Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
Murthys, Mantha Ram
Allahabad : Law Publisher (India) , 1995
346.04 MUR l
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Sitompul, Muhari B.
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Daliati Hasiholan Gulo
"Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), maka semua hak penguasaan atas tanah yang berasal dari konsepsi hukum Barat telah hapus dan diganti dengan hak-hak penguasaan yang baru. Salah satu diantara hak penguasaan yang dihapuskan itu adalah bezit atas tanah. Namun dibandingkan dengan hak-hak atas tanah lain, baik yang terdapat dalam UUPA maupun dalam Buku II KUH Per data, bezit atas tanah ini mempunyai beberapa keistimewaan: a. Bezit atas tanah bukanlah suatu hak yuridis yang pemegangnya memiliki surat bukti hak, melainkan suatu keadaan yang tampak keluar dirnama si pemegang berperan seolah-olah sebagai pemilik yang sah. b. Dari segi lain, pemilik yang sah atas sebidang tanah bisa jadi adalah bezitter itu sendiri dan ia dapat menggunakan ketentuan-ketentuan mengenai bezit untuk melindungi haknya dari gangguan orang lain. Dengan demikian, sebagian dari keten tuan-ketentuan mengenai bezit merupakan "isi” dari suatu hak atas tanah. UUPA memperkenalkan hak milik baru atas tanah sebagai penggaBti hak milik (eigendom) yang terdapat dalam KUH Perdata. Namun sampai sekarang mengenai hak milik baru ini belum ada pengaturan selanjutnya dalam bentuk Undang-undang hak milik yang menentukan seberapa luas dan dalamnya hak milik tersebut. Oleh sebab itu, dengan mendasarkan diri pada Pasal 56 UUPA, bisa saja ketentuan-ketentuan yang menyangkut eigendom sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal KUH Perdata diberlakukan kembali dan sebagian diantaranya adalah ketentuan-ketentuan mengenai bezit atas tanah ini, khususnya yang menyangkut perlindungan hukum baik terhadap pemilik yang sah maupun terhadap bezitter yang jujur. Di dalam skripsi ini, penulis menooba melihat kemungkinan pemberlakuan ini, khususnya dalam sengketa- sengketa pemilikan tanah yang bersifat perdata. Untuk itu di dalam skripsi ini penulis turut melampirkan sebuah Putusan Mahkamah Agung Pepublik Indonesia atas sebuah perkara sengketa pemilikan tanah. Dalam putusan tersebut tampak jelas perlindungan terhadap bezitter tanpa mempersoalkan hak milik yang sebenarnya ada pada siapa. Pada akhirnya penulis berkesimpulan bahwa ada beberapa ketentuan mengenai bezit atas tanah (tetapi tidak semuanya) yang masih perlu dipertahankan. Penulis juga menyarankan agar ketentuan-ketentuan yang dianggap masih dapat dipertahankan itu sebaiknya turut dipertimbangkan dalam penyusunan Undang-undang hak milik yang akan datang. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Latu Suryono
"Perlindungan hukum didalam bidang paten sudah mendapat perlindungan di dalam Undang-undang RI No mor 6 tahun 1989 tentang Paten. Hak paten mengandung kekuatan ekonomi yang dapat menghasilkan uang dengan cara melaksanakan patennya . Pemegang paten yang akan melaksanakan patennya hendak mendapatkan pinjaman modal untuk melaksanakan patennya dengan menjaminkan hak patennya. Paten sebagai hak milik yang berupa benda bergerak yang tidak berwujud. dapat dijaminkan dengan pembebanan gagal . Tetapi jaminan dengan hak paten tidak sama dengan jaminan dengan benda yang lainnya. Hak paten dapat dibagikan haknya kepada orang lain dengan memberikan ]isensi dan hak paten merpakan hak kebendaan
yang jangka waktunya terbatas, sehingga untuk meletakkan jaminan di atasnya yang berupa gadai maka pihak kreditur dan pihak debitur harus memperjanjikan bahwa hak paten itu tidak berada dalam lisensi orang lain dan masih berlaku selama masa gadainya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S20316
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dewi Sukardi
"Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 4. tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) dan Peraturan Pemerintah No. 40 tahu 1996, serta Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1996, maka diperkirakan akan banyak permohonan Hak Pakai atas tanah negara yang diajukan oleh para subyek yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang Hak Pakai untuk di jadikan obyek Hak Tanggungan. Dalam UUHT ditentukan suatu konsep baru mengenai penunjukkan Hak pakai atas tanah negara sebagai obyek Hak Tanggungan, dimana sebelumnya dalam UUPA No. 5 tahun 1960 disimpulkan bahwa Hak Pakai tidak dapat ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan, karena pada waktu itu Hak Pakai tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftarkan, oleh karena itu tidak dapat memenuhi syarat publisitas untuk dijadikan jaminan hutang. Dalam perkembangannya Hak Pakai harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai atas tanah negara. Dalam UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, Hak Pakai yang dimaksudkan dapat di jadikan jaminan hutang dengan dibebani fiducia. Hak Pakai tersebut ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan merupaka satu-satunya lembaga jaminan atas tanah dan dengan demikian menjadi tuntaslah unifikasi Hukum Tanah Nasional yang merupakan satu-satunya lembaga jaminan atas tanah yang merupakan salah satu tujuan utama UUPA. Pernyataan bahwa Hak Pakai tersebut dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan merupakan ketentuan UUPA dengan peran serta hak pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S20755
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nina M.M. Adelyna
Depok: Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Andi Hamzah
Jakarta: Ind-Hill, 1987
346.02 AND l
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan
Yogyakarta: Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, 1977
346.059 SRI b
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Rizqi Nur Ramadhon
"Dengan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih tetap saja tidak mencegah terjadinya kasus tidak diketahui keberadaan seseorang sehingga akan menimbulkan masalah bila si tidak hadir tersebut sudah memiliki ikatan perkawinan sehingga dengan ketidakhadiran salah satu pihak di dalam perkawinan akan menimbulkan masalah kedudukan dan status perkawinan akibat terjadinya keadaan tak hadir, masalah kedudukan dan status harta bersama didalam perkawinan akibat terjadinya keadaan tak hadir tersebut dan masalah berkaitan dengan penyelesaian menurut KUHPerdata terhadap masalah perkawinan termasuk harta bersama yang timbul akibat keadaan tak hadir (AFWEZIGHEID) . Seringkali terjadi permohonan atau tuntutan menyangkut harta benda milik si tidak hadir maka biasanya diajukan kepada pengadilan negeri terutama mengenai status pemilikan rumah yang tidak diketahui keberadaan si pemilik rumah tersebut seperti yang terdapat di dalam penetapan pengadilan No .793/Pdt/P/1990/ PN.Jkt.Sel yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan atas permohonan untuk yang diajukan oleh Endang Satyowati. Mengenai hal ini KUHPerdata merobahas secara sistematis dalam menangani keadaan tak hadir (AFWEZIGHEID),hal ini dapat dilihat dari pasal 463, 467, 484, 489-495 KUHPerdata. Ketidakhadiran dapat pula dijadikan alasan perceraian sebagaimana yang diatur oleh hukum perkawinan nasional yai tu UU No.1 tahun 1974 dan peraturan pelaksananya PP No.9 tahun 1975. Sehingga dengan ketidakhadiran salah satu pihak maka perkawinan si tidak hadir akan putus bila istri atau suami si tidak hadir meminta izin untuk menikah lagi. Tahap penyelesaian terhadap masalah keadaan tidak hadir terbagi atas 3 tahap yaitu tahap tindakan sementara,tahap pernyataan barangkali meninggal dunia dan tahap pewarisan secara definitif."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21048
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"n this fourth volume of the Legalism series, ownership is defined as the simple fact of being able to describe something as 'mine' or 'yours', and property is distinguished as the discursive field which allows the articulation of attendant rights, relationships, and obligations. Property is often articulated through legalism as a way of thinking that appeals to rules and to generalizing concepts as a way of understanding, responding to, and managing the world around one. An Aristotelian perspective suggests that ownership is the natural state of things and a prerequisite of a true sense of self. An alternative perspective from legal theory puts law at the heart of the origins of property. However, both these points of view are problematic in a wider context, the latter because it rests heavily on Roman law. Anthropological and historical studies enable us to interrogate these assumptions. The articles here, ranging from Roman provinces to modern-day piracy in Somalia, address questions such as: How are legal property regimes intertwined with economic, moral-ethical, and political prerogatives? How far do the assumptions of the western philosophical tradition explain property and ownership in other societies? Is the 'bundle of rights' a useful way to think about property? How does legalism negotiate property relationships and interests between communities and individuals? How does the legalism of property respond to the temporalities and materialities of the objects owned? How are property regimes managed by states, and what kinds of conflicts are thus generated?"
Oxford: Oxford University Press, 2017
346.04 LEG
Buku Teks Universitas Indonesia Library