Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irman Susandi
"Karya akhir ini bertujuan untuk mcngembangkan salu metode menganalisis kelayakan sebuah proyek investasi yang di dalam perhitungannya mencoba untuk mengakomodir fleksibilitas dari pengambilan keputusan oleh manajemen perusahaan. Fleksibilitas pengambilan keputusan tersebut diperlukan pada satu proyek dihadapkan padu ketidakpastian di masa datang yang tidak dapat diantisipasi di masa kini. Untuk mempermudah pemahaman terhadap metode ini. penulis mengambil kasus proyek investasi minyak dan gas bumi di bidang hulu di salah satu perusahaan yang bergerak di eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Setiap proyek di bidang eksplorasi dan eksploitasi migas pada umumnya mempunyai resiko tinggi dan terdiri dari banyak tahap.
Dalam perhitungan valuasi investasi sebuah proyek yang umum dilakukan, parameter-parameter seperti NPV (Net Present Value), IRR (lnternal Rate of return) menjadi acuan standar ekonomis atau tidaknya sebuah proyek. Dalam proyek migas tiap-tiap tahap dalam proyek memiliki ketidakpastiannya masing-masing, sehingga parameter-parameter tersebut sangatlah tergantung kepada probabilitas masing-masing ketidakpastian tersebut. Ketidakpastian yang dihadapi dalam sebuah proyek migas umumnya dibagi menjadi dua kategori yaitu ketidakpastian teknologi dan ketidakpastian ekonomi. Kelidakpastian teknologi diwakili oleh tingkat keberhasilan dalam tiap-tiap tahap pelaksanaan proyek sedang ketidakpastian ekonomi diwakili oleh fluktuasi harga minyak.
Pembahasan dalam karya akhir menggunakan metodologi pendekatan real option valuation. Dalam terminologi real option voluation, analisis kelayakan proyek migas ini digolongkan pada karegori compound rainbow yaim analisis kelayakan pada proyek yang memiliki faktor ketidakpastian dan bertahap. Melalui pendekatan ini, keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan proyek harus ditentukan pada setiap tahapan proyek. Keputusan melanjutkan atau menghentikan proyek tersebut sangat terganlung terhadap hasil (outcome) dari masing-masing alternatif.
Dalam perhitungan menggunakan perhitungan NPV standard diketahui bahwa proyek tersebut mempunyai NPV negatif yang, artinya proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Sedangkan jika perhitungan dilakukan melalui pendekatan real option valuation, proyek tersebut ternyata memiliki NPV positif yang artinya proyek tersebut layak untuk dilaksanakan. Perbedaan NPV yang dihasilkan dari perhitungan NPV standar dengan NPV yang didapat dengan pendekatan real option valuation dikenal dengan nilai fleksibilitas pengambilan keputusan.
Dari hasil analisis sensitivitas terhadap probabilita kesuksesan di tiap-tiap tahap, daput dilihat bahwa nilai NPV sangat dipengaruhi oleh tahap dalam proyek yang memiliki biaya paling besar sehingga probabilita pada tahap ini sangat mempengaruhi perhitungan kelayakan proyek. Analisis sensitivitas terhadap besaran risk free rate yung digunakan juga menunjukkan bahwa semakin kecil risk free rate yang digunakan semakin besar nilai NPV ROA yang didapat."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kunto Wibisono
"Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang PERTAMINA, dimana dinyatakan bahwa Negara memberikan kuasa pertambangan secara penuh dan mutlak kepada suatu Perusahaan Negara yang didirikan dengan undang-¬undang.
PERTAMINA sebagai pelaksana kuasa pertambangan migas Negara, berdasarkan Pasal 12 UU No. 811971 melakukan kerjasama dengan kontraktor dalam bentuk "Kontrak Production Sharing"; selain itu pada wilayah kerja pertambangan yang dikelola juga melakukan kegiatan operasi sendiri serta melakukan kontrak kerjasama dengan model Kontrak Production Sharing yang salah satunya dalam bentuk Technical Assistance Contract (TAC).
UU No. 2212001 tentang Minyak dan Gas Bumi dengan peraturan pelaksaan nya PP No. 42/2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta PP No. 3512004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, mengalihkan pelaksanaan kuasa pertambangan kepada BP Migas, dan selanjutnya PERTAMINA fokus hanya sebagai pengusaha dibidang energi berubah menjadi PT PERTAMINA (PERSERO) yang diwajibkan untuk mengadakan kontrak kerja sama dengan BPMIGAS untuk kontrak wilayah kerja pertambangan yang telah ada.Berdasarkan UU No. 2212001 tersebut BPMIGAS berperan sebagai Manajemen Kontrak baik bagi KPS maupun PT PERTAMINA (PERSERO) sebagai operator kontrak.
Sesuai dengan Ketentuan Pengalihan yang diatur pada Pasal 104, PP No. 35/2004 peran manajemen kontrak TAC adalah PT PERTAMINA (PERSERO) Direktorat Hulu yang juga dibawah kendali manajemen kontrak BPMIGAS, hal ini dapat diartikan bahwa dalam manajemen kontrak TAC berdasarkan UU No. 22/2001 tidak sesuai lagi karena terdapat super manajemen yaitu BPMIGAS. Diperlukan pengaturan-pengaturan dan kesepakatan lebih lanjut dari Pemerintah, BP Migas dan PT PERTAMINA (PERSERO) agar ada kepastian hukum kontrak TAC sebagai dasar untuk mengadakan perubahan/amandemen agar sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T19156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eba Chrisnapati
"Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan pendistribusian BBM di seluruh wilayah Indonesia sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Melalui kegiatan Sub Penyalur yang merupakan kebijakan Pemerintah, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dalam peran strategisnya untuk menjaga ketersediaan dan pendistribusian BBM hingga ke wilayah-wilayah Terluar, Terdepan, dan Terpencil (3T).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran strategis BPH Migas dalam penyediaan dan pendistribusian BBM melalui kegiatan Sub Penyalur. Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data/informasi melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, organisasi publik, peran strategis, dan teori barang publik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa BPH Migas sebagai institusi pemerintah dalam penyediaan dan pendistribusian BBM telah menjalankan peran strategisnya yaitu dengan merencanakan, mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan Sub Penyalur sehingga ketersediaan dan pendistribusian BBM dapat terjaga. Adapun saran untuk BPH Migas adalah agar lebih meningkatkan sosialisasi Sub Penyalur ke Pemerintah Daerah yang daerahnya sulit terjangkau oleh penyalur resmi.

Oil Fuel is a vital commodity and controls the livelihoods of many people throughout the territory of Republic of Indonesia. The government responsibility to ensure the availability and distribution of fuel in all regions of Indonesia as mandated in Law Number 22 year 2001 concerning Oil and Gas. Through the Sub-Distributors program which are government policies, in this case carried out by the Downstream Regulatory Body in Oil and Gas in its strategic role to keep and control the availability and distribution of oil fuel to the Outermost, Leading and Remote (3T) areas.
This study aims to analyze the strategic role of Downstream Regulatory Body in Oil and Gas in the supply and distribution of oil fuel through the Sub-Distributors program. In this study, information collection techniques were used through in-depth interviews and literature studies. The theories used are public policy, implementation of public policy, public organization, strategic role, and public goods.
The results of the study indicate that Downstream Regulatory Body in Oil and Gas as a government institution in the supply and distribution of oil fuel has carried out its strategic role, namely by planning, coordinating the Sub-Distributors program so that the availability and distribution of oil fuel can be maintained. An advice for Downstream Regulatory Body in Oil and Gas to improve more further the socialization regarding Sub Penyalur Program to the regional government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Nurkirana Yuniarsari
"Kegiatan operasi minyak dan gas bumi (migas) di lepas pantai Indonesia sudah dimulai sejak sekitar 1960-an. Dengan kegiatan operasi migas yang berlangsung sudah 50 tahun lebih ini, selain perlu upaya ekstra dalam proses produksi, juga harus memperhitungkan biaya Kegiatan Pasca Operasi (KPO). Biaya KPO menurut PTK-040/SKKMA0000/2018/S0 adalah kegiatan untuk penutupan sumur secara permanen, penghentian pengoperasian fasilitas produksi serta fasilitas penunjang sehingga tidak beroperasi kembali, termasuk pembongkarannya secara permanen, serta melakukan pemulihan lingkungan di Wilayah Kerja (WK) pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Tantangan secara keuangan dihadapi WK yang beroperasi dengan skema gross split, yaitu tidak berlakunya skema pengembalian biaya, sehingga menyebabkan biaya KPO ditanggung perusahaan dan pada akhirnya mempengaruhi nilai keekonomian WK tersebut. Pada Kontrak Bagi Hasil di industri hulu migas, biaya pencadangan diatur oleh SKK Migas dalam Peraturan Tata Kerja Nomor: PTK-040/SKKMA0000/2018/S0. Secara komersial, untuk mendapatkan laporan keuangan yang reliabel bagi para pemegang kepentingan stakeholder, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengatur biaya pencadangan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 57 (PSAK 57-mengenai biaya kontinjensi). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan antara metode pencadangan biaya KPO yang saat ini (existing) digunakan dengan metode Kaiser (2018). Metode yang saat ini digunakan adalah penilaian KPO semua sumur tanpa dibedakan kategori eksplorasi ataupun produksinya. Metode Hybrid oleh Kaiser (2018) mengkategorikan biaya KPO berdasarkan karakteristik struktur. Dalam penelitian ini yang menggunakan metode Kaiser menyajikan total potensi net revenue dari keseluruhan hasil operasi migas sebagai potensi arus kas masuk yang menentukan besaran durasi masa akan dilakukannya proses KPO. Apabila perbandingan net revenue masih positif dibandingkan dengan net operating expenditure berjalan yang merupakan arus kas keluar, maka kegiatan operasi hulu migas di wilayah kerja masih menguntungkan, namun sebaliknya ketika net revenue < net operating expenditure artinya economic limits sudah habis, dengan demikian WK persiapan masa KPO. Hasil kesimpulan dari penelitian ini adalah pada masa KPO yang dilakukan pada akhir masa economic limits yaitu hingga 2031 akan lebih menguntungkan perusahaan dibandingkan tetap menjalankan kegiatan bisnis tersebut hingga akhir kontrak yaitu di 2038, karena net cash flow yang masih pada posisi positif. Dengan demikian maka metode ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif terbaik dalam melakukan proyeksi KPO di lepas pantai laut dangkal.

The operation of oil and gas (oil and gas) off the coast of Indonesia has started since around the 1960s. With the oil and gas operation that has been going on for more than 50 years, in addition to the need for additional production processes, it must also reimburse Post-Operational Activity (KPO) costs. KPO costs according to PTK-040/SKKMA0000/2018/S0 are activities for permanent well closure, temporary stopping of production facilities and supporting facilities so that they cannot be returned, including permanent demolition, as well as repairs in the upstream oil and gas working area. When the working area using gross split, the costs recovery are not applicable, causing the ASR costs to be borne by the company and ultimately increasing the economic value of the field. In Production Sharing Contracts in the oil and gas industry, the backup fee is regulated by SKK Migas in the Work Order Number: PTK-040/SKKMA0000/2018/ S0. Commercially, to obtain financial reports that are relied upon for stakeholders (stakeholders), the Indonesian Institute of Accountants (IAI) has agreed to reserve costs in Statement of Financial Accounting Standards number 57 (PSAK 57-read contingency fees). This study compares to compare between the current (existing) decommisioning cost reserve methods used with the Kaiser method (2018). The method currently used is to determine all wells without differentiating them from product and service categories. The Hybrid Method by Kaiser (2018) categorizes decommisioning costs based on structural characteristics. In this study using the Kaiser method presents the total potential net income of all oil and gas operating results as potential cash inflows that determine the amount of future duration will improve the decommissioning process. If related to net income is still positive compared to net operating expenses which are cash outflows, then upstream oil and gas operations in the work area are still profitable, but instead compilation of net income "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Ronald Partogi
"Skripsi ini membahas peran pemerintah dalam penyelesaian kemelut di wilayah pertambangan minyak di Sumatra Utara 1949-1957. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tindakan apa saja yang dilakukan pemerintah dalam upaya penyelesaian dan memperbaiki wilayah pertambangan ini pasca penandatangan perjanjian KMB. Dimasa setelah penandatanganan persetujuan muncul dua pandangan besar ketika itu, yakni yang pro-nasionalisasi dengan yang pro-pengembalian. Sejak saat itulah status wilayah pertambangan ini menjadi kemelut dan timbul berbagai konflik di wilayah pertambangan ini.
Di masa parlementer, setiap kabinet mengeluarkan berbagai kebijakan guna mengatasi permasalahan di wilayah pertambangan. Akan tetapi berbagai kebijakan yang diterapkan tidak berkelanjutan, hal ini menyebabkan masalah pertambangan tidak kunjung usai dan menjadi terkatung-katung. Pergantian kabinet nantinya juga mempengaruhi timbulnya konflik diantara kalangan pegawai tambang.
Untuk mengakhiri ini semua, maka setelah dibatalkannya perjanjian dalam KMB, pemerintah memutuskan untuk tidak mengembalikan tambang ini kembali kepada Shell dan memilih untuk mengelolanya sendiri, yang kemudian diserahkan kepada Militer. Dengan pengangkatan militer ini, kemelut di wilayah pertambangan ini dapat segera di atasi, dan keberhasilan yang dicapai adalah dengan pendirian PT. ETMSU. Para pemimpin daerah turut dilibatkan dalam jajaran direksi sebagai jawaban dari tuntutan mereka terkait penyelesaian masalah di wilayah pertambangan ini. Pada tanggal 10 Desember 1957, dikeluarkanlah akta pendirian PT PERMINA yang sebelumnya adalah PT ETMSU. Sejak penetapan ini secara resmi Bangsa Indonesia memiliki maskapai perusahaan minyak sendiri.

This undergraduate thesis analyzes the role of the Government in the solution of the oil crisis in the mining area of Northern Sumatra, 1949-1957. The objective of this study is to show the actions of the Government in effort to improve the area of mining settlement and subsequent to the signing of this agreement in the Round Table Conference. Two perspectives appears after tihe signing of the agreement, the pro-nationalization and the pro-reembolso perspective. Since then the situation of the mining region is in the chaos and conflictive.
During parliamentary era, Cabinet of Ministers issues variety of policies to address problems in mining areas. Nevertheless, various policies that applied are not sustainable, it caused problems and a drift of production proceeds. Replacement of the Cabinet would also affect the frequency of conflicts between mine worker later on.
The government decided not to return the field back to Shell and choose to manage it themselves, yet they handed it over to the military to bring the problem to an end, after the cancellation of the deal in the Round Table. As the government appointed the military, the chaos in the mining area can be quickly resolved, and the success achievement is by establishing PT. ETMSU. Local leaders involved in the board of directors in response to their demands associated with solving problems in mining areas. On December 10, 1957, The Act of Formed certificate formerly PT PERMINA is PT ETMSU was issued. Since this designation The Indonesian Republic officially announce their own airlines oil copmpany.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S498
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rumingraras Widowathi
"Skripsi ini membahas tentang perbandingan pengikatan jaminan atas participating interest dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menurut Sistem Konsesi dengan Sistem Kontrak Bagi Hasil di Indonesia. Dari hasil penelitian ini bertujuan untuk menemukan sistem Kontrak Migas yang tepat dalam melakukan pengikatan jaminan atas participating interest. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa pengikatan jaminan atas participating interest lebih ideal dilakukan dalam Sistem Konsesi dan menyarankan bahwa pengikatan penjaminan atas participating interest sebaiknya tidak dilakukan di dalam Sistem Kontrak Bagi Hasil yang dianut Indonesia.

Abstract
In this thesis, I present a theoretical analysis and comparison of pledging participating interest as collateral in concession system and Production Sharing Contract System in Indonesia. The aim of the thesis is therefore finding a system of oil and gas contract which suitable to do a pledging of participating interest as collateral. This thesis use normative research and qualitative methods. The thesis results stated that the implications of pledging participating interest under Concession System is more suitable than in Production Sharing Contract in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S468
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syahrir
"Terdapat tiga permasalahan dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana konsep sistem konsesi dalam pertambangan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Kedua, bagaimana konsep Kontrak Bagi Hasil (KBH) dalam pertambangan migas di Indonesia. Terakhir, bagaimana bentuk kontrak yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia dengan membandingkan antara sitem konsesi dengan KBH. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep sistem konsesi dan KBH yang pernah diterapkan di Indonesia. Kemudian, untuk mengetahui sistem yang lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia dengan membandingkan sistem konsesi dengan KBH. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan melakukan penelitian lapangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem KBH lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan sistem konsesi yang pernah diterapkan sebelumnya. Hal tersebut berkaitan juga dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki penguasaan negara atas kekayaan alam. Kesimpulannya, sistem KBH lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia. Hal tersebut karena dengan menerapkan sistem KBH, negara memiliki posisi yang kuat terhadap kontraktor.

Abstract
This research is mainly discussed about three problems. First, how the concept of concession system in Indonesian?s oil and gas upstream business works'. Second, how the concept of Production Sharing Contract in Indonesian's oil and gas upstream business works'. And last, how to form the appropriate contract to be implemented in Indonesia by comparing the concession system with Production Sharing Contract. The first objective of this study is not only to describe the concept of concession system and production sharing contract that have been applied in Indonesia, but also to find which one that is more profitable to be implemented in Indonesia by comparing the concession system with the Production Sharing Contract. In this study, the author is using normative legal research method by conducting field research and literature studies. The results showed that production sharing contract more profitable to be applied in Indonesia as compared with the concession system that had applied previously. This is also related with Article 33 Constitutional Law 1945 which requires state control over natural wealth. In conclusion, the Production Sharing Contract is more profitable to be applied in Indonesia than the concession system because by applying production sharing contract, the state has a strong position against the contractor. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S313
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Pratama
"Penelitian ini membahas mengenai kontroversi yang terjadi pada lapangan minyak Blok Cepu di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Barat. Kontroversi yang terjadi adalah penandatanganan kerjasama dengan ExxonMobil dan penunjukkan oleh Pemerintah Indonesia kepada ExxonMobil sebagai operator utama dalam pengelolaan Blok Cepu. Pemerintah lebih menunjukkan keberpihakan kepada perusahaan multinasional asing daripada kepada perusahaan minyak negara, Pertamina. Untuk menjawab pertanyaan tersebut peneliti menggunakan empat konsep yang saling terkait satu sama lain, yaitu roving bandit dan stationary bandit, institusi, perusahaan multinasional, dan daya tawar politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak dapat dikategorikan secara tegas dalam kedua tipe tersebut, melainkan terdapat irisan diantara keduanya, dan daya tawar politik Indonesia rendah, sehingga Indonesia cenderung menuruti kemauan pihak asing.

This research explains controversy happened on Cepu Oil Field in border if East Java and West Java, Indonesia. The Government of Indonesia signed production sharing contract and awarded ExxonMobil as main operator on Cepu Oil Field. Government of Indonesia tends on the side multinational corporation than with Pertamina as Indonesia national oil Company. Answering the question this research uses four concepts which they connected each other; roving bandit and stationary bandit, institution, multinational corporation and political bargaining. The research shows that Government of Indonesia not both as stationary bandit or roving bandit but they have sheet, and Indonesia political bargaining power is weak. So that Indonesia tends to follow multinational corporation will."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Sabrina Putri
"Skripsi ini membahas mengenai proses peralihan TAC menjadi PSC. Proses peralihan ini dimulai dari permintaan Exxon untuk melakukan perubahan kontrak. Dalam skripsi ini Penulis akan membahas tiga pokok permasalahan yaitu apakah alasan ExxonMobil mengajukan perubahan TAC menjadi PSC dikaitkan dengan hak dan kewajiban kontraktor yang diatur dalam TAC dan PSC Blok Cepu, analisis proses mendapatkan Wilayah Kerja pada PSC biasanya dibandingkan dengan PSC Blok Cepu dan analisis terhadap tidak dilaksanakannya Plan of Development (PoD) dan keabsahan Memorandum of Understanding (MOU) pada Proses Peralihan TAC menjadi PSC di Blok Cepu.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kesimpulan yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut: Pertama, beberapa alasan ExxonMobil mengusulkan perubahan TAC menjadi PSC dikaitkan dengan hak dan kewajiban Kontraktor pada Blok Cepu ialah terkait Pertanggung jawaban, keuntungan Exxon sebagai Operator, adanya Penggantian Cost Recovery sebesar 100%, serta ExxonMobil tidak tersingkir dalam Blok Cepu. Kedua, terhadap analisis perbandingan proses mendapatkan Wilayah Kerja pada PSC biasanya dengan PSC Blok Cepu adalah pada PSC Blok Cepu tidak terdapat proses pelelangan dan indikator penilaian yang dilakukan menteri dalam memilih kontraktor. Ketiga, dengan tidak dilaksanakannya PoD dapat dinyatakan bahwa ExxonMobil telah melanggar kontrak TAC.
Namun, terhadap pembatalan kontrak ini merupakan hak Pertamina sebagai pihak yang merasa dirugikan. Terhadap Permasalahan keabsahan MOU dalam hal ini Komisaris Utama berwenang melakukan penandatangan MOU berdasarkan pasal 32 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Sehingga, MOU ini sah dan mengikat. Mengenai keabsahan MOU tidak mempengaruhi kebsahan daripada PSC karena PSC muncul dilandasi penunjukan Menteri kepada ExxonMobil sebagai kontraktor berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2005. PSC bukanlah perjanjian accesoir (ikutan) dari MOU.

This thesis discussed about Process of Transition of TAC into PSC. This transition process was began from Exxon?s request to change the contract. In this thesis the author will discuss three subjects which are about; first, what is ExxonMobil?s reason to propose the changes of contract from TAC into PSC which is associated with rights and obligations of Contractors regulated in TAC and PSC on Cepu Block. Second, analysis the process of getting the Area of Work on standard PSC compared with Cepu PSC. Third, analysis on implementation of Plan of Development (PoD) and validity of Memorandum of Understanding (MOU) in the Process of transition from TAC into PSC in Cepu Block.
Based on research the author has concluded that first, some of ExxonMobil?s reasons for proposing changes of TAC into PSC associated with Rights and Obligation of the Contractor in Cepu Block are related to the liability, Exxon?s profit as Operator, Replacement of Cost Recovery by 100%, and ExxonMobil wouldn?t be eliminated in Cepu Block. Second, In Comparative analysis on the process of getting Area of Work between standard PSC and Cepu PSC, the author found that in Cepu PSC there was no tender process and assessment indicators for minister to choose a contractor. Third, In regard on the implementation of PoD, it can be stated that ExxonMobil has breached the contract.
However, the termination of this contract is the right of Pertamina as a party who feel injured. In the problem on validity of MOU, Commisioner has authority to sign MOU in accordance with article 32 paragraph (2) Law No. 19 year 2003 regarding State-Owned Company. So, the MOU is legal and binding. The validity of the MOU didn?t affect validity of PSC, since PSC was emerged based on appointment from minister to Contractor that is regulated in Government Regulation No. 34 Year 2005. PSC is not accesoir agreement of MOU.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1894
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Agus Belfrid P.
"[ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk untuk menentukan kemampuan baru rantai pasok di Pageo berdasarkan evaluasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi strategi rantai pasok, dengan menggunakan kerangka pikir rantai pasok Dittmann (2013). Pageo, salah satu perusahaan jasa di industri hulu minyak dan gas menghadapi tantangan internal dan eksternal yang dapat menghambat pertumbuhan bisnisnya. Penentuan kemampuan baru rantai pasok diawali dengan menganalisa masukan dari pelanggan Pageo, kemudian dilanjutkan dengan penilaian internal terhadap sistem rantai pasok yang ada di Pageo saat ini, lalu dilanjutkan dengan evaluasi terhadap external megatrends yang mempengaruhi rantai pasok Pageo, dilanjutkan dengan analisis situasi kompetisi yang dihadapi Pageo, kemudian evaluasi teknologi yang digunakan Pageo dan evaluasi teknologi yang ada di pasar, dan kemudian dilanjutkan dengan analisa resiko yang dapat mempengaruhi bisnis Pageo. Dengan mempertimbangkan dan menganalisa faktor-faktor yang disebutkan diatas, Pageo perlu menentukan kemampuan baru rantai pasok yang diperlukan untuk mengelola sumber daya dan aktivitas perusahaan secara terintegrasi untuk memastikan keberhasilan pemenuhan order dari pelanggan melalui implementasi berbasis proyek sesuai dengan waktu, biaya yang optimal dan kebutuhan spesifikasi yang ditetapkan, dan fleksibel (one stop services) dengan dukungan pemasok dan rekanan yang handal. Pageo juga memerlukan aplikasi sumber daya manusia yang terintegrasi secara kesisteman, termasuk sistem pengembangan karyawan, sistem penilaian karyawan dan sistem kompensasi karyawan untuk mengembangkan dan mempertahankan karyawan terbaik dalam perusahaan Pageo.

ABSTRACT
This thesis discusses about the determination of the new supply chain capability in Pageo by evaluating the internal and external factors that influence the supply chain strategy using the supply chain framework introduced by Dittmann (2013). Pageo, as one of the upstream oil and gas service company, faced internal and external challenges that may defer and inhibit its growth. The step for determining the new supply chain capability is initiated by analyzing the inputs from Pageo customers, then assessing internal supply chain system, progress to evaluating the external megatrends that influence the supply chain, assessing the competition environment, evaluating the technology used within the company and the technology available in the market then followed by appraising the risks that may impact the business. Taking into consideration all the above foundation elements and analyzing them, Pageo needs to determine the new capability to manage and track the company resources and activities with integrative way to ensure the successful order fulfillment through project based implementation that meet the required time, the optimized cost and the specification required, and flexible (one stop services) with the support of the reliable supplier/partner. Integrated with the system, Pageo also requires an HR application that incorporate the employee development system, employee appraisal system and compensation system to develop and retain the best personnel within Pageo;This thesis discusses about the determination of the new supply chain capability in Pageo by evaluating the internal and external factors that influence the supply chain strategy using the supply chain framework introduced by Dittmann (2013). Pageo, as one of the upstream oil and gas service company, faced internal and external challenges that may defer and inhibit its growth. The step for determining the new supply chain capability is initiated by analyzing the inputs from Pageo customers, then assessing internal supply chain system, progress to evaluating the external megatrends that influence the supply chain, assessing the competition environment, evaluating the technology used within the company and the technology available in the market then followed by appraising the risks that may impact the business. Taking into consideration all the above foundation elements and analyzing them, Pageo needs to determine the new capability to manage and track the company resources and activities with integrative way to ensure the successful order fulfillment through project based implementation that meet the required time, the optimized cost and the specification required, and flexible (one stop services) with the support of the reliable supplier/partner. Integrated with the system, Pageo also requires an HR application that incorporate the employee development system, employee appraisal system and compensation system to develop and retain the best personnel within Pageo, This thesis discusses about the determination of the new supply chain capability in Pageo by evaluating the internal and external factors that influence the supply chain strategy using the supply chain framework introduced by Dittmann (2013). Pageo, as one of the upstream oil and gas service company, faced internal and external challenges that may defer and inhibit its growth. The step for determining the new supply chain capability is initiated by analyzing the inputs from Pageo customers, then assessing internal supply chain system, progress to evaluating the external megatrends that influence the supply chain, assessing the competition environment, evaluating the technology used within the company and the technology available in the market then followed by appraising the risks that may impact the business. Taking into consideration all the above foundation elements and analyzing them, Pageo needs to determine the new capability to manage and track the company resources and activities with integrative way to ensure the successful order fulfillment through project based implementation that meet the required time, the optimized cost and the specification required, and flexible (one stop services) with the support of the reliable supplier/partner. Integrated with the system, Pageo also requires an HR application that incorporate the employee development system, employee appraisal system and compensation system to develop and retain the best personnel within Pageo]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>