Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitepu, Joice Sola Gratia
"Kandidiasis merupakan suatu penyakit kulit yang diakibatkan oleh Candida krusei yang telah resisten terhadap antijamur Flukonazol. Resistensi disebabkan gen penanda: ERG11, FKS1, ABC1 dan ABC2 yang meningkatkan aktivitas membran transporter. Maka diperlukan pencarian kandidat antijamur yang dapat menggantikan Flukonazol, dimulai dengan memanfaatkan senyawa fenolik yang terdapat pada tanaman herbal. Penelitian ini dilakukan untuk mencari kandidat antijamur Candida krusei dari golongan senyawa fenolik melalui perspektif studi In Silico dengan protein target Enzim lanosterol 14 α-demetilase dengan kode PDB 5V5Z. Aplikasi LiganScout digunakan untuk Virtual Screening, ditemukan beberapa senyawa fenolik, diambil tiga senyawa yaitu Eugenol, Kuersetin, dan Asam Galat. Dilanjutkan dengan penambatan molekular menggunakan Aplikasi Molegro 2011. Hasil penambatan molekular senyawa ligan natif, Flukonazol, dan ketiga senyawa fenolik terhadap Enzim lanosterol 14α-demetilase wild type menunjukkan rerank score berturut-turut: -154.433; -98.3027; -97.4626; -66.4573 dan -65.2084, sedangkan rerank score mutan: -31.0348; -99.4858; -92.1078; -63.9848; dan -62.6408. Ketiga senyawa fenolik menunjukkan potensi antijamur karena rerank score lebih baik dari ligan natif, meski tidak lebih baik dari rerank score Flukonazole. Dilakukan uji aktivitas Antijamur ketiga senyawa fenolik dan Flukonazol, didapatkan nilai uji hambat berturut-turut 3,33; 1,25; 0,63 dan 0 mm. Hal ini menunjukkan ketiga senyawa fenolik berpotensi sebagai Antijamur menggantikan Flukonazol di masa depan.

Candidiasis is a dermatological condition caused by the fungus Candida krusei, which exhibits resistance to the antifungal medication Fluconazole. The presence of marker genes, namely ERG11, FKS1, ABC1, and ABC2, leads to resistance via enhancing the function of membrane transporters. It is imperative to seek other antifungal options to replace Fluconazole. This can be achieved by harnessing the potential of phenolic chemicals derived from herbal plants. The purpose of this study was to identify potential antifungal agents for Candida krusei from the phenolic chemical category using In Silico experiments, focusing on the lanosterol 14 α-demethylase enzyme with the PDB code 5V5Z. The LiganScout software was employed for Virtual Screening, resulting in the identification of many phenolic compounds. Three specific compounds were selected, namely Eugenol, Kuersetin, and Gallic Acid. Subsequently, molecular docking was performed utilizing the Molegro 2011 Application. The molecular docking results of the natif ligan compound, Fluconazole, and the three phenolic compounds against the wild type lanosterol 14α-demethylase enzyme yielded rerank scores of -154.433, -98.3027, -97.4626, -66.4573, and -65.2084 respectively. The mutant rerank scores were -31.0348, -99.4858, -92.1078, -63.9848, and -62.6408. The three phenolic compounds exhibited antifungal efficacy as their rerank score surpassed that of the natural ligan, while it did not surpass the rerank score of Fluconazole. The antifungal activity of the three phenolic compounds and Fluconazole was individually examined using an inhibition test. The corresponding inhibition test values were 3.33 mm, 1.25 mm, 0.63 mm, and 0 mm, respectively. These findings demonstrate that the three phenolic compounds possess the capacity to function as antifungal agents, potentially replacing Fluconazole in the future."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hasanah
"Antikonvulsan merupakan obat yang digunakan untuk mengobati konvulsi/kejang yang terjadi pada manusia. Antikonvulsan ini menekan aktivitas sistem saraf pusat dan meningkatkan aksi GABA yang menghambat neurotransmitter sehingga mencegah terjadinya kejang. Sebagian tanaman telah diketahui mengandung berbagai senyawa kimia yang memiliki khasiat baik bagi kesehatan manusia. Berdasarkan hal tersebut, ditemukan ramuan herbal yang terdiri dari campuran antara cengkih (Syzygium aromaticum L.), pala (Myristica fragrans L.), dan jahe merah (Zingiber officinale var rubrum) oleh Raden Soenarto Mertowardojo. Ramuan herbal tersebut dipercaya secara empirik sebagai jamu penurun ketegangan saraf yang mengandung fenolik dengan aktivitas antikonvulsan. Pengujian aktivitas antikonvulsan dilakukan secara in vivo pada mencit jantan galur ddY terinduksi striknin dalam 6 kelompok pengujian, yaitu kontrol negatif (aquades), kontrol positif I (fenobarbital i.p.), kontrol positif II (fenobarbital p.o.) dosis I (jamu 0,325 mL/40 g BB), dosis II (jamu 0,65 mL/40 g BB), dan dosis III (jamu 1,3 mL/40 g BB). Aktivitas antikonvulsan jamu dalam 250 mL pelarut dengan metode refluks diuji berdasarkan kemampuan memperpanjang onset kejang, mempercepat durasi kejang dan meningkatkan proteksi. Analisis data menunjukkan bahwa jamu dosis III (1,3 mL/40 g BB) paling baik dalam memperpanjang onset kejang, mempercepat durasi kejang dan meningkatkan proteksi secara signifikan. Pengujian total fenolik dilakukan melalui ekstraksi 10 g bahan jamu dalam 250 mL pelarut secara refluks dengan variasi suhu dan komposisi pelarut (Suhu 60oC, 70oC, 80oC dan pelarut air:etanol 100:0; 75:25; 50:50). Total fenol tertinggi diperoleh pada suhu 80oC dan komposisi pelarut air:etanol 50:50.
Anticonvulsants are drugs used to treat convulsions that occur in humans. These anticonvulsants suppress the activity of the central nervous system and increase the action of GABA which inhibits neurotransmitters so as to prevent the occurrence of seizures. Some plants have been known to contain various chemical compounds that have good properties for human health. Based on this, herbal concoctions were made consisting of a mixture of cloves (Syzygium aromaticum L.), nutmeg (Myristica fragrans L.), and red ginger (Zingiber officinale var rubrum) by Raden Soenarto Mertowardojo. The herbal ingredients were trusted empiric as a nerve tension-lowering herb containing phenolic with anticonvulsant activity. Testing of anticonvulsant activity was carried out in vivo on striknin-induced male mice with ddY strain in 6 test groups, namely negative control (distilled water), positive control I (phenobarbital ip), positive control II (fenobarbital po) dose I (herbal medicine 0.325 mL / 40 g BB), dose II (herbal medicine 0.65 mL / 40 g BB), and dose III (herbal medicine 1.3 mL / 40 g BB). The anticonvulsant activity of herbs in 250 mL of solvent with the reflux method was tested based on the ability to extend seizure onset, accelerate the duration of seizures and increase the rate of protection. Data analysis showed that herbal dosage III (1.3 mL / 40 g BB) is best for extend seizure onset, accelerate the duration of seizures and significantly increase the rate of protection. Total phenolic testing was carried out by extracting 10 g of herbal ingredients in 250 mL of solvent by reflux with variations in temperature and solvent composition (Temperature 60oC, 70oC, 80oC and water solvents: ethanol 100: 0; 75:25; 50:50). The highest total phenol was obtained at 80oC and the water solvent composition: 50:50 ethanol."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Maula Arif
"Spent coffee grounds have the potential to be a very important source of bioactive compounds, such as phenolic compounds. However, extraction of phenolic compounds has generally been done using organic solvents, which are not environmentally friendly. Therefore, it is proposed that an alternative kind of solvent is used in the extraction process, which in this case is deep eutectic solvents (DES). They are chosen due to their simple preparation, low toxicity, and low flammability. This research used DES that are made up of betaine as the hydrogen bond acceptor (HBA) combined with 1,2-butanediol, 1,3-butanediol, and lactic acid as the hydrogen bond donor (HBD). Optimization of the extraction process was done by varying the extraction temperature (40, 50, 60 ° C), type of HBD used (poly-alcohols and acids), as well as the water content in the DES (0, 25, 50% v/v). The total phenolic content of each spent coffee ground sample was measured as an equivalent to gallic acid concentration. The Box-Behnken method was used as a tool to design the experiment and find the optimal extraction operating condition. The optimal extraction condition for the DES using 1,2-Butanediol as the HBD is a temperature of 59.58 ° C, a solid liquid ratio of 0.081 g/g, and a water content of 47.60% v/v, which results in a phenolic content of 58.65 mg GAE/g SCG. for the DES using 1,3-Butanediol as the HBD, the optimal condition is a temperature of 59.76 ° C, a solid liquid ratio of 0.071 g/g, and a water content of 24.05% v/v, which results in a phenolic content of 55.41 mg GAE / g SCG. Finally, the DES using lactic acid as the HBD is optimal when the temperature is 59.62 ° C, has a solid liquid ratio of 0.077 g/g, and a water content of 49.55% v/v, which results in a phenolic content of 54.96 mg GAE/g SCG. Furthermore, experiments concerning the physicochemical properties of the DES used have been done in order to provide additional data and context to the extraction results of the optimization process. Lastly, a direct correlation has been found regarding spent coffee ground's antioxidant activity with its phenolic content.

Ampas kopi bekas memiliki potensi untuk menjadi sumber senyawa bioaktif yang sangat penting, seperti senyawa fenolik. Namun, ekstraksi senyawa fenolik umumnya telah dilakukan menggunakan pelarut organik, yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, diusulkan bahwa jenis pelarut alternatif digunakan dalam proses ekstraksi, yang dalam hal ini pelarut eutektik dalam (DES). Mereka dipilih karena persiapannya yang sederhana, toksisitas rendah, dan mudah terbakar. Penelitian ini menggunakan DES yang terdiri dari betaine sebagai akseptor ikatan hidrogen (HBA) yang dikombinasikan dengan 1,2-butanadiol, 1,3-butanediol, dan asam laktat sebagai donor ikatan hidrogen (HBD). Optimalisasi proses ekstraksi dilakukan dengan memvariasikan suhu ekstraksi (40, 50, 60 ° C), jenis HBD yang digunakan (poli-alkohol dan asam), serta kadar air dalam DES (0, 25, 50% v/v). Total konten fenolik dari masing-masing sampel tanah kopi yang dihabiskan diukur sebagai setara dengan konsentrasi asam galat. Metode Box-Behnken digunakan sebagai alat untuk merancang percobaan dan menemukan kondisi operasi ekstraksi yang optimal. Kondisi ekstraksi optimal untuk DES menggunakan 1,2-Butanediol sebagai HBD adalah suhu 59,58 ° C, rasio cairan padat 0,081 g/g, dan kadar air 47,60% v/v, yang menghasilkan fenolik isi 58,65 mg GAE/g SCG. untuk DES menggunakan 1,3-Butanediol sebagai HBD, kondisi optimal adalah suhu 59,76 ° C, rasio cairan padat 0,071 g/g, dan kadar air 24,05% v/v, yang menghasilkan fenolik isi 55,41 mg GAE/g SCG. Akhirnya, DES menggunakan asam laktat sebagai HBD optimal ketika suhu 59,62 ° C, memiliki rasio cairan padat 0,077 g/g, dan kadar air 49,55% v/v, yang menghasilkan kandungan fenolik 54,96 mg GAE/g SCG. Selain itu, percobaan mengenai sifat fisikokimia DES yang digunakan telah dilakukan untuk memberikan data tambahan dan konteks untuk hasil ekstraksi dari proses optimasi. Terakhir, korelasi langsung telah ditemukan mengenai aktivitas antioksidan tanah kopi yang dihabiskan dengan kandungan fenoliknya.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferlita Feliana
"ABSTRAK
Trigeminal neuralgia adalah nyeri pada sebagian wajah yang melibatkan nervus trigeminus. Penyakit ini dapat memberikan efek signifikan terhadap kualitas hidup penderitanya, seperti kehilangan berat badan, isolasi, bahkan depresi. Sebanyak 50% penderita trigeminal neuralgia tidak puas dengan pemberian obat-obatan farmasi karena pengobatan yang diberikan tidak efektif dan menimbulkan berbagai efek samping, seperti pusing dan gangguan gastrointestinal (sakit perut, mual, muntah). Oleh karena itu perlu dicari obat alternatif yang lebih ramah terhadap badan manusia yaitu jamu yang berbahan herbal. Menurut Penelitian Tristantini dkk., tanaman seperti cengkih (Syzygium aromaticum), jahe (Zingiber officinale), dan pala (Myristica fragrans) dapat digabungkan dan diramu sebagai jamu penurun ketegangan saraf. Ekstrak jamu tersebut diketahui mengandung berbagai senyawa fenolik dengan aktivitas antioksidan yang umumnya juga terdapat pada obat-obatan yang digunakan dalam terapi pengobatan trigeminal neuralgia seperti carbamazepine, lamotrigine, dan oxcarbazepine. Formulasi jamu dapat dibuat melalui metode ekstraksi refluks dengan menggunakan pelarut air pada suhu 80oC selama 90 menit yang merupakan suhu dan waktu terbaik ekstraksi jamu. Sementara ekstraksi bahan jamu yaitu pala dan jahe dibuat dengan ekstraksi menggunakan pelarut air, etanol, maupun campuran dari keduanya serta variasi suhu. Penggunaan metode pelarut air-etanol dengan perbandingan 50:50 pada suhu 70oC menghasilkan kadar fenolik tertinggi dari ekstrak pala dan jahe sebesar 23,13 mgGAE/g sampel. Pada penelitian ini dilakukan pengujian untuk mengkaji aktivitas antioksidan dari Jamu Penurun Ketegangan Saraf dengan menggunakan metode DPPH yang menghasilkan nilai IC50 sebesar 234,75 μg/ml.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library