Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Deksa Presiana
"Perkembangan dunia industri, selain membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat, dapat juga menimbulkan dampak yang tidak diinginkan sebagai akibat dari kegiatan industri itu sendiri. Hal ini terlihat pada industri tekstil, di mana debu kapas yang dihasilkan akibat proses produksi dapat mengganggu kesehatan terutama sistem pernapasan pekerja. Pekerja bagian weaving PT.Lucky Print Abadi, Cibitung, Jawa Barat mengalami sesak papas dan batuk sebanyak 25% pada tahun 1998 dan 30% pada tahun 1999. Hal inilah yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Belum ada data dosis debu kapas yang terhirup pekerja dan kelainan faal paru pekerja bagian weaving PT. Lucky Print Abadi, Cibitung, Jawa Barat.
Penelitian ini dilaksanakan di bagian weaving PT.Lucky Print Abadi, Cibitung, Jawa Barat, dengan menggunakan rancangan cross sectional dan bersifat deskriptif analitik. Jumlah sampel sebanyak l6 orang pekerja sesuai kriteria sampel yang telah ditetapkan oleh peneliti.
Dari hasil penelitian diketahui pekerja mengalami kelainan faal paru sebesar 75% yang terdiri dari gangguan obstruksi yang terbanyak yaitu 37,5%, gangguan restriksi 25% dan gangguan yang bersifat kombinasi (obstruksi dan restriksi) sebesar 12,5%. Umur pekerja bervariasi antara 18 tahun sampai 29 tahun dengan masa kerja antara 8 bulan sampai 24 bulan. Kebiasaan menggunakan alat pelindung diri yang baik baru mencapai 37,5% dan kebiasaan merokok pada pekerja hanya 25%. Pekerja yang terpajan debu kapas melebihi nilai ambang batas sebesar 68,75% dan didapatkan pekerja yang pernah atau yang sedang mengalami gangguan penyakit paru obstruktif kronis sebesar 31,25%.
Disarankan melakukan upaya mengurangi dosis debu kapas yang diterima pekerja dengan pengendalian teknik, pengendalian administratif dan alat pelindung diri yang meliputi penambahan jumlah dan jenis alat pembersih debu kapas (dust cleaner), pemeriksaan berkala untuk dosis debu kapas yang diterima pekerja dan pemeriksaan kesehatan fungsi paru pekerja, serta mengganti jenis alat pelindung diri yang digunakan (masker) dengan masker yang dilengkapi tudung muka atau tudung mulut dan penjepit hidung serta penapis untuk menghilangkan debu.
Hasil penelitian ini hanya untuk kondisi pekerja bagian weaving PT. Lucky Print Abadi, Cibitung, Jawa Barat, tidak dapat digunakan untuk menggeneralisisr keseluruhan pekerja PT. Lucky Print Abadi, Cibitung, Jawa Barat maupun pekerja-pekerja dan lingkungan kerja pada pabrik-pabrik tekstil lainnya di Indonesia.

Study on the Exposures Cotton Dust and Disfunetion of Lung Physiology of Workers in the Weaving Department of the Textile Company, PT. Lucky Print Abadi, on Cibitung, West Java, in the Year 2000Industrial Development could enhance community income on the other hand, if could cause unexpectedlunwanted effect which derived from industrial activities. In the textile industry impact cotton dust can be produced as a result of textile production process. It can cause adverse health effect mainly in the respiratory system. Based on the research, 25% of workers from weaving division of PT. Lucky Print Abadi, Cibitung, West Java, experience the difficulties to breath and cough in 1998 and 30% in 1999. Until now (year of 2000), there is no information about cotton dust dosage that expose the workers and disfunction of lung physiology of the workers in the weaving division.
Research was done in the weaving division of PT_ Lucky Print Abadi, on the Cibitung area of West Java, using the cross sectional and descriptive method. The sample taken from this study is 16 workers bases on the criteria set by the researcher. The age ranges between 18 and 19 years old with the working period between 8 and 24 month.
The main result from this study is that about 75% of the workers experienced the disfunction of lung physiology. The break down of this number is 37.5% on obstructive, 25% on restrictive, and 12.5% on combination of both. In addition to that result, the study says that about 37.5% of the workers use appropriate personnel protective equipment and about 25% of them are smoke. The number looks higher when it come to the fact that about 68.75% Of the workers were effected by the cotton dust out of the upper limit. More over, the workers ever and ce rently experience the obstructive-chronic lung disease is about 31.25%.
Furthermore, the study suggest that some solution to reduce the concentration of cotton dust are by controlling the technical and administrative use of masker (including the increase of quantity and type of dust cleaner), periodical checking of cotton dust concentration consume by the workers, periodical lung functional checking, as well as changing the type of currently used masker with the better masker, which equipped by the face or mouth cover, nose clip, and dust filter.
This research result only for workers in the weaving division and can not be generalized for all workers in PT. Lucky Print Abadi, Cibitung, Weast Java and workers and the work enviroment in others textile industries in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T5961
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Memah
"Obstruksi paru sangat mempengaruhi aktivitas fisik, kesehatan dan produktivitas kerja. Petugas pemadam kebakaran yang mengalami gangguan obstruksi paru menghadapi masalah pernapasan seperti sesak, produksi dahak berlebihan dan kesulitan mencukupi tubuh akan oksigen. Tujuan penelitian meningkatkan derajat kesehatan petugas pemadam kebakaran melalui identifikasi gangguan obstruksi paru dan risiko yang mempengaruhinya serta mengupayakan pencegahan, menumbuhkan kesadaran untuk memperbaiki perilaku kerja sehat dan selamat. Metode penelitian potong lintang bersifat deskriptif analitik, mengukur gangguan obstruksi paru dengan responden petugas pemadam kebakaran kota Jakarta lima wilayah Suku Dinas. Data penelitian berupa observasi laporan, pengisian kuesioner, pemeriksaan fisis, ronsen dan sprirometri.Jumlah sampel n-357 responden. Hasilnya dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS 11,5, terdapat hubungan bermakna antara obstruksi paru dengan umur, yakni (p = 0,020) dengan OR 4,789 (CI 95%) dimana petugas pemadam kebakaran umur di atas 40 tahun risiko gangguan obstruksi paru 4,78 kali. Sementara faktor lain temyata tidak ada hubungan yang bermakna dengan obstruksi paru. Dari penelitian ini perlu dilakukan upaya mengatasi gangguan obstruksi paru dengan mengalihtugaskan atau mengurangi shift kerja di atas umur 40 tahun.

Pulmonary obstructive disorder largely affects physical activities, health and work productivity. The fire fighter suffering from pulmonary obstructive disorder has respiratory problems such as hard breathing, extensive mucus production etc. The objective of this study is to increase the fire fighters' health through, pulmonary obstructive identification and its risk factors. The research method was cross sectional descriptive analytic by measuring pulmonary obstructive disorder of respondents who were fire fighter in Jakarta. Data was obtained from observation, reports, filled questionnaires, physical examination, chest roentgen and spirometer. The number of samples analyzed was 357 respondents. The analyses of statistics used SPSS 11.5 and study results reported that there was significant relationship between pulmonary obstructive disturbance and respondents age (p = 0.05) with OR 4,748 (CI 95%: 0.98-19.6). The other independent factors i.e., level of education, work status, length of exposure, uration of work, frequency of fire extinguishing, smoking habit and using masks for body protection had no significant relationships with pulmonary obstruction. Suggestions were made to put workers in specific department considering their age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16189
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usyinara
"Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Eksaserbasi akut pada PPOK merupakan kejadian yang akan memperburuk penurunan faal paru. Saat fase ini berlalu, nilai faal paru tidak akan kembali ke nilai dasar, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat untuk mencegah terjadinya eksaserbasi.
Secara umum eksaserbasi adalah perburukan gejala pernapasan yang akut. Saat ini telah diketahui penyebab dan mekanisme yang mendasari terjadinya eksaserbasi. Faktor etiologi utama penyebab eksaserbasi adalah infeksi virus, infeksi bakteri, polusi. Perbedaan suhu dapat memicu eksaserbasi terutama saat musim dingin.
Infeksi bakteri merupakan pencetus eksaserbasi yang sangat penting. Eksaserbasi akut infeksi bakteri mudah terpicu karena pasien PPOK biasanya sudah terdapat kolonisasi bakteri. Pada 30% pasien PPOK ditemukan kolonisasi bakteri dan kolonisasi ini biasanya berhubungan dengan berat derajat obstruksi dan berat status merokok. Kolonisasi bakteri merupakan salah satu faktor penting menentukan derajat inflamasi saluran napas. Berbagai spesies bakteri dikatakan akan mempengaruhi derajat inflamasi saluran napas. Hill dkk., menemukan bahwa kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan mempengaruhi aktivifi mieloperoksidase (merupakan prediktor aktivasi neutrofil) yang tinggi sehingga derajat inflamasi akan meningkat.
Mengingat pentingnya kolonisasi bakteri sebagai faktor pencetus eksaserbasi maka peta kuman PPOK eksaserbasi akut di suatu daerah tertentu perlu diketahui. Hal ini akan mendasari pemilihan antibiotik empiris yang akurat sesuai dengan pola kuman daerah tersebut. Dengan diketahui pola dan sensitiviti kuman maka upaya penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut akan lebih akurat sehingga eradikasi bakteri penyebab eksaserbasi akan lebih mudah dilakukan.
Sputum masih sering digunakan untuk mencari kuman penyebab infeksi saluran napas bawah karena relatif murah, tidak invasif dan tanpa komplikasi walaupun menurut beberapa ahli nilai diagnostiknya kurang dapat dipercaya akibat kontaminasi kuman orofaring. Bartlett dkk., mengemukakan bahwa sensitiviti pemeriksaan sputum hanya 15 30%. Penelitian Supriyantoro membandingkan hasil seluruh sputum biakan positif dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut saluran napas bawah, ternyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang sama terdapat 30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih tingginya kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum. Terdapat berbagai metode invasif pengambilan sputum untuk menghindari kontaminasi orofaring misalnya pengambilan sekret melalui bronkoskop, aspirasi transtrakeal dan aspirasi transtorakal. Cara invasif tersebut mempunyai ketepatan yang tinggi namun membutuhkan tenaga yang terampil, biaya mahal dan risiko tinggi.
Berbagai usaha untuk memperbaiki kualiti sputum yang dibatukkan terus dilakukan. Teknik pencucian sputum merupakan salah satu metode noninvasif untuk mengurangi kontaminasi kuman orofaring pada spesimen sputum yang dibatukkan. Mulder dkk melakukan teknik pencucian sputum dengan NaCl 0,9% dan hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur spesimen yang diambil melalui bronkoskop. Bartlett dkk. melakukan pencucian sputum yang hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur aspirasi transtrakeal. Jabang melakukan penelitian dengan membandingkan hasil kultur sputum yang dibatukkan dengan dan tanpa pencucian sputum. Hasilnya pencucian sputum dapat mengurangi jumlah koloni dan keberagaman kuman dari sputum yang terkontaminasi dari sekret orofaring."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Ariza Soeprihatini Soemarwoto
"Siprofloksasin sering digunakan sebagai antibiotik pads PPOK eksaserbasi akut yang disebabkan infeksi bakteri, baik di poliklinik Asma maupun di lnstalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Persahabatan. Bakteri yang sering dijumpai pada PPOK eksaserbasi akut adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae dan Moraxela catarrhalis selain itu terdapat pula Pseudomonas aeruginosa, Kiebsiela spp, S. aureus, Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia spp. Pada pencucian sputum penderita PPOK oleh Jabang ditemukan Klebsiella spp, Pseudomonas spp, S. aureus dan Streptococcus spp. Uji kepekaan in vitro beberapa antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi saluran napas di Medan menunjukkan bahwa siprofloksasin mempunyai sensitiviti terbaik yakni antara 45-95%, terhadap Pseudomonas aeruginosa 66,7% dan terhadap Streptococcus pneumoniae 84,8%. Belum ada penelitian P. niruri yang digunakan bersamaan dengan siprofloksasin pada PPOK eksaserbasi akut yang disebabkan infeksi bakteri, diharapkan sehingga penggunaan ajuvan ini memberikan hasil yang positif.
Permasalahan
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang sering mengalami eksaserbasi akut karena telah terjadi kolonisasi bakteri. Salah sate penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut yang disebabkan bakteri adalah pemberian antibiotik. Pada beberapa penelitian ditemukan telah terjadi penurunan C3 maupun SOD pads PPOK dibanding kontrol. Phyllanthus niruri L merupakan suatu ajuvan, pada penelitian Ma'at dikatakan bahwa P. niruri dapat meningkatkan aktiviti respons imun nonspesifik mencit melalui peningkatan komplemen dan respons imun spesifik melalui peningkatan produksi IgM dan IgG. Beberapa penelitian terhadap P. niruri memberikan hasil yang positif akan tetapi belum ada penelitian penggunaan ajuvan ini pada PPOK eksaserbasi akut. Diharapkan penggunaan ajuvan bersamaan dengan siprofloksasin dapat memberikan hasil yang positif terhadap penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut.
Tujuan penelitian
Tujuan umum
Untuk mengetahui apakah Phyllanthus niruri L dapat meningkatkan efikasi pengobatan pada PPOK eksaserbasi akut yang disebabkan bakteri.
Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui apakah Phylanthus niruri L jika diberikan bersama siprofloksasin pada penderita PPOK eksaserbasi akut yang disebabkan bakteri dapat :
a. Mempercepat perbaikan gejala klinis berupa penurunan sesak dan penurunan jumlah maupun purulensi sputum
b. Meningkatkan perbaikan sistem imun, berupa peningkatan:
i. komplemen (C3)
ii. superoksid dismutase (SOD)
iii. imunoglobulin (Ig) M dan G
2. Mengetahui pola kuman PPOK eksaserbasi akut pada pasien rawat jalan maupun rawat inap di RS Persahabatan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T55897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Widiyawati
"Telah dilakukan penelitian peran n-acetylcysteine (NAC) dosis tinggi jangka pendek pada perubahan klinis dan kadar protein C-reaktif (CRP) penderita penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain completely randomized experiment. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran n-acetylcysteine dosis tinggi jangka pendek terhadap perubahan klinis dan nilai CRP penderita PPOK eksaserbasi akut.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua penderita PPOK eksaserbasi akut tanpa disertai gagal jantung, penyakit hepar, batu ginjal dan gagal ginjal, kanker paru, infeksi di luar saluran pemapasan, diabetes melitus dan pemakai kortikosteroid oral. Semua penderita dinilai skala klinis dan CRP sebelum dan 5 hari setelah perlakuan. Penilaian skala klinis berupa kesulitan mengeluarkan dahak dan auskultasi paru. Pemeriksaan nilai CRP menggunakan metode kuantitatif high sensity CRP.
Subyek penelitian berjumlah 42 orang, secara random dibagi menjadi 3 kelompok yaltu kelompok kontroi, NAC 600 mg dan NAC 1200 mg, masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Semua subyek penelitian mendapatkan terapi standar berupa aminofilin drip, cefotaxim 1 gram / 12 jam IV, metilprednisolon 62,5 mg / 8 jam IV, nebulizer ipratropium bromida 4x20 µg/hari dan fenoterol 4x200 µg/hari. Penelitian diikuti selama 5 hari dan tiap hari dinilai skala klinis. Data yang diperoleh dianalisis uji beda dengan ANOVA dan uji korelasi dengan uji pearson, dikatakan bermakna bila p < 0,05.
Hasil penelitian didapatkan perbedaan penurunan skala klinis antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 1,21 (p=0,001), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg 3,71 (p=0,000), dan kelompok NAC 600 mg dengan NAC 1200 mg 2,50 (p=0,000). Perbedaan penurunan rata-rata kadar CRP antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 16,93 (p=0,266), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg 1,95 (p=1,00) dan kelompok NAC 600 mg dengan NAC 1200 mg -14,97 (p=0,39). Lama perawatan di rumah sakit kelompok kontrol adalah 6-14 hari, rata-rata 7 hari (SD 2,287), kelompok NAC 600 6-12 hari, rata-rata 6,71 hari (SD 1,637) dan kelompok NAC 1200 6-10 hari, rata-rata 6,50 hari (SD 1,160). Uji korelasi antara kadar CRP dengan hitung leukosit didapatkan korelasi sedang dan bermakna. (r=0,402; p=0,08), dan korelasi antara kadar CRP dan hitung jenis neutrotil adalah korelasi sedang dan bermakna. (r=0,423; p=0,05). Hasil penelitian di atas menunjukkan perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding tanpa pemberian NAG. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding tanpa pemberian NAC. Perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim.
Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian NAC dosis dosis tinggi jangka pendek dapat memberikan perbaikan klinis pada penderita PPOK ekasaserbasi akut, tetapi tidak terdapat perubahan nilai CRP yang bermakna.

Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is an obstructive airway disorder characterized by slowly progressive and irreversible or only partially reversible. Oxidative stress is increased in patients with COPD, particularly during exacerbations and reactive oxygen species contribute to its pathophysiology. This suggests that antioxidants may be use in the treatment of COPD. Other studies have shown that nacetylcysteine (NAC) has antioxidant and antiinflamatory properties. In vitro, NAC inhibit neutrophil chemotaxis, interleukin (IL)-8 secretion and other pro-inflammmatory mediators such as the transcription nuclear factor (NF)-xB, which is directly correlated with the production of the systemic inflamatory marker C-reactive protein (CRP).
The aim of this study was to evaluate the role of high dose-short course n-acetylcysteine in clinical improvement and C - reactive protein's patients with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Forty two patients? exacerbations of COPD participated in this study. The subjects were randomly assigned, divided by three treatment groups: placebo (n=14), NAC 600 mg/day (n=14) and NAC 1200 mg/day (n=14), Concomintant use of inhaled p2-agonist and anticholinergics, aminophylline drip, cefotaxim 1g/12h, methyiprednisolon 62,5mg/8h were permitted during the study, while the use of antitussive and mucolitic were prohibited. Clinical symptoms were scored on 2-point scales, difficulty of expectoration and auscultation breath sound. CRP level are determined by high sensitivity C-reactive protein (HS-CRP). All measurements would be taken in baseline and were repeated after 5 days.
The results of this study showed that clinical outcomes were improved significantly in patients treated with NAC compared to placebo and clinical outcome of patients treated with NAC 1200 mg/day were more frequently significant than treated with NAC 600 mg/day. There was no significantly reduction in CRP level.
The conclusion was treatment with high dose short course NAC improving clinical outcomes in patients? exacerbations of COPD."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usyinarsa
"Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Eksaserbasi akut pada PPOK merupakan kejadian yang akan memperburuk penurunan faal paru. Saat fase ini berlalu, nilai faal paru tidak akan kembali ke nilai dasar, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat untuk mencegah terjadinya eksaserbasi.
Secara umum eksaserbasi adalah perburukan gejala pernapasan yang akut. Saat ini telah diketahui penyebab dan mekanisme yang mendasari terjadinya eksaserbasi. Faktor etiologi utama penyebab eksaserbasi adalah infeksi virus, infeksi bakteri, polusi. Perbedaan suhu dapat memicu eksaserbasi terutama saat musim dingin.
Infeksi bakteri merupakan pencetus eksaserbasi yang sangat penting. Eksaserbasi akut infeksi bakteri mudah terpicu karena pasien PPOK biasanya sudah terdapat kolonisasi bakteri. Pada 30% pasien PPOK ditemukan kolonisasi bakteri dan kolonisasi ini biasanya berhubungan dengan berat derajat obstruksi dan berat status merokok. Kolonisasi bakteri merupakan salah satu faktor penting menentukan derajat inflamasi saluran napas. Berbagai spesies bakteri dikatakan akan mempengaruhi derajat inflamasi saluran napas Hill dkk menemukan bahwa kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan mempengaruhi aktiviti mieloperoksidase (merupakan prediktor aktivasi neutral) yang tinggi sehingga derajat inflamasi akan meningkat.
Mengingat pentingnya kolonisasi bakteri sebagai faktor pencetus eksaserbasi maka peta kuman PPOK eksaserbasi akut di suatu daerah tertentu perlu diketahui. Hal ini akan mendasari pemilihan antibiotik empiris yang akurat sesuai dengan pola kuman daerah tersebut. Dengan diketahui pola dan sensitiviti kuman maka upaya penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut akan lebih akurat sehingga eradikasi bakteri penyebab eksaserbasi akan lebih mudah dilakukan.
Sputum masih sering digunakan untuk mencari kuman penyebab infeksi saluran napas bawah karena relatif murah, tidak invasif dan tanpa komplikasi walaupun menurut beberapa ahli nilai diagnostiknya kurang dapat dipercaya akibat kontaminasi kuman orofaring. Bartlett dkk. mengemukakan bahwa sensitiviti pemeriksaan sputum hanya 15-30%. Penelitian Supriyantoro membandingkan hasil seluruh sputum biakan positif dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut saluran napas bawah, temyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang sama terdapat 30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih tingginya kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum. Terdapat berbagai metode invasif pengambilan sputum untuk menghindari kontaminasi orofaring misalnya pengambilan sekret melalui bronkoskop, aspirasi transtrakeal dan aspirasi transtorakal. Cara invasif tersebut mempunyai ketepatan yang tinggi namun membutuhkan tenaga yang terampil, biaya mahal dan risiko tinggi.
Berbagai usaha untuk memperbaiki kualiti sputum yang dibatukkan terus dilakukan. Teknik pencucian sputum merupakan salah satu metode noninvasif untuk mengurangi kontaminasi kuman orofaring pada spesimen sputum yang dibatukkan. Mulder dkk melakukan teknik pencucian sputum dengan NaCl 0,9% dan hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur spesimen yang diambil melalui bronkoskop. Bartlett dkk. melakukan pencucian sputum yang hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur aspirasi transtrakeal. Jabang melakukan penelitian dengan membandingkan hasil kultur sputum yang dibatukkan dengan dan tanpa pencucian sputum. Hasilnya pencucian sputum dapat mengurangi jumlah koloni dan keberagaman kuman dari sputum yang terkontaminasi dari sekret orofaring."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anyta Hera Wahyuni
"Penurunan fungsi paru berperan pada peningkatan insiden PPOK  pada lansia. Penurunan fungsi kognitif dapat mempengaruhi ketepatan penggunaan inhaler dapat berdampak negatif terhadap prognosis. Tujuan Penelitian mengetahui hubungan fungsi kognitif dengan ketepatan penggunaan inhaler pada lansia PPOK. Metode penelitian menggunakan cross sectional dengan lokasi penelitian di poliklinik Paru Asma-PPOK. Sampel pada penelitian dipilih melalui teknik consecutive sampling berjumlah 96 responden lansia PPOK. Analisis data terdiri dari analisis univariat, analisis bivariat menggunakan uji Chi-square dan analisis multivariat menggunakan uji Regresi Logistik. Hasilnya responden mengalami gangguan fungsi kognitif dengan kategori tidak tepat dalam penggunaan inhaler sebanyak 46 responden (55.2%). Uji statistik regresi logistik didapatkan variabel fungsi kognitif berhubungan dengan ketepatan penggunaan inhaler (p=0,001; OR=40,524; CI 95% 12,537- 130,984). Kesimpulan ada hubungan antara fungsi kognitif dengan ketepatan penggunaan inhaler pada lansia PPOK setelah dilakukan uji statistik. Lansia mengalami gangguan fungsi kognitif tidak optimal dalam penggunaan inhaler. Pemberian edukasi pada lansia serta keluarga/caregiver dengan metode disesuaikan kemampuan kognitif lansia, seperti demonstrasi langsung, video instruksional, dan materi visual.

Decreased lung function contributes increased incidence of COPD in older adults. Impairment cognitive function affect accuracy of inhalers could have bad prognosis. Aim of study was to determine relationship between cognitive function with accuracy of inhaler usage in older adults with COPD. The research method used cross sectional location at polyclinic Asma-PPOK. The respondents were selected method through consecutive sampling technique, totalling 96 older adults with COPD. Data analysis consisted of univariate analysis, bivariate analysis using the Chi-square / Pearson Chi-square test, and multivariate analysis using the Logistic Regression test. Result respondents impaired cognitive function with inappropriate  use of inhalers as many as 46 respondents (55.2%). Logistic regression statistical obtained cognitive function correlated with accuracy of inhaler use (p=0.001; OR=40.524; CI95% 12.537- 130.984). Conclusion there correlation between cognitive function with accuracy of inhaler usage in older adults with COPD after statistical analysis. Older adults with impaired cognitive function are not optimal use inhalers. Providing education to older adults and caregivers by methods adjusted cognitive function, such as direct demonstrations, instructional videos, and visual materials."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendy Andika
"Latar Belakang: Penyakit paru dibagi menjadi dua jenis yaitu, penyakit paru obstruktif dan restriktif. Riwayat penyakit paru seperti asma dan infeksi saluran napas di masa kanak-kanak dapat menurunkan fungsi paru. Sebagian besar penyebab penyakit paru restriktifdi Indonesia adalah tuberculosis. Pasien dengan riwayat penyakit paru restriktif mempunyai fungsi paru yang menurun dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai riwayat penyakit paru restriktif.
Metode: Subyek penelitian diberikan kuesioner untung menentukan apakah dia pernah didiagnosa mempunyai penyakit paru dan selanjutnya fungsi paru subyek akan diperiksa dengan menggunakan KOKO legend spirometry. Data yang didapat akan di-interpretasikan dengan menggunakan guideline dari RS Persahabatan. Parameter yang digunakan adalah FVC/FVC prediksi, FEV1/FEV1 prediksi, and FEV1/FVC.
Hasil: Terdapat 8 subyek dari 40 subyek yang mempunyai riwayat penyakit paru (asma). Nilai rata-rata FVC/FVC prediksi subyek yang mempunyai riwayat penyakit paru dan yang tidak adalah 108% dan 108,15% (P= 0,97). Nilai rata-rata FEV1/FEV1 prediksi subyek yang mempunyai riwayat penyakit paru dan yang tidak adalah 106,12%. dan 109,19% (P=0.511). Nilai rata-rata FEV1/FVC subyek yang mempunyai riwayat penyakit paru dan yang tidak adalah 98,54% dan 90,13% (P= 0.519).

Background: The lung diseases are divided into two types which are obstructive and restrictive lung disease. The history of lung diseases such as asthma and respiratory infections in childhood could reduce the lung function in many years later in adulthood. Most restrictive lung disease in Indonesia is caused by tuberculosis. Patients who had history of restrictive pulmonary disease had lower lung function compared to those who had not.
Method: subjects are given questionnaires to determine whether he/she had ever been diagnosed as having pulmonary disease, and then have their lung function measured using KOKO legend spirometry. Data collected was interpreted using the Persahabatan guidelines. The parameters used are FVC/FVC prediction, FEV1/FEV1 predicion, and FEV1/FVC.
Result: There were 8 subjects out of 40 subjects who had history of pulmonary disease (asthma). The mean of FVC/FVC prediction of subjects who had history of pulmonary disease and who had no were 108% and 108,15% respectively (P= 0,97). The mean of FEV1/FEV1 prediction of subjects who had history of pulmonary disease and who had not were 106,12%. and 109,19% respectively (P=0.511). The mean of FEV1/FVC of subjects who had history of pulmonary disease and who had not were 98,54% and 90,13% respectively (P= 0.519).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Marganda D.A.
"Tujuan: Untuk mengetahui prevalens gangguan obstruksi saluran napas dan asma kerja, hubungan gangguan obstruksi saluran napas dan asma kerja dengan pajanan debu biji padi, dan faktor-faktor yang berhubungan seperti usia, jenis kelamin, masa kerja, lama kerja, kebiasaan merokok, indeks massa tubuh, tingkat pendidikan, ISBB, kelembaban udara, kadar debu dan kebiasaan berolah raga pada petani dengan riwayat batuk berdahak.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain penelitian cross sectional. Pcngumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, pengamatan langsung, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spirometri menggunakan alat spirometer, arus puncak ekspirasi (APE) mcnggunakan peak flowmeter dan pengukuran kadar debu menggunakan stationerer dust sampler di lapangan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS 11.5. Terhadap semua variabel dilakukan nji bivariat, kemudian variabel yang mempunyai nilai p < 0.25 dilakukan uji multivariat.
Hasil: Prevaiens gangguan obstruksi saluran napas adalah 2,6%. Tidak ditemukan prevalens asma kerja. Pada analisis bivariat, tidak ditemukan adanya hubungan yang bemakna antara faktor usia, jenis kelamin, masa kerja, lama kerja, kebiasaan merokok, indeks massa tubuh, tingkat pendidikan, ISBB, kelembaban udara, kadar debu dan kcbiasaan berolah raga, dengan gangguan obstruksi saluran napas dan asma kerja. Hasil pengukuran kadar debu, berkisar < 3mg/m3, sedangkan indeks APE berkisar 3,38 dan l0,5. Analisis multivariat tidak dilakukan karena hanya terdapat satu faktor risiko yang memenuhj syarat yaitu kebiasaan berolah raga.
Kesimpulan: Prevalens gangguan obstruksi saluran napas adalah 2.6%. Tidak ditemukan prevalens asma kerja, serta tidak terdapat hubungan yang bemakna antara pajanan debu biji padi, dan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan obstruksi saluran napas dan asma kerja.

Objectives: The aim of this study, was to know the prevalence of obstructive pulmonary disease and work-related asthma and relation between it with dust exposure from grain and the other related factors likes age, sex, length of employment, work period, smoking habits, body mass index, level of education, wet and buld globe temperature (WBGT), humidity, level of dust from grain and exercise habits among rice farmers with phlegm-cough history in Samarang village.
Method: The study design was a cross-sectional study which data was collected by using questionnaire, field observation, meastutement of workplace environment and physical examination. Interview and their questionnaire were used to collect data about demography, health and smoking habits. Spirometry test was done to diagnose obstructive pulmonary disease and peak-Flowmeter test to diagnose work-related asthma. All variable were bivariate tested by using Chi-square test or Fischer test. The variables which have p value < 0.25 were included into multivariate analysis by using binary logistic regression.
Result: It was found that prevalence of obstructive pulmonary disease was 2.6%. Bivariate analysis shows that no significant relationship between related factors like age, sex, length of employment, work period, smoking habits, body mass index, level of education, wet and buld globe temperature (WBGT), humidity, level of dust from grain and exercise habits with obstructive pulmonary disease and work-related asthma. The range level of dust from grain was < 3 mg/m3 with peak flowmeter index was 3.38 and l0.5. Multivariate analysis was not done because only one factor like exercise habits have p value < 0.25.
Conclusion: There is no significant relationship between obstructive pulmonary disease and work-related asthma with dust exposure from grain and the other related factors. Prevalence of obstructive pulmonary disease was 2.6%
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32310
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Erni
"Penyajian serial kasus ini bertujuan untuk menganalisis dukungan nutrisi optimal pada penderita paru-paru obstruktif kronis. Pemilihan kasus berdasarkan karakteristik yang terdapat pada pasien paru-paru obstruktif kronis, yaitu usia lansia, sedang mengalami eksaserbasi akut, terdapat komplikasi dan faktor komorbid, serta malnutrisi (underweight atau obesitas), yang dirawat di rumah sakit. Kebutuhan energi ditentukan dengan menggunakan perhitungan rumus Harris Benedict dan dikalikan dengan faktor stres yang sesuai. Komposisi protein 1,2–1,7 gr/kg BB/hari, lemak 25-30%, dan karbohidrat 50–60%. Hasil analisis dari dua kasus didapatkan rerata pencapaian asupan lebih dari 90% kebutuhan energi basal pada hari terakhir perawatan, satu kasus mencapai 70%, dan satu kasus lagi telah mencapai mencapai 85% kebutuhan energi total. Hanya satu kasus yang mendapat suplementasi mikronutrien lengkap dosis RDA. Monitoring dan evaluasi yang diberikan meliputi klinis, imbang cairan, toleransi asupan, dan analisis asupan. Dukungan nutrisi yang optimal, pemberian edukasi serta motivasi kepada pasien dan keluarganya, akan memberikan toleransi asupan yang baik disertai perbaikan klinis.

The aim of this serial case is to analyze optimal nutritional support in patients with COPD. The cases selection based on the characteristics of COPD patients, i.e. older age, acute exacerbation, complications, and comorbidity factor, as well as malnutrition (underweight or obese), who were hospitalized. Basal energy requirement were determined by the Harris-Benedict equotion and was multiplied by stress factor to calculate total energy requirement. Macronutriens compositions for protein ranged from 1.2 - 1.7 g/kg bw /day, lipids 25-30%, and carbohydrate 50-60% of total calories requirement. Intake analysis from two cases showed a mean intake over 90% of basal energy needs on the last day of treatment, one case reached 70%, and other case reached up to 85% of total energy needs. Only one case received full-dose micronutrient supplementation equal to RDA. Monitoring and evaluation included clinical status, fluid balance, intake tolerance, and intake analysis. Optimal nutritional support, provision of education and motivation to patients and their families, will enhanced intake tolerance along with clinical improvement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>