Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Juliati Adji
"ABSTRAK
Masalah kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan penanggulangannya, oleh karena dapat merupakan serta merupakan beban bagi penderita dan keluarganya, apalagi bila penderita adalah pencari nafkah. Prevalensi kebutaan di Indonesia berkisar 1,2 %. Penyebab kebutaan menurut survei morbiditas DepKes 1982, 0,76 % disebabkan oleh katarak.
Jumlah penderita katarak di Poliklinik Mata R.S.C.M. yang dikumpulkan penulis dari tahun 1987-1988, ada 670 penderita 8,9% dari seluruh penderita penyakit mata baru 60,7 % penderita adalah wanita. Jumlah penderita katarak pada usia angkatan kerja /produktif (20 - 60 tahun) laki-laki dan perempuan ada 41 % .Data ini diambil penulis dari data komputer Poliklinik Mata RSCM . Melihat data di atas, kiranya kita perlu memberikan perhatian terhadap penderita katarak, terlebih bila sipenderita adalah pencari nafkah dan termasuk golongan produktif.
Katarak ialah kelainan patologik pada lensa berupa kekeruhan lensa, yang dapat digolongkan ke dalam : katarak clever lopmental misalnya, katarak kongenital atau juvenil; katarak degeneratif misalnya katarak senil; katarak komplikata dan traumatika. Yang sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari adalah katarak senil. Menurut penelitian data. Framingham, 87,2 % kekeruhan lensa disebabkan oleh katarak senil. Katarak tersebut berhubungan dengan bertambahnya umur dan berkaitan dengan proses penuaan yang terjadi di dalam lensa. Secara klinis proses penuaan lensa sudah tampak pada dekade 4 yang dimanifestasikan dalam bentuk pengurangan kekuatan akomodasi lensa akibat mulai terjadinya sklerose lensa yang disebut sebagai presbiopia.
Pada umumnya katarak senil dapat digolongkan menurut lokasi kekeruhan di dalam lensa dan stadium perkembangannya. Klasifikasi menurut lokasi kekeruhan lensa : nuklear, kortikal dan subkapsular. Pada stadium yang dini bentuk bentuk tersebut dapat terlihat jelas, pada stadium lanjut terdapat campuran dari bentuk bentuk tersebut. Katarak nuklear dibagi menurut stadium dini dan lanjut. Stadium katarak subkapsular: dini, moderat dan lanjut. Stadium katarak kortikal : insipien ,imatur / intumesen, matur dan hipermatur.
Gejala dini pada katarak senil ialah penurunan tajam penglihatan, lentikular miopia, diplopia monokular dan adanya kesilauan (glare). Kesilauan ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari dan pekerjaannya, serta dirasakan sebagai penurunan tajam penglihatan yang menyolok, misalnya : bila penderita sedang mengendarai mobil, bekerja di lapangan pada waktu siang hari, melihat sinar lampu mobil dari arah berlawanan di malam hari. Keluhan ini sangat menonjol pada penderita katarak subkapsular posterior. Bila dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan penderita ini di kamar periksa umumnya baik misalnya 6/10, jadi tajam penglihatan yang dilakukan di kamar periksa tidak cukup menggambarkan tajam pengelihatan yang sesungguhnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosephine Sri Sutanti
"Studi kasus terhadap kegiatan informal dilakukan di bengkel mobil "A", Jakarta. Desain ini dipilih karena memang sektor informal masih belum banyak diteliti. Data dikumpulkan dari pengamatan, anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang dan lingkungan. Hasil kajian didapatkan 2 kasus tenaga kerja , masa kerja 15 dan 11 tahun, dengan keluhan mata silau, yang mendapat pajanan kronik radiasi sinar ultra violet dan percikan logam (gram) berulang. Pengukuran pajanan radiasi yang diterima jaringan masih di bawah NAB, kelainan berupa sikatriks kornea (nebula) pada kedua pengelas dan pinguekula pada seorang pengelas.
Faktor yang mendukung terjadinya kelainan yaitu akibat kurangnya pengetahuan tentang bahaya pengelasan dan tidak adanya alat pelindung mata (goggles) selama pengelasan. Diagnosis penyakit akibat kerja pada studi ini sikatriks kornea berupa nebula akibat percikan logam berulang selama pengelasan.

Disorder of the Eye of Welding Labor, A Case Study at a Garage "A" in Jakarta, 1998.A case study on informal sector was conducted at a garage "A" in Jakarta. This design was selected because there has not much studies being conducted on informal sector. Data were collected from observation, anamnesis, physical and laboratory examination and environment condition. As a result, there were two workers with 15 and 11 years of working period who have eye complaints due to the chronically exposed of ultra violet radiation and repeatedly hit metal sparks. Measurement of radiation exposure to the tissue was still under the TLV. Disorder of the eyes were corneal cicatrices (nebula) in both workers and pingeucula in one of the workers.
Contributing factor to the disorder was due to the lack of knowledge about the dangerous of welding and no protection (goggles) during the welding activities. The occupational diseases diagnosed in this studio arc corneal cicatrices (nebula) due to repeatedly metal sparks during welding activities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julfrida
"ABSTRAK
Dalam menjalankan misinya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat bawah, RSUD Pasar Rebo selalu berusaha meningkatkan pelayanannya.
Dengan fasilitas dan dana yang terbatas usaha ini perlu lebih baik difokuskan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah merumuskan RSUD Pasar Rebo tahun 2003. Visi organisasi biasanya dibuat oleh pemilik dan karyawan harus menjalani. Suatu hal yang menarik dalam perumusan visi di RSUD Pasar Rebo, karena dirumuskan secara bersama oleh karyawan.
Masalahnya bagaimana merumuskan visi suatu organisasi dengan melibatkan karyawan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui proses perumusan visi organisasi, siapa saja yang terlibat dan bagaimana tahapannya.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitaf dengan design studi kasus, karena hanya melakukan pengkajian terhadap proses yang telah berjalan. Analisa data dilakukan dengan menelaah data yang tersedia dari sumber data sekunder, pengamatan dan wawancara. Dilakukan reduksi data, kemudian menyusun dalam satuan-satuan dan dikatagorikan, lalu dilakukan pengolahan data. Data disajikan dengan cara tekstular dan tabulasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di RSUD Pasar Rebo pengambilan keputusan dilakukan dalam pertemuan-pertemuan tidak formal. Suatu kekuatan di rumah sakit ini adalah budaya kerja sama staf ( manajer , dokter , perawat dan staf lainnya) untuk mencapai tujuan. Beberapa proses perubahan telah terjadi antara tahun 1988 sampai tahun 1996, yang merubah pandangan terhadap rumah sakit ini dari rumah sakit yang tidak dikenal menjadi rumah sakit yang cukup dikenal di Jakarta dan Indonesia.
Setelah gedung baru 8 lantai selesai pembangunannya, rumah sakit memerlukan arah baru untuk menjalankan misinya. Untuk itu dalam suatu pertemuan informal yang biasa dilakukan, dibicarakan akan kemana rumah sakit ini enam tahun yang akan datang. Proses perumusan visi ini memakan waktu delapan kali pertemuan, yang diikuti sebagian besar karyawan ( dokter , perawat dan staf lainya) untuk merumuskan visi untuk tahun 2003.
Hasil perumusan ini adalah RSUD Pasar Rebo menjadi salah satu dari tiga rumah sakit yang terbaik di Indonesia dalam bidang IGD dan rawat jalan. Proses ini adalah proses berharga karena merupakan proses yang dihasilkan oleh karyawan secara bersama.

ABSTRACT
The Process of vision development at Pasar Reba General Hospital, Indonesia The mission of Pasar Rebo General Hospital is to provide health services for community, especially the middle class and the poor . The limited budget and facilities at the hospital force the hospital manager to focus its services for the most important and efficient ones .
One of the hospital effort to focus its services, is to develop their vision for hospital development for the next six years (1997-2003). Vision development usually is developed the owner or top manager of the organization.
The distinct characteristics of vision development at Pasar Rebo General Hospital is that the vision development process involving all doctors, nurses, managers and personnel at the hospital.
The study objective is to analyze the vision development at Pasar Rebo General , how the process is evolving and who are involved in that process .
Design of this study is a case study using qualitative research methodology. Data is collected using indepth interview and secondary data.
The study found that Pasar Rebo General Hospital has been used to make routine decisions using informal meeting. The strong internal culture of the hospital bind all the hospital staff ( manager, doctors, nurses, and other staff) to work together toward their common goal . Several hospital transformation process during the period of 1988 to 1996, has been transformed the hospital image from the bottom one into one of the famous government hospital in Jakarta and Indonesia .
After the completion of 8 stories hospital building , the hospital need a new direction to reach their mission objective . Therefore, the routine informal meeting was initiated to find out what will be the future of Pasar Rebo Hospital six years from now. This process comprised of eight meetings, and involving all the hospital personnels (doctors, nurses, and staff) to develop the hospital vision for 2003 . They decided that Pasar Rebo Hospital will be one of three best hospital in Ambulatory care and Emergency care in the year of 2003 . The study conclusion is that vision development is a rewarding process for organization if the process has been developed by all member of organization.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hendarsetoprabowo
"Latar Belakang. Penglihatan perifer sangat penting disamping ketajaman mata bagi seorang penerbang. Penelitian mengenai penglihatan perifer yang pemah dilakukan adalah pada ketinggian 10.000, 12.500, 15.000 serta 23.000 kaki, belum pernah dilakukan penelitian pada ketinggian 18.000 kaki, dimana pada ketinggian 18.000 kaki ini tekanan menjadi 112 atmosfir dan subyek penelitian dapat dimanipulir selama 30 menit dengan aman. Oleh sebab itu akan dilakukan penelitian pengaruh hipoksia terhadap penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dan untuk mengetahui beberapa faktor lain yang mempengaruhinya.
Metodologi. Penelitian eksperimental terhadap 100 calon penerbang berumur antara 17 - 23 tahun. Diukur berat badan, tinggi badan, tekanan darah, denyut nadi, hemoglobin, saturasi oksigen, kapasitas vital paru dan penglihatan perifer pada permukaan tanah dan dalam ruang udara bertekanan rendah pada ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi saturasi oksigen 64% - 72%, diukur denyut nadi, saturasi oksigen dan penglihatan perifer.
Hasil. Rerata penglihatan perifer pada permukaan tanah 84,5° dengan simpang baku 4,94° dan pada ketinggian 18.000 kaki reratanya 76,5° dengan simpang baku 5,23° dan terdapat perbedaan bermakna (t tes berpasangan p = 0,000). Penurunan penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki berkorelasi positif bermakna dengan penglihatan perifer pada permukaan tanah (r = 0,48; p = 0,000) serta berkorelasi negatif dengan tekanan darah diastolik(r = -0,20; p = 0,050). Suatu model yang pantas untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki terdiri dari variabel tekanan darah distolik pada permukaan tanah (B= -0.2359) dan variabel penglihatan perifer pada permukaan tanah (B= 0.5087).
Kesimpulan. Hipoksia menyebabkan penurunan penglihatan perifer. Untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dapat digunakan variabel penglihatan perifer dan tekanan darah diastolik pada permukaan tanah.

Background. Peripheral vision is important for a pilot. Up to present time, the study on peripheral vision were conducted at 10.000, 12.500, 15.000 and 23.000 feet level. There was no study at 18.000 feet level where the barometer pressure 112 atmosphere where subjects can be safely manipulated untill 30 minute. Therefore it is beneficially to conduct study on influence hypoxya at 18.000 feet on peripheral vision and its relationship with the other factor.
Methods. An experimental study using 100 candidate pilots, age 17 - 23 years. Height, weight, blood pressure, pulse rate, vital lung capasity, oxygen saturation, peripheral vision were meassured at a ground level and decompression chamber equal to 18.000 feet condition at 64% to 72 % oxygen saturation.
Results. Peripheral vision at ground level, the mean was 84.5° with standard deviation of 4.94° and at 18.000 feet level the mean was 76.5° with standard deviation of 5.23°, It showed a significant difference (paired t test p = 0.000). Our data revealed the decreasing peripheral vision were significantly positive correlated with peripheral vision at ground level (r = 0.48 ; p = 0.000). and negative correlated with diastolic blood pressure (r= - 0.20 ; p = 0.050). The most suitable model for peripheral vision at 18.000 feet consisted of diastolic pressure at ground level (B= -0.2359) and peripheral vision at ground level (B= 0.5087).
Conclusion. Hypoxia lowering peripheral vision. To predict peripheral vision at 18.000 feet, a varible of peripheral vision and diastolic blood pressure at ground level can be used.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyudi
"Pengembangan Sistem Informasi Perencanaan Obat berdasarkan Metoda Morbiditas dilatarbelakangi adanya masalah berkaitan dengan pengelolaan obat khususnya pada tahap perencanaan obat dimana obat direncanakan hanya berdasarkan pada konsumsi obat tahun sebelumnya dan belum berdasarkan pada pola penyakit yang ada sehingga ketersediaan obat belum optimal, disatu sisi terdapat obat yang ketersediaannya sangat terbatas dan disisi lain terdapat obat yang ketersediaannya berlebihan. Disamping itu keciinya anggaran obat perlu terns ditingkatkan melalui penyediaan data kebutuhan obat yang lebih lengkap dihitung berdasarkan Metoda Konsumsi dan Metoda Morbiditas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan membuat suatu sistem inforrnasi yang mampu mengolah data kasus penyakit dari LB1 menjadi informasi kebutuhan obat sehingga diharapkan bermanfaat untuk menentukan jenis, jumlah, dan biaya kebutuhan obat pada scat membuat perencanaan obat. Dan diharapkan dihasilkannya indikator penggunaan obat sehingga dapat dipantau ketaatan pelaksanaan pengobatan pada standar pengobatan yang ada.
Metodologi penelitian dilakukan dengan pendekatan pengembangan sistem, yaitu pendekatan System Development Life Cycle - SDLC meliputi tahap perencanaan sister, analisis sistem, perancangan sistem, uji coba dan koreksi, dan penggunaan sistem. Pengambilan data pada tahap perencanaan sistem dilakukan dengan teknik telaah dokumen dan wawancara guna memperoleh gambaran sistem yang lama dan melakukan identifikasi masalah, peluang dan kelayakan sistem secara operasional dan teknis. Pada tahap analisis sistem dilakukan analisa secara lebih mendalam sehingga diketahui bentuk informasi yang diperlukan, siapa pengguna informasi, waktu keluarnya informasi, dan kriteria sistem informasi yang diharapkan pengguna. Pada tahap perancangan sistem dilakukan perancangan secara terperinci pengenai basis data, masukan, keluaran, alur proses atau algoritma, program aplikasi dan pemilihan konvigurasi perangkat keras yang akan menjalankan sistem. Uji cobs dan koreksi prototipe dilakukan pada laboratorium komputer FKM UI, disamping itu juga dilakukan penilaian kelebihan dan kelemahan sistem. Sebagai hasilnya program aplikasi Sistem Informasi Perencanaan Obat berdasarkan Metoda Morbiditas ini diharapkan dapat dipergunakan di lingkungan Dinas Kesehatan Kota Pontianak.
Beberapa simpulan dari penelitian ini antara lain bahwa Pengembangan Sistem Informasi Perencanaan Obat berdasarkan Metoda Morbiditas dapat diterapkan dilingkungan Dinas Kesehatan Kota Pontianak dengan beberapa prakondisi yang memungkinkan sistem berjalan untuk memenuhi keseluruhan kebutuhan informasi yang diharapkan pengguna untuk perencanaan kebutuhan obat dan pemantauan penggunaan obat. Program aplikasi yang sederhana, mudah dalam penggunaan, tingkat pengarnanan data yang baik dan dapat dikembangkan sehingga pengiriman data dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan menjadi lebih mudah. Beberapa saran pada tahap lanjutan hendaknya juga dilakukan pengembangan sistem yang terkomputerisasi di Puslofar terhadap penerimaan, penyimpanan, pendistribusian dan pelaporan mutasi obat; adanya penyempumaan pada format form LB 1 dan penyempumaan standar pengobatan sehingga mencakup keseluruhan penyakit yang ada pada LB1.

The background of drug planning information system development base on morbidity method was the problem related to drug management particularly in drug planning step, where drug was planned merely based on drug consumption in a previous year and still not based on existing disease pattern, thus drug availability was still not optimal, in one side there was very limited drug availability and in the other side drug availability was excessive, Additionally, small drug budget need to be increased through more complete data provision of drug requirement calculated based on consumption method and morbidity method.
The aim of this study was to identify and build a information system that can process data of disease case of LB 1 to drug requirement information that expected useful to determine type, number and cost of drug requirement when performing drug planning. It is expected to produce drug utility indicator so that treatment implementation adherence on existing treatment standard can be monitored. The study was carried out by system development approach, System Development Life Cycle (SDLC) approach including system planning, system analysis, system design, system testing and revising, and system use steps.
In system planning step, document review and interview technique were employed to collect data in order to obtain the description of old system and to identify the problem, the chance and advisability of the system operationally and technically. In system analysis step, analysis is performed more deeply so that information form needed, information user, time of information out, and information system user criteria expected can be identified. In system design step, design is performed in detail on data, input, output, process flow or algorithm, applied program and hardware configuration selection to carry out the system. Prototype testing and correction were conducted in FKM UI computer laboratory, in addition, assessment of system benefit and limitation were performed. As a result, the application of program of drug planning information system base on morbidity method is expected can be used in Pontianak Health District.
Some conclusions from this study include drug planning information system development base on morbidity method can be used in Pontianak Health District with some preconditions allowing the system to be carried out to meet all information need that user expected to drug requirement planning and drug utilization monitoring. Simple and easy applicable program, high level of data safety to be developed so that data transferring from health centre to health district is much easier. Some advises for the next step that it is needed to perform computerized system development on drug receiving, maintenance, distribution and drug mutation reporting in Puslofar; it is expected the finishing on LB 1 format and treatment standard, thus cover all of disease LB 1.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T19099
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syska Widyawati
"Tujuan: Membandingkan kualitas fungsi penglihatan berupa tajam penglihatan, sensitivitas kontras dengan dan tanpa adanya glare pada pemakaian lensa intraokular (LIO) jenis rigid PM1i/LI dengan jenis lensa lipat (LLIO) dari bahan acrylic hyrophilic.
Tempat: Perjan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Metoda: Prospektif, randomisasi pada 40 mata katarak senilis imatur derajat 1-3. Dua puluh pasien menggunakan LIO PMMA dan 20 lainnya menggunakan LLIO acrylic hydrophilic. Pengukuran kualitas fungsi penglihatan ditakukan pada hari ke-28, parameter yang diukur adalah tajam penglihatan dengan koreksi terbaik, sensitivitas kontras dengan dan tanpa adanya glare menggunakan alat Takagi contrast glare tester.
Hasil: Karakteristik pasien pra operasi antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna, kecuali pada nilai astigmatisme kornea (p 0,023) namun seluruh nilai astigmatisme kornea kurang dan 3 dioptri sesuai kriteria inklusi. Seluruh pasien mencapai tajam penglihatan maksimal dengan koreksi pada hari ke-28 (rerata - 0.075±0.044) dengan koreksi yang diberikan pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna, demikian pula dengan nilai astigmatisme kornea pasca operasi. Pengukuran sensitivitas kontras dengan dan tanpa glare kelompok acrylic lebih rendah daripada kelompok PMMA, namun pada uji statistik tidak didapat perbedaan bermakana (p0,05).
Simpulan: Tajam penglihatan dengan koreksi, sensitivitas kontras dengan tanpa adanya glare pada pemakaian LIO jenis PMMA dan LLIO jenis acrylic sama baik.

Purpose: To compare the quality of visual function by means of best corrected visual acuity, and contrast sensitivity with and without glare in pseudophakic patients using PMMA rigid intraocular lens and foldable acrylic hydrophilic.
Place: Perjan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Method: A prospective, randomized study was performed on 40 patients with immature senile cataract grade 1-3. All the patients underwent phacoemulsification, with 20 patients receiving rigid PMMA and the other 20 foldable hydrophilic acrylic. The quality of visual function was measured as best corrected visual acuity and contrast sensitivity with and without glare using the Takagi contrast glare tester 28 days after surgery.
Result: Patient characteristics before surgery in both group showed no significant difference, except for corneal astigmatism (p=0.023), however the amount of astigmatism in all patients were not more than 3 diopter, meeting the inclusion criteria. All patients achieved maximal visual acuity in day-28 after surgery (mean - 0.075+ 0.044) with best spectacle correction. The mean of correction given and the corneal astigmatism after surgery in both groups were not significantly different. The measurement of contrast sensitivity with and without glare condition were lower in acrylic group but showed no statistically significant difference (p>0.05) compared to the PMMA group.
Conclusion: Best corrected visual acuity and contrast sensitivity with and without glare in pseudophakics using rigid PMMA intraocular lenses were comparable to hydrophilic acrylic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karamoy, Andrita
"Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian suplemen antioksidan dapat mengurangi pemanjangan waktu pemulihan makula pada juru las dengan pemakaian safety goggle. Design: Uji klinis tersamar ganda kelompok paralel secara randomisasi.
Metode: 44 subyek dibagi menjadi.2 kelompok. Kelompok perlakuan 21 subyek mendapat suplemen vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg dan β-carotene 6 mg selama 2 minggu berturut-turut, sedangkan kelompok kontrol 23 subyek mendapat plasebo. Pengukuran WPM dilakukan sebelum dan sesudah suplementasi baik pada saat sebelum dan sesudah 5 menit bekerja menggunakan safety goggle.
Hasil : Selisih WPM sebelum dan sesudah mendapat suplemen (WPM 2) pada kelompok perlakuan adalah 17,90±5,58 detik, sedangkan kelompok kontrol adalah 23,78±6,64 detik terdapat perbedaan bermakna secara statistik (3WPM 2) antara kedua kelompok penelitian (p<0,05).
Kesimpulan : Pemberian suplemen vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg and β -carotene 6 mg selama 2 minggu berturut-turut pada juru las yang menggunakan safety goggle terbukti dapat mengurangi pemanjangan WPM.

Objective: To evaluate whether assigning antioxidants supplement to welders using safety goggles could influence the prolong recovery time of photostress lest.
Methods: The study is randomized, double-blinded clinical trial. Forty-four male welders were included and divided into two groups and conduct matched pairs based on age and visual acuity. Twenty-one (21) welders for 5 minutes work assigned with antioxidants (subject group), while twenty-three (23) welders for the same duration assigned with placebo (control group) were given supplement for 14 days continuously. The antioxidants contained vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg and β-carotene 6 mg. The study was conducted at the Technical Institute of Welders in Surakarta from December 2004 through January 2005.
Results: The photostress recovery test in subject group produce an improvement (p< 0,05) while in placebo group remains unchanged (p>0,05).
Conclusion: Oral vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg and β -carotene 6 mg are proven to reduce the prolong time of photostress recovery test in welders using safety goggles.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikri Firdaus
"Latar belakang: Penggunaan komputer dapat menimbulkan suatu keluhan kesehatan yang disebut dengan Computer Vision Syndrome (CVS), Sindrom ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko individual, lingkungan dan komputer.
Tujuan: Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor resiko ergonomik individual dan komputer yang berhubungan dengan kejadian Computer Vision Syndrome (CVS) pada pekerja pengguna komputer yang berkacamata dan pekerja yang tidak berkacamata.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian metode kualitatatif. Penelitian dilakukan pada bulan April - Mei 2013 di Unit Pelakasana dan Pelatihan. Sampel sebanyak 18 orang dengan kriteria tertentu, dibagi menjadi 2 kelompok pekerja berkacamata dan pekerja yang tidak berkacamata. Peneliltian dilakukan dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner dan pengukuran.
Hasil: Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian CVS adalah Kelembaban 71%, Pencahayaan kurang dari 300-500 lux (KEPMENKES nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002), Usia lebih dari 40 tahun (das et al.), lama bekerja dengan komputer, dan jarak komputer dengan mata.
Kesimpulan: Gejala ekstraokuler pada pekerja pengguna kacamata bifocal melakukan retrofleksi leher sehingga leher tertekuk kebelakang yang menyebabkan keluhan nyeri pada leher. Penderita terbanyak bukan dari pengguna kacamata tetapi pada pekerja yang tidak berkacamata. Serta penderita CVS (berdasarkan kriteria anamnesa) di usia 25 tahun, kedua hal ini berkaitan dengan potur ergonomi pada saat kerja baik secara design tempat kerja, kondisi ruangan ataupun durasi kerja yang semuanya saling berkaitan sehingga menimbulkan gejala Computer Vision Syndrome (CVS).

Background: Computer usage could cause health complaints called Computer Vision Syndrome (CVS). This syndrome was influenced by individual and computer risk factors.
Aim: The objective of the study is to identify and to analyze individual and computer factors of computer Vision Syndrome (CVS).
Methods: This study was an observational study with methods qualitatively. The research was conducted in April-May 2013 in the Pelakasana and Training Unit. Sample of 18 people with certain criteria, divided into 2 groups of workers and workers who are not wearing glasses glasses. Peneliltian done by direct interviews using questionnaires and measurements.
Results: Factors associated with the incidence of CVS is Humidity 71%, less than the 300-500 lux lighting (KEPMENKES 1405/Menkes/SK/XI/2002), age over 40 years (das et al.), Long working computers, and computer distance by eye.
Conclusion: Extraocular symptoms in workers bifocal glasses users do retrofleksi neck so the neck is bent backwards which causes pain in the neck. Most patients but not from users goggles to workers who do not wear glasses. And people with CVS (based on criteria anamnesis) at the age of 25 years, these two things related to ergonomic posture at work both in design work, ambient conditions or duration of action that are all intertwined, giving rise to symptoms of Computer Vision Syndrome (CVS).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Zaki Rahman
"ABSTRAK
Weld bead atau manik las adalah hasil yang diproleh dari proses penyambungan (pengelasan) dua bahan atau lebih yang didasarkan pada prinsip-prinsip proses difusi (fusion welding), sehingga terjadi penyatuan bagian bahan yang disambung. Lebar manik las merupakan indikator utama yang menentukan keberhasilan pengelasan karena terkait dengan desain pengelasan yang telah ditetapkan oleh welding engineer sebelumnya. Dalam penelitian ini menggunakan mesin las TIG (Tungten Inert Gas) dan gas Argon sebagai pelindung proses pengelasan (shield gas) serta menggunakan material stainless steel SS 304 sebagai benda kerja. Studi ini mengembangkan sistem pengaturan lebar manik las dengan cara mengatur kecepatan proses sesuai dengan informasi lebar kolam las yang didapat melalui mesin vision selama proses pengelasan berlangsung. Informasi lebar kolam yang didapat dikalkulasikan oleh sistem dan digunakan sebagai input pada jaringan syaraf tiruan (JST) untuk mendapatkan kecepatan proses pengelasan yang tepat. Sistem yang dibangun pada studi berhasil mengatur kecepatan pengelasan yang tepat sesuai dengan target lebar manik yang diinginkan dengan berbagai variasi parameter pengelasan.

ABSTRACT
Weld-bead produced in the process of connecting two or more substances that are based on the principles of diffusion processes (fusion welding). Width of weld bead is the main indicator that determines the success of welding as it related to the design of the welding that has been set by the welding engineer before. In this study using TIG welding machine (Tungten Inert Gas) and argon as a protective gas welding process (shield gas) as well as the use of stainless-steel material SS 304 as the workpiece. This study developed a system to control weld-bead by adjusting the speed of the process according to the weld-pool width information obtained through machine vision during the welding process takes place. The informations of weld-pool width will be calculated by the system as inputs to the neural network (ANN) to produce the right speed of the welding process. The system that built in this study had succesfully produced weld bead width similar to the desired target width with some variations of welding parameters.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
T45195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Dwi Handayani
"Tesis desain ini membahas tentang pembentukan sebuah ruang arsitektur yang dihasilkan dari memahami respon inderawi yang dihasilkan dari seseorang yang memiliki keterbatasan visual (low vision) yang berproses memahami ruang secara bertahap. Proses terbentuknya sebuah ruang diturunkan dari pendekatan bagaimana seorang penderita low vision bergerak dan beraktifitas dalam lingkungannya. Riset ini dilakukan menggunakan tiga metode berbeda, yaitu yang pertama mengamati pengalaman visual dalam mengapresiasi media film, yang kedua memahami aktifitas keseharian di dalam ruang diri yang sudah dikenali, dan yang ketiga adalah memahami ruang diri yang baru pertama kali dialami.
Pendekatan narasi yang terbentuk dalam memahami ruang menghasilkan beberapa proposisi penting yaitu penggunaan karakter ruang dengan warna-warna kontras, metode berjalan dan berhenti untuk melakukan reorientasi posisi, pengabaian aspek detail dan pengutamaan aspek fungsional, dan faktor-faktor pendukung lainnya. Low vision dalam kondisi yang sangat umum, terjadi tidak hanya pada satu kelompok differently-able saja, tetapi dapat digeneralisasi terjadi juga pada generasi lanjut usia (elderly).
Pendekatan arsitektural berbasis narasi ini diterapkan dalam desain sebuah fasilitas publik untuk kelompok lanjut usia (elderly). Kecenderungan kenaikan jumlah penduduk lanjut usia dalam komposisi penduduk suatu kota menunjukkan pentingnya perhatian khusus terhadap eksistensi mereka dalam ruang publik. Mengakomodasi kebutuhan mereka secara arsitektural menjadi sangat perlu agar mereka sebagai kelompok yang memiliki keterbatasan secara visual mampu bergerak dan beraktifitas secara mandiri dalam ruang hidupnya.

This design thesis develops a method of forming an architectural space generated from the understanding of the sensory response of a person with visual limitations (low vision) in the process of understanding the space gradually. The process of space formation is derived from how a person with low vision moves and conducts activities in the environment. The research was conducted through three different methods, the first one is observing the visual experience with the film as a media, the second one is understanding the spatial experiences in the daily activities within familiar space, and the third one is understanding the spatial experiences in non-familiar space.
The resulting narrative approach produced several important propositions, namely the use of spatial qualities with contrasting colors, the method of moving, walking and stopping to reorient the position, ignored details and enhanced functional aspects, and other supporting factors. Low vision in a very common condition, occurs not only in a differently-able group, but it can also generally occurs in the elderly group.
This narrative-based architectural approach is then applied in the design of a public facility for the elderly. The increasing tendency in the number of elderly in the urban population suggests the importance of special attention to their existence in public space. Architecture that could accommodate the spatial needs of people with visual limitations become necessary to enable them to move and to experience their life space independently.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
T28803
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>