Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Wicaksono
"Pendahuluan Transplantasi ginjal menawarkan kualitas hidup dan tingkat sintasan yang lebih baik bagi pasien dengan gagal ginjal stadium akhir. Namun, disfungsi berkemih dapat mengakibatkan penurunan kapasitas kandung kemih pada pasien yang memiliki riwayat oliguria atau anuria preoperatif yang berkepanjangan. Hal ini memengaruhi secara negatif kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki faktor praoperasi yang terkait dengan terjadinya disfungsi berkemih setelah transplantasi ginjal.
Metode Sebanyak 71 pasien yang telah menjalani transplantasi ginjal yang berhasil di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Jakarta dijaring sebagai subjek. Karakteristik praoperatif di antaranya usia, jenis kelamin, riwayat hipertensi, diabetes melitus, riwayat anuria praoperatif, dan durasi terapi substitusi ginjal dijaring dan diolah. Analisis multivariat dilakukan untuk menemukan korelasi karakteristik praoperatif dengan kejadian disfungsi berkemih pasca operasi yang diukur dengan skor International prostate symptom score storage (IPSS-s) sub-skor > 5, skor overactive bladder symptom score (OABSS) > 5, laju aliran maksimum (Qmax) > 15 mL/detik, dan volume residual pascakemih (PVR) > 50 mL.
Hasil Tampak adanya korelasi signifikan skor IPSS-s yang mengindikasikan masalah pada fase filling dengan durasi dialisis praoperatif (rasio odds [OR] 1,052; interval kepercayaan 95% [CI] 1,006-1,1001, P 1⁄4 ,027). Usia yang lebih tua dan anuria preoperatif berkorelasi positif dengan skor OABSS > 5 (OR 1,104 dan 33,567, p-value 0,004 dan 0,002, secara berturut-turut). Korelasi negatif diamati antara jenis kelamin laki-laki dan Qmax > 15 mL/s (OR 1,73; 95% CI 0,033-1,907, P 1/4 ,038). Jenis kelamin laki-laki berkorelasi negatif dengan kejadian PVR > 50 mL (OR 0,231; P 1/4 ,043) tetapi berkorelasi positif dengan adanya riwayat diabetes melitus (OR 8,146; 95% CI 1,548-42,864, P 1/4 ,013). Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa penilaian usia pasien, jenis kelamin, dan riwayat medis masa lalu dapat membantu klinisi menentukan risiko pasien dalam memprediksi terjadinya disfungsi berkemih setelah transplantasi ginjal.

Introduction Renal transplantation offers a better quality of life and survival rate for patients with end-stage renal disease. However, voiding dysfunction may have results such as decreased bladder capacity that have been observed in patients with prolonged oliguria or anuria, impacting a patient’s quality of life. This study aimed to investigate preoperative factors associated with the occurrence of voiding dysfunction after renal transplantation Methods Seventy-one patients’ data who had undergone successful renal transplantation at Cipto Mangunkusumo General Hospital in Jakarta were collected. Preoperative characteristics including age, sex, history of hypertension, diabetes mellitus, preoperative anuria, and duration of renal substitution therapy were obtained. Multivariate analysis were performed examining the correlation of preoperative characteristics with postoperative voiding dysfunction measured by International Prostate Symptom Score storage (IPSS-s) sub-score > 5, overactive bladder symptom score (OABSS) > 5, maximum flow rate (Qmax) > 15 mL/cc, and postvoid residual volume (PVR) > 50 mL.
Results A significant correlation of IPSS-s score suggesting storage problem with duration of preoperative dialysis was observed (odds ratio [OR] 1.052; 95% confidence interval [CI] 1.006-1.1001, P 1⁄4 .027). Older age and preoperative anuria were positively correlated with OABSS score > 5 (OR 1.104 and 33.567, P value .004 and .002, respectively). Negative correlation was observed between male sex and Qmax > 15mL/s (OR 1.73; 95% CI 0.033-1.907, P 1⁄4 .038). Male sex was negatively correlated with PVR > 50 mL (OR 0.231; P 1⁄4 .043) but positively correlated with the presence history of diabetes mellitus (OR 8.146; 95% CI 1.548-42.864, P 1⁄4 .013).
Conclusion This study demonstrated that assessment of patient age, sex, and past medical history could help determine patients’ risk for developing voiding dysfunction after renal transplantation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irham Arif Rahman
"Latar Belakang: Disfungsi ereksi (DE) adalah salah satu penyakit sering ditemukan pada mereka yang menderita penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Meskipun transplantasi ginjal memperbaiki masalah ini pada beberapa pasien, sebanyak 20 hingga 50% penerimanya terus menderita DE. Sampai saat ini, literatur mengenai efek transplantasi ginjal terhadap DE masih kontroversial. Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa pasien mendapatkan kembali fungsi ereksi setelah transplantasi ginjal, sedangkan penelitian lain menunjukkan efek minimal transplantasi terhadap status DE. Kami melakukan tinjauan sistematis untuk merangkum efek transplantasi ginjal terhadap status DE.
Metode: Pencarian literatur sistematis di PubMed, Cochrane, dan Scopus, dilakukan pada bulan April 2020 dengan menggunakan kata bebas dan istilah MeSH. Kami memasukkan semua penelitian prospektif yang menyelidiki skor IIEF sebelum dan sesudah transplantasi pada penerima transplantasi ginjal dengan DE.
Hasil: Pencarian database awal di PubMed dan Google Scholar menghasilkan 4.052 makalah. 42 makalah dipertimbangkan untuk analisis teks lengkap. Dari 42 teks lengkap yang dicari, empat diantaranya dimasukkan dalam tinjauan sistematis. Sebanyak 152 dari 230 subjek menunjukkan peningkatan fungsi ereksi melalui skor IIEF-5 setelah transplantasi ginjal. Meta-analisis yang dilakukan terhadap skor IIEF dan kadar Testosteron menunjukkan perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah transplantasi.
Kesimpulan: Temuan kami telah mengkonfirmasi bahwa transplantasi ginjal meningkatkan fungsi ereksi. Dengan demikian, peningkatan signifikan dalam skor testosteron dan IIEF pasca transplantasi terbukti secara statistik dalam penelitian ini. Namun, karena jumlah penelitian yang ada terbatas, bukti yang ada pun terbatas. Penelitian lebih lanjut dengan metodologi yang lebih baik dan ukuran sampel yang lebih besar diperlukan untuk menyelidiki pengaruh transplantasi ginjal pada fungsi ereksi.

Introduction: Erectile dysfunction (ED) is a major health burden worldwide frequently found in those with end-stage renal disease (ESRD) Although renal transplant improves the problem in some patients, as many as 20 to 50% of recipients continue to suffer ED. To this date, literature regarding the effect of kidney transplantation on ED has been contradictory. Majority of studies have shown that patients regain erectile function following renal transplant, whereas other studies showed minimal effect of transplantation on the status of ED.1,2 We did a systematic review to summarize the effects of kidney transplantation on the status of ED.
Methods: A systematic literature search on PubMed, Cochrane, and Scopus, were carried out in April 2020 by using both free words and MeSH terms. We included all prospective studies investigating the pre- and post-transplant IIEF scores of renal transplant recipients with ED.
Results: The initial database search on PubMed and Google Scholar produced 4,052 papers. 42 papers were considered for full-text analysis. Out of 42 full texts sought, four were included in the systematic review. A total of 152 out of 230 subjects showed improvement of erectile function by means of IIEF-5 score after renal transplantation. Meta-analysis performed on IIEF score and Testosterone level show significant differences pre and post-transplantation.
Conclusion: Our findings have confirmed that renal transplantation improves erectile function. Thus, significant improvement in testosterone and IIEF score post- transplantation were proven statistically in this study. However, as there were only a limited number of studies, the evidence is limited. Further studies with better methodology and larger sample size are needed to investigate the effect of renal transplantation on erectile function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Senohadi Boentoro
"Pendahuluan dan tujuan: Pembedahan laparoskopi telah diakui dapat mengurangi tingkat morbiditas sehingga meningkatkan keselamatan pasien. Saat tindakan LLDN, komplikasi yang paling sering adalah cedera pembuluh darah ginjal, yang sering membutuhkan transfusi darah. Selain perlunya transfusi darah, pendarahan berat yang disebabkan oleh cedera pembuluh ginjal membutuhkan konversi dan perbaikan terbuka. Dengan demikian, penelitian ini ingin mendeskripsikan dan menganalisis kebutuhan transfusi darah dalam operasi laparoscopic living donor nephrectomy di pusat kami.
Bahan dan metode:  Studi kohort retrospektif ini dilakukan di Departemen Urologi di Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo. Rekam medis semua pasien donor ginjal yang menjalani prosedur LLDN di institusi kami dari November 2011 hingga Oktober 2017 ditinjau. Data termasuk usia donor, kadar hemoglobin sebelum operasi, kadar hemoglobin pasca operasi, jumlah pendarahan intraoperatif, jumlah arteri renalis, jumlah vena renalis, sisi donor, konversi ke operasi terbuka, durasi operasi, dan BMI donor dikumpulkan dan dianalisis. Data-data ini selanjutnya dikorelasikan dengan tingkat transfusi.
Hasil: Terdapat 500 pasien yang menjalani tindakan laparoscopic living donor nephrectomy di institusi kami. Semua pasien menjalani prosedur LLDN dengan pendekatan transperitoneal. Perbedaan proporsi tingkat transfusi darah antara pasien pria 0,9% dibandingkan dengan 0,6% pada pasien wanita tidaklah signifikan (p=0,782). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam proporsi tingkat transfusi darah dengan sisi ginjal (p=0,494), jumlah arteri (p=0,362), usia (p=0,978), BMI (p=0,569), dan kadar hemoglobin sebelum operasi (p=0,766). Median perkiraan jumlah pendarahan pada pasien yang menerima transfusi darah intraoperatif secara signifikan lebih besar daripada pasien yang tidak menerima transfusi darah (p <0,001).
Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini, kami menyarankan bahwa di institusi kami, penggunaan produk darah pra operasi tidak selalu diperlukan. Kurva pembelajaran dan teknik ahli bedah memiliki peran penting dalam mencegah komplikasi intraoperatif dan kehilangan darah.

Introduction and objectives: Laparoscopic surgery has been acknowledged to reduce the morbidity rate thus improving patient safety. During the LLDN, the most frequent complication is renal vessels injuries, which often requires a blood transfusion. Besides the need for a blood transfusion, major bleeding caused by renal vessels injuries require open conversion and repair. Thus, this study would like to descript and analyze the need for blood transfusion in laparoscopic living donor nephrectomy surgery in our center.
Materials and methods: We performed a retrospective cohort study in the Department of Urology at Cipto Mangunkusumo National Hospital. The records of all kidney transplantation donor patients who underwent LLDN procedures carried out at our institution from November 2011 to October 2017 were reviewed. Data including donor age, preoperative hemoglobin level, postoperative hemoglobin level, intraoperative bleeding, number of artery(ies), number of vein(s), donor side, conversion to open surgery, surgery duration, and donor BMI were collected and analyzed. These data were further correlated with transfusion rate.
Results: There were 500 patients underwent laparoscopic living donor nephrectomy procedure at our institution. All of the patients had LLDN with a transperitoneal approach. The difference in blood transfusion rate proportion between male patients with 0.9% compared to 0.6% in female patients was not significant (p=0.782). There are no significant difference in blood transfusion rate proportion regarding to renal side (p=0.494), number of artery (p=0.362), age (p=0.978), BMI (p=0.569), and preoperative hemoglobin (p=0.766). Median estimated blood loss in patients who received intraoperative blood transfusion was significantly much greater than in patients who did not receive a blood transfusion (p<0.001).
Conclusion: Based on this study, we suggest that in our institution, preoperative blood products are not necessarily needed. The surgeon's learning curve and technique play a significant role in preventing intraoperative complications and blood loss."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library