Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rohsapto P. Mardjuki
"Ketersediaan air irigasi sangat penting bagi program intensifikasi tanaman pangan (beras). Kebutuhan air irigasi meningkat sejalan dengan peningkatan kemajuan di pedesaan, sedangkan efisiensi penggunaan air irigasi masih relatif rendah yang bersumber dari kelemahan manajemen. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang merupakan pengguna dan sekaligus pengelola irigasi partisipatif dipublikasikan mempunyai kinerja yang rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel bebas (independent variable) dari indikator-indikator sosialisasi kebijakan, keadaan organisasi dan kerjasama masyarakat terhadap kinerja P3A. Penelitian ini menggunakan data cross section yang dikumpulkan dengan metoda survei menunakan kuesioner tertutup dan terbuka, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan menggunakan metoda eksplorasi. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive sampling) di Daerah Irigasi Papah Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah sample sebanyak 10% dari populasi dengan tingkat kesalahan 1%-5% berdasarkan Tabel Isaac dan Michael. Parameter diestimasi dengan skala likert yang dimodifikasi dan kategori. Data diolah menggunakan paket program komputer Statistical Package for Social Science for Windows versi 7,5. Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi berganda model persamaan tunggal.
Kinerja P3A di lokasi penelitian ini tergolong cukup baik, meskipun hasil penelitian di tempat lain menyatakan bahwa kinerja P3A rendah. Variabel terikat (dependent variable) kinerja P3A (Yi) signifikan dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang terdiri dari: (1) persetujuan petani terhadap kebijakan kebijakan irigasi partisipatif Xi3 yang berpengaruh positif, (2) dorongan untuk berpartisipasi terhadap kebijakan irigasi Xi4 yang berpengaruh positif, (3) manfaat pembinaan irigasi yang dirasakan petani Xi6 yang berpengaruh negatif, (4) intensitas konflik Xi12 yang berpengaruh negatif, (5) persentase peserta gotong-royong Xi14 yang berpengaruh positif, (6) besarnya iuran Xi18 yang berpengaruh negatif, dan (7) kecukupan iuran Xi19 yang berpengaruh positif.
Variabel-variabel bebas persetujuan petani terhadap kebijakan irigasi partisipatif Xi3, persentase peserta gotong-royong Xi14, dan dorongan untuk berpartisipasi Xi4 lebih mampu mempengaruhi variabel terikat kinerja P3A. Namun diperlukan usaha perubahan yang lebih besar pada semua variabel bebas tersebut di atas untuk melakukan sedikit perubahan pada kinerja P3A karena kinerja P3A tidak peka oleh perubahan variabel bebas.
Saran untuk para pengambil kebijakan: (1) memperbanyak sosialisasi dan konsultasi dengan petani agar jumlah petani yang setuju terhadap kebijakan irigasi partisipatif, (2) melibatkan petani dalam proses pengambilan keputusan untuk meningkatkan respons masyarakat dalam menanggapi program irigasi partisipatif yang dicanangkan pemerintah, (3) memperbaiki kualitas pembinaan yang diberikan, (4) meningkatkan penegakan kepastian peraturan agar konflik dalam pemakaian air menurun, (5) mempersiapkan program kegiatan gotong-royong dengan baik agar setiap penyelengaraannya dihadiri lebih banyak peserta, (6) besarnya nilai iuran tidak memberatkan anggota P3A, dan (7) mencari alternatif sumber pembiayaan lainnya. Saran untuk penelitian lebih lanjut: model kinerja P3A supaya memaksimalkan cara pengukuran menggunakan rasio sehingga data yang dihasilkannya lebih bersifat kontinum."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengernbangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperii diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis.
Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga semaoam ini ditandai oleh sifat-sifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikernbangkan Iembaga khusus yang otonom tersebut.
Penelitian ini membandingkan antara praktek pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, serta di Hulu Langat Malaysia. Alasan mengangkat ketiganya adalah sama-sama menangani persoalan air irigasi. Malaysia telah lama mengembangkan dewan sumberdaya air di tingkat Nasional dan Negara Bagian. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antar obyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya seoara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupatenf Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia.
Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Disamping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktek bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengaran ke dalam praktek desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenunnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing Praktek desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktekkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Sementara itu, pengaturan kawasan khusus pada level makro pun tidak terkait dengan fungsi irigasi. Hal ini disebabkan oleh adanya daya dukung ekonomi politik yang rendah dari sektor irigasi pada umumnya dan irigasi tersier pada khususnya.
Implikasi akademik dan praktis dari penelitian ini adalah bahwa konsep desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam wacana akademik Indonesia khususnya memerlukan pengembangan konsep desentralisasi fungsional secara komprehensif terkait konstruksi adminisrasi negara. Kuatnya wacana desentralisasi teritorial menjadi penyebab konstruksi distribusi urusan irigasi hanya berpaku pada model distnbusi pada lingkup desentralisasi teritorial.
Selanjutnya perlu dilakukan penelilian mengenai daya jangkau organisasi ingasi Subak dan dharma tirta, disamping penelitian-penelitian terhadap perlunya mengotonomikan organisasi tersebut pada jenjang yang cukup radikal yang menempatkan petani sebagai bagian dalam proses pengisian struktur politik terlepas dari pemerintahan daerah yang selama ini ada. Penelitian mengenai dampak (ekstmalitas) organisasi pengelola irigasi perlu dilakukan bersamaan dengan uji kepentingan atau nilai strategis kelembagan tersebut bagi masyarakat. Kajian terhadap sektor Iain pun memungkinkan untuk dilakukan.
Terhadap aras empirik, Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian serta pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar Iebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda diperlukan dalam kerangka kepentingan kemajuan sektor pertanian sebagai sektor yang sangat tergantung kepada urusan irigasi di Indonesia.

Irrigation management closely relates to the distribution of functions among levels of government. It also has a hierarchical system from primary to tertiary level of cannal. The jurisdiction of the irrigation management creates a territory which does not always be symmetric with the administrative governmental area. This nature of irrigation implies an ambiguity of some existing institutions for tertiary water irrigation management at the grassroot level in term of decentralization and local govemment in Indonesia.
In the Netherlands, there are waterschappens instititution which have been established based on functional decentralization for managing irrigation. In the developing countries, functional decentralization has been mis-interpreted by delegation concept according to Cheema, Rondinelli and Nellis_ Functional decentralization in developed countries such as Netherland, Japan, USA, and Germany, are indicated by the existence of autonomous body in the local level. This institution is specific in the nature according to the function should be carried out.
Within both the Unitary state and the Federal state, the aformentioned institution can be established to retiect the complexity of the state. It shows that social and economic problems can be managed not only by local government based on territorial decentralization as ordinary local public body, but also by local institution based on functional decentraiization mechanism as special local public body.
This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in govemmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments.
Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools.
This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deooncentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia.
At the micro level, it is showed that there are some failures in tertiary irrigation management. These failures were results from macro level condition on distribution of functions among levels of govemment that were being developed just based on territorial decentralization concept. This condition created a weak tertiary irrigation institution. Meanwhile, special territory which developed according the law number 32 of 2004 on Local Governance does not relate to irrigation function- lt happened because of low political economic capabilities of irrigation sector, especially in tertiary irrigation level.
There are some academic and practical implications of this research. First, the discourse on decentralization and local government in Indonesia should be developed towards the concept of functional decentralization. Strong discourse on territorial decentralization an sich caused the distribution of functions among levels of government limited to this model distribution of functions in Indonesian local govemment.
Second, advanced research for analyzing tapering of Subak or Dharma Tirta should be conducted, rather than research that analyze the urgency of this organization's autonomy to radical stage which place the farmer as a part of political structure. Future research on irrigation management should be conducted with regards to its positive as well as negative externalities.
Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurnayetti
"Pengelolaan sistem irigasi merupakan kegiatan yang demildan luasnya, dimana menyangkut bangunan fisik yang komplek; dan kelompok manusia, pada dasamya sangat tergantung pada keijasama. Tugas-tugas penting dalam irigasi seperti memperoleh, mengalokasikan, dan mendistribusikan air, porsi kegiatannya setara antara sosial dan teknis, jadi mengelola irigasi adalah domain yang tepat untuk menguji kapital sosial (Uphoff, 2000; 2002).
Sistem irigasi Bandar Halim semenjak dibangun kembali oleh pemerintah memiliki dualisme pengelolaan antara pemerintah dan petani. Pengelolaan oleh pemerintah mulai dari bendung sampai saluran utama sedangkan petani pada saluran tertier dan lahan usaha tani. Hal ini membawa permasalahan tersendiri karena dengan masuknya pemerintah, jaringan keija dan kesepakatan-kesepakatan antar individu petani menjadi terpecah-pecah ke kelompok-kelompok kecil. Keadaan ini dampak dari pelaksanaan program secara sentralistik. Walaupun begitu petani tetap eksis menyelenggarakan pengelolaan irigasi untuk menunjang perekonomian mereka, dengan memfungsikan sistem julo-julo sebagai kapital sosial tradisional masyarakat. Untuk itu dilaksanakan Studi tentang praktik pengelolaan irigasi masyarakat guna mencari peluang pelaksanaan sinerjistik komplementer antara pemerintah dan petani untuk direkomendasikan.
Untuk menemukan jawaban, data dikumpulkan melalui studi dokumentasi, pengamatan partisipatif, dan wawancara mendalam terhadap inforrnan-informan kunci yaitu: pejabat irigasi mulai dari tingkat propinsi, kabupaten, wilayah, dan petugas lapangan, serta pengurus organisasi P3A dan petani. Kcmudian aparat penyuluh pertanian lapangan (PPL), aparat Nagari, pemuka masyarakat, dan masyarakat biasa, data dianalisis secara kualitatif.
Studi ini menemukan bahwa sistem julo-julo merupakan kapital sosial yang handal dalam praktik pengelolaan irigasi di tingkat petani. Sebab sistem ini kaya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diperlukan dalam pengelolaan suatu sistem irigasi, yang diturunkan dari tradisi adat dan merupakan pandangan hidup rnasyarakat. Nilai persamaan dan kebersamaan yang melahirkan norma-norma keadilan, tanggung jawab dan solidariras, yang dimanifestasikan dalam pola awak sumo awak dan Iamak dek awak katuju dak urang, memfasilitasi pelaksanaan semua tugas-tugas panting irigasi seperti perolehan air, alokasi air, pemeliharaan, mobilisasi sumberdaya dan manajemen, serta resolusi konflik. Dari nilai-nilai tadi muncul rasa saling percaya dan solidaritas yang tinggi dan mampu memunculkan kesadaran kelompok individu, hal inilah penyebab eksistensi irigasi di tingiat petani sampai sekarang untuk menunjang perekonomian mereka.
Sementara itu di daerah wewenang pemerintah, pelalusanaan berdasarkan prosedur umum dari atas ditambah dengan keterbatasan jumlah petugas lapangan dibanding luas wilayah kerja, serta berlapisnya birokrasi pembina irigasi, kesemuanya berdampak pada kurang intensnya interaksi dan kornunikasi yang merupakan faktor penting dalam pembangunan relasi. Terutama sekali di batas wilayah wewenang pemerintah dan petani (daerah pintu bagi tertier), pelaksanaan berjalan tidak menurut prosedur dan tanpa kesepakatan yang jelas antara pctugas dan petani, Serta tidak ada kontrol dan sanksi bagi yang melanggar aturan. Semuanya itu berdampak pada cepatnya laju penurunan kondisi fisik.
Keunggulan konsep kapilal sosial julo-julo adalah karena tindakan individu dan pembangunan relasi antar individu lebih didasarkan atas pertimbangan moral, bukan atas keadilan penyebaran reward dan swa kepentingan. Kepercayaan dan solidaritas muncul dari ikatan moral dan emosional sehingga mampu menjaga keberlangsungan kerjasama terutama dalam tugas-tugas rutin irigasi, dalam bentuk rantai ikatan yang menjaga lancarnya kegiatan dalam skala luas (wilayah wewenang pelani). Sedangkan konsep kapital sosial yang didukung oleh para ahli diantaranya Uphoff dan Coleman, tindakan individu didasarkan atas pertimbangan swa kepentingan, pembangunan relasi atau kerjasama tak obahnya sebagai penyatuan swa kepentingan, karena tidak mampu diatasi atau dicapai secara individual. Kepercayaan merupakan hasil rasionalitas kalkulasi manfaat maksimal pembuatan jaringan, seterusnya norma dan nilai akan muncul apabila terdapat keadilan penyebaran reward. Hal inilah yang membedakan dengan konsep kapital sosial julo-julo, sehingga teori kapital sosial Uphoff dan Coleman kurang mampu menjelaskan temuan lapangan secara lebih dalam.
Regulasi dan aturan fomlal lainnya serta tata pelaksanaan sentralistik, tidak berkualitas untuk dijadikan sebagai sumber lcapital sosial di level makro sehingga tidal: mempunyai kekuatan untuk membangun relasi yang bersifat sinerji antara pemerintah dan masyarakat. Relasi sinerji menghendaki pembagian kerja seimbang (koproduksi) dan saling mendukung antara kedua belah pihak secara komplementer. Dampak pengelolaan sentalistik terhadap kemunduran jaringan fisik dan organisasi, serta melemahnya kapital sosial masyarakat yang seyogyanya dapat dimanfaatkan untuk mendulcung program pembangunan nasional. Oleh sebab itu aturan-aturan formal yang bersifat umum dari pemerintah perlu didampingi dengan aturan-aturan informal masyarakat, agar praktik pengelolaan irigasi terselenggara dengan ketat dan lancar. Sehingga dapat dicapai efisiensi dan efektihtas, serta menyentuh sampai ke level mikro (masyarakat).
Implikasi teoritik dari temuan menyatakan bahwa nilai persamaan dan kebersamaan yang turun dari idiologi dan tradisi adat yang dilmplementasikan dalam rasa solidaritas dan altruism menciptakan watak kerjasama yang mempertimbangkan kepentingan bersama, serta kesadaran kelompok pada individu. Rasionalitas atas pertimbangan rasa persamaan dan kebersamaan dapat rnenggalang kekuatan masyarakat secara bersama untuk mencapai tujuan bersama maupun menanggulangi permasalahan bersama. Kekuatan ini mampu menangkal kekuatan dari luar yang memaksakan pembahan mendasar pada tatanan sosial. Terbukti dengan perubahan mendasar pada sistem irigasi masyarakat semenjak dikelola oleh pemerintah, tetapi petani tetap bertahan dengan sistem mereka.
Berdasarkan temuan diajukan rekomendasi sebagai berikut: praktis: pembagian kerja antara petugas dan petani dalam aturan formal (prosedur PU dan AD&ART) yang bersifat umum perlu didampingi dengan aturan informal masyarakat sebagai sumber kapital sosial lokal, sebab pengelolaan irigasi di suatu daerah tidak terlepas dari kebiasaan-kebiasaan atau tradisi adat setempat. Potensi lokal ini dapat digunakan sebagai penunjang pembangmman nasional. Kebijakan: pembuatan regulasi diharapkan berpotensi menjadi sumber kapital sosial di level makro dan lata pelaksanaan oleh pemerintah menguatkan, sehingga mampu menyentuh sarnpai ke level mikro. Dengan begitu memberi peluang pada masyarakat untuk ikut berpartisipasi sebagai mitra dari pemerintah.
Rekomendasi model pengelolaan irigasi di Sumbar adalah dengan mengintegrasikan kelompok hamparan dengan sistem julo-julo ke dalam praktik pengelolaan kesatuan wilayah irigasi, untuk mengisi kekosongan peran akibat kurangnya tenaga petugas lapangan. Nagari diberi otonomi hak dan wewenang dalarn bertindak dan mengambil keputusan sehubungan dengan irigasi di daerahnya, karena Nagari merupakan bagian dari masyarakat lrigasi tersebut.

Irrigation management is one of the most widespread of human activities, and one intrinsically dependent upon cooperation. The uniformity of water as a resource and the ubicuity of gravity as force of nature make this is a good domain in which to look for general phenomena and relationships. Moreover, the essential tasks of acquiring, allocating and distributing water are as social as they are technical, so inigation management is an appropriate domain in which to examine social capital (Uphoff, 2000; 2002).
Bandar Halim irrigation systems, since being redeveloped by the government has dualistic management between the government and the farmers. Government management responsibility of the irrigation system starts from the weir to the main canal, and local authorithies under farmer management is Bom tertiary canal to their farrns. This dualistic management system brings some of its own problems with the entry of the government in its management. The system becomes disjointed or fragmented (breaking up into small units). The community based irrigation system causes the breakdown of its traditional social network and social commitment. This is the impact of the centralistic management.
However, the farmers succeed in managing their irrigation systems by using the traditional julo-julo system as a source of local social capital not only protect but that the improve their income. That is why this Study of the practical management of the community- based irrigation, an opportunity to complement the synergistic strength of management between the government and farmers is proposed as recommendation.
To acquire the data, the study uses documents, participant observations, indepth interviews from key informants such as persons in charge of irrigation institutions from, the provincial to lowest level, that is the person who works closely with the farmers and the water user organizations (PBA). Information obtained from the key informants in the community such as the Nagari informal leaders, and people in general. This research and analysis are descriptive qualitative in nature.
The study finds that the julo-julo system is a viable social capital in the practical irrigation management at the farmers level. This is because the juio-juio system is rich with social values and norms needed to manage an irrigation system, these norms and values deriving from the customary tradition is the way of life of the local society. The value of social cohesion (persamaan) and tagerherrress (lcebersamaan) produced social norms such as justice, responsibility, and solidarity that manifest in the awak some awak and Iama/c dek awrrk, katuju delc rrrang systems, that facilitate all essential management tasks of irrigation such as water acquisition, water allocation, maintenance, resource mobilization and management, and conflict resolution. These values also create mutual trustworthness and solidarity that build collective conscience of the individuals. All these aspects of the existing irrigation management system at the farmers level are found to the supportive of their economy.
While, at the govemmental authority level, its management is based on general procedures (formal rules), with minimum number of field ofEcials compare to its large working area, and intractable irrigation supervision bureaucracy results in the lack of interaction and communication that is an essential factor to build good relations. Especially, the division of responsibility between government and farmer (tertiary box area), the management is carried out without formal procedures and clear social commitment between field officials and farmers, there is no control or sanction on those who break the rules. All these impact on the degradation of the physical conditions of the irrigation system.
The capability of the social capital of the julo-julo is that individual action and relations built among individuals are on moral considerations, not only just reward sharing and self interest. Beliefs and solidarity exist from moral and emotional ties that make them to he able to sustain cooperation,/networl-ring, especially in routine tasks of irrigation operation in the form of social ties that cover a vast area. The social capital concept as elaborated by Uphoff (2000, 20002) and Coleman (2000), individual action based on consideration of self interest, relations built or cooperation such a unity of self interest, because the people could not achieve the means to resolve their individual problem. Their belief is produced by a rational calculation about maximal use of social networking, such that norms and values will exist if there is just distribution of reward. The social concept by Uphoff and Coleman thus could not explain our more indepth and widespread field Endings.
Regulations and other fonnal rules with centralistic govemance program, are not able to be a resource of social capital at the macro level at it is powerless to build synergistic relations between the government and society. Synergistic relations need clear labor differentiation as coproduction to mutually support each other in a complenrantary manner. The impact of the centralistic management is the deterioration of the physical inigation construction and its organization. The strength of the local social capital can actually be used for national development. Therefore, the general formal mles from the government need to be accompanied by societal informal rules, so that the management of the inigation will be sh'ict and effective and efficient. Whwn this is achieved its benefits will be felt by the community.
The theoretical implication from our study findings suggest that the value of the social cohesion and togetherness stemming from the local ideology and customary traditions that were found in the feelings of solidarity and altruism result in the cooperative character that take into account mutual interest, as well as collective conscience to the individual. The rationality on mutual interest and togetherness is able to mobilize the strength of the community to achieve their common objective or overcome their mutual problems. This community strength is able to overcome expand its influence that may threaten or change the local social structure. Even though with the basic change in the management system carried out by the govemment, the farmers are still able to continue to maintain their local system of management.
The recommendations of study are in practical and policy recommendations as follows : Practical recommendation: differentiation of labor between government and farmer in formal rules (procedures of government) that are general needs to be accompanied by societal informal rules as a local social capital resource, as the irrigation management in one area cannot be in isolation or out of context of every day habits or customary traditions. This local indigenous because the management of irrigation in one area cannot be separated from. This local indigenous wisdom could used to facilitate national development. Policy recommendation: the govemment has to make irrigation regulations as a potential social capital resource at the macro level and governance by strengthening its regulatory structure or framework management, such that they can have as effect at the micro level, thus providing the opportunity for the local community to participate as a effective partner.
For West Sumatera as a whole, the study recommends the integration of this irrigation management model into the surrounding adjacent areas with the ,info-julo system in the practice of a wide areal irrigation system to fill the lack of Held manpower. The Nagari should be given the autonomy rights and responsibility to take action and decision conceming irrigation matter in their distr-ics because the Nagari represents an integral part of the West Sumatera irrigation community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D823
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library