Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Emma Sri Kuncari
"Seledri telah dikenal luas mampu merangsang pertumbuhan rambut. Salah satu senyawa utama yang terkandung di dalam seledri adalah apigenin. Tesis ini membahas tentang aktivitas dan stabilitas gel yang mengandung apigenin dan perasan herba seledri terhadap pertumbuhan rambut tikus putih. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar apigenin dalam perasan herba seledri dibandingkan dengan apigenin standar, menguji aktivitas dan stabilitas gel yang mengandung apigenin dan perasan herba seledri terhadap pertumbuhan rambut tikus putih dan uji iritasi. Metode yang digunakan adalah KLT-Densitometer, evaluasi gel, stabilitas fisik, uji iritasi dan aktivitas rambut.
Hasil KLT-Densitometer menunjukkan kadar apigenin dalam perasan seledri 0,65% dari apigenin standar. Gel yang mengandung apigenin dan perasan seledri menunjukkan aktivitas menambah panjang rambut lebih baik (p<0,05) dibandingkan kontrol normal tanpa perlakuan. Sedangkan untuk parameter menambah tebal rambut, apigenin terbukti lebih baik secara nyata (p<0,05) dibanding kontrol normal namun seledri tidak terbukti secara nyata (p>0,05). Gel apigenin dan perasan seledri menunjukkan stabil fisik pada penyimpanan 28±2 °C dan 40±2 °C, namun kurang stabil pada penyimpanan 4±2 °C selama 14 minggu. Berdasarkan indeks iritasi primer, keempat sediaan gel tidak menimbulkan iritasi pada kulit tikus putih. Dapat disimpulkan pemberian gel yang mengandung apigenin dan perasan herba seledri dapat memperpanjang rambut tikus putih bila dibandingkan dengan kontrol normal tanpa perlakuan apapun.

Celery (Apium graveolens L.) juice is widely used for promoting hair growth. One of the main compounds contained in celery is apigenin. This thesis discusses about the activity and stability of gel containing apigenin and celery juice as hair growth of male S-D mice. The purpose of this study was to quantify the levels of apigenin in the fresh celery juice compared with standard apigenin, to test the activity and stability of the gel containing apigenin and celery juice for hair growth of male S-D mice and irritation test. The method used were TLC-Densitometer, gel evaluation, physical stability, irritation test and hair growth activity.
Based on the result of the TLC-Densitometer, showed that apigenin in celery juice was 0,65% of standard apigenin. Gel containing apigenin and celery juice showed better in promoting hair growth (p<0,05) than control without treatment. Apigenin showed better activity (p<0,05) in increasing hair thickness as well than control without treatment. However treatment of celery juice did not significantly (p>0,05) increase hair thickness. Gel containing apigenin and celery juice showed good physical stability at 28±2 °C and 40±2 °C, but less stable at 4±2 °C for 14 weeks. Based on primary index irritation, all of four gel formulas did not cause skin irritation on the mice. It can be concluded that gel containing apigenin and celery juice may result in better hair growth promoting of mice compared to control without treatment.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T36018
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sevie Shaliha
"ABSTRAK
“Rambut adalah mahkota bagi perempuan” merupakan suatu nilai yang diinternalisasi oleh kaum perempuan dan sering dijadikan senjata oleh para pemilik modal dalam industri kecantikan untuk mendapatkan keuntungan. Analisis semiotik pada korpus data makalah ini, yaitu iklan Nivea Hair Care: Glättungsbalm (2008), menunjukkan bagaimana mitos kecantikan yaitu rambut lurus, dikonstruksi melalui iklan dan direpresentai melalui penggambaran figur dalam iklan. Makalah ini bertujuan untuk memaparkan konstruksi standar kecantikan rambut lurus dalam korpus data.

ABSTRACT
“Hair is a woman’s crown” is a value that is internalized by women and is often used as a weapon by capital owners in beauty industry to gain profit. Semiotic analysis used in Nivea Hair Care: Glättungsbalm (2008) advertisement, shows how straight hair as a beauty myth being constructed through advertisement and represented by figure on the advertisement. This study aims to describe the standard beauty of straight hair being constructed in the corpus data."
Depok: [Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, ], 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Arlha
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) adalah kebotakan rambut yang paling umum, ditandai dengan miniaturisasi progresif tanpa jaringan parut pada pria, akibat kerentanan terhadap hormon androgen. Penyakit ini terjadi secara multifaktorial, dari faktor genetik, lingkungan dan hormon androgen. Penyakit ini menyebabkan gangguan kosmetik yang mempengaruhi kualitas hidup dan rasa percaya diri. Hingga saat ini belum ada data mengenai kadar ferritin serum dan rambut pada pria dengan AAG yang dibandingkan dengan kelompok non-alopesia dan dikaitkan dengan densitas dan diameter rambut. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan kadar feritin serum dan besi total rambut pada populasi AAG dan non-alopesia.

Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi analitik observasional potong lintang antara dua kelompok. 33 pria dengan diagnosis alopesia androgenetik dan 33 pria tanpa alopesia androgenetik diikutsertakan dalam penelitian ini. Diagnosis alopesia androgenetik ditegakkan secara klinis. Kadar feritin serum dan total besi rambut pasien dibandingkan antara dua kelompok dan dikorelasikan dengan dengan diameter dan densitas rambut.

Hasil: Sebanyak 66 SP mengikuti penelitian dengan median usia 37-38 tahun. Feritin serum dan besi total rambut pada kelompok alopesia androgenetik lebih tinggi dibandingkan kelompok non-alopesia. Median 232 ng/mL, dan 222 ng/mL,  Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p = 0,758). Kadar besi total pada kelompok AAG lebih rendah dibandingkan non-alopesia. (22,65 ng/mL dan 39,67 ng/mL, p= 0,102). Terdapat korelasi positif lemah pada kelompok alopesia androgenetik derajat < 4 terhadap diameter rambut.

Kesimpulan: Kadar serum feritin dan besi total rambut pada pria non-alopesia lebih tinggi dibandingkan pria dengan alopesia androgenetik, namun tidak bermakna secara statistik.


Background: Androgenetic alopecia (AGA) is the most common nonscarring hair loss disorder in men due to susceptibility to testosterone. AGA is amultifactorial disease, due to genetic, hormonal and environmental influence. AGA causes cosmetic disturbances that affects confidence and quality of life. In women, it has been proven correlation between low ferritin serum and AGA occurrences, however not many studies have proven likewise in men. Till now, not many data provides sufficient correlation between ferritin levels and hair iron concentration in men with control group, associated with hair diameter and density. This study aims to compare the differences of serum ferritin and hair iron content between two populations.

Method: This is a cross-sectional analysis of two groups, 33 AGA men and 33 men without AGA were included in this study. Serum ferritin and hair level of iron were measured. Diagnosis of AGA was made clinically. Difference of serum ferritin and hair level of iron was analyzed and correlated with hair diameter and density.

Result: 66 men were included in this study. Median age was 37-38 year-old. Ferritin serum (232 ng/mL) and hair iron (39,67 ng/mL) was slightly higher in control group as compared to alopecia androgenetic group (ferritin 222 ng/mL and hair iron 22,65 ng/mL), but there was no statistically significant result (p = 0,758 and p = 0,102). Hair iron level correlates weakly positive with hair diameter in subgroup analysis.

Conclusion: Serum ferritin and hair iron level in non-alopecia population is higher compared to alopecia androgenetic men, but statistically insignificant"

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhli Aulia Mughni
"Latar belakang: Untuk menghasilkan rambut dan kulit kepala yang sehat, produk perawatan harus digunakan dengan frekuensi tepat. Perempuan berhijab semakin umum dijumpai di Indonesia. Saat ini belum ada kesepakatan mengenai frekuensi keramas yang paling tepat pada perempuan berhijab. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang membandingkan pengaruh frekuensi keramas berbeda terhadap nilai transepidermal water loss (TEWL) dan hidrasi kulit kepala perempuan berhijab.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala perempuan yang menggunakan hijab.
Metode: Sebanyak 60 perempuan sehat usia reproduksi berhijab menjadi subjek penelitian dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 30 subjek pada kelompok A (keramas sering, setiap 1-2 hari sekali) dan 30 subjek pada kelompok B (keramas jarang, setiap 3-5 hari sekali). Dilakukan pengukuran nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala pada baseline, hari ke-14, dan hari ke-28. Uji kemaknaan perbedaan nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala antara kedua kelompok dilakukan menggunakan analisis Mann-Whitney.
Hasil: Median nilai TEWL kulit kepala hari ke-14 kelompok A adalah 20,07 g/m2/h dan kelompok B adalah 17,05 g/m2/h (p<0,05). Median nilai TEWL kulit kepala hari ke-28 kelompok A adalah 20,87 g/m2/h dan kelompok B adalah 17,67 g/m2/h (p<0,01). Median nilai hidrasi kulit kepala hari ke-14 kelompok A adalah 8,18 AU dan kelompok B adalah 12,52 AU (p>0,05). Median nilai hidrasi kulit kepala hari ke-28 kelompok A adalah 11,48 AU dan kelompok B adalah 12,77 AU (p>0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai TEWL kulit kepala perempuan berhijab. Frekuensi keramas yang sering dapat meningkatkan nilai TEWL kulit kepala perempuan berhijab secara bermakna, tetapi tidak terdapat hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai hidrasi kulit kepala perempuan berhijab

Background: To obtain healthy hair and scalp, care product should be used in the right frequency. Women wearing hijab are becoming more common in Indonesia. There is no unified consensus regarding the correct frequency of hair washing in women wearing hijab. Therefore, research is needed to compare the influence of different hair wash frequencies on the scalp skin transepidermal water loss (TEWL) and hydration in women wearing hijab.
Objective: To assess the correlation between hair wash frequency with scalp skin TEWL and hydration in women wearing hijab.
Methods: Sixty healthy women in reproductive age are recruited and allocated into two groups, 30 subjects in group A (frequent hair wash, every 1-2 days) and 30 subjects in group B (infrequent hair wash, every 3-5 days). Measurements of scalp skin TEWL and hydration was performed on baseline, day-14, and day-28. Significance test of the difference in scalp skin TEWL and hydration scores between groups was done using Mann-Whitney analysis.
Results: The day-14 median value of scalp skin TEWL was 20,07 g/m2/h in group A and 17,05 g/m2/h in group B (p<0,05). The day-28 median value of scalp skin TEWL was 20,87 g/m2/h in group A and 17,67 g/m2/h in group B (p<0,01). The day-14 median value of scalp skin hydration was 8,18 AU in group A and 12,52 AU in group B (p>0,05). The day-28 median value of scalp skin hydration was 11,48 AU in group A and 12,77 AU in group B (p>0,05).
Conclusion: There is a correlation between hair wash frequency and scalp skin TEWL score in women wearing hijab. Frequent hair wash may significantly increase scalp skin TEWL score in women wearing hijab. However, there is no correlation between hair wash frequency and scalp skin hydration in women wearing hijab
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peppy Fourina
"Latar belakang: Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim yang besar.
Hijab dipakai oleh banyak wanita di Indonesia, sedangkan hijab berpotensi mengurangi
serapan sinar matahari di kulit yang memengaruhi sintesis vitamin D. Beberapa
penelitian telah mengaitkan defisiensi kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan
kerontokan rambut, tetapi tidak pernah dilakukan pada kelompok perempuan berhijab.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan kerontokan
rambut pada perempuan dewasa usia subur berhijab (H) dan tidak berhijab (TH).
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan sepanjang bulan November 2019
hingga Maret 2020. Data terkait pemakaian hijab, kerontokan rambut, skor pajanan
sinar matahari, jumlah rambut rontok harian, hair pull test, dan kadar 25-
hydroxyvitamin D serum dievaluasi pada masing-masing 30 subjek berhijab dan tidak
berhijab yang tidak menderita penyakit sistemik maupun kejiwaan.
Hasil: Median kadar 25-hydroxyvitamin D serum pada kelompok H adalah 8,70 (6,13-
34,10) ng/mL dan mean kadarnya pada kelompok TH adalah 16,70 6,30 ng/mL.
Median jumlah rambut rontok harian pada kelompok H adalah 28,62 (3,00-118,50) helai
dan pada kelompok TH adalah 18,25 (3,50-134,50) helai. Berdasarkan uji korelasi
Spearman, didapatkan koefisien korelasi r = -0,190 pada kelompok H (p = 0,315), dan r
= 0,193 pada kelompok TH (p = 0,308).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan
kerontokan rambut baik pada perempuan dewasa usia subur berhijab maupun tidak
berhijab.

Background: Indonesia has a large muslim population. As hijab is considered
compulsory for most, wearing it may potentially reduce skin absorption of sunlight
which plays important role in vitamin D synthesis. Several studies had described
significant correlation between serum 25-hyroxyvitamin D level and hair loss, but never
specifically conducted in hijab wearing women.
Objective: To assess the correlation between serum 25-hydroxyvitamin D level and
hair loss in adult childbearing-age women who wear (H) and do not wear hijab (NH).
Methods: This cross-sectional study was conducted from November 2019 to March
2020. Data concerning hijab use, hair loss, sun exposure score, daily hair loss, hair pull
test, and serum 25-hydroxyvitamin D level were evaluated in 30 subjects of each group.
Results: The median level of serum 25-hydroxyvitamin D in the H group was 8,70
(6,13-34,10) ng/mL while the mean serum level in the NH group was 16,70 6,30
ng/mL. The median number of daily hair loss in the wearing hijab group was 28,62
(3,00-118,50) and in the not-wearing hijab group was 18,25 (3,50-134,50). Based on
Spearman’s correlation test, r = -0,190 in the H group (p = 0,315) and r = 0,193 in the
NH group (p = 0,308).
Conclusion: There was no significant correlation between serum 25-hydroxyvitamin D
level and hair loss in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
London: Hermes House, 2003
646.724 HAI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistirawaty
"Latar Belakang: Alopesia androgenetik (AAG), merupakan kelainan rambut yang mengganggu secara psikososial bagi sebagian besar lelaki. Pengobatan yang ada saat ini masih terbatas. Kinin secara empirik telah digunakan sebagai zat penumbuh rambut. Namun belum ada penelitian untuk menilai mekanisme kerja dan efektivitas kinin topikal terhadap pertumbuhan rambut.
Metode: Kajian in silico molecular docking dan molecular dynamic simulation dilakukan untuk menilai afinitas kinin terhadap enzim 5α-reduktase dengan kontrol finasterid. Uji hambatan kinin terhadap 5α-reduktase secara in vitro dinyatakan sebagai nilai IC50 kinin, dengan finasterid sebagai pembanding. Pada percobaan in vivo, 28 ekor mencit C57BL/6 dibagi secara acak menjadi 7 kelompok terdiri dari 4 ekor. Kelompok (A) testosteron (alopesia),yang di suntik 1 mg testosteron secara subkutan,(B) testosteron+finasterid 2%(C) kelompok normal, dan kelompok (D-G) testosteron+kinin 0,5%,1%,1,5% dan 2 %. Dioles bahan uji sesuai kelompok setiap hari selama 28 hari. Luas dan panjang rambut dinilai secara visual setiap minggu. Pemeriksaan histologi (morfologi dan kepadatan folikel rambut), pemeriksaan imunohistokimia kaspase-3, pemeriksaan ELISA PGE2 dan pemeriksaan MDA dilakukan setelah 28 hari. Hasil : Hasil in silico menunjukkan kinin mempunyai afinitas yang cukup baik terhadap 5β-reduktase, meskipun lebih rendah dibanding finasterid (ΔG kinin -31,67 kj/mol dan ΔG finasterid -42,89 kj/mol dari hasil penambatan molekuler; serta ΔG kinin -6,32±12,84 kj/mol dan ΔG finasterid -11,17±18,92 kj/mol dari hasil simulasi dinamika molekuler. Hasil pengukuran hambatan enzim 5α-reduktase didapatkan IC50 kinin 10,6 ±1,40 uM dan IC50 finasterid 0,623 ± 0,14 nM. Luas area pertumbuhan rambut semua kelompok perlakuan kinin lebih luas dibandingkan kelompok alopesia dan berbeda bermakna pada pada minggu ke-3 dan ke-4. Gambaran histopatologi morfologi rambut semua kelompok didominasi fase anagen . Rasio anagen: telogen kelompok perlakuan kinin lebih tinggi dibandingkan kelompok alopesia. Kepadatan folikel rambut kelompok perlakuan kinin lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok alopesia. Kinin 0,5%, 1%, dan finasterid menurunkan ekspresi kaspase-3. PGE2 meningkat pada semua kelompok perlakuan kinin, tertinggi pada kinin 2%. dan berbeda bermakna terhadap kelompok alopesia. Pemberian kinin tidak mampu menurunkan kadar MDA.
Kesimpulan: Pemberian kinin pada mencit jantan yang diinduksi testosteron mempunyai efek menumbuhkan rambut, meningkatkan kepadatan folikel rambut. Kinin menghambat enzim 5α-reduktase, meningkatkan kadar PGE2, menurunkan ekspresi Kaspase-3, tetapi tidak menurunkan MDA. Kinin potensial dikembangkan sebagai penumbuh rambut.
Background: Androgenetic alopecia (AGA), is a hair disease which lead to negative psychological effects in most of its sufferers. Currently, treatments of AGA are limited to topical minoxidil and oral finasterid, which possess many side effects. Quinine had empirically used as herbal hair grower, but its mechanism of action and effectiveness are not studied yet.
Methods: Molecular docking was done to analyse the inhibition affinity of the 5β-reductase enzyme of both quinine and finasteride as control. Further, an in vitro test for inhibition of 5α-reductase was carried out by measuring the IC50 on both compounds. The experimental study used male C57BL/6 mice aged 7 weeks. Mice were randomly divided into 7 groups of 4 animals, namely (A) testosterone (alopecia group) which was performed subcutaneous injection of 1 mg testosterone on the back of mice (B) testosterone+2% finasterid, (C) normal group, (D-G) testosterone+0.5%, 1% , 1.5% and 2% quinine. Application of the test material on the back of the mice was carried out daily for 28 days. Hair growth assessment was done visually by assessing hair growth area every week. Histologic examination ( hair morphology and density of hair follicles), immunohistochemical examination of caspase-3, ELISA examination for PGE2, and lipid peroxidase by MDA examination were carried out after 28 days.
Results: The results of molecular docking showed that quinine had a good affinity for 5β-reductase, but it was lower than finasterid (ΔG quinine = -31.67 kJ/mol vs ΔG finasterid = 42.89 kJ/mol and from dynamic simulation ΔG quinine -6,32±12,84 kj/mol and ΔG finasteride -11,17±18,92 kj/mol). The IC50 of quinine was 10.6 ± 1.40 uM, while finasterid was 0.623 ± 0.14 nM.The area of hair growth in the quinine treatment group was wider than the alopecia group and showed significance on the 3rd and 4th week. Histopathological features all of the groups was dominated by the anagen phase. The anagen:telogen ratio of the alopecia group was lower than that of the quinine group. The density of hair follicles in the treatment group and the alopecia group was statistically significant.The administration of 0.5% and 1% quinine, as well as finasterid, decreased the expression of caspase-3. PGE2 was increased in the quinine treatment group and significant compared to the alopecia group. MDA levels were higher in quinine compared to alopecia group.
Conclusion: Quinine was efficacious in promoting hair growth in AGA mouse models. It is inhibited 5α-reductase enzyme, increasing PGE2, decreasing caspase-3. However it was unable to suppress MDA levels. Hence, topical quinine has the potential to be further developed into a herbal medicine for hair growth."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni
"Pewarna rambut alami menjadi pilihan untuk memperbaiki penampilan rambut karena tidak berbahaya dan tidak menimbulkan alergi. Salah satu pewarna alami yang digunakan adalah pacar kuku. Penggunaan pacar kuku sering dicampur dengan air seduhan teh hitam untuk meningkatkan intensitas warna yang dihasilkannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stabilitas fisik dan efektivitas pewarnaan dari krim yang mengandung ekstrak pacar kuku dan ekstrak teh hitam. Dalam penelitian ini dibuat lima formulasi krim pewarna rambut yang masing-masing mengandung ekstrak pacar kuku 4%, ekstrak teh hitam 2% dan campuran kedua ekstrak yaitu pacar kuku 4% dengan teh hitam dengan variasi konsentrasi 0,5%, 1%, dan 2%.
Uji stabilitas krim dilakukan dengan pengamatan hasil cycling test, uji mekanik, dan penyimpanan pada suhu rendah (5°C±2°C), suhu kamar (27°C±2°C) dan suhu tinggi (40°C±2°C). Uji efektivitas pewarnaan antara lain intensitas warna dengan alat chromameter Minolta CR-300 dan ketahanan warna dengan penyimpanan di ruangan, penyinaran di bawah sinar matahari dan pencucian dengan sampo. Setiap formula menunjukkan kestabilan fisik selama 8 minggu, namun terjadi perubahan warna krim karena krim teroksidasi pada penyimpanan suhu kamar dan suhu tinggi. Formula campuran ekstrak pacar kuku 4% dan teh hitam dengan variasi konsentrasi 0,5%,1% dan 1% menghasilkan intensitas warna yang lebih kuat daripada formula ekstrak pacar kuku 4% . Setiap formula menghasilkan ketahanan warna selama 30 hari.

Natural hair colorants become the choice to improve hair performance because it is not harmful and non allergic. One of them is henna. Based on experience, the use of henna often mix with black tea for increasing the colour intensity from henna. The aim of this experiment is to know physical stability and coloring effectivity of combination of henna and black tea extract cream. In this experiment, five formulation were made: cream with 4% henna extract; cream with 2% black tea extract, cream with 4% henna extract combined with 0,5%, 1% and 2% of black tea extract.
The stability of cream formulations were tested by cycling test, centrifugal tested, and stored in low (4°C±2°C), room, and high (4°C±2°C) temperatures. The coloring effectivity in case of colour intensity was measured by chromameter Minolta CR-300 and in case of colour tenacity, the coloured hair was tested with three treatments : stored in room, sunlight exposed and shampoo washing. Each formulation shows the physical stability in 8 weeks, but changes in colour because of oxidation when stored in room and high temperatures. The combination of 4% henna extract with 0,5%, 1% and 1% black tea extract give the stronger colour intensity than 4% henna. Each formulation gives the colour tenacity in 30 days.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S1077
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Inggrid Tania
"Ketombe adalah kelainan kulit kepala kronik, ditandai dengan skuamasi dan terkadang rasa gatal. Ketombe dialami oleh hampir 50% populasi pasca-pubertas, mengenai semua etnis dan semua jenis kelamin dan sebagian besar berupa ketombe derajat ringan-sedang. Hingga saat ini, ketombe merupakan masalah kesehatan dan estetika yang menonjol pada masyarakat karena dapat menganggu kualitas hidup. Etiopatogenesis ketombe meliputi faktor endogen dan eksogen, di antaranya faktor mikroorganisme (terutama Malassezia sp), hiperproliferasi epidermis dan kondisi seborea. Pengobatan konvensional terhadap ketombe belum memuaskan, sehingga perlu dicari alternatif lain, misalnya shampoo berbahan aktif minyak biji mimba (MBM) yang secara in vitro berefek anti-Malassezia, anti-inflamasi, antiproliferatif, antihistamin dan imunoregulator. Namun karena MBM bersifat hidrofobik, perlu dihasilkan shampoo MBM dalam bentuk shampoo mikroemulsi yang stabil dan efektif.
Pada penelitian ini, dilakukan formulasi, uji stabilitas fisik dan uji manfaat shampoo mikroemulsi MBM pada ketombe derajat ringan-sedang. Rancangan uji manfaatnya adalah uji klinis acak terkendali buta ganda, memakai metode modifikasi half-head technique dengan DSS (Dandruff Severity Score). Setelah melalui masa persiapan selama 1 minggu, subjek menjalani masa perlakuan selama 2 minggu dengan menerima perlakuan shampoo MBM pada satu sisi kepala dan shampoo plasebo pada sisi kepala lain secara acak. Pada akhir masa persiapan dan perlakuan, diukur DSS dan berat skuama pada tiap sisi kepala. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji t berpasangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula shampoo mikroemulsi MBM stabil secara fisik selama 12 minggu penyimpanan dan efektif dalam menurunkan derajat keparahan ketombe secara bermakna dibandingkan plasebo (p<0,001).

Dandruff is a chronic scalp condition characterized by scaling and sometimes itching. Nearly 50% post-pubertal population in all ethnic and gender are dandruff sufferers, majority with mild-moderate dandruff. Nowadays, dandruff is health and aesthetic problem in society because dandruff can degrade quality of life. Ethiopathogenesis of dandruff is influenced by endogen and exogen factors, such as microorganism (especially Malassezia sp), epidermal hyperproliferation and seborrhoeic condition. Conventional treatment of dandruff is not yet satisfactory. Thus the search of alternative treatment will still be needed, including shampoo that has neem seed oil (NSO) as an active ingredient, which has in vitro anti-Malassezia, anti-inflammatory, antiproliferative, antihistamine and immunoregulatory effects. However, due to hydrophobicity nature of NSO, we need to produce a stable and effective NSO microemulsion shampoo.
This research conducted formulation, physical stability test and clinical efficacy test of NSO microemulsion shampoo on mild-moderate dandruff. The design of efficacy test was a double blind randomized controlled clinical trial by modifying halfhead technique and DSS (Dandruff Severity Score) methods. After run-in period for one week, a subject went through a two-week intervention period by receiving NSO shampoo on one side of the head and placebo shampoo on the other side. At the end of run-in and intervention periods, DSS and weight of squames were measured on each side of the head. Paired t test was used for statistical analysis. The results showed that NSO microemulsion shampoo formula was stable in a twelve-week storage and significantly effective in lowering dandruff severity comparing to placebo (p<0,001).
"
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31264
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>