Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aqila Naridipta Anindyahapsari
"Latar Belakang. Nyeri pascabedah adalah masalah utama pascalaparotimi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pascabedah. Derajat nyeri pascalaparotomi dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya jenis pendekatan laparotomi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menilai perbandingan derajat nyeri pascalaparotomi digestif di atas umbilikus dan ginekologi yang mendapat analgesia kombinasi intravena dan epidural. Metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap 34 pasien wanita yang menjalani laparotomi digestif atas dan 34 pasien laparotomi ginekologi yang berusia 18 hingga 65 tahun dengan klasifikasi ASA I hingga III di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2022 hingga Juli 2023. Data pasien dipilih secara konsekutif dari rekam medik rumah sakit. Pasien dengan data yang tidak lengkap dan komplikasi pascabedah yang serius dikecualikan dari penelitian. Data kemudian diolah menggunakan SPSS dan dianalisis dengan uji Mann- Whitney. Hasil. Rata-rata derajat nyeri pasca bedah sewaktu beristirahat pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus yaitu sebesar 2.09 ± 0.9 dan 2.53 ± 1.187 pada laparotomi ginekologi. Sedangkan derajat nyeri sewaktu bergerak pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus sebesar 3.82 ± 1.242 dan 3.12 ± 0.046 pada pasien yang menjalani laparatomi ginekologi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan derajat nyeri pascabedah laparatomi sewaktu bergerak ( p =0.016). Derajat nyeri sewaktu istirahat laparatomi digestif di atas umbilikus dengan pasien laparatomi ginekologi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. (p 0.098). Kesimpulan. Dengan pemberian kombinasi analgesia epidural dengan analgetik intravena, derajat nyeri pascabedah sewaktu bergerak pada laparotomi digestif di atas umbilikus lebih tinggi signifikan dibandingkan laparatomi ginekologi meskipun secara klinis tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan signifikan derajat nyeri pada waktu istirahat pada kedua jenis pembedahan.

Introduction. Postoperative pain can lead to serious complications. The intensity of postoperative pain is influenced by numerous factors, such as type of laparatomy. Multimodal analgesia is recommended to manage postlaparatomy pain. This study aims to compare the intensity of post digestive and gynecology laparatomy pain in patients with intravenous and epidural analgesia. Method. This study is conducted using retrospective cohort method approach on 34 female patients underwent upper digestive laparatomy and 34 female patients underwent gynecology laparatomy, aged 18 to 65, classified as ASA I -- III in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2022 to July 2023. Patient data was consecutively selected from hospital’s medical records. Patient with incomplete data and severe postoperative complications were excluded from the study. The data was then analyzed using SPSS and the analysis were tested using the Mann-Whitney. Results. The mean of postoperative pain at rest in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 2.09 ± 0.9 , and 2.53 ± 1.187 in gynecologic laparotomy. Meanwhile, the mean of postoperative pain during movement in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 3.82 ± 1.242 and 3.12 ± 0.946 for gynecologic laparatomy. There is statistically significant difference in the comparison of postoperative pain levels during movement with a p value of 0.016. There is no significant difference in postoperative pain levels at rest between patients undergoing digestive laparotomy upper umbilicus and gynecologic laparotomy patients with p value of 0.098. Conclusion. The degree of postoperative pain during movement is statisically significant but not clinically important in digestive laparatomy upper umbilicus compared to gynecologic laparotomy when given the combination of intravenous and epidural analgetics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Loviana Roza
"Latar Belakang: Prevalensi nyeri pascabedah di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2017 menunjukkan intensitas nyeri sedang (57,4%) dan nyeri berat (20,4%). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor prediktor nyeri pascabedah sedang dan berat, menganalisis hubungan, dan mengembangkan model prediksi nyeri pascabedah sedang dan berat. Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 135 pasien yang menjalani pembedahan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi. Setiap faktor prediktor dianalisis menggunakan analisis bivariat dan dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Sistem skor prediksi dirangkum dari hasil analisis multivariat.
Hasil: Risiko kejadian (RR) untuk setiap faktor prediktor yang diidentifikasi berdasarkan analisis bivariat adalah: tingkat kecemasan prabedah (RR: 3,32, 95% CI: 1,28 – 8,56), durasi pembedahan lebih dari 90 menit (RR: 7,23, 95% CI: 1,85 – 28,29), jenis pembedahan mayor (RR: 2,69, 95% CI: 1,58 – 4,57), konsumsi opioid intraoperatif (RR: 2,67, 95% CI: 1,68 – 4,25), dan jenis anestesi (RR: 2,37, 95% CI: 1,06 – 5,33). Analisis multivariat menunjukkan bahwa prediktor signifikan untuk nyeri pascabedah sedang hingga berat adalah tingkat kecemasan prabedah (p = 0,085, RR: 2,23, 95% CI: 0,87 – 5,54), durasi pembedahan (p = 0,056, RR: 3,92, 95% CI: 0,96 – 15,96), jenis pembedahan mayor (p = 0,061, RR: 1,63, 95% CI: 0,97 – 2,72), dan konsumsi opioid intraoperatif (p = 0,011, RR: 1,78, 95% CI: 1,14 – 2,78). Kesimpulan: Faktor prediktor nyeri pascabedah pada penelitian ini adalah tingkat kecemasan prabedah, jenis pembedahan, durasi pembedahan, dan konsumsi opioid intraoperatif. Persamaan regresi disusun berdasarkan empat faktor prediktor tersebut.

Background: The prevalence of postoperative pain at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in 2017 showed moderate pain intensity (57.4%) and severe pain (20.4%). This study aims to determine predictors of moderate and severe postoperative pain, analyze relationships, and develop a prediction model for moderate and severe postoperative pain. Methods: This study used a prospective cohort design on 135 patients undergoing surgery at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo who met the inclusion criteria. Each predictor factor was analyzed using bivariate analysis followed by multivariate analysis using logistic regression. The prediction score system was summarized from the results of the multivariate analysis. Results: The risk ratio (RR) for each predictor identified from bivariate analysis were: preoperative anxiety level (RR: 3.32, 95% CI: 1.28 – 8.56), surgery duration over 90 minutes (RR: 7.23, 95% CI: 1.85 – 28.29), major surgery (RR: 2.69, 95% CI: 1.58 – 4.57), intraoperative opioid consumption (RR: 2.67, 95% CI: 1.68 – 4.25), and type of anesthesia (RR: 2.37, 95% CI: 1.06 – 5.33). Multivariate analysis showed that significant predictors for moderate to severe postoperative pain were preoperative anxiety level (p = 0.085, RR: 2.23, 95% CI: 0.87 – 5.54), surgery duration (p = 0.056, RR: 3.92, 95% CI: 0.96 – 15.96), major surgery (p = 0.061, RR: 1.63, 95% CI: 0.97 – 2.72), and intraoperative opioid consumption (p = 0.011, RR: 1.78, 95% CI: 1.14 – 2.78). Conclusion: Predictors of postoperative pain in this study are preoperative anxiety level, type of surgery, surgery duration, and intraoperative opioid consumption. The regression equation is based on these four predictor factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Marfungatun Mudrikah
"ABSTRAK
Apendisitis merupakan salah satu kondisi bedah paling umum yang menyerang anak-anak dan orang dewasa. Insiden kejadian apendisitis menjadi fenomena yang perlu segera ditangani. Salah satu penatalaksanaan dari kasus apendisitis adalah appendiktomi. Masalah utama yang muncul pada pasien post appendiktomi adalah nyeri akut karena adanya luka operasi. Manajemen nyeri pasca operasi pada pasien anak diperlukan peran penting perawat dalam melakukan penilaian dan manajemen nyeri pasca operasi. Karya ilimiah ini bertujuan untuk menganalisis asuhan keperawatan pada pasien dengan nyeri post appendiktomi dengan penerapan teknik effleurage. Hasil penerapan teknik effleurage yang dilakukan pada klien dengan post appendiktomi dapat meningkatkan rasa nyaman dan mengurangi nyeri yang dirasakan oleh klien. Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan menjadi salah satu evidence yang dikembangkan bagi penyedia pelayanan kesehatan mengenai penerapan teknik effleurage pada pasien anak dengan nyeri post appendiktomi.

ABSTRACT
Appendicitis is one of the most common surgical conditions that occur in children and adults. The incidence of appendicitis is the phenomenon that needs to be addressed immediately. One of the management of appendix is appendectomy. The main problem that arises in the patients postoperative appendectomy is acute pain due to surgical injuries. Postoperative pain management in child patients is required the important role of nurses in conducting assessment and management of postoperative pain. This scientific work aims to analyze nursing care in patients with pain postoperative appendectomy using application of effleurage technique. The results of the application of effleurage techniques performed on the client with post appendectomy can increase the sense of comfort and reduce the pain felt by the client. This scientific work is expected to increase knowledge and become one of the evidence developed for healthcare providers regarding the application of effleurage techniques in child patients with pain postoperative appendectomy.
"
2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Immaculata Astrid Budiman
"ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal masih menjadi hal yang mengganggu bagi sebagian besar pasien. Nyeri pascaoperasi ini dapat diatasi dengan berbagai cara, salah satunya dengan penggunaan anestetik lokal. Obat anestetik lokal yang sering digunakan sebagai analgesia pascaoperasi mata adalah bupivakain 0,5 . Teknik penggunaan anestetik lokal sebagai analgesia pascaoperasi mata pun beragam, salah satunya adalah subkonjungtiva. Minimnya resiko dan komplikasi teknik ini bisa menjadi pilihan yang baik dibandingkan teknik lainnya. Penelitian ini secara umum ingin mengetahui efektivitas bupivakain 0,5 subkonjungtiva sebagai analgesia pascaoperasi minyak silikon intravitreal.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis pada pasien yang akan menjalani operasi evakuasi minyak silikon intravitreal terencana di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent sebanyak 30 subjek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Oktober 2016 ndash; Februari 2017. Pasien langsung dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok bupivakain B dan kelompok NaCl 0,9 NS , sesuai hasil randomisasi. Kelompok B akan diberikan bupivakain 0,5 subkonjungtiva pada akhir operasi, sedangkan kelompok NS mendapatkan NaCl 0,9 subkonjungtiva pada akhir operasi. Kedua kelompok juga mendapatkan parasetamol 20 mg/kgBB intravena pada akhir operasi. Data yang diperoleh adalah nilai Visual Analgoue Scale VAS , saat pertama kebutuhan analgesia dan angka kejadian mual-muntah selama 24 jam pertama pascaoperasi. Dengan menggunakan SPSS 21 dilakukan uji Anova for repeated measure untuk membandingkan rerata derajat nyeri 24 jam pascaoperasi antara kedua kelompok. Uji Fischer digunakan untuk mengetahui perbandingan saat pertama kebutuhan analgesia tambahan antara kedua kelompok. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna rerata derajat nyeri 24 jam pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal antara kelompok B dan kelompok NS dengan nilai p=0,001. Terdapat perbedaan bermakna antara saat pertama kebutuhan analgesia tambahan antara kedua kelompok dengan p=0,042. Insiden mual-muntah hanya terjadi pada kelompok NS dengan proporsi mual 6 dan proporsi muntah 3 .Simpulan: Bupivakain 0,5 subkonjungtiva efektif sebagai analgesia pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal. Kata Kunci: analgesia pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal, bupivakain 0,5 subkonjungtiva

ABSTRACT
Background Intravitreal silicon oil removal surgery can cause mild moderate postoperative pain and discomfort in most patients. Postoperative pain can be managed by using many methods, including local anesthetic drug. One of the common local anesthetic drugs is bupivacaine 0,5 . The application techniques also vary, such as subconjungtival application.It was a good alternative for postoperative analgesia in the ophtalmic surgery because its minimal risks and complications. The purpose of this research was to measure the effectiveness of subconjunctival bupivacaine 0,5 as postoperative analgesia in silicon oil removal surgery.Method This was a double blind randomized clinical study in patients undergoing elective intravitreal silicon oil removal surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital. Thirty consecutive patients, enrolled from October 2016 ndash February 2017, were randomized to receive subconjunctival bupivacaine 0,5 or subconjunctival placebo NaCl 0,9 at the end of the surgery. The primary outcome was the pain score 24 hours after surgery, using a 100 mm Visual Analogue Scale VAS . Intraveous injection of tramadol 50 mg were given if the VAS 4. Secondary outcomes were the time to first analgesic requirement and the incidence of nausea vomiting. Statistical analysis was conducted to measure the difference between 24h pain score in the bupivacaine group compare to placebo group group NS .Result The overall 24 hours postoperative pain score was significantly different between the bupivacaine group compare to placebo group, p 0,001. In 24 hours postoperative there were only five samples need additional analgesia in the placebo group. The time to first analgesic requirement was significantly different between the two group, p 0,042. Nausea ndash vomiting only happened in the placebo group with proportion 6 and 3 respectively.Conclusion Subconjunctival bupivacaine 0,5 was effective as postoperative analgesia in intravitreal silicon oil removal surgery. Keywords postoperative analgesia, intravitreal silicon oil removal surgey, subconjunctival bupivacaine"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nismara Datyani
"Latar Belakang Nyeri merupakan salah satu gejala yang paling banyak dirasakan pasien sesudah menjalani operasi. Sebanyak lebih dari 80% pasien melaporkan nyeri akut pascabedah. Nyeri akut pascabedah dipengaruhi oleh banyak faktor preoperatif seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas, tingkat pendidikan, jenis analgesia, nyeri prabedah, dan jenis pembedahan. Maka dari itu, peneliti ingin menginvestigasi faktor-faktor yang memengaruhi derajat nyeri akut pascabedah elektif pada pasien dewasa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Metode Penelitian kohort retrospektif dilakukan dengan mengambil rekam medis pada bulan 15 Juni—14 Juli 2022. Didapatkan sejumlah 137 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data rekam medis dianalisis dengan uji Chi-square untuk melihat hubungannya. Hasil Faktor preoperatif yaitu jenis analgesia dan nyeri prabedah bermakna signifikan secara statistik terhadap derajat nyeri akut 24 jam pascabedah (p<0,05). Faktor lain seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas, dan tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan bermakna yang signifikan terhadap derajat nyeri akut 24 jam pasacabedah (p>0,05). Kesimpulan Faktor preoperatif seperti jenis analgesia dan nyeri prabedah mampu memengaruhi derajat nyeri akut 24 jam pascabedah elektif pada pasien dewasa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Introduction Pain is one of most common symptoms experienced by patients after undergoing surgery. More than 80% of patients report acute postoperative pain. Acute postoperative pain if influenced by many preoperative factors, such as age, gender, comorbidities, education level, type of analgesia, preoperative pain, and types of surgery. Therefore in this study, researcher wants to investigate the factors that influence the degree of acute postoperative pain after elective surgery in adult patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkosomo. Methods A retrospective cohort study was conducted by taking medical records from 15 June to 14 July 2022. A total of 137 samples that met the inclusion and exclusion criterias were obtained. Medical records data was analyzed using the Chi-square test to see the relationship between factors and acute postoperative pain. Results Preopetaive factors, such as the type of analgesia and preoperative pain, were statistically significant on the degree of acute pain 24 hourse after surgery (p<0,05). Other factors such as age, gender, comorbidities, and education level do not have a significant relationship to the degree of acute pain 24 hours after surgery (p>0,05). Conclusion Preoperative factors such as the type of analgesia and preoperative pain can influence the degree of acute pain 24 hours after elective surgery in adult patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Kurniawan
"Pendahuluan: Laparoskopi memiliki risiko intraoperatif dan pascaoperasi, termasuk instabilitas hemodinamik dan nyeri pascaoperasi. Anestesi umum sering digunakan untuk operasi ini, namun teknik ini tidak menekan peningkatan resistensi vaskular sistemik selama laparoskopi sehingga fluktuasi hemodinamik tetap terjadi. Sayatan dinding abdomen dan regangan peritoneum selama operasi juga menyebabkan nyeri somatis dan viseral yang dirasakan pascaoperasi. Penambahan blok TAP pada operasi laparoskopi belum memuaskan disamping memerlukan instrumen tambahan serta bergantung pada kemampuan operator. Anestesi spinal dapat menguntungkan karena dapat menetralkan peningkatan SVR dan menghambat nyeri selama operasi, namun penggunaannya dikaitkan dengan mobilisasi yang tertunda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kombinasi anestesi umum dan anestesi spinal lebih baik dalam menjaga perubahan hemodinamik intraoperatif, nyeri pascaoperasi, dan waktu pulih dibandingkan anestesi umum dan blok TAP.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal pada 40 pasien yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok S (spinal) dilakukan anestesi spinal menggunakan bupivacaine 10 mg + morfin 50 mcg intratekal disusul anestesi umum. Kelompok T (blok TAP) dilakukan anestesi anestesi umum disusul blok TAP dengan bupivacaine 0.25% 20 ml pada kedua sisi abdomen. Perubahan tekanan darah dan nadi, NRS pascaoperasi 3 jam dan 6 jam, waktu untuk mencapai Bromage 0, serta kejadian nyeri bahu dan mual muntah pascaoperasi dicatat. Hasil: Pada kelompok S terdapat perubahan tekanan darah sistolik yang signifikan dibandingkan dengan kelompok T setelah 15 menit insuflasi (-9,35(±19,69) vs 7,65(±16,34), p<0,05). Tidak ada perbedaan nyeri pascaoperasi dan waktu pulih pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Kombinasi anestesi umum dan anestesi spinal lebih baik dalam menurunkan tekanan darah sistolik, namun tidak berbeda dalam nyeri pascaoperasi, dan waktu pulih dibandingkan kombinasi anestesi umum dan blok TAP.

Introduction: Laparoscopy is associated with intraoperative and postoperative risks, including hemodynamic instability and postoperative pain. Although general anesthesia is often used for this procedure, hemodynamic fluctuations still occur because this technique does not suppress the increase in systemic vascular resistance during laparoscopy. Incisions in the abdominal wall and stretching of the peritoneum during surgery can also cause somatic and visceral pain after surgery. Adding TAP block to laparoscopic surgery is not satisfactory, apart from requiring additional instruments and depending on the operator’s abilities. Spinal anesthesia may be beneficial as it can counteract the increase in SVR and suppress pain during surgery, but its use is associated with delayed mobilization. The purpose of this study is to determine whether the combination of general and spinal anesthesia is superior in maintaining intraoperative hemodynamic changes, postoperative pain, and recovery time compared to general anesthesia and TAP blockade.
Methods: This study is a single-blind, randomized clinical trial with 41 patients divided into two groups. Group S (spinal) received spinal anesthesia with 10 mg bupivacaine + 50 μg morphine administered intrathecally, followed by general anesthesia. Group T (TAP block) received general anesthesia followed by TAP block with 20 ml of 0.25% bupivacaine on each side of the abdomen. Intraoperative blood pressure and heart rate changes, NRS at 3 and 6 hours postoperatively, time to reach bromage 0, and occurrence of postoperative shoulder pain and nausea and vomiting were recorded.
Results: In group S there was a significant change in systolic blood pressure compared to group T after 15 minutes of insufflation (-9,35(±19,69) vs 7,65(±16,34), p<0,05). There was no difference in postoperative pain and recovery time in the two groups.
Conclusion: The combination of general anesthesia and spinal anesthesia is better in reducing systolic blood pressure, but does not differ in postoperative pain and recovery time compared to the combination of general anesthesia and TAP block.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rendy Anwar
"Latar belakang: Proses pembedahan seperti kraniotomi mengakibatkan inflamasi, dimulai sejak awal insisi dan berdampak pada kejadian nyeri pascabedah yang memengaruhi lama rawat pasien. Lidokain intravena intraoperatif memiliki efek analgesik dan antiinflamasi yang terbukti efektif sebagai terapi ajuvan dalam manajemen nyeri pasca pembedahan abdominal. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek pemberian lidokain intravena kontinyu intraoperatif pada kraniotomi, terhadap nyeri pascabedah, kadar TNF-alfa, dan lama rawat.
Metode: Randomized controlled trial ini menggunakan pengambilan sampel secara consecutive sampling. Sebanyak 50 subjek penelitian dengan tumor otak yang menjalani kraniotomi. Kelompok intervensi diberikan bolus intravena lidokain 2% dosis 1,5 mg/kgBB saat induksi, dilanjutkan rumatan 2 mg/kgBB/jam. Kelompok kontrol dengan pemberian NaCl 0,9% dengan volume sama. Luaran penelitian adalah skala nyeri pascabedah berdasarkan nilai NPS, kadar TNF-alfa dan lama rawat.
Hasil: Skor nyeri sesuai nilai NPS pada 1 jam pascabedah, 6 jam pascabedah, dan 24 jam pascabedah antara kelompok intervensi dengan kontrol (p < 0,001). Terdapat perbedaan bermakna antar dua kelompok mengenai selisih kadar TNF-alfa prainduksi dengan 1 jam pascabedah (p = 0,001). Sedangkan selisih kadar TNF-alfa prainduksi dengan 24 jam antar dua kelompok tidak menunjukkan perbedaan signifikan (p = 0,334). Luaran lama rawat tidak berbeda bermakna.
Simpulan: Pemberian lidokain intravena kontinyu intraoperatif dibandingkan plasebo pada kraniotomi berpengaruh terhadap nyeri pascabedah dan kadar TNF-alfa, namun tidak berpengaruh pada lama rawat.

Background: Surgery such as craniotomy causes inflammation which affects the incidence of postoperative pain and then affect hospitalization duration. Lidocaine has analgesic and anti-inflammatory effects which effective as an adjuvant in the management of postoperative pain in abdominal surgery. This study aims are to investigate the effects of the intraoperative continuous intravenous lidocaine during craniotomy on postoperative pain, TNF-α levels, and hospitalization duration.
Methods: This randomized controlled trial uses consecutive sampling method. A total of 50 subjects with brain tumors underwent craniotomy. The therapy group was given lidocaine 2% intravenous bolus 1.5 mg/kg at induction followed by maintenance at 2 mg/kg/hour, the control group was given NaCl 0.9% with the same volume. The outcomes assessed were postoperative pain, TNF-α levels, and hospitalization duration.
Results: There was a significant difference in NPS 1-hour postoperative, 6-hour postoperative NPS, and 24-hour postoperative NPS scores between the treatment group and the control group (p < 0.001). There was a significant difference between pre-induction TNF-α levels and 1 hour postoperatively (p = 0.001) however pre-induction TNF-α levels with 24 hours was not significantly different (p = 0.334). There was no significant difference in hospitalization duration between those groups.
Conclusions: Intraoperative continuous intravenous lidocaine administration compared to placebo at craniotomy had an effect on postoperative pain and TNF-α levels but had no effect on hospitalization duration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Lasmida Ruth A.
"Latar Belakang: Refleks okulokardiak dengan manifestasi bradikardia, aritmia hingga
asistol masih sangat potensial terjadi pada operasi strabismus. Operasi dalam anestesi
umum saja belum dapat mencegah kejadian tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah injeksi ropivakain 0,75% subtenon dengan kombinasi anestesi
umum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menurunkan angka kejadian refleks
okulokardiak dan nyeri pasca operasi. Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda
dilakukan pada 15 subjek usia 7-60 tahun yang menjalani reseksi rektus medial/lateral
dan status fisik sesuai American Society of Anesthesiologists adalah ASA I-II.
Randomisasi membagi subjek menjadi dua kelompok yaitu ropivakain dan plasebo.
Perubahan laju nadi dan kejadian refleks okulokardiak diukur saat insisi konjungtiva,
traksi dan reseksi otot. Nyeri pasca operasi dinilai pada jam ke-1,2,4 dan 6 dengan Visual
Analog Score (VAS). Hasil: Penelitian ini menunjukkan rerata laju nadi pada kelompok
intervensi pasca induksi, insisi konjungtiva, traksi dan reseksi otot adalah 70.4, 66.8, 65.4,
dan 65.4 secara berurutan, sedangkan plasebo 78, 74.5, 68.8, dan 74.8 kali per menit.
Insidens kejadian refleks okulokardiak pada kelompok intervensi adalah 28.5%
sedangkan plasebo 50% (p>0.05). Median skor nyeri kelompok intervensi lebih rendah
pada jam pertama pasca operasi. Kesimpulan: Walaupun tidak bermakna secara statistik,
namun secara klinis, dengan power penelitian 75%, kombinasi anestesi umum dan injeksi
subtenon memberi hasil yang lebih baik.

Background: Squint surgery is associated with oculocardiac reflex with bradycardia,
arrhythmia and even asystole case. Surgery in general anesthesia alone could not prevent
this reflex. Objective: The aim of this study was to investigate the effects of a sub-
Tenon’s block combined with general anesthesia on oculocardiac reflex and
postoperative pain. Method: This double blind randomized controlled trial included 15
patients aged 7-60 years scheduled for medial/lateral rectus resection and American
Society of Anesthesiologists status were ASA I-II. Patients were randomly allocated to
receive either sub-Tenon ropivacaine 0,75% or placebo prior to surgery. Changes in heart
rate and incidence of oculocardiac reflex were measured during several stages. Result:
The mean heart rate measured at post induction, conjunctival incision, muscle traction
and resection in ropivacaine group were 70.4, 66.8, 65.4, and 65.4 bpm, respectively and
in placebo group were 78, 74.5, 68.8, and 74.8 bpm. Incidence of oculocardiac reflex in
ropivacaine and placebo group were 28,5% and 50% respectively (p>0.05). Median pain
scores were lower in ropivacaine group at the first hour postoperative. Conclusion: We
conclude that eventhough statistically there was no difference between two groups (power
75%), clinically, combination of ropivacaine 0,75% sub-Tenon block with general
anesthesia showed lower incidence of oculocardiac reflex and lower pain score at the first
hour after surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christella Natalia P
"Latar Belakang: Prosedur pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior menimbulkan nyeri pascabedah yang mengganggu proses penyembuhan dan mobilisasi dini pasien. Blok TLIP klasik dan modifikasi efektif mengurangi nyeri perioperatif pembedahan tulang belakang. Penanganan nyeri yang baik akan mempercepat proses penyembuhan dan mobilisasi pascabedah.
Tujuan: Membandingkan efektivitas antara blok TLIP klasik dan modifikasi sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior thoracolumbar terhadap kebutuhan fentanyl intraoperasi, stabilitas hemodinamik intraoperasi, rerata qNox intraoperasi, total kebutuhan morfin pascabedah, rerata NRS pada 6 dan 12 jam pascabedah dan konsentrasi Intraleukin 6 pada 6 dan 12 jam pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, uji klinis acak tersamar tunggal dengan 24 subjek pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal di Instalasi Bedah Pusat RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subjek dirandomisasi dalam dua kelompok: kelompok blok TLIP klasik (n-12) dan modifikasi (n=12). Kedua kelompok mendapat bupivakain 0,25% total volume 20 cc stiap sisi. Data yang diolah berupa rerata qNox, fentanyl intraoperatif, total morfin 24 jam pascabedah, rerata NRS pada 6 dan 12 jam pascabedah dan konsentrasi IL-6 pada 6 dan 12 jam pascabedah.
Hasil: Rerata qNox, total morfin 24 jam pascabedah, rerata NRS dan IL-6 pada 6 dan 12 jam pascabedah tidak berbeda bermakna pada grup TLIP klasik dan modifikasi. Total konsumsi fentanyl intraoperatif pada grup TLIP modifikasi berbeda bermakna dibandingkan TLIP klasik (p<0,05).
Simpulan: Blok TLIP modifikasi lebih efektif mengurangi kebutuhan opioid intraoperatif dibandingkan blok TLIP klasik pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior thoracolumbar.

Background: Posterior Stabilization and Decompression procedures are related with severe postoperative pain and stres response. Both modified and classic Thoracolumbar Interfascial Plane Block proven reduced pain perioperatively. Adequate analgesia perioperatively fasten recovery and mobilization postoperatively.
Objective: Compare effectiveness of modified and classic TLIP block as perioperative analgesia in thoracolumbar decompression and posterior stabilization procedures in hemodynamic stability intraoperatively, total fentanyl consuption intraoperatively, mean qNox intraoperatively, total morphine consumpetion postoperatively, mean NRS and Interleukin 6 at 6 and 12 hours postoperatively.
Methods: this study was an experimental, single-blind, randomized controlled trial of 24 subjects who underwent thoracolumbar decompression and posterior stabilization at Central Surgical Unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusuo Jakarta. Subjects were randomized into two groups: Modified TLIP group (n=12) and Classic TLIP group (n=12). Both were received marcain 0,25% 20 ml each side. Data intraoperative taken were intraoperative fentanyl, hemodinamic stability and mean qNox. Data postoperative taken were total morphine 24 hours, IL-6 6 and 12 hours and mean NRS. Data analysis taken with Mann-Whitney and unpaired t test.
Results: Hemodinamic stability, mean qNox, total morphine 24 hours, mean NRS, IL-6 postoperatively were not significantly different (p>0,05). Only total intraoperative fentanyl were significantly lower in modified TLIP group compared classic TLIP group.
Conclusion: Modified TLIP group was more effective to decrease intraoperative opioid compare to classic TLIP group. Modified TLIP group were not significantly reduce opioid consumption, IL-6, mean NRS postoperatively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrisal
"Desain Penelitian. Sebuah penelitian kohort retrospektif pada pasien yang telah menjalani operasi fusi tulang belakang yang dilakukan bone graft yang diambil dari posterior ilium. Tujuan. Untuk menilai prevalensi nyeri pada lokasi pengambilan bone graft pada ·operasi tulang belakang Untuk mengetahui faktor resiko nyeri pada pengambilan bone graft dan komplikasinya. Latar Belakang. Fusi menjadi tujuan pada beberapa operasi tulang belakang dan dapat dicapai dengan melakukan instrumentasi dan bone graft. Telah diketahui bahwa salah satu sumber yang baik adalah berasal dari posterior i1iaka. Tempat pengambilan graft ini dapat menyebabkan nyeri. Meskipun akan hilang dalam 3 bulan namun beberpa pasien mengalami nyeri yang lebih lama. Bahkan pada beberapa kasus hal ini merupakan salah satu sumber nyeri pos operasi. Bahan dan Cara : Sampel diambil dari buku registrasi spine Prof Subroto Sapardan, dan di bagi dalam dua kelompok, dimana kelompok satu yang di lakukan graft dan kelompok dua yang tidak dilakukan graft dari iii aka posterior sebagai kontrol. Kemudian dilakukan wawancara, penilaian nyeri dengan skala analok, dan pemeriksaan fisik pada ke dua kelompok. Setiap kelompok dievaluasi adanya nyeri di ilium posterior dalam kurun enam bulan pos operasi. Analisa data menggunakan software SPSS Vl3, uji statistic di set pada a. sama dengan 0,05 dan power 80% dan interval kepercayaan 95%. Basil: Dalam penelitian diperoleh basil untuk kelompok 1 mengalami nyeri 75,6% sementara yang tidak 24,4%, sebaran diagnosis adalah 27,6% pada spondilitis TB, 55% skoliosis, 22% pada degenerative disk. Kami menemukan risiko rasio nyeri pada pengambilan bone graft di ilium posterior sebesar 11,2. Kesimpulan: Kejadian nyeri pada lokasi donor di iliaka posterior dibandingkan dengan yang tidak dilakukan bone graft cukup signifikan. Dari penelitian ini kami sarankan untuk mencari materi alternative lain untuk mempercepat fusi pada operasi tulang belakang."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T58781
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>