Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aina Marulisya S.
"Di dalam penelitian ini dibahas tentang perubahan pandangan wanita Jepang terhadap nilai pernikahan dan faktor pendorong yang akhirnya mengubah pandangan wanita Jepang dari masa sebelum perang ke sesudah perang, serta dampak yang timbul akibat dari perubahan pandangan tersebut. Sedangkan metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif analisis. Setelah analisis, ditarik kesimpulan bahwa faktor terbesar yang menyebabkan perubahan pandangan wanita Jepang terhadap pernikahan adalah faktor pendidikan.

In this study will be explained some problems about the change of Japanese women’s opinion about marriage and some factors that finally change Japanese women opinion from before world war II era to after world world era and effects that show up becaouse of that opinion’s changes. Methode that’s used in exploring this study id an analytical descriptive methode. After the analysis, will be found that the main factor that influence the change of Japanese opinion about marriage is the aducational factor."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Aulia Anggardiani
"Setelah Perang Dunia II, kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi dan bekerja bagi wanita Jepang semakin besar. Terbukanya kesempatan ini membuat wanita Jepang memiliki pilihan lain dalam hidupnya selain menikah. Dewasa ini, semakin banyak wanita yang memilih untuk berkarir dan tidak menikah. Meski memiliki kesuksesan dalam berkarir, ada pelabelan negatif bagi para wanita lajang tersebut, yakni “makeinu”. Dengan menggunakan metode kualitatif, tulisan ini mendeskripsikan fenomena makeinu, yang berkaitan dengan berubahnya cara pandang wanita Jepang terhadap pernikahan serta pelabelan kalah (make) terhadap wanita yang lebih memilih bekerja dibandingkan menikah dan melahirkan anak-anak.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa meski mendapat label negatif sebagai makeinu, sebenarnya para wanita lajang tersebut bukanlah orang-orang yang gagal. Mereka adalah orang yang mandiri secara ekonomi dan menikmati kebebasan yang mereka miliki. Selain itu, karena gambaran makeinu yang sedikit berbeda yang diperlihatkan oleh para selebritis Jepang di berbagai media massa belakangan ini, makeinu tidak lagi dilihat sebagai hal yang memalukan, melainkan dianggap sebagai cara hidup baru.

After World War II, the opportunity to get higher education and to work for Japanese women is rising. The rising of this opportunity has made the Japanese women have another choice in their lives besides marriage. Nowadays, more and more women choose for a career path and decide to live single. Despite having a success in career, there is a negative labeling for those single women, which is “makeinu”. By using qualitative method, this paper describes makeinu phenomenon, which is related to the change in the perspective of Japanese women toward marriage and labeling lose (make) for women who prefer to work than to marry and bear children.
From this study it can be concluded that despite getting a negative label as makeinu, actually these single women are not the ones who failed. In fact, they are economically independent and enjoying their freedom. Furthermore, due to the slighlty different image of makeinu which shown by Japanese women celebrities trough various mass media recently, makeinu is no longer seen as a shameful thing, but as a new way of life.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Astuti Retno Lestari
"Perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di Jepang sejak berakhirnya perang dunia ke 2 membawa perubahan dalam kehidupan wanita Jepang seperti semakin besarnya kesempatan wanita untuk mendapatkan pendidikan tinggi sebagai mana pria. Pola kerja wanita Jepang menyebabkan wanita mengalami kerugian karena sistem kerja Jepang membedakan secara ketat pekerja permanen dan temporer.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang kondisi peerjaan wanita Jepang dan hukum yang berupaya untuk memperbaiki kondisi tersebut. Tujuannya adalah untuk menunjukkan efektivitas kintohou 1985 dan 1997 sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi kerja wanjta dan menunjukkan penyebabnya."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11859
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Iswary Lawanda
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Vivi Anggreani
"Masalah yang diangkat dalam jurnal ilmiah ini adalah mengenai dampak perubahan keluarga Jepang dari keluarga Jepang yang berbasiskan sistem Ie pada masa sebelum Perang Dunia II ke kaku kazoku pada masa setelah Perang Dunia II terhadap munculnya superioritas wanita Jepang masa kini. Superioritas wanita Jepang masa kini tergambarkan dalam tokoh Makiko dalam drama Jepang Seigi no Mikata. Superioritas wanita merupakan usaha atau perjuangan untuk mencapai keunggulan dan kesempurnaan kehidupan wanita dari kehidupan wanita pada masa sebelumnya yaitu sebelum Perang Dunia II. Pada masa sebelum Perang Dunia II, kehidupan wanita Jepang hanya terbatas pada kehidupan keluarga dan tugasnya hanyalah tugas domestik, yaitu pekerjaan rumah tangga, sedangkan pada masa setelah Perang Dunia II, wanita Jepang sudah bisa memperoleh pendidikan tinggi dan dapat bekerja di luar rumah. Kehidupan wanita Jepang baik pada masa sebelum Perang Dunia II maupun setelah Perang Dunia II dipengaruhi oleh bentuk dan nilai keluarga tempat ia tinggal karena keluarga merupakan tempat pembentukan karakter dan psikologis individu yang dipengaruhi oleh bentuk dan nilai keluarga tersebut.

The issues raised in this scientific journal is the impact of changes in Japanese families from Japanese family based on Ie system in the period before World War II to the kaku kazoku in the aftermath of World War II to the appearance of Japanese modern women 's superiority. Superiority of Japanese modern women is reflected in figure Makiko in Japanese drama Seigi no Mikata. Superiority of women is an effort or struggle to achieve excellence and perfection of the woman's life in the past before World War II. In the period before World War II , the Japanese women’s life confined to family life and his job only domestic duties, housework , whereas in the aftermath of World War II, Japanese women are able to get higher education and be able to work outside the home. The Japanes woman's life both in the period before World War II and after World War II is influenced by the shape and value of the family where she live as a family is a place of character and psychological formation of individuals who are affected by the shape and value of the family.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ridzky Dimas
"Pemerintah Tokugawa membagi kelas sosial dalam masyarakat Jepang berdasarkan Shi No Ko So. Namun Shi no ko so ternyata tidak hanya membagi kelas sosial berdasarkan kelasnya saja, tapi juga membaginya berdasarkan gender. Pembagian gender membuat wanita menjadi kelas dua terutama pada kelas Bushi yang mengambil garis keturunan Patriarki. Dengan mengambil garis keturunan berdasarkan Patriarki membuat peran wanita Jepang dalam rumah berbeda dengan laki laki. Peran wanita dalam rumah tidak hanya mengurus keuangan keluarga, mendidik anak, dan menjaga rumah disaat suami sedang keluar. Akan tetapi, peran wanita dalam keluarga bushi adalah mampu menjaga kehormatan dirinya serta kehormatan keluarganya dengan menjalankan perannya dengan baik. Kehidupan wanita bushi dalam menjalankan perannya tidaklah mudah banyak pengorbanan dan tanggung jawab yang harus dipikul sebagai bukti kesetiaannya terhadap keluarga dan negara. Akan tetapi tanggung jawab, pengorbanan dan kesetiaannya hanya dilihat sebelah mata oleh pemerintah Tokugawa karena Pada zaman ini, budaya mengangkat harkat kaum perempuan masih terlihat gagap dan tersendat.

Tokugawa government classified the social classes in Japanese society based on the Shi No Ko So. But Shi No Ko So didn`t classified the social classes only by the classes itself, but also classified by a gender. This classification made women became the second class, especially on Bushi class which took patriarchy lineage. By taking lineage based on a patriarchy, Japanese women`s role at home was different with the men. Women`s role from Bushi family at home was not only taking care of family`s financial, children, and the house when the men or the husband were out, but also had to be able to keep the pride of themselves as women and the pride of the family by doing their role well, so the women of Bushi`s life in doing role was not easy. There are many sacrifices and responsibility that should be borne as an evidence for the family and the country. But, the women’s responsibility, sacrifices, and her loyalty were underestimated by Tokugawa government. Because in this era, a culture of raising women`s dignity was still seem statter and stagnating.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Nabila Hayanto
"ABSTRAK
Comfort women merupakan para wanita yang dipaksa untuk menjadi budak seks untuk tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Mayoritas dari comfort women adalah wanita Korea, sehingga perlakuan kejam Jepang terhadap comfort women meninggalkan luka mendalam pada masyarakat Korea. Jepang terus menerus melakukan historical revisionism dalam bentuk penyangkalan dan pengubahan sejarah untuk keterlibatannya dalam perekrutan comfort women. Hal ini menimbulkan kemarahan pada masyarakat Korea Selatan dan membuat hubungan Jepang dengan Korea Selatan menjadi tegang. Penelitian ini akan membahas tentang historical revisionism pada isu comfort women di Jepang serta menganalisis pengaruh historical revisionism dalam hubungan Jepang dan Korea Selatan.

ABSTRACT
Comfort women are women that are forced to sexual slavery for the Japanese soldiers during World War II. The majority of these women were Korean women. Japan has been doing historical revisionism in the form of denying and changing the facts of history to cover up its involvement in the forced recruitment of comfort women. This movement evokes the anger of the South Koreans and put a strain on Japan-South Korean relations. This research aims to explain historical revisionism in Japan as well as its impact on Japan and South Korea relations."
2016
S65843
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Hairani Putri
"Skripsi ini membahas representasi kemandirian yang ada pada wanita Jepang yang ditampilkan pada majalah fashion Jepang, yaitu majalah ViVi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan teori representasi dari Stuart Hall sebagai landasan, dan teknik yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka yang menggunakan majalah ViVi terbitan tahun 2013-2017 sebagai objek penelitian dan menggunakan karya ilmiah, buku-buku, dan sumber informasi dari internet sebagai referensi.
Dari metode penelitian tersebut dicapai sebuah kesimpulan, yaitu majalah ViVi merepresentasikan kemandirian pada wanita Jepang. Wanita Jepang dapat bebas dalam berpakaian dan bersikap tanpa harus terpaku dengan standar sosial yang ada di sekitarnya. Majalah ViVi juga merepresentasikan bahwa wanita dengan etnis dan ras campuran dengan etnis Jepang dapat tampil di media dengan menunjukkan keunikan mereka.

This research is focused on the representation of the independency of Japanese women in Japanese fashion magazine, ViVi. The purpose of this study is to understand what kinds of meanings that are conveyed by the magazine. This research is done through qualitative method, which used the theory of representation by Stuart Hall as the approach, this research used documents, scientific journals, and books as references.
As the final conclusion, the 2013 2017 edition of ViVi magazine represents Japanese women who have their own independency to decide on how they should act, how to dress, and how to present themselves. ViVi magazine also represents that multiracial and multinational are allowed to present themselves in public to show their uniqueness.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S67231
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Iswary Lawanda
"ABSTRAK
Kesimpulan penelitian ini, wanita Jepang khususnya wanita di zaman Meiji di dalam program industrialisasi pemerintah peran nya dianggap rendah dan tidak dihargai. Namun, tidak disangkal bahwa kondisi wanita menjadi lebih baik.
Pembagian kerja antara pria dan wanita serta patriarkat menjadi doktrin yang tidak dapat dihindari dalam masyarakat Jepang. Perubahan dalam lapangan pekerjaan memberikan akses kepada wanita untuk menerima upah sebagai tenaga kerja. Walaupun tekanan dalam pekerjaan terhadap wanita tidak dapat dihindari, upah sangat rendah yang diterima, dan pekerjaan wanita yang dianggap paruh waktu dengan waktu kerja yang panjang. Pendaya gunaan tenaga kerja wanita sangat tinggi dan perbedaan upah dibandingkan pria berada di tingkatan terbawah.
Jiyuminken menciptakan perundang undangan (Dainihon Teikokukenpo dan Meijiminpo) mengandung maksud memperbaiki status wanita, kenytaannya hanya pada hal tertentu dan terbatas. Penyebab dari rintangan bagi wanita perangkat hukum Meijiminpo mempertegas pembatasan kedudukan wanita dan sistem sebagai dasar dari Meijiminpo menekan pembagian kerja di dalam rumah tangga.
wanita dari shakaishugi (faham sosialis) menampilkan akibat dari sistem le dan kapitalisme yang membentuk kondisi tidak sama bagi wanita. Pria menerapkan sistem Ie pada pekerjaan di luar rumah tangga sehingga dapat menarik keuntungan dari kondisi tersebut. Wanita ditekankan memiliki sebagian besar tanggung jawab di lingkungan domestik dan pemeliharaan anak.
Usaha menempatkan wanita sama dengan pria dilakukan dengan pandangan sosialis, namun pada kenyataannya gender merupakan faktor penentu di dalam hubungan sosial masyarakat. Wanita terbagi menurut gender dan startifikasi masyarakat. Menjadi wanita ryosaikenbo sangat penting, semua wanita diperlakukan sebagai isteri yang baik dan ibu yang bijaksana di dalam rumah tangga, tempat kerja dan masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan wanita Jepang direndahkan tidak dihargai.

"
1995
T3923
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Justice Valentina
"[ABSTRAK
Feminisme dan hak perempuan merupakan isu yang masuk ke Jepang pada awal abad 20. Pada masa ini perempuan
hidup dibawah bayang-bayang laki-laki. Hal ini menjadi latar belakang kebangkitan gerakan feminisme di Jepang
pada tahun 1868. Status perempuan Jepang pada masa sekarang, tidak lepas dari perjuangan para feminis yang
menyuarakan perubahan pada Jaman Meiji. Salah satu feminis Jepang yang terkenal dan pelopor feminisme di
Jepang adalah Hiratsuka Raicho. Ia dikenal sebagai aktivis yang berani menantang norma yang berlaku di Jepang, tentang dominasi laki-laki. Salah satu pemikiran feminismenya adalah perempuan tidak terlahir untuk melayani lakilaki.
Ia juga berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki seharusnya dipandang sebagai individu yang sama, dan
tidak saling mendominasi. Berdasarkan tulisan ini, diharapkan pembaca memahami kebangkitan gerakan feminisme
di Jepang yang dipelopori oleh Hiratsuka Raicho. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kepustakaan dengan pengumpulan data sekunder. Selanjutnya, kesimpulan ditarik berdasarkan data sekunder yang terkumpul.

ABSTRACT
Feminism and women's rights are issues which come to Japan in the early 20th century. In this period, women lived under the shadow of men. This is the background to the rise of the Japanese feminism movement in 1868. Japanese
women's status in the present cannot be separated from the struggle of feminists who voiced a change in the Meiji era. One of the famous Japanese feminists and feminist pioneer in Japan is Hiratsuka Raicho. She is known as an
activist who dared to challenge the norm in Japan, about men dominance. One of her feminism thought were women not born to serve men. She also argued that women and men should be regarded as the same individual, and not
dominate one to another. According to this article, the reader would understand the rise of the feminist movement in
Japan by Hiratsuka Raicho. The method of this research is the method of literature with secondary data collection. Moreover, the conclusions drawn based on secondary data collected.;Feminism and women's rights are issues which come to Japan in the early 20th century. In this period, women lived under the shadow of men. This is the background to the rise of the Japanese feminism movement in 1868. Japanese
women's status in the present cannot be separated from the struggle of feminists who voiced a change in the Meiji era. One of the famous Japanese feminists and feminist pioneer in Japan is Hiratsuka Raicho. She is known as an
activist who dared to challenge the norm in Japan, about men dominance. One of her feminism thought were women not born to serve men. She also argued that women and men should be regarded as the same individual, and not
dominate one to another. According to this article, the reader would understand the rise of the feminist movement in
Japan by Hiratsuka Raicho. The method of this research is the method of literature with secondary data collection. Moreover, the conclusions drawn based on secondary data collected., Feminism and women's rights are issues which come to Japan in the early 20th century. In this period, women lived under the shadow of men. This is the background to the rise of the Japanese feminism movement in 1868. Japanese
women's status in the present cannot be separated from the struggle of feminists who voiced a change in the Meiji era. One of the famous Japanese feminists and feminist pioneer in Japan is Hiratsuka Raicho. She is known as an
activist who dared to challenge the norm in Japan, about men dominance. One of her feminism thought were women not born to serve men. She also argued that women and men should be regarded as the same individual, and not
dominate one to another. According to this article, the reader would understand the rise of the feminist movement in
Japan by Hiratsuka Raicho. The method of this research is the method of literature with secondary data collection. Moreover, the conclusions drawn based on secondary data collected.]"
2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>