999) dan usaha bunuh diri (Sandles, 2002). Di sisi lain, keberhasilan dalam memenuhi tuntutan tugas perkembangan dapat menimbulkan dampak yang signifikan pada kualitas hidupnya sebagai manusia.
Ini menunjukkan bahwa quarter life crisis kiranya cukup perlu mendapat perhatian yang serius karena berkaitan dengan kesehatan mental manusia. Richard Saxton (dalam Sandies, 2002) mengatakan bahwa kesehatan mental dapat menjadi semakin berat pada individu usia muda bila tidal( mendapatkan penanganan yang serius. Penjelasan di atas kiranya dapat menjelaskan bahwa pada fase dewasa muda, individu berpotensi mengalami quarter hie crisis yang berdampak secara signifikan pada kualitas hidup.
WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai `individual 's perceptions of their position in life in the context of the culture and value systems in which they live and in relation to their goals, expectations, standards and concerns' (WHO, 1996). Definisi ini selanjutnya yang akan digunakan oleh peneliti. Penelitian ini akan menggunakan dua instrumen yang mengacu pada WHOQOL, yaitu WHOQOL BREF dan SRPB. Penggunaan kedua instrumen ini berdasarkan beberapa pertimbangan, salah satunya adalah untuk pengembangan instrumen WHOQOL (uji validitas dan reliabilitas terhadap alat ukur WHOQOL-BREF dan SRPB untuk aplikasi Indonesia).
Penelitian ini menggunakan convenience sampling. Pengujian validitas menggunakan Pearson Product Moment Correlation dan uji reliabilitas menggunakan Coefficient Alpha Cronbach.
Berdasarkan hasil pengujian validitas dan reliabilitas, instrumen WHOQOLBREF dan SRPB merupakan instrumen penelitian yang valid dan reliabel dalam mengukur kualitas hidup. Koefisien reliabilitas berada dalam rentang 0.6 - 0.9. Secara umum, kualitas hidup dewasa muda yang berstatus lajang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu spiritualitas, karierlpekerjaan, relasi dengan sesama, atribut personal, dan lingkungan. Ranah yang memberikan kontribusi paling besar terhadap kualitas hidup dewasa muda berstatus lajang adalah ranah psikologi, ranah kesehatan fisik, ranah spiritualitas-agama, ranah relasi sosial dan terakhir kondisi lingkungan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17871
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sanidya Prabaswara
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan fear of being single dan desakan menikah pada dewasa muda. Fear of being single pada penelitian ini diukur dengan menggunakan Fear of Being Single Scale dan desakan menikah diukur dengan Skala Desakan Menikah. Penelitian ini dilakukan pada 212 orang berusia 20 ? 40 tahun, belum menikah, dan berorientasi seksual heteroseksual di kawasan Jabodetabek. Analisis melalui teknik statistik korelasi dilakukan dan didapati bahwa fear of being single memiliki hubungan positif dengan desakan menikah.

This study examined the correlation of fear of being single and mate urgency in young adulthood. In this study, fear of being single was measured by using Fear of Being Single Scale and mate urgency was measured by using Skala Desakan Menikah. The participants in this study were 212 people living in Jabodetabek, within the age range 20 ? 40, unmarried, and heterosexual. By using correlation techniques, it was found that fear of being single and mate urgency were positively correlated.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59047
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahid, Wahid
"The study aims to probe the effect of perceived price, perceived quality, brand awareness, and social influence on purchase intention of South East Asian (SEA) Young Adults towards global smartphone brands. This explanatory research uses quantitative empirical data collected from 200 SEA Young Adults studying in one of the public universities in Malaysia. Stratified random sampling is used while ensuring fair representation of SEA countries, viz., Singapore, Malaysia, Philippines, Thailand, Indonesia, Vietnam, and Cambodia. Correlation and regression analysis were carried out using SPSS 20.0. The study resulted in the finding that social influence has the highest level of linear relationship and so is the most influential factor among four. The findings provide guidelines to global smartphone brands for developing value proposition and better promotion mix for smartphones promotion."
[Place of publication not identified]: Management Research Center (MRC) Department of Management, Faculty of Economics, University of Indonesia and Philip Kotler Center, 2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Melina Santoso
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara gaya humor dan kualitas hubungan romantis. Responden dalam penelitian ini merupakan emerging adult yang sedang menjalin hubungan romantis berjumlah 317 orang berusia 18 sampai 25 tahun. Gaya humor diukur dengan menggunakan Daily Humor Styles Questionnaire DHSQ yang dimodifikasi oleh Caird dan Martin 2014, sedangkan kualitas hubungan romantis diukur dengan menggunakan Partner Behavior as Social Context PBSC yang disusun oleh Ducat dan Zimmer-Gembeck 2010.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara positif antara gaya humor affiliative r = 0,387, p < 0.05 dan gaya humor self-enhancing r = 0,244, p < 0.05 dengan kualitas hubungan romantis. Selain itu, terdapat hubungan yang signifikan secara negatif antara gaya humor self-defeating r = -0,118, p < 0.05 dan gaya humor aggressive r = -0,381, p < 0.05 dengan kualitas hubungan romantis.

This study was conducted to examine the correlation between humor styles and romantic relationship quality among emerging adult. Respondents in this study were 317 emerging adults, aged 18 to 25 currently in a romantic relationship. Humor styles was measured by Daily Humor Scale Questionnaire DHSQ modified by Caird and Martin 2014, and romantic relationship quality was measured by Partner Behavior as Social Context PBSC made by Ducat and Zimmer Gembeck 2010.
The result indicated there was significant positive correlation between affiliative humor style r 0,387, p 0.05 and self enhancing humor style r 0,244, p 0.05, and romantic relationship quality. Then, there was significant negative correlation between self defeating humor style r 0,118, p 0.05 and aggressive humor style r 0,381, p 0.05, and romantic relationship quality.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S69097
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Public and scholarly interest in early adulthood has increased over the past decade, spurred by the dramatic social and developmental changes young people experience during this period and the consequences of their missteps. The family context, both the family of origin and family of procreation, has emerged as key settings shaping young adults’ success in navigating this period of the life course. While prior research has illuminated relationships between various family contexts and young adult outcomes, the chapters in this volume move the field forward in considering the dynamic interplay between family context, early adult development, and a range of outcomes. In this chapter, we synthesize four emergent themes from this volume : the role of family in pathways to adulthood, cumulative advantage and disadvantage in early adulthood, individual differences in young people’s skills and capacities for negotiating early adulthood, and the role of institutions in shaping early adulthood. "
New York: Springer, 2012
e20396103
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Prajnya Ratnamaya Notodisuryo
"Kesejahteraan psikologis (psychological well-being) adalah konsep multi-dimensional mengenai sejauh apa seseorang menjalankan fungsi-fungsi psikologisnya secara positif. Berdasarkan teori kesehatan mental, teori psikologi perkembangan, dan unsur-unsur gerontologi, Ryff mengemukakan 6 dimensi yang tercakup daiam kesejahteraan psikologis, yaitu 1) Penerimaan Diri (Self- Acceptance), yang mengacu kepada bagaimana individu menerima diri dan pengalamannya, 2) Hubungan interpersonal (Positive Relation with Others), yang mengacu pada bagaimana individu membina hubungan dekat dan saling percaya dengan orang lain, 3) Otonomi (Autonomy), yang mengacu pada kemampuan individu untuk Iepas dari pengaruh orang Iain dalam menilai dan memutuskan segala sesuatu, 4) Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery). yang mengacu pada bagaimana kemampuan individu menghadapi hai-hai di lingkungannya, 5) Tujuan Hidup (Purpose in Life), yang mengacu pada hal-hal yang dianggap penting dan ingin dicapai individu dalam kehidupan, serta 6) Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth), yang mengacu pada bagaimana individu memandang dirinya berkaitan dengan harkat manusia untuk selalu tumbuh dan berkembang.
Ada beberapa faktor yang memiliki pengaruh terhadap pembentukan dimensi-dimensi ini, yaitu: faktor demografis, daur hidup keluarga, dukungan sosial, serta evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman tertentu. Menurut Ryff (1995), evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis. Menurutnya, untuk dapat memahami kesejahteraan psikologis seseorang, perlu pemahaman terhadap pengalaman individu tersebut di masa lalu, dan memahami bagalmana individu tersebut mengevaluasi dan menghayati pengalamannya. Dengan adanya perbedaan dalam evaluasi dan penghayatan tersebut maka dapat saja terdapat perbedaan gambaran kesejahteraan psikologis pada individu-individu yang memiliki pengalaman sama.
Menurut Ryff (1995), pengalaman yang berpotensi mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah pengalaman-pengalaman yang dipandang individu sangat mempengaruhi komponen-kemponen kehidupannya. Perceraian orang tua diasumsikan memilikl karakteristik seperti itu. Menurut Holmes & Rahe (dalam Carter & McGoldrick, 1989) perceraian menempati urutan kedua dalam skala pengalaman hidup yang paling menimbulkan stres. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa perceraian orang tua dapat membuat anak memburuk prestasi sekolahnya, memiliki self esteem yang rendah, maupun menunjukkan kenakalan remaja (Papalia & Old, 1993; Roe, 1994). Walaupun demikian, dewasa ini ditemukan pula bahwa perceraian orang tua dapat juga menimbulkan dampak positif, seperti melecut anak menjadi lebih mandiri atau mengembangkan hubungan interpersonal yang sehat dengan orang lain karena tidak ingin mengulangi pengalaman orang tuanya (Ellis dalam Roe, 1994). Hubungan interpersonal, prestasi sekolah, dan lain-lain hal yang disebutkan di atas merupakan bagian dari dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Oleh karena itu penelitian ini diadakan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh mengenai kesejahteraan psikologis pada anak-anak dari keluarga bercerai.
Kesejahteraan psikologis baru dapat diamati pada tahap usia dewasa. karena dimensi-dimensinya mencakup tugas-tugas perkembangan orang dewasa. Perbedaan jenis kelamln juga menunjukkan adanya perbedaan gambaran kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri terhadap perceraian orang lua. Untuk membatasi masalah, dalam penelitian ini digunakan hanya sampel perempuan saja. Pengaruh perceraian orang tua dikatakan paling sulit diatasi bila perceraian terjadi saat anak berusia remaja atau pra-remaja. Dengan demikian, sampel yang digunakan berkarakteristik utama: perempuan dewasa muda (22-28 tahun), dan orang tuanya bercerai ketika usia pra-remaja atau remaja (9-18 tahun). Karena sampel yang digunakan adalah perempuan, maka dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis pun dikaitkan dengan karakteristik perempuan.
Evaluasi dan penghayatan pengalaman mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis melalui 4 mekanisme: 1) Perbandingan Sosial (social comparison) dimana individu membandingkan diri dan pengalamannya dengan orang lain; 2) Perwujudan Penghargaan (Reflected Appraisal), yaitu bagaimana individu mempersepsikan sikap dan harapan orang di Iingkungan terhadap dirinya; 3) Persepsi Perilaku (Behavioural Perception), yaitu bagaimana individu memandang diri dan perilakunya dibandingkan sikap dan harapan umum; serta 4) Pemusatan Psikologis (Psychological Centrality) seperti yang telah dijabarkan di atas, yaitu sejauh apa suatu pengalaman dianggap individu mempengaruhi komponen kehidupannya.
Selain itu disebutkan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis, yaitu dukungan sosial dan daur hidup keluarga. Daur hidup keluarga adalah peran, sikap, harapan, dan tanggung jawab baru yang diterima anggota keluarga setelah adanya suatu pengalaman yang mengubah struktur keluarga tersebut. Dalam hal ini, daur hidup dikaitkan dengan tahap-tahap yang dilalui sebuah keluarga menjelang perceraian hingga mencapai struktur keluarga yang normal lagi. Di dalamnya tercakup konflik antar orang tua, bagaimana penyesuaian diri anak dan orang tua, dan sebagainya. Sedangkan dukungan sosial adalah persepsi individu mengenai dukungan lingkungan terhadap dirinya, yang ternyata dapat disalukan pengertiannya dengan mekanisme perwujudan penghargaan. Bagaimana pengaruh faktor-faktor ini terhadap kesejahteraan psikologis akan dilihat pula melalui penelitian ini.
Penelitian dilakukan dengan metode kualitalif, dengan wawancara sebagai pengumpul data. Keabsahan penelitian ini dijaga dengan menggunakan metode triangulasi, balk teori maupun pengamat. Sedangkan keajegannya dijaga dengan dibuatnya pedoman wawancara yang sesuai. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 5 orang responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis perempuan dewasa muda yang mengalami perceraian orang tua adalah baik (penerimaan diri), cukup baik (hubungan interpersonal), cenderung baik (otonomi, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi), serta kurang (penguasaan lingkungan).
Perceraian orang tua tampak terutama mempengaruhi dimensi hubungan interpersonal dan tujuan hidup. Seharusnya kedua dimensi ini berfungsi baik, namun ternyata perempuan dewasa muda yang mengalami perceraian orang tua cenderung takut membina hubungan dekat dengan lawan jenis, apalagi memikirkan pernikahan. Sedangkan kurangnya penguasaan lingkungan dapat dikatakan sebagai hal yang wajar, sesuai dengan hasil penelitian Ryff sebelumnya.
Mekanisme perwujudan penghargaan (terutama yang positif/dukungan sosial) serta pemahaman atas konflik merupakan faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis. Sedangkan pemusatan psikologis secara mengejutkan ternyata dalam penelitian ini kurang mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis.
Faktor demografis, yang dikatakan dapat diabaikan karena sumbangannya yang sangat kecil terhadap kesejahteraan psikologis, ternyata dalam penelitian ini menunjukkan pengaruh yang cukup besar. Urutan kelahiran sebagai anak pertama pada 4 dari 5 subyek terlihat mempengaruhi pembentukan dimensi otonomi. Demikian pula dengan faktor lingkungan budaya. Sedangkan latar belakang pendidikan psikologi terlihat dapat mendukung dimensi penerimaan diri responden.
Faktor kepribadian yang pada awalnya tidak disebutkan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh, juga menunjukkan pengaruh besar terhadap pembentukan kesejahteraan psikologis. Selain itu terdapat juga beberapa faktor yang memiliki sedikit andil terhadap pembentukan dimensi-dimensi tertentu, seperti faktor stimulasi lingkungan yang turut mempengaruhi dimensi pertumbuhan pribadi dan faktor besar-kecilnya resiko kesempatan yang turut mempengaruhi dimensi penguasaan lingkungan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2671
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatchiati Farida Fitri
"
ABSTRAK
Hubungan (relationship) antar mahluk yang satu dengan yang lain sangat diperlukan atau dengan kata lain hubungan (human relation) adalah merupakan suatu kebutuhan (Fisher, 1994 ), dirnana ada 5 kebutuhan dalam suatu hubungan, yaitu: need for intimacy, need for social integration, need for being nurturant, need for assistance dan need for reassurancy of our own worth.
"Need for Intimacy" yaitu merupakan suatu kebutuhan yang sifat dan orientasinya kepada kebutuhan individual yang sangat pribadi. Dari hubungan yang demikian itulah diharapkan timbulnya proses hubungan percintaan - intimate of love (Mary Ann,l985).
Dalam proses hubungan percintaan tidak dapat dilepaskan dari berbagai unsur yang mendukungnya yaitu : adanya subyek, sarana-komunikasi, pasangan dan produknya adalah cinta. Kecendrungan dewasa ini bcrkomunikasi melalui komputer menyebabkan seseorang tidak perlu lagi bertatap muka secara fisik karena baik subyek ataupun pasangan telah dapat menggunakan komputer dan internet sebagai sarana atau alat untuk melakukan hubungan dan bahkan menjalin kasih sayang antara keduanya yang disebut dengan cinta. Apabila sampai pada tingkat yang demikian dan tetjadi pada individu yang awalnya belum pernah kenal tatap muka, maka hubungan tersebut dinamakan internet romance, yaitu hubungan percintaan melalui internet dimana individu jatuh cinta pada orang asing yang belum pernah tatap muka sebelumnya.
Cinta itu sendiri merupakan suatu proses yang terdiri atas 3 (tiga) komponen yaitu : "intimacy" itu sendiri pada tingkat awal, "Passion" dan "Commitment" (SternBerg, 1988 ) yang dalam penelitian ini diungkapkan sebagai proses tahap awal, proses lanjut dan proses akhir. Keberhasilan pencapaian commitment karena adanya intimacy, dimana intimacy sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas komunikasi.
Masyarakat pada umumnya masih asing dan belum percaya pada Internet romance bahwa hubungan percintaan dapat terjadi melalui internet dimana masing-masing individu belum mengenal satu sama Iain dan belum ada tatap muka umum dapat saling jatuh cinta, (Meng, 1994).
Dalam kaitan dengan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sebenarnya proses terjadinya hubungan Internet romance dan melihat faktor-faktor atau elemen apa yang mendukung individu terlibat dalam hubungan tersebut. Mengingat penelitian ini hendak mengetahui pengalaman dan penghayatan pribadi, maka penelitian ini dilaksanakan dengan metode kasus melalui wawancara mendalam dengan analisis kualitatif. Untuk itu peneliti membatasi tingkat pendidikan subyek yang diwawancarai, yaitu 20-30 tahun dengan minimun tingkat pendidikkan calon Sl, disamping sebagai mayoritas pemakai internet, juga dengan asumsi bahwa orang yang pendidikannya cukup tinggi dapat lebih mahir dalam mengeluarkan pendapat dan perasaannya secara verbal ( komunikatif ).
Dari ke-4(subyek) yang diwawancarai, Peneliti menemukan bahwa makin sering melakukan kontak atau chatting makin memberikan nilai positif dalam membentuk intimacy dimana hubungan yang berjalan melalui internet ini cendrung memerlukan frekuensi yang cukup tinggi dibanding di dunia nyata. Ini berarti keaktifan dalam hal ini sangat dibutuhkan (Grasha & Kirschenbaurn, 1980 ). Demikian pula mengingat bahwa komunikasi dalam internet romance ini tanpa kehadiran fisik yang bersangkutan, maka kualitas komunikasi jauh memperoleh perhatian penilaian dibanding apabila komunikasi dimana keduanya hadir secara fisik. Hal demikian menunjukkan bahwa setiap tutur-kata masing-masing akan direkam, dicatat, dan selalu diingat-ingat. Mengingat bahwa komunikasi dalam internet hanya mengandalkan kemampuan verbal dan pada umumnya berjalan dalam waktu yang cukup lama ( bisa sampai 5 atau 6 jam sehari bahkan Iebih ) maka seluruh aspek pribadi, tak jarang terungkapkan secara keseluruhan. Oleh karena itu melalui komunikasi internet dalam rangka membangun intimacy tersebut tidak jarang masing-masing lalu berawal dari adanya "Faktor keterbukaan", kemudian menimbulkan sikap "kepercayaan". Hal demikian menunjukkan bahwa komunikasi dalam lnternet-Romance orang mampu saling mengekspresikan dan menangkap elemen-elemen kepribadian sehingga dapat saling memberikan respon interpersonal secara positif untuk membangun ?intimacy"atau berespon negatif menolak. Dengan demikian proses komunikasi di internet ini, dipengaruhi 3 aspek, yaitu intensitas komunikasi, cara penyampaian komunikasi dimana subyek sering menggunakan simbol dan kalimat-kalimat spesial sebagai ungkapan elemen interpersonal, juga isi pembicaraan.
Dari penelitian ini ditemukan pula hal-hal yang mendorong subyek untuk online yaitu sebagai ekspresi cliri, mencari teman sekedar ngobrol, dan sengaja mencari pasangan. Walau pada awalnya subyek tidak serius dalam berrnain chairing, namun temyata charting mampu membawa individu ke arah pemikiran yang lebih serius. Dalam hal ini internet mampu menciptakan hubungan percintaan sampai ke jenjang pernikahan. Proses atau siklus terjadinya hubunganpun tidak jauh berbeda dengan yang didunia nyata., namun secara tehnis saja yang berbeda. Yang lebih menarik adalah ditemukannya suatu kepuasan bagi seorang subyek, bahwa dengan melalui hubungan Internet romance ini, kepribadian pasangan lebih mudah dapat dipahami dibanding dengan hubungannya di dunia nyata, hal ini menunjukkari bahwa hubungan Internet romance ternyata bisa terjadi dan tidak kalah mutunya dengan yang di dunia nyata.
Dari 7(tujuh)subyek yang akan diwawancarai, hanya 4(empat) subyek yang berhasil diwawancarai Peneliti. Dikarenakan ada yang balik ke Luar Negri untuk menyelesaikan studi dan ada yang kembali ke kota asalnya. Dari ke-4 subyek ini dua diantaranya masih dalam proses lanjut dimana belum ada tatap muka, dan 2 diantaranya akan melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Oeh karena itu, penelitian ini masih perlu pemantauan tindak lanjut mengingat para subyek belum ada yang berakhir sampai tuntas dan penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut, antara lain dengan meneliti perbedaan antara dewasa muda pria dan wanita dalam menjalani hubungan internet romance ini, atau meneliti bagaimana karakteristik kepribadian orang-orang yang bermain internet ataupun yang menjalin hubungan internet romance."
1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Suprihatin Rahayu
"Pernikahan usia muda meningkat beberapa tahun terakhir, dan menyumbangkan angka kematian ibu di indonesia. Remaja memilih SMK supaya segera bekerja, SMA untuk melanjutkan pendidikan. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dirancang untuk mengetahui perbedaan niat usia menikah pada siswi SMA dan SMK.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan obyek penelitian 120 siswi SMA dan SMK di kecamatan Sentolo Mei 2012.
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan ( nilai p 0,003) antara niat usia menikah antara siswi SMA dan SMK, dan terdapat hubungan yang bermakna antara penghasilan dan tempat tinggal dengan niat usia menikah.

Young age marriage increases in recent years, and contributed to maternal mortality in Indonesia. Teenagers choose vocasional school to get job, high school to continue studying. Based on this fact, this study was aimed to determine the difference of the intention when to get married among high school and vocational school students.
The study is a cross sectional survey among involving120 females students of vocational and high schools in the District Sentolo in May 2012.
The result found that significant difference (p vale 0,003) intent to get married between high school and vocational school female students, and there was a significant association between income and residence with the age of married intended.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Daldiyono Hardjodisastro
107 DAL h I
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>