Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diani Vanijjya
"Alih wahana merupakan konsep peralihan media dari satu jenis kesenian menjadi kesenian lain. Penelitian ini membahas alih wahana Pertunjukan Sendratari Ramayana Bali berdasarkan tiga epos Ramayana karya P. Lal, C. Rajagopalachari, dan Nyoman S. Pendit. Pertunjukan Sendratari Ramayana Bali menarik untuk diteliti karena berbeda dengan Sendratari Ramayana lainnya di Indonesia. Hal ini disebabkan adanya kombinasi sendratari tersebut dengan Tari Kecak yang menjadi ciri khas. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan alih wahana Pertunjukan Sendratri Ramayana Bali dari segi penokohan, alur cerita, penyajian cerita, dan struktur pertunjukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sementara itu, teori dalam penelitian ini adalah seni pertunjukan oleh Jaeni dan alih wahana oleh Damono. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sendratari Ramayana Bali merupakan hasil alih wahana kombinasi dari tiga epos Ramayana karya P. Lal, C. Rajagopalachari, dan Nyoman S. Pendit. Jika dilihat dari keseluruhan pertunjukan, alur cerita yang diangkat lebih dominan kemiripan dengan epos Kitab Ramayana karya C. Rajagopalachari.

Transformation is a concept of media transfer from one type of art to another. This research discusses about the transformation of Balinese Ramayana Ballet Show based on three Ramayana Epics by P. Lal, C. Rajagopalachari, and Nyoman S. Pendit. The Balinese Ramayana Ballet performance is interesting to study because it is different from other Ramayana Ballet performance in Indonesia. This is due to the combination of the ballet with Kecak Dance which is become the characteristic of its performance. The purpose of this research is to explain the transformation of Balinese Ramayana Ballet performance in terms of characterization, story line, story presentation, and performance structure. The method used in this research is descriptive qualitative. Meanwhile, the theory in this research is the performing arts by Jaeni and the transformation by Damono. The result of this research indicate that Balinese Ramayana Ballet is the outcome from the combination of three Ramayana Epics by P. Lal, C. Rajagopalachari, and Nyoman S. Pendit. From the whole performance, it can be seen that the storyline is more similar to the epic of the Ramayana Book by C. Rajagopalachari."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Asmarandani
"Disertasi ini mengulas pemaknaan estetika keburukan topeng bondres Bali sebagai tokoh dalam dramatari topeng Bali. Pembahasan ini diawali dengan epistemologi tentang topeng (bondres) sebagai sebuah realitas dari representasi dari “ada" atau sebagai karakter manusia yang terwakili oleh topeng. Maskharah dalam bahasa Arab berarti "badut", yang berasal dari kata kerja "Sakhira" yang artinya "mengejek", sedangkan dalam bahasa Romawi Kuno topeng dapat diartikan sebagai "Persona" atau "Prosophone" yang artinya manusia. Dalam dramatari topeng Bali, topeng bondres (tokoh rakyat) ditampilkan dengan ekspresi wajah buruk sebagai makna transformasi personal dan transformasi sosial. Dengan memanfaatkan dasar kosmologi topeng (bondres) yang pembacaannya disandingkan dengan pemikiran inti Jacques Derrida, melalui dekonstruksi Derida menolak gagasan ordinat dan subordinat atau mengunggulkan yang satu dengan meminggirkan yang lain, konsep utamanya adalah menolak kebenaran tunggul. Melalui dekonstruksi Derrida dapat diperoleh teks dan makna baru melalui pembacaan ulang. Dengan differance , pembacaan perbedaan yang langsung dapat menampung 2 hal yang berbeda, pembacaan perbedaan terhadap totalitas makna dalam teks. Dengan grammatology secara garis besar merupakan ilmu "tanda dari tanda", dalam hal ini keburukan topeng Bondres merupakan tanda yang merujuk pada tanda yang lain, dan bagi Derrida, tanda adalah trace atau jejak yang berkaitan dengan "kehadiran" dan sekaligus sebagai "ketidakhadiran".
Studi ini menghasilkan, bahwa dalam sistem kosmologi Bali, nilai keburukan topeng bondres merupakan sesuatu yang berdiri sendiri , otonom dan mandiri, eksistensi nilai keburukan yang menempati ruang kesadaran masyarakat Bali sebagai sistem nilai yang tak terpisahkan dari sistem nilai kehidupan. Pembacaan makna kosmologi topeng Bondres disandingkan dengan beberapa pemikiran-pemikiran Derrida, Topeng Bondres dapat dipahami sebagai dimensi keburukan estetis yang otonom dan sama nilainya dengan kecantikan karena mampu menghasilkan sensasi estetis yang sama. Topeng bondres mempunyai penilaian bentuk (form) dan penilaian isi (content) , penilaian terbuka dan penilaian yang tersembunyi yang hadir karena peran dan fungsi bondres dalam pertunjukan topeng; penilaian ini berkenaan dengan emosi,afeksi dan apresiasi manusia yang terangkum dalam bingkai-bingkai (frame) yang terbentuk. Sehingga topeng Bondres dapat mengkonstruksi kategori-kategori baru bahwa dalam keburukan wajah terkandung dimensi kebebasan manusia yang sublim.

This dissertation analyze the meaning of ugliness aesthetic of Balinese topeng Bondres as a figure on Balinese topeng dance drama. This study is started by epistemological study on topeng bondres as a reality of being representation or a human character that represented by topeng. Maskharah in Arabic means "a clown" from verb "shakira" means "parodying". In ancient Roman, topeng means "persona" or "prosophone" means human being. In Balinese topeng dance drama, topeng bondres (as folk character) is shown through ugly face expression which has a meaning of personal and social transformation. With using the cosmological basic of topeng bondres and Jacques Derrida's point of views prove that Derrida's deconstruction ignores the idea between ordinate and subordinate or to prevail one over the other. His main thought is ignore the sole truth. By mean of Derrida's deconstruction may earn a new text and its meaning through a new model of reading. By differance, direct reading of differences can accommodate two difference things as a reading model of totally text meanings. By grammatology that generally as a science of sign proves the ugliness of topeng bondres as a sign that refers to the other sign. For Derrida, a sign is a trace or imprint that related to presence and absence.
This study proves that in the Balinese cosmological system, the ugliness of topeng bondres is autonomous. The existence of ugliness occupies the domain of Balinese's consciousness as unseparated value system from their collective life system. The reading of cosmological meaning of topeng bondres may compare with Derrida's mode of thoughts that topeng bondres can be understood as an autonomous dimension of the aesthetics of ugliness and has a same value with beauty because able to create the same aesthetics sensation. Topeng bondres has both form and contain assessments as well as open and hidden assessments because of its role and function in topeng performances. These assessments relate to framing of human emotion, affection, and appreciation. It means topeng bondres can construct new categories that in ugly face contains the sublime of human freedom.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
D1938
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Estetika merupakan masalah kontemplasi rohaniah, bahkan religius. Oleh karena itu proses penikmatan karya seni termasuk seni pertunjukan itu sendiri lebih bersifat subyektif. Dalam seni pertunjukan, bahasa memegang peranan yang amat penting dan menentukan dalam menjaga kualitas pertunjukan itu sendiri. Salah satunya bahasa bebanyolan, yakni padanan bahasa improvisasi dan spontanitas yang lahir dari kepiawaian tokoh dalam seni pertunjukan. Keberadaan bahasa bebanyolan ini selalu menyertai di dalam pertunjukan tradisional Bali. Sebab seni pertunjukan di Bali, sesungguhnya identik dengan hiburan yang di dalamnya menyertakan bahasa bebanyolan. Bukan seni pertunjukan namanya kalau di dalamnya tidak menyelipkan unsur-unsur bebanyolan. Bahkan unsur-unsur yang melahirkan kelucuan tersebut tidak hanya dari unsur bahasa tapi dari kolaborasi gerak dan mimik tokoh. Keberhasilan sebuah seni pertunjukan justru sangat ditentukan oleh bagaimana para tokoh dalam seni pertunjukan tersebut mampu menyelipkan dan menyuguhkan mutiara-mutiara kata bebanyolan yang dapat menghidupkan pertunjukan tersebut."
JNANA 18:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library