Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Tujuan: Mempelajari perubahan tatanan miokardium ventrikel pada model hipertrofi fisiologik akibat latihan fisik jangka panjang dan detraining. Metode: Studi eksperimental in vivo menggunakan tikus galur Wistar jantan (8 minggu), berat 150-250g dan dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu kelompok kontrol, perlakuan erobik dan anerobik. Kelompok perlakuan terdiri dari 2 sub grup, yi. diberi latihan fisik selama 4 dan 12 minggu. Semua kelompok perlakuan dibagi menjadi 2 kelompok, satu kelompok dilakukan detraining selama 4 minggu sedang satu kelompok lagi tidak. Pada akhir minggu ke 4 dan 12 untuk kelompok kontrol dan perlakuan, dan minggu ke 8 dan 16 untuk kelompok training-detraining dilakukan pembedahan untuk mempelajari pemeriksaan morfometrik dan struktur histopatologi miokardium. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna berat jantung dan tebal ventrikel kiri pada kelompok aerobik dan anaerobik 4 minggu dibandingkan kontrol (751.0 ± 36.5 gr dan 791.1 ± 15.8 gr vs 588 ± 19.4 gr), (3.34 ± 0.12 mm dan 3.19 ± 0.1 mm vs 2.80 + 0.07 mm). Berat jantung kelompok erobik dan anerobik 12 minggu mengalami peningkatan dibandingkan kelompok kontrol (1030.8 + 82.4 gr dan 1140.4 + 0.24 gr vs 871.6 + 62.0 gr). Volume jantung kelompok erobik dan anerobik 12 minggu mengalami peningkatan perbedaan bermakna ( 3.58 + 0.31 mm dan 4.04 + 0.30 mm) dibandingkan kelompok kontrol (2.82 + 0.14 mm). Terdapat penambahan panjang bermakna pada sel otot jantung kelompok 4 minggu erobik dan anerobik (1.09 ± 0.08 µm dan 1.00 ± 0.12 µm) dibandingkan dengan kelompok kontrol (0.73 ± 0.1 µm). Lebar sel otot jantung kelompok 4 minggu erobik dan anerobik menunjukkan peningkatan bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol (5.38 ± 1.3 µm dan 5.5 ± 2.11 µm) vs (2.74 ± 0.53 µm ). Penurunan bermakna dijumpai pada panjang sel otot jantung kelompok erobik 4 minggu yang menjalani detraining (0.94 ± 0.08 µm) dibandingkan kelompok latihan (1.09 ± 0.08 µm). Didapatkan peningkatan bermakna panjang sel otot jantung kelompok 12 minggu erobik dan anerobik (1.3 ± 0.04 µm dan 1.2 ± 0.07 µm) dibandingkan dengan kelompok kontrol (0.95 ± 0.69 µm) dan pertambahan lebar sel otot jantung kelompok 12 minggu erobik dan anerobik (7.3 ± 1.01 µm dan 6.44 ± 0.08 µm) dibandingkan kontrol (4.52 + 0.91 µm). Kesimpulan: Latihan erobik dan anerobik jangka panjang pada tikus dewasa muda menimbulkan hipertrofi dinding dan pelebaran rongga ventrikel kiri, dan juga fibrosis ringan. Pada periode detraining terjadi regresi tebal dan rongga ventrikel, dan penyusutan luas daerah fibrosis ventrikel ke keadaan normal.

Abstract
Aim: To study the structural changes of the ventricular myocardium in a physiological hypertrophic heart model due to long term aerobic and anaerobic physical training and detraining. Methods: In-vivo experimental study on Wistar rats (8 weeks old), weighing 150-250 grams who were divided into 3 large groups: control group, aerobic exercise group and anaerobic exercise group. Aerobic and anaerobic training were conducted for 4 and 12 weeks. At the end of 4 and 12 weeks of exercising, half of each exercising group was sacrificed to study the morphological and histopathological changes in myocardial structure. The remaining of the groups were given a period of 4 weeks of detraining and sacrificed at the end of the 8th and 16th week. Result: Significant differences in heart weight and left ventricular wall thickness was found in the 4 weeks of aerobic and anaerobic group compared to the control group (751.0 ± 36.5 gr and 791.1 ± 15.8 gr vs 588 ± 19.4 gr ), (3.34 ± 0.12 mm and 3.19 ± 0.1 mm vs 2.80 ± 0.07 mm). An increase in heart mass weight was observed in both 12 weeks aerobic and anaerobic training group compared to the control group (1030.8 ± 82.4 gr and 1140.4 + 0.24 gr vs 871.6 ± 62.0 gr). Heart volume of the 12 weeks aerobic- anaerobic groups showed a significant increase (3.58 ± 0.31 mm and 4.04 ± 0.30 mm) compared to the control group (2.82 ± 0.14 mm). There was a significant increase in the length of the cardiac muscle cells of the 4 weeks aerobic and anaerobic group (1.09± 0.08 µm and 1.00± 0.12 µm) compared with the control group (0.73±0.1 µm). Width of heart muscle cells in the 4 weeks aerobic-anaerobic group showed a significant increase when compared to the control group (5.38± 1.3 µm and 5.5± 2.11 µm) vs (2.74± 0.53 µm). Significant reduction in the length of cardiac muscle cells in the detrained 4 weeks aerobic group (0.94± 0.08 µm) was found when compared to the treatment group (1.09± 0.08 µm). Significant differences were found between the length of cardiac muscle cells in the 12 weeks aerobic-anaerobic groups (1.3± 0.04 µm and 1.2± 0.07 µm) compared to the control group (0.95± 0.69 µm). Significant width increments of heart muscle cells was found in the 12 weeks aerobic -anaerobic groups (7.3± 1.01 µm and 6.44± 0.08 µm) compared to the control group (4.52 ± 0.91 µm). Conclusion: Long term aerobic and anaerobic training causes an increase in both wall thickness and diameter of the left ventricular cavity, as well as slight fibrosis. The increase in wall thickness, diameter, and fibrosis diminish during detraining period. "
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Aktivitas fisik mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen. Oksigen diperlukan untuk fosforilasi oksidatif dalam rangka menghasilkan ATP. Tingginya kebutuhan oksigen selama aktivitas fisik yang tidak diikuti dengan kemampuan suplai oksigen yang cukup, mengakibatkan terjadi hipoksia di jaringan otot. Dalam kondisi hipoksia gen utama yang mengalami upregulasi adalah Hypoxia Inducible Factor-1α (HIF-1α). Melalui aktivitas HIF-1α, ekspresi sejumlah gen akan mengalami peningkatan guna mengurangi ketergantungan sel terhadap oksigen sekaligus meningkatkan pasokan oksigen ke jaringan, termasuk gen VEGF. Pada otot jantung belum diketahui apakah aktivitas fisik juga mengakibatkan hipoksia serta apakah HIF-1α dan VEGF berperan dalam mekanisme adaptasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara HIF-1α dan VEGF dalam jaringan otot jantung tikus yang diberi aktivitas fisik aerobik dan anaerobik.
Metode: Jaringan otot jantung berasal dari tikus yang diberi aktivitas fisik aerobik dan anaerobik menggunakan treadmill selama 1, 3, 7 dan 10 hari. Kemudian dilakukan pengukuran konsentrasi HIF-1α dan konsentrasi VEGF jaringan.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan protein HIF-1α dan VEGF (p < 0,05) pada kelompok yang diberi perlakuan aktivitas fisik aerobik dan anaerobik. Peningkatan konsentrasi HIF-1α tertinggi terjadi pada hari pertama perlakuan dan konsentrasi HIF-1α kelompok anaerobik lebih tinggi dibandingkan kelompok aerobik (156,8 ± 33,1 vs 116,03 ± 5,66). Begitu pula dengan konsentrasi VEGF pada kelompok anaerobik konsentrasi tertinggi terjadi pada hari pertama (36,37 ± 2,35), sedangkan pada kelompok aerobik konsentrasi VEGF tertinggi terjadi pada hari ke-3 (40,66 ± 1,73). Terdapat korelasi antara konsentrasi HIF-1α dan konsentrasi VEGF jaringan dengan tingkat korelasi sedang (r = 0,59) pada kelompok aerobik dan korelasi yang kuat pada kelompok anaerobik (r = 0,69).
Kesimpulan: Aktivitas fisik aerobik dan anaerobik mengakibatkan peningkatan konsentrasi HIF-1α dan VEGF pada otot jantung tikus dalam pola yang spesifik. Kondisi anaerobik memicu peningkatan kebutuhan vaskularisasi lebih kuat dan lebih dini dibandingkan kelompok aerobik.

Abstract
Background: Exercise increases the need for oxygen to generate ATP through oxidative phosphorylation. If the high energy demand during exercise is not balanced by sufficient oxygen supply, hypoxia occurs in skeletal muscle tissue leading to upregulation of hypoxia inducible factor-1α (HIF-1α). The activity of HIF-1α increases the expression of various genes in order to reduce the metabolic dependence on oxygen and to increase oxygen supply to the tissue, e.g., VEGF which plays a role in angiogenesis. In myocardium, it is unlcear whether exercise leads to hypoxia and whether HIF-1α and VEGF play a role in the mechanism of hypoxic adaptation. This study aimed to investigate the correlation of HIF-1α and VEGF in heart muscle tissue of rats during aerobic and anaerobic exercise.
Methods: A rat treadmill was used with a specific exercise program for 1, 3, 7 and 10 days. The concentrations of HIF-1α and VEGF were measured the myocardium.
Results: Both, HIF-1α protein and VEGF were increased (p < 0.05) in the groups with aerobic and anaerobic exercise. Concentrations of HIF-1α were highest on the first day of activity, being higher in the anaerobic than in the aerobic group (156.8 ± 33.1 vs. 116.03 ± 5.66). Likewise, the highest concentration of VEGF in the group with anaerobic exercise occurred on the first day (36.37 ± 2:35), while in the aerobic group, VEGF concentration was highest on day 3 (40.66 ± 1.73). The correlation between the myocardial tissue consentrations of HIF-1α and VEGF is moderate (r = 0.59) in the aerobic group and strong in the anaerobic group (r = 0.69).
Conclusion: Aerobic and anaerobic exercise increase HIF-1α and VEGF concentrations in rat myocardium in specific patterns. The anaerobic condition triggers vascularization stronger and obviously earlier than aerobic exercise."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Sriwijaya. Fakultas Kedokteran], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Wahyuni MS
"Latar Belakang: Kejadian pandemi penyakit Coronavirus disease 2019 (COVID-19) telah menyebar ke berbagai belahan dunia dengan peningkatan angka pasien terkonfirmasi dan meninggal. Cedera miokard akut merupakan salah satu manifestasi klinis yang sering timbul pada pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengakibatkan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas. Meskipun demikian, kejadian cedera miokard akut pada pasien COVID-19 belum banyak didokumentasikan. Penelitian ini bertujuan mengetahui kejadian cedera miokard akut pada pasien COVID-19 serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan data rekam medis pasien COVID-19 yang dirawat di RSUP Persahabatan, Jakarta, selama periode Juni-Desember 2020. Prevalens cedera miokard akut dinilai dengan menggunakan kadar pemeriksaan high sensitivity Troponin I (hsTrop-I). Penelitian ini juga menentukan hubungan antara faktor demografi, riwayat penyakit komorbid kardiovaskular, derajat penyakit, penanda respon inflamasi serta faktor koagulasi dengan kejadian cedera miokard akut pada pasien terkonfirmasi COVID-19.
Hasil: Dari total 340 sampel yang diikutkan dalam penelitian ini didapatkan sebanyak 62 (18,2%) sampel mengalami cedera miokard akut, mayoritas berusia diatas 40 tahun (93,5%). Cedera miokard akut lebih dominan terjadi pada sampel dengan riwayat komorbid (90,3%) dan derajat penyakit berat-kritis (87,1%). Prokalsitonin dan d-Dimer secara konsisten menunjukkan hubungan yang bermakna pada uji bivariat dan multivariat dengan kejadian cedera miokard akut.
Kesimpulan: Prevalens cedera miokard akut pada pasien COVID-19 di RS Persahabatan sebesar 18,2%. Cedera miokard akut berhubungan dengan kadar prokalsitonin, d-Dimer dan komorbid kardiovaskular.

Background: The pandemic of Coronavirus disease 2019 (COVID-19) has spread worldwide with the growing number of confirmed patients and deaths. Acute myocardial injury is one of the most common clinical manifestations in COVID-19 patients, results in higher risk of morbidity and mortality. However, the prevalence of acute myocardial injury in COVID-19 patients is not well documented. This study aimed to assess the prevalence of acute myocardial injury in COVID-19 patients.
Methods: This is a cross-sectional study utilizing medical record on COVID-19 patients admitted to Persahabatan hospital, Jakarta, within the period of June to December 2020. The prevalence of acute myocardial injury was assessed through high sensitivity Troponin I (hsTrop-I) levels examination. The association of demographic factors, cardiovascular disease comorbidities, disease severity, levels of inflammatory biomarkers and coagulation factor with acute myocardial injury were also determined.
Results: From a total of 340 patients enrolled in the study, 62 (18.2%) samples experienced acute myocardial injury, in which majority (93.5%) aged >40 years. The prevalence of acute myocardial injury was more dominant in patients with the history of comorbidities (90.3%) and severe-critically ill COVID-19 patients (37.1%). Procalcitonin and d-Dimer levels consistently showed significant association with acute myocardial injury from bivariate and multivariate analysis.
Conclusion: The prevalence of acute myocardial injury in COVID-19 patients in Persahabatan Hospital was 18,2%. Acute myocardial injury was significantly associated with procalcitonin levels, d-Dimer levels and cardiovascular comorbidities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardra Christian Tana
"Latar belakang dan tujuan: Pasien transfusion dependent thalassemia (TDT) rutin mendapatkan transfusi darah untuk mencegah komplikasi anemia kronik, namun kadar besi dalam tiap kantung transfusi yang diberikan akan menumpuk pada organ-organ, dan pada jantung akan mengakibatkan iron overload cardiomyopathy (IOC). Komplikasi IOC ini merupakan penyebab mortalitas tertinggi pada pasien thalassemia, sehingga dibutuhkan modalitas untuk deteksi dini agar tatalaksana dapat diberikan lebih awal. Modalitas terpilih untuk mendeteksi kadar besi dalam jantung adalah dengan mengukur nilai T2* miokardium menggunakan MRI sekuens T2*, namun karena adanya keterbatasan modalitas maka dibutuhkan metode lain. Pada pasien dengan IOC, akan terjadi gangguan pada fungsi diastolik jantung terlebih dahulu. Oleh karena itu parameter yang dapat menilai fungsi diastolik jantung diharapkan juga dapat mendeteksi IOC lebih dini. Parameter yang diajukan pada penelitian ini adalah left atrial ejection fraction (LAEF) dan left atrial expansion index (LAEI) yang menggambarkan fungsi diastolik jantung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode pemeriksaan alternatif dari penilaian T2* untuk mendeteksi IOC serta mengetahui korelasi antara LAEF dan LAEI dengan nilai T2* jantung.
Metode: Penelitian ini merupakan uji korelasi menggunakan desain potong lintang menggunakan data sekunder yang dilakukan di RSCM pada bulan April 2018 hingga September 2018. Didapatkan 70 subjek penelitian, yang masing-masing dilakukan pengukuran nilai T2* pada miokardium serta pengukuran dimensi atrium kiri. Analisis statistik menggunakan uji pearson.
Hasil: Didapatkan korelasi negatif rendah antara LAEF dengan nilai T2* (R= - 0,12, p>0,05) dan tidak didapatkan korelasi antara LAEI dengan nilai T2* (R= - 0,09, p>0,05).
Kesimpulan: Terdapat korelasi berkebalikan rendah antara LAEF dengan nilai T2* miokardium serta tidak didapatkan korelasi antara LAEI dengan nilai T2* miokardium. Oleh karena itu tidak dianjurkan penggunaan parameter tersebut untuk memprediksi IOC pada pasien dengan TDT.

Background and objectives:Transfusion dependent thalassemia (TDT) patients routinely get blood transfusions to prevent complications of chronic anemia, but iron content in each given transfusion sac will accumulate in the organs. In the heart it will result in iron overload cardiomyopathy (IOC), which is the highest cause of mortality in thalassemia patients. Therefore, modalities for early detection are needed so that early treatment can be given. Currently, the chosen modality for detecting iron levels in the heart is by measuring the myocardial T2 * value using MRI T2 * sequences, but due to limitations in modalities another method is needed. In patients with IOC, the diastolic function of the heart will occur first. For that reason, a parameter that can assess cardiac diastolic function is also expected to detect IOC earlier. The parameters proposed in this study are left atrial ejection fraction (LAEF) and left atrial expansion index (LAEI) which define cardiac diastolic function. The purpose of this study was to obtain an alternative examination method other than T2 * assessment to detect IOC and also to find out the correlation between LAEF and LAEI with heart T2 * values.
Method: This study is a correlation test using a cross-sectional design with secondary data, conducted at RSCM in April 2018 to September 2018. T2* score and left atrial dimensions was measured from all 70 subjects. Statistical analysis was done using Pearson correlation test.
Results: There was a low negative correlation between LAEF and T2 * (R = - 0.12, p> 0.05) and there was no correlation between LAEI and T2 * (R = - 0.09, p> 0.05).
Conclusion: There is low inverse correlation between LAEF and the myocardium T2 * value and there is no correlation between LAEI and myocardium * T2 value. Therefore, it is not recommended to use these parameters to predict IOC in patients with TDT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nindita
"Latar belakang. Gagal ginjal terminal (GGT) atau penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 merupakan masalah serius pada populasi anak dan dewasa, dengan insidens dan prevalensnya yang terus meningkat setiap tahun dan dapat menyebabkan komplikasi penyakit kardiovaskular. Kardiomiopati dilatasi (KMD) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian pada anak dengan GGT. Prevalens KMD pada anak GGT cukup bervariasi, antara 2- 41%. Namun, saat ini studi tentang kejadian KMD pada anak GGT di Indonesia masih terbatas, terutama pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis. 
Tujuan. Mengetahui prevalens KMD dan faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian KMD, yaitu etiologi GGT, status nutrisi, anemia, hipertensi dan jenis dialisis pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). 
Metode. Desain studi potong lintang dilakukan di RSCM pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis selama periode 2017-2022 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data dilakukan melalui penelusuran rekam medik. 
Hasil. Terdapat 126 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan jenis kelamin lelaki lebih banyak (59,5%), mayoritas usia di atas 5 tahun (98,4%), dengan median 12 tahun (10-15). Sebanyak 95,2% subjek adalah rujukan dari rumah sakit luar datang pertama kali ke RSCM dengan kegawatdaruratan dan membutuhkan dialisis segera. Prevalens KMD pada studi ini adalah 53,2%. Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan anemia dan status nutrisi berasosiasi positif dengan kejadian KMD (OR 4,8, IK 95% 1,480-15,736, p=0,009) ; (OR 9,383, IK 95% 3,644-24,161, p=0,000). Tidak terbukti adanya hubungan etiologi PGK, hipertensi dan jenis dialisis dengan kejadian KMD. 
Kesimpulan. Prevalens KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di RSCM adalah 53,2%. Terdapat asosiasi positif antara anemia dan status nutrisi dengan kejadian KMD. Etiologi GGT, hipertensi, dan jenis dialisis tidak berasosiasi dengan kejadian KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis.  

Background.  Kidney failure is a serious problem in children with the incidence and prevalence increasing every year, can cause cardiovascular disease. Dilated cardiomyopathy (DCM) is one of the cardiovascular disease can cause mortality in children with kidney failure. The prevalence varies between 2-44% and limited studies in Indonesia especially in children with kidney failure on dialysis. 
Objective. To determine the prevalence of DCM and risk factors in children with kidney failure on dialysis in Cipto Mangunkusumo hospital. The association of etiology of kidney failure, nutritional status, anemia, hypertention, and type of dialysis with DCM in children with kidney failure. 
Methods. A cross-sectional study among children with kidney failure according to the inclusion and exclusion criteria during 2017-2022 periode, in Cipto Mangunkusumo hospital. Collecting data using medical record. 
Result. There were 126 study subjects, with 59,5% male and 98,4% over 5 years old, the median is 12 years (10-15). The prevalence of DCM was 53.2%. The results of the multivariate analysis showed anemia and nutritional status were associated with the incidence of DCM, (OR 4.8, 95% CI 1.480-15.736, p=0.009); (OR 9.383, 95% CI 3.644-24.161, p= 0.000). There is no association between the etiology of kidney failure, hypertension and type of dialysis with DCM. 
Conclussion. The prevalence of DCM in children with kidney failure on dialysis was 53.2%. Anemia and nutritional status was associated with DCM in children with kidney failure on dialysis. The etiology of kidney failure, hypertension, and type of dialysis were not associated with DCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library