Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasnerita
"Di Indonesia, Angka Kematian Neonatal 25 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian neonatal dini (0-7 hari) 15 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 1997). Menurut survei kesehatan rumah tangga (START) tahun 1995), gangguan perinatal merupakan urutan penyebab kematian bayi di pulau Jawa-Bali (33,5%), diikuti kematian yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut (32,1%). Di luar Jawa-Bali, gangguan perinatal merupakan urutan kedua (26,9%) setelah infeksi saluran pernafasan akut (28%). (Depkes, 2000)
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui lama puput tali pusat bayi baru lahir dengan metode asuhan persalinan normal (APN) dibandingkan dengan metode alkohol.di Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara tahun 2002.
Studi ini menggunakan rancangan cross sectional, responden adalah ibu yang mempunyai bayi dengan menggunakan perawatan tali pusat dengan metode Asuhan Persalinan Normal (APN) di RB Tri TungaI dan ibu yang menggunakan perawatan tali pusat bayinya dengan metode alkohol di Bidan Praktek swasta (BPS) tahun 2003.
Subjek / responden : sebanyak 138 orang , dimana 69 orang menggunakan perawatan tali pusat metode APN dan 69 orang dengan metode Alkohol kemudian ditanyakan lama puput tali pusat pada saat kunjngan pertarna neonatal dan dicatat lama puputtali pusat kedua metode.
Hasil penelitian pada kedua metode tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal umur, pendidikan,BB bayi, jumlah anak, kondisi rumah dan lingkungan. Dari segi biaya lebih murah metode APN bila dibandingkan dengan metode Alkohol. Didapatkan Lama puput tali pusat Perawatan APN < 7 had 53 (76,8%) dan7 hari 16 (23,2%) sedangkan perawatan dengan Alkohol < 7 hari 17 (24,6 %) dan7 hari 52 (75,4%).
Hasil studi menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara metode APN dengan alkohol didapatkan OR 1-0,13 (4,63 - 22,16 . CI 95 %). Perbedaan lama puput tali pusat metode APN dengan metode alkohol secara statistik bermakna (p = 0,00). artinya Efektifitas perawatan tali pusat metode alkohol memiliki kecendrungan 10,13 kali lebih tinggi untuk mengalami lama puput >7 hari bila dibandingkan dengan metode perawatan tali pusat metode APN, bukti-bukti menunjukan bahwa perawatan tali pusat memakai alkohol menyebabkan alkohol dapat membunuh flora normal yang ada pada tali pusat sehingga memperlambat proses puput tali pusat dan mempengaruhi pengeringan tali pusat secara alami (WHO,1999).
Kesimpulan perawatan tali pusat metode Asuhan Persalinan Normal (APN) mempunyai efektivitas lebih baik , sekalipun di daerah prasejahtera I bila dibandingkan dengan perawatan tali pusat dengan metode alkohol terhadap lama puput tali pusat.
Saran penelitian ini hanya dilakukan di Jakarta Utara, dengan karakteristik lingkungan dan perilaku yang berbeda diharapkan pada peneliti lain untuk dapat melakukan diluar DKI Jakarta.

In Indonesia, neonatal mortality is 2512000 live births and mortality rate of early neonatal (0-7 days) is 15/1000 live births (SDKI 1997). According to Household Health Survey (SKRT) 1995, prenatal problem is in the list of infants mortality in Java and Bali (33,5%), followed by acute respiratory infection (32,1%). Outside Java and Bali Island, prenatal is at second rank (26,9%) after acute respiratory infection (28%) (Depkes,2000)
Object of this study is to find out duration of cord stump separation of newborn by normal practice method (APN) compared to alcohol method in sub district of Penjaringan, north Jakarta, 2002.
This study is using cross sectional design, the cases are newborn used normal practice method (APN) Maternity Clinic of Tri Tunggal, and those who used alcohol method in practice of private midwives (BPS) 2003
Total respondents is 138 person, 69 using APN and 69 using alcohol method followed up until cord stump separated and record its duration in both method.
Result of study in these two methods has no significant differences regarding age education, body weight of infant, house and neighborhood condition. From cost aspect APN method is less expensive than alcohol method. Cord stump separation in APN method < 7 days is 53 (76,8) and ≥ 7 days is 17 (23,2%).and in alcohol method 7 days is 17 (24,6%) and ≥ 7 days is 52 (75,4%).
Result of this study shows that there is significant relationship between APN method and alcohol method OR 10,13 (4,63-22,16, 95%CI). Difference duration of cord stump separation between both methods is statistically significant (p=1,00), which mean effectiveness of alcohol method tend to have 10,13 times higher if duration ? 7 days compared to APN, there is evident that cord stump care by using alcohol could kill normal flora in cord stump and slowing down cord stump separation and draining process of cord stump naturally (WHO,1999).
Normal practice method (APN) has better effectiveness, even in poor area compared to practice with alcohol method in regard to duration of umbilical cord stump separation.
This study recommends conducting other studies in another location with different social demography outside Jakarta.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12777
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogi Ismail Gani
"Pendahuluan: Delayed union merupakan permasalahan yang dapat terjadi pasca penyembuhan fraktur yang secara signifikan mengganggu kualitas hidup pasien. Telah banyak penelitian yang dilakukan berdasarkan pendekatan konsep diamond untuk memecahkan masalah delayed union. Granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF) merupakan salah satu dari berbagai zat yang diketahui mempunyai peranan positif dalam penyembuhan jaringan skeletal atau regenerasi ajuvan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemberian G-CSF dalam mempengaruhi penyembuhan fraktur delayed union.
Material dan Metode: Penelitian eksperimental dilakukan dengan randomized post test only control group design pada 24 hewan coba tikus putih Sprague-Dawley yang telah mengalami model delayed union. Penelitian membandingkan antara kelompok perlakuan yg diinjeksi subkutan G-CSF dengan kelompok kontrol dan dibagi menjadi empat kelompok (n=6). Harvest dan follow up histomorfometri dan imunohistokimia dilakukan pada dua kelompok di minggu kedua (KM2 dan PM2) dan dua kelompok lagi pada minggu keempat (KM4 dan PM4). Analisis histomorfometri terdiri dari presentase area tulang imatur, tulang rawan dan area fibrosa dengan pulasan Hematoxylin-Eosin (HE). Sedangkan evaluasi semikuantitatif imunohistokimia dengan ekspresi BMP-2 melalui skor imunoreaktif (IRS).
Hasil: Pada evaluasi parameter histomorfometri dan imunohistokimia didapatkan area fibrosis secara signifikan lebih sedikit (p<0,001) dan ekspresi BMP 2 lebih tinggi (p=0,008) pada kelompok perlakuan minggu kedua dibandingkan kontrol. Serta presentase area woven bone secara bermakna lebih besar (p=0,015), area fibrosis lebih sedikit (p=0,002) dan ekspresi BMP 2 lebih tinggi (p=0,004) pada perlakuan minggu keempat dibandingkan dengan kontrol.
Kesimpulan: G-CSF terbukti meningkatkan kecepatan penyembuhan pada tikus putih Sprague-Dawley pada model delayed union dievaluasi dari aspek histomorfometri dan imunohistokimia.

Introduction: Delayed union is a problem that can occur after fracture healing, which significantly impairs the patient's quality of life. Many studies were conducted based on the diamond concept approach to solve the problem of delayed union. Granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF) is one of the various substances known to have a positive role in healing skeletal tissue or adjuvant regeneration. This study was conducted to see the effect of G-CSF in affecting delayed union fracture healing.
Methods: The experimental study was conducted by randomized posttest only control group design on 24 experimental animals Sprague-Dawley white rats that had experienced delayed union models. The study compared the treatment group injected with subcutaneous G-CSF with a control group and was divided into four groups (n=6). Harvest and follow-up histomorphometry and immunohistochemistry were performed in two groups in the second week (KM2 and PM2) and two more groups in the fourth week (KM4 and PM4). The histomorphometric analysis consisted of the percentage of immature bone area, cartilage, and fibrous area with Hematoxylin-Eosin (HE) streaks. Meanwhile, the semiquantitative evaluation of immunohistochemistry with the expression of BMP-2 through the immunoreactive score (IRS).
Results: In the evaluation of histomorphometric and immunohistochemical parameters, there were significantly differences less fibrosis area (p = 0,001) and higher BMP 2 expression (p = 0,008) in treatment week two compared to control. In addition, there were also significantly more woven bone area (p = 0,015), less fibrosis area (p = 0,002) and higher BMP 2 expression (p = 0,004) in treatment group week four compared to control.
Conclussion: G-CSF was shown to increase the speed of healing in Sprague- Dawley rats on delayed union models evaluated from histomorphometric and immunohistochemical aspects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Tjahjadi
"Asfiksia perinatal berhubungan dengan luaran buruk neonatus, seperti buruknya skor Apgar; kebutuhan resusitasi dan ventilasi bertekanan positif, perdarahan intraventrikuler, hypoxic ischemic encephalopathy, hingga terjadinya kematian dini neonatus. Pemantauan kesejahteraan janin melalui berbagai modalitas indirek dilakukan untuk mendeteksi dini faktor risiko asfiksia perinatal, meskipun pemeriksaan gas darah tali pusat diakui sebagai metode baku penetapan status asam basa dan penegakkan keadaan asfiksia yang objektif. Asidosis metabolik janin menurut ACOG dan AAP ditegakkan jika dijumpai pH arteri tali pusat ≤ 7 dan defisit basa ≥ 12 mmol/L, tetapi masih belum diketahui nilai pH dan BD yang dapat digunakan untuk memprediksi kejadian luaran buruk neonatus. Penelitian ini dilakukan di RSUPNCM selama bulan Mei – Agustus 2020 terhadap persalinan dengan usia kehamilan di atas 27 minggu, baik secara spontan maupun operasi. Desain penelitian adalah kohort prospektif dengan masa pemantauan bayi baru lahir selama 7 hari. Sejumlah 135 subjek yang memenuhi kriteria diikutsertakan dalam penelitian ini. Nilai pH < 7,2015 dapat diterapkan pada sampel arteri maupun vena tali pusat karena menunjukkan akurasi baik dan prediktif terhadap kejadian luaran buruk neonatus jangka pendek, dengan nilai RR masing-masing 4,05 dan 5,9. Nilai BD arteri tali pusat tidak menunjukkan kemaknaan dalam memprediksi luaran buruk neonatus jangka pendek.

Perinatal asphyxia is associated with adverse neonatal outcomes, such as poor Apgar score, the need for positive pressure ventilation and resuscitation, intraventricular hemorrhage, hypoxic ischemic encephalopathy, and the occurrence of early neonatal death. Monitoring of fetal well-being through various indirect modalities is performed to detect the risk of developing perinatal asphyxia, although cord blood gas testing is recognized as the reference method of determining neonatal acid-base status and diagnosing perinatal asphyxia. According to ACOG and AAP, fetal metabolic acidosis is confirmed if either umbilical cord artery pH ≤ 7, or a base deficit ≥ 12 mmol / L is found, but it is still unknown whether pH and BD values could be used to predict the incidence of adverse neonatal outcomes. This research was conducted at the dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital during May - August 2020 on spontaneous or caesarean deliveries with a gestational age of more than 27 weeks. The study design was a prospective cohort with 7 days monitoring period of newborns. A total of 135 subjects who met inclusion criteria were included in this study. The pH value of < 7.2015 showed good accuracy and predictive of short-term adverse outcome for both arterial and venous umbilical cord, with RR of 4.05 and 5.90 respectively. Umbilical cord BD was insignificant as short-term neonatal adverse outcomes predictor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Enky Merthana
"Pendahuluan: Saat ini tatalaksana nyeri punggung bawah yang disebabkan oleh penyakit degeneratif diskus intervertebralis berupa pemberian antinyeri, fisioterapi, akupuntur hingga dengan tindakan pembedahan berupa arthroplasti diskus atau fusi spinal yang secara definitif belum mampu memperbaiki kualitas hidup pasien dan mengurangi rasa nyeri yang dialami oleh pasien. Hal ini disebabkan terapi yang ada tidak mengatasi masalah degenerasi yang terjadi di diskus intervertebralis. Saat ini muncul terapi alternatif dengan menggunakan sel punca mesenkimal tali pusat, terapi tersebut di harapkan dapat mengatasi sumber masalah dari nyeri punggung bawah yang disebabkan oleh degenerasi diskus vertrebralis.
Material dan Metode: Penelitian ini adalah pre-pasca study pada 6 pasien usia 60th, 57th, 55th, 50th, 54th and 61th dengan penyakit degenerasi diskus intervertebralis dilakukan implantasi sel punca mesenkimal tali pusat sebanyak 107 sel/2ml NaCl 0.9% pada diskus intervertebralis. Kemudian di pantau efek samping dan efek pemberian sel punca mesenkimal berupa nyeri punggung dengan VAS, kualitas hidup dengan ODI, pemeriksaan antopometri dengan Schober Test, kekuatan sensorik dan motorik dengan menggunakan Frankel, pemeriksaan SSEP, EMG dan MRI yang di pantau pada 1, 3 dan 6 bulan. Data di uji normalitasnya dengan saphiro wilk dan di lanjutkan Analisa data dengan T berpasangan bila sebaran normal dan Wilcoxon bila sebaran tidak normal. Analisa statistik menggunakan SPSS.
Hasil: Tidak terdapat efek samping. Didapatkan hasil perbaikan secara klinik, dimana skor VAS pre dan pasca implantasi 6 bulan (p=0.026), perbaikan nilai ODI pre dan pasca implantasi 6 bulan (p=0.002). Tidak terdapat perubahan nilai schober, tidak didapatkan penurunan nilai frankel. Tidak terdapat perubahan derajat pfirrmann yang dilihat dari MRI. Dari 5 pasien terdapat perbaikan nilai EMG pada 2 pasien, namun tidak terdapat perubahan nilai SSEP.
Kesimpulan: Terapi dengan implantasi sel punca mesenkimal tali pusat dapat menjadi pilihan pengobatan nyeri pinggang bawah yang disebabkan oleh penyakit degenerasi diskus intervertebralis. Terapi ini merupakan terapi minimal invasif, dapat menghilangkan rasa sakit akibat nyeri punggung bawah dan memperbaiki kualitas hidup, serta terapi yang aman dan tetap mempertahankan biomekanik normal

Introduction: Currently the management of low back pain caused by degeneratif intervertebral disc disease is in the form of the administration of painkillers, physiotherapy, acupuncture to surgery in the form of disc arthroplasty or spinal fusion, which definitifly have not been able to improve the patient's quality of life and reduce the pain experienced by the patient. This is because the existing therapy does not solve the degeneration problem that occurs in the intervertrebral disc. Currently, alternative therapies are emerging using mesenchymal stem cells (MSC), this therapy is expected to address the source of the problem of low back pain caused by vertrebral disc degeneration.
Methods: This study is a pre-pasca study in 6 patients age 60, 57, 55, 50, 54 and 61 yo with low back pain caused by degeneration of the intervertebral discs with implantation of human umbilical cord mesenchymal stem cells 107 cell/2ml NaCl 0.9% in the intervertebral discs. Then we monitored the safety and effects of mesenchymal stem cells in the form of back pain with VAS, quality of life with ODI, anthopometric examination with scober test, sensory and motor strength using Frankel, SSEP, EMG and MRI examinations that were follow-up on 1, 3 and 6 months.
Results: There were no reports of side effects of therapy. Clinical improvement was obtained, where the pre and pasca implantation VAS scores in 6 months (p=0.026), the pre and pasca implantation ODI scores in 6 months improved (p=0.002). There was no change in the Scober value, there is no change in the Frankel value. There was no change seen from MRI with pfirrmann scale. Of the 5 patients, there was an improvement in the EMG value in 2 patients, but there was no change in the SSEP value.
Conclussion: Umbilical cord mesenchymal stem cell implantation therapy can be a treatment option for low back pain caused by intervertebral disc degeneration disease. This therapy is a minimal invasive therapy, can relieve pain due to low back pain and improve quality of life, as well as a safe therapy while maintaining normal biomechanics
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noviyanti
"Platelet rich plasma (PRP) sebagai bahan suplemen medium kriopreservasi, mengandung plasma yang merupakan bagian dari darah dan mengandung banyak sekali albumin. Albumin diketahui sebagai CPA ekstraseluler alami yang bekerja dengan cara menstabilkan membran sel yang dapat terganggu akibat kriopreservasi. Bahan suplementasi medium kriopreservasi selama ini menggunakan bahan yang berasal dari hewan. Penggunaan bahan suplementasi dari hewan telah diketahui memiliki berbagai kendala seperti tersandung dengan komunitas perlindungan hewan dan juga dapat mencetuskan reaksi immunologi jika digunakan pada manusia. Karena itu, perlu dicari alternatif lain untuk bahan suplementasi medium kriopreservasi. Penelitian ini meneliti apakah PRP dapat digunakan sebagai alternatif FBS sebagai medium kriopreservasi sel punca asal tali pusat manusia dengan menilai viabilitas, morfologi dan proliferasi sel punca pasca kriopreservasi. Penelitian diawali dengan isolasi dan propagasi sel punca asal tali pusat manusia dari satu buah tali pusat manusia yang memenuhi kriteria dengan metode eksplan. Sel punca kemudian disubkultur sampai mencapai jumlah sel yang dibutuhkan untuk kriopreservasi. Kriopreservasi sel punca dilakukan dalam delapan protokol kriopreservasi dengan variasi bahan suplemen, konsentrasi bahan suplemen dan konsentrasi sel. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara FBS dan PRP dalam mempertahankan viabilitas dan morfologi sel bahkan PRP lebih baik ketika dilihat dari ukuran dan proliferasi pasca kriopreservasi. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa PRP dapat digunakan sebagai alternatif penggunaan FBS dalam medium kriopreservasi sel punca asal tali pusat manusia.

Platelet rich plasma ( PRP ) as supplemental material cryopreservation medium , containing plasma which is part of the blood and contains a lot of albumin. Albumin is known as a natural extracellular CPA works by stabilizing cell membranes that can be disrupted by cryopreservation .One of the materials in cryopreservation medium that is used nowadays is derived from animals. Use of animal derived metarial has been known to pose various problems such as facing the animal protection community and also can trigger immunological reactions when used in humans. So it is necessary to find an alternative for animal derived material in cryopreservation medium. This study examined whether PRP could be used as an alternative to FBS as cryopreservation medium for human umbilical cord stem cells by assessing the viability, morphology and proliferation of stem cells after cryopreservation. The study began with the isolation and propagation of human umbilical cord stem cells from one human umbilical cord that meets the criteria using explant method. Stem cells then subcultured to achieve the required number of cells for cryopreservation. Cryopreservation of stem cells was done in eight cryopreservation protocols with various supplements, concentrations of the supplements, and cell concentrations. The results showed no difference between FBS and PRP in maintaining cell viability and morphology. PRP was even better when viewed from the size and proliferation of the cells after cryopreservation . In conclusion, this study shows that PRP can be used as an alternative to FBS in cryopreservation medium for human umbilical cord stem cells.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58929
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven
"Psoriasis merupakan penyakit autoimun yang disebabkan kelainan genetik dan dipicu faktor lingkungan, penyakit ini menyerang kulit dan sistemik seperti sendi dan kuku. Sel punca mesenkim (SPM) asal tali pusat manusia memiliki kapasitas proliferasi yang tinggi, imunomodulator yang luas dan imunogenitas yang rendah. Penelitian ini menggunakan model tikus psoriasis yang diinduksi dengan krim imiquimod 5% selama 6 hari. Tikus dibagi menjadi kelompok 5 kelompok yang diberi SPM atau Phosphate Nuffer Saline (PBS) secara intradermal atau subkutan serta kontrol normal. Pemberian SPM dan PBS dilakukan sebelum pengolesan krim. Penilaian harian kulit tikus dilakukan dengan skoring modified Psoriasis Area and Severity Index (mPASI). Setelah pembedahan, kulit tikus dianalisa terhadap ekspresi relatif gen Interleukin (IL)-17 dan IL-10. Sebagian kulit difiksasi dengan formalin dan dilakukan pemeriksaan histologi dan imunohistokimia dengan antibodi Anti-CD11b. Analisa statistik memperlihatkan skor mPASI kelompok SPM mengalami penurunan bermakna dibanding kelompok PBS. Ekspresi relatif gen IL-17 menurun dan gen IL-10 meningkat pada kelompok SPM dibandingkan PBS. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin memperlihatkan rerata tebal epidermis dan jumlah kapiler mengalami penurunan pada kelompok SPM dibanding PBS. Rerata jumlah infiltrasi sel CD11b+ kelompok SPM menurun secara bermakna dibandingkan PBS. Penyuntikan SPM terutama intradermal mampu menyebabkan remisi pada lesi lokal kulit psoriasis pada model tikus Wistar.

Psoriasis is a chronic inflammatory disease affecting mainly the skin and other parts such as nails and joints. Human umbilical cord-derived mesenchymal stem cells (hUC-MSCs) are highly proliferative immunomodulator cells with low immunogenicity. The Psoriasis rat model was induced with 5% imiquimod cream for 6 days. The rats were divided into 5 groups receiving intradermal or subcutaneous injections of hUC-MSCs or Phosphate Buffer Saline (PBS), and a normal control group. MSCs and PBS were administered before cream application. Daily skin assessments were performed using a modified Psoriasis Area and Severity Index (mPASI) scoring system. After harvest, rat skin was analyzed for relative expression of Interleukin (IL)-17 and IL-10 genes. Some skin samples were fixed with formalin for histological examination and immunohistochemistry with Anti-CD11b antibodies. Statistical analysis showed a significant reduction in mPASI scores in the hUC-MSCs group compared to the PBS group. Histology staining revealed a decrease in epidermal thickness and capillary in the hUC-MSCs group. The infiltration of CD11b+ cells significantly decreased in the hUC-MSCs group.  The relative gen expression of IL-17 decreased, while IL-10 gene increased in the hUC-MSCs group. Particularly, intradermal injection of hUC-MSCs induced remission of local psoriasis skin lesions in the rat model."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Martinus
"Latar belakang: Cidera saraf perifer sebagai keluaran dari post operatif hingga saat ini belum ditangani dengan maksimal. Penelitian ini ditujukan untuk menentukan potensi dari sekretom pada regenerasi cidera saraf perifer.
Metode: Cidera saraf perifer buatan dilakukan pada tikus dengan melakukan diseksi pada saraf sciatic. Evaluasi perbaikan motorik dilakukan mengunakan Sciatic Functional Index (SFI) pada minggu ke enam (SFI 1), minggu ke sembilan (SFI 2), dan minggu ke dua belas (SFI 3). Rasio berat basah antara otot gastrocnemius kanan dan kiri dibandingkan serta dilakukan histomorphometry saraf sciatic pada tiap kelompok.
Hasil: Kelompok III menunjukan SFI 1 yang lebih baik dibandingkan kelompok I (p=0.017). Kelompok I dan III menunjukan perbedaan SF2 yang signifikan dibandingkan dengan kelompok II dan IV (p<0.001). Rasio tertinggi dari otot gastrocnemius ditemukan pada kelompok I dan III, yang bernilai 0.65 ± 0.059 dan 0.67 ± 0.179 (p<0.001). Pada histomorphometry, akson termyelinisasi paling banyak ditemukan pada kelompok I dan III, yang bernilai p<0.001.
Kesimpulan: Sekretom sel punca mesenkimal korda umbilikalis dapat digunakan sebagai terapi baru untuk menggantikan autograf pada penanganan kerusakan saraf perifer.

Background: Currently, the post-surgical outcome of peripheral nerve injury has not been optimal. The purpose of this research is to determine the potency of secretome in peripheral nerve injury regeneration.
Method: The mice had artificially-induced peripheral nerve injury, which was created by dissecting the sciatic nerve. Sciatic Functional Index (SFI) was used to evaluate the motoric recovery on week six (SFI 1), week nine (SFI 2), and week twelve (SFI 3). The mice was sacrificed on week twelve. The wet mass ratios of the right and left gastrocnemius muscle were compared, then the sciatic nerve histomorphometry evaluation was performed on each group.
Results: Group III showed a better SFI 1 result than Group I (p=0.017). Group I and III showed significantly better SFI 2 than group II and IV (p<0.001). The highest ratio of gastrocnemius muscle was found in group I and III, which were 0.65 ± 0.059 and 0.67 ± 0.179 (p<0.001). On histomorphometry, the highest number of myelinated axons were found in group I and III, which were p<0.001.
Conclusion: Umbilical cord mesenchymal stem cell secretome can be used as a new therapy to replace the autograft in peripheral nerve defect management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adly Nanda Al Fattah
"Latar Belakang: Defisiensi vitamin D berhubungan dengan berbagai luaran kehamilan yang tidak baik seperti pre-eklamsia, diabetes melitus gestasional, bayi berat lahir rendah, dan kelahiran preterm. Vitamin D diduga berperan dalam patofisiologi terjadinya kelahiran preterm melalui mekanisme penekanan mediator inflamasi. 

Tujuan: Penelitian ini bertujuan membandingkan kadar 25 (OH) D serum ibu dan tali pusat pada kelahiran preterm dan cukup bulan. Selain itu juga dicarikorelasi antara kadar 25 (OH) D serum ibu dengan tali pusat.

Metode: Pada penelitian ini digunakan desain potong-lintang. Penelitian dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RS Budi Kemuliaan Jakarta, mulai dari Januari 2017 sampai dengan Februari 2018. Kadar 25 (OH) D ibu dan tali pusat dibandingkan antara kelompok cukup bulan dan preterm.
Hasil: Didapatkan 81 subjek yang dapat dilakukan analisis, yaitu 36 subjek (44,4%) melahirkan cukup bulan dan 45 (55,6%) preterm. Median 25 (OH) D maternal pada kelompok preterm dan cukup bulan berturut-turut 15 ng/mL dan 13,95ng/mL, sedangkan tali pusat 13 ng/ml dan 11,85 ng/ml.Tidak terdapat perbedaan kadar 25 (OH) D serum maternal (p=0,96) dan tali pusat (p=0,80) antara kedua kelompok. Terdapat korelasi positif antara kadar 25(OH) ibu dengan tali pusat (r=0,59, p<0,001 untuk kelompok cukup bulan dan r=0,44, p<0,002 untuk kelompok preterm).
Kesimpulan: Kadar 25 (OH) D serum ibu dan tali pusat tidak berbeda bermakna antara kelompok kelahiran preterm dancukup bulan. Terdapat korelasi antara kadar 25 (OH) D ibu dengan tali pusat.

Background: Vitamin D deficiency is associated with poor outcomes of pregnancy such as pre-eclampsia, gestational diabetes mellitus, low birth weight infants, and preterm birth. Vitamin D is thought to play a role in the pathophysiology of preterm deliveries through the mechanism of inflammatory mediator suppression.
Objective: To compare maternal and umbilical serum 25 (OH) D levels between preterm and aterm deliveries group. In addition, the correlation between maternal and umbilical cord serum of 25 (OH) D were analyzed.
Method: This cross-sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital and Budi Kemuliaan Hospital Jakarta from January 2017 to February 2018. Pre-delivery maternal venous blood and umbilical cord vitamin D serum levels were measured for both of term and preterm deliveries group.
Result: Eighty one subjects were eligible for analysis, 36 subjects (44.4%) delivered term babies and 45 (55.6%) delivered preterm babies. Median level of maternal serum 25 (OH) D were resepectively 15 ng/mL and 13.95 ng/mL for preterm and term group. Umbilical cord serum 25 (OH) D levels were respectively 13 ng/ml and 11.85 ng/ml for preterm and term group. There was no statistically difference between pereterm and term group of both maternal and umbilical serum 25 (OH) D levels (respectively p = 0.96, p = 0.80). There was a positive correlation between the maternal and umbilical 25 (OH) D levels in both groups (r = 0.59, p <0.001 for term group and r = 0.44, p <0.002 for preterm group).
Conclusions: Maternal and umbilical serum 25 (OH) D levels were not significantly different between term and preterm groups. There was a correlation between maternal and umbilical serum levels of 25 (OH) D."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Asysyifa
"COVID-19 menunjukkan berbagai manifestasi klinis dengan tingkat keparahan berkaitan dengan peningkatan mediator inflamasi yang tidak terkendali. Sebagai terapi potensial COVID-19, penelitian tentang efek imunomodulator SPM telah berlangsung. Penggunaan sekretom SPM memiliki kelebihan daripada penggunaan SPM itu sendiri. Namun demikian, mekanisme dimana sekretom memberikan efek imunomodulatornya sebagai agen terapeutik untuk COVID-19 masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan untuk menilai apakah komponen sekretom SPM-TP mampu mengubah karakteristik inflamatorik dari sel-sel imun dengan melakukan studi in vitro dari inkubasi darah lengkap dengan sekretom yang kemudian dipaparkan dengan LPS yang merupakan agen inflamasi kuat. Sebanyak 12 sampel darah subjek COVID-19 dan sehat dikultur ke dalam  tiga kelompok (kelompok kontrol RPMI, kelompok sekretom 3μl, dan 9μl) yang diinkubasi selama 24 jam, kemudian dipaparkan LPS dan diinkubasi selama 48 jam. Supernatan kultur sebelum dan setelah paparan LPS dipanen dan diukur kadar sIL-6R, sgp130, IL-1RA, IL-6, TNF-α, IFN-γ dan IL-10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan LPS meningkatkan produksi IL-6, TNF-α, dan IL-10 dan menurunkan produksi  sIL-6R, dan sgp130, sedangkan IFN-γ tidak mengalami perubahan pada kultur darah yang telah diinkubasi dengan sekretom SPM-TP. Analisis rasio post-LPS/pre-LPS dilakukan untuk menyelidiki potensi antiinflamasi sekretom dan ditemukan sekretom SPM-TP ini memberikan efek antiinflamasinya melalui peran IL-1RA.

COVID-19. However, the precise mechanism by which the secretome exerts its therapeutic effect on COVID-19 remains unclear. This study aims to investigate whether the components of the UC-MSC-derived secretome can alter the inflammatory characteristics of immune cells. To achieve this, an in vitro study will be conducted involving co-incubation of whole blood with secretomes, followed by LPS stimulation. A total of 12 blood samples from severe COVID-19 and healthy subjects were cultured into three groups (RPMI control group, 3μl and 9μl secretome group) incubated for 24 hours. Then, the cultures were exposed to LPS for 48 hours. The levels of sIL-6R, sgp130, IL-1RA, IL-6, TNF-α, IFN-γ, and IL-10 were measured. Results showed that LPS increased IL-6, TNF-α, and IL-10 production, while reducing sIL-6R, and sgp130, but no changes seen in IFN-γ in secretome-incubated blood cultures. The post-LPS/pre-LPS ratio analysis was conducted to investigate the anti-inflammatory potential of secretome. It was found that the secretome provides its anti-inflammatory effects through the role of IL-1RA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yausep, Oliver Emmanuel
"Pendahuluan: Sel induk baru-baru ini menjadi topik yang menarik karena kemampuan mereka untuk memperbarui diri dan keserbagunaan, meringankan penyakit mulai dari gangguan graft versus inang sampai sirosis hati. Sayangnya, masalah administrasi dan teknis yang ditemui dalam pengaturan klinis dapat menunda pemberian sel punca. Ini membutuhkan mode penyimpanan sementara untuk sel-sel induk yang tidak hanya akan mempertahankan sel-sel induk, tetapi juga memungkinkan mereka untuk mempertahankan kualitasnya. Studi ini, mengevaluasi saline fisiologis sebagai solusi untuk menangguhkan bagian 9 sel induk mesenkim yang berasal dari tali pusat manusia (hUC-MSCs).
Metode: Parameter yang dinilai dalam hal ini studi akan viabilitas dan kapasitas proliferatif (diukur dalam PDT) dari hUC-MSCs dalam suspensi lebih dari 168 jam, dengan 4 pembacaan diambil pada setiap 0, 3, 6, 24, 48, 72, 96, dan 168 jam. Analisis statistik dari data yang dikumpulkan dilakukan untuk membandingkan data dengan baseline.
Hasil: MSC ditangguhkan dalam viabilitas retensi garam> 70% hingga 96 jam. Analisis statistik menghasilkan perbedaan yang signifikan dengan baseline dari 24 jam dan seterusnya untuk viabilitas dan 6 jam untuk PDT. Ini berarti bahwa MSC sudah mulai kehilangan kapasitas proliferasi dari 6 jam.
Kesimpulan: Kesimpulannya, hUC-MSCs hanya dapat disimpan selama <6 jam dalam larutan garam untuk kualitas optimal. Namun, kesimpulan ini tidak cukup untuk mendukung klinis pedoman sebagai sel induk memiliki sifat-sifat lain seperti imunosupresif, diferensiasi dan kapasitas sekresi faktor yang menentukan potensinya dan ini juga harus dievaluasi sehubungan dengan suspensi dalam saline.

Introduction: Stem cells have recently been a topic of interest due to their ability to self renew and versatility, alleviating diseases ranging from graft versus host disorder to liver cirrhosis. Unfortunately, administrative and technical issues encountered in clinical settings may delay the administration of stem cells. This calls for a temporary mode of storage for stem cells that will not only preserve the stem cells, but also allow them to retain their quality. This study, evaluates physiologic saline as a solution to suspend passage 9 human umbilical cord-derived mesenchymal stem cells (hUC-MSCs).
Methods: The parameters assessed in this study will be viability and proliferative capacity (measured in PDT) of hUC-MSCs in suspension over 168 hours, with 4 readings taken at each 0, 3, 6, 24, 48, 72, 96, and 168 hours. Statistical analysis of collected data is done to compare data to baseline.
Results: The MSCs suspended in saline retained viability >70% for up to 96 hours. Statistical analysis yielded significant difference with baseline from 24 hours onwards for viability and 6 hours for PDT. This means that the MSCs have started losing proliferative capacity from 6 hours.
Conclusion: In conclusion, hUC-MSCs can only be stored for <6 hours in saline for optimum quality. However, this conclusion is insufficient to support a clinical guideline as stem cells have other properties such as immunosuppressive, differentiation and factor secretion capacities that determine their potencies and these should also be evaluated with respect to suspension in saline.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>