Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yahya
"Tesis ini pertama-tama beranjak dari pendapat Roedjito, Harper, Staveren dan den Hartog yang mengemukakan bahwa bagi masyarakat pedesaan faktor ekonomi dan keadaan lingkungan geografis merupakan faktor kunci yang menentukan status gizi mereka. Dalam kata lain, apabila kedua faktor tersebut tidak menunjang, maka warga komunitas bersangkutan terutama bayi-balita sebagai kelompok rentan gizi akan lebih banyak yang menderita kekurangan gizi. Pendapat mereka itu, didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat pedesaan memperoleh dan memenuhi kebutuhan makanannya melalui jalur pembelian dan dengan cara memproduksi langsung dari lingkungan alamnya.
Apabila asumsi ahli gizi tersebut dikontekstualisasikan dengan keadaan kehidupan masyarakat nelayan Bajo, maka dapat dikatakan bahwa bayi-balita Orang Baja akan lebih banyak yang menderita kekurangan gizi dibandingkan dengan yang keadaan gizinya normal. Dikatakan demikian, sebab Orang Baja yang mata pencaharian utamanya sebagai nelayan tidak berbeda keadaan sosial ekonominya dengan nelayan lainnya yang berada di Indonesia; yakni lebih miskin dari petani dan pengrajin. Keadaan itu tentu saja menyebabkan daya belinya terhadap beragam jenis bahan makanan relatif terbatas. Hal itu kemudian tidak ditunjang oleh keadaan lingkungan geografis mereka. Sebab mereka membangun pemukiman mereka di pesisir pantai di atas permukaan taut; karena itu, mereka tidak dapat melakukan kegiatan bercocok tanam bahan makanan di sekitar rumah mereka dan juga tidak dapat melakukan kegiatan beternak.
Dengan keadaan sosial ekonomi dan lingkungan geografis yang demikian itu, menyebabkan mereka sangat sulit menghadirkan makanan empat sehat lima sempurna di rumah mereka. Akan tetapi, sungguhpun keadaan ekonomi dan lingkungan geografis orang Bajo tampaknya tidak menunjang pemenuhan kebutuhan gizi mereka terutama kebutuhan gizi bayi-balita namun pada kenyataannyalebih banyak bayi-balita yang keadaan gizinya normal. Ini berarti bahwa sebagian besar orang Bajo telah berhasil mengantisipasi kendala ekonomi dan ekologis yang dihadapinya, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan makanan bayi-balita mereka. Kemampuan antisipatif tersebut termanifestasikan pada kebiasaan makan yang dikembangkannya.
Berdasar dari uraian itulah, maka tesis ini mengkaji mengenai kebiasaan makan orang Baja, terutama kebiasaan makan ibu dan bayi-balita. dengan mengkaji kebiasaan makan ibu dan bayi-balita arang Baja tersebut, maka dapat diungkapkan mengenai kontribusi kebiasaan makan terhadap adanya sebagian bayi-balita yang keadaan gizinya normal dan sebagian lainnya yang keadaan gizinya kurang.
Upaya untuk mengungkap kebiasaan makan tersebut, dilakukan penelitian lapangan selama kurang lebih enam bulan lamanya. Pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan survey dan dengan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Penelitian survey dilakukan dalam rangka mendapatkan data-data dasar yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedangkan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih komprehensif berkenaan dengan masalah yang diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya angka bayi-balita yang keadaan gizinya normal disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: (i) kehadiran juragang yang selain berperan sebagai pihak yang menadah dan mendistribusikan basil tangkapan nelayan, juga selalu siaga memberikan bantuan pinjaman kepada nelayan yang memerlukan bantuannya; (ii) adanya kebiasaan saling memberi bahan makanan (reciprocity) di antara Para nelayan, khususnya sayur-sayuran dan ikan; (iii) pengolahan ikan dilakukan dengan Cara yang beragam dan salah satu di antaranya yang tidak melalui proses perapian. Variasi pengolahan ikan yang demikian itu, selain dapat merangsang selera makan setiap individu juga kondusif untuk memenuhi kebutuhan protein.
Demikian juga ikan yang diolah tanpa melalui proses perapian selain mempunyai kandungan protein yang tinggi juga mengandung vitamin A, C, dan D; (iv) umumnya keluarga prang Bajo tidak membedakan antara orang dewasa dan anak-anak dalam hal pendistribusian makanan. Konsekuensinya adalah memungkinkan bagi setiap anggota keluarga, terutama anak-anak, mendapatkan porsi makanan yang dibutuhkannya; (v) ibu hamil dan menyusui mengkonsumsi makanan yang lebih banyak dan lebih bervariasi dibandingkan dengan ketika is tidak dalam keadaan hamil dan menyusui; (vi) semua ibu menyusui yang kondisi kesehatannya baik senantiasa memberikan ASI kepada bayi-balitanya hingga berusia antara 1 s.d 3 tahun; dan (vii) umumnya bayi-balita mendapatkan makanan tambahan sejak berumur antara 3 s.d. 6 bulan. Jenis makanan tambahan yang diberikan adalah disesuaikan dengan usia bayi-balita; yakni dimulai dengan makanan lunak dan kemudian makanan semi-padat serta akhirnya disamakan dengan makanan orang dewasa.
Sementara itu, bagi bayi-balita yang keadaan gizinya kurang dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya (i) semasa bayi-balita itu masih dikandung ibunya menderita penyakit tertentu; (ii) ibu menyusui menderita penyakit tertentu sehingga is tidak dapat memberi ASI kepada bayibalitanya secara konsisten dan juga tidak dapat merawat bayi-balitanya secara baik; (iii) bayi-balita itu sendiri yang menderita penyakit tertentu, seperti penyakit balakiangi, doko ana', dan kasiwiang. Janis penyakit itu ditanggapi oleh orang Bajo sebagai penyakit yang hanya dapat disembuhkan oleh praktisi medis tradisional, dan proses penyembuhan itu dilakukan dengan memantangkan kepada penderita mengkonsumsi jenis makanan tertentu; dan (iv) bayibalita kurang mendapatkan perhatian dan perawatan, terutama dalam hal pemberian makanan. Ini terjadi di antaranya disebabkan oleh besarnya jumlah anak, ibu itu sendiri yang menangani semua urusan rumahtangganya, dan ibu itu bersikap mesa bodoh terhadap bayi balitanya."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joosje J. Hassan
"Di Indonesia berhasilnya pembangunan pada masa orde baru khususnya di bidang kesehatan berdampak positif pada Umur Harapan Hidup {Life Expectancy) pada penduduk Indonesia, sehingga penduduk yang berusia lanjut/manula akan meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Hal ini mempunyai dampak pada timbulnya masalah kesehatan dan gizi manula. Salah satu masalah kesehatan pada golongan tersebut adalah anemia. Di Indonesia Husaini (1990) mendapatkan prevalensi anemia pada golongan tersebut 37,5% dan di Amerika Serikat Jansen {1990) 40%. Pada umumnya anemia yang terdapat disebabkan oleh defisiensi zat besi. Faktor-faktor penyebab defisiensi zat besi pada golongan manula ini adalah masukan makanan yang kurang, gangguan absorpsi zat besi dan perdarahan gastrointestinal yang kronis. Ketiga faktor penyebab tersebut erat kaitannya dengan perubahan fisiologis dan patologis yang terjadi pada golongan manula.
Penelitian ini bertujuan mengetahui status besi pada golongan manula dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Telah dilakukan studi cross sectional pada 100 orang manula umur 60-83 tahun yang tinggal di Kelurahan Utan Kayu Selatan, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Pada subjek penelitian dilakukan pemeriksaan fisik,laboratorium dan wawancara terarah meliputi keadaan social ekonomi, pengetahuan dan perilaku gizi serta kebiasaan makan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada manula yang diteliti, tingkat status besi yang tergolong normal 81% sedangkan yang tergolong defisiensi 19%, berpenghasilan rendah 85%, berpendidikan rendah 75%, berpengetahuan gizi kurang 88% dan berperilaku gizi kurang 93%. Ditemukan hubungan yang bermakna antara status besi dengan masukan zat besi, vitamin C dan tingkat penghasilan dan juga hubungan bermakna antara pengetahuan gizi dengan tingkat pendidikan. Variabel-variabel lain yang diteliti tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan status besi.

The National Development programmed implemented by the Indonesian government in the last two decades have brought about positive effects on life expectancy, which results in a yearly increase of the elderly among the population. The increase has certain important implications on health and nutrition in the elderly. One of the many problems encountered in the specific age is anemia, the prevalence of which is currently 37.5 percent for Indonesia (Husa7ni, 1990), and 40 percent in the United States (Jansen, 1990). The anemia among the elderly is mostly caused by iron deficiency. The causative factors of iron deficiency anemia in the elderly are poor intake, disorders of iron absorption and chronic gastrointestinal bleeding. Those three factors are closely related to the physiological and pathological changes occurring in old age.
This study was done to obtain data on iron status and the influencing factors in elderly. A cross sectional study was done among 100 elderly persons, ages between 60 to 83 years old, at utan Kayu Selatan, Matraman district, East Jakarta. Investigation includes physical examination, laboratory test, and guided interview encompassing socioeconomic, general knowledge, and nutritional lifestyle and eating habits.
The results of the investigation among the elderly revealed that, 81 percent, among the elderly was normal level of iron status whereas Deficiency was found in 19 percent; low income was found in 85 percent of respondents, and low educational level 75 percent. Lack of knowledge on nutrition was found in 88 percent and poor nutritional lifestyle in 93 percent. Significant associations were found between iron status and iron, vitamin C intake and the level of income; and also between knowledge on nutrition and. the level of education. There was no significant association between iron status and the other variables being studied.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library