Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Jakarta: UI-Press , 1987
634.902 MAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Murasa Sarkaniputra
Bogor: Yayasan Bina Lingkungan Gunung Salak, 2003
634.9 MUR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jeni Satva
"This research is related to the Role of Forestry industry on Local Economical Structure Development at West Kalimantan.
From existing problems, the following are formulated for research objective:
(1) To describe and analyze economical structure of West Kalimantan for last three years (2000 - 2002). (2) To decide the role of forestry manufacturing industry on labor for last three years and to estimate it for 2004 ? 2008. (3) To analyze and estimate local dynamic condition at West Kalimantan for 2004 - 2008. Means of dynamic condition here is all living aspects which cover economic, politics, social, culture and defense aspects
Used method is analysis-descriptive method with quantitative and qualitative data. Used data is secondary data, where there is hesitancy on secondary data or there is no secondary data which has been done with structured interview or questionnaire with involved officials.
For research objective on point (1), observed varible is agriculture, manufacturing industrial and trade sectors. And in order to answer research objective on point (2), observed variable is large and medium-scale industries, labor force, amount of employed population with junior high school graduated. And to answer point (3), observed varibie is politics, economical, social, culture and security.
The following is results of the research :
1. Economical structure on West Kalimantan which reflected from GDP (Gross Domestic Product) is still supported by agriculture, manufacturing industry, trade sectors and hotel and restaurants, and contribute 26.03% for agriculture sector, 23.27% for manufacturing and trade sector, and then hotel and restaurant contribute 20.97%. Totally those three sectors contribute to 70.27% for Gross Domestic Product which is a reflection of economical structure at West Kalimantan.
2. Total labor force in manufacturing sector on 2001 was around 43,153 which include timber manufacturing was around 34,957 or 79.52%, and food and beverage processing industry was around 3,729 or 6.64%, and rubber processing industry was around 2,215 or 5.13%. Totally those three industries can absorb around 40,901 or 94,7% of total labor force in large and middle-scale manufacturing industry.
3. Local dynamic condition which is seen from political aspect showed two majority races (Malay and Dayaks) as the cornerstone of population at West Kalimantan which even has different religious, however, they have higher political awareness as citizen under NKRI (The integrated Nation of the Republic of Indonesia). And from interaction at social culture aspects showed that in West Kalimantan is similar to other Indonesian regions which can be said as a harmonious living (Malay, Dayaks, Chinese, and outsiders) as long as under a certain boundary, the outsiders can adjust their living pattern (they can get along together)."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13404
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Noor
"Hutan adalah suatu sumber daya dan lingkungan yang unik, karena secara umum menyediakan banyak manfaat. Hutan menyediakan keaneka ragaman biologi, binatang, dan tumbuh-tumbuhan yang terbesar. Deforestasi yang ditingkatkan dapat mengurangi biodiversas dan berakibat dampak negatif seperti erosi lahan, penghabisan bahan gizi, penggenangan, peningkatan gas rumah kaca, gangguan dalam karbon yang beredar dan hilangnya produk hutan seperti berkenaan dengan farmasi, kayu dan bahan bakar. Namun demikian deforestasi dapat pula diakibatkan adanya alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat secara individu atau kelompok dan pengusaha maupun pemerintah. Selain dari dampak negatif yang ditimbulkan akibat deforestasi tersebut dapatkah memberikan manfaat yang optimal dalain rangka meningkatkan sosial-ekonomi dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Dimana pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti oleh pemerataan hasil-hasil pembangunan dengan melakukan peningkatan produksi di sektor kehutanan. Seperti yang dilakukan pemerintah kabupaten Kutai Timur sekarang ini dengan visinya Gerakan Daerah Pengembangan Agribisnis (GERDABANGAGRI) sebagai grand strategy pembangunan, yaitu model pembangunan agribisnis perkebunan dengan melakukan konversi hutan menjadi lahan perkebunan. Dengan memiliki hutan seluas 3.005.802 ha pada tahun 2000, kemudian pada tahun 2002 mengalami pengurangan menjadi 2.784.024 ha. Ini menunjukkan bahwa areal hutan yang mengalami penurunan sebesar 221.778 ha selama 3 Whim. Hal ini diakibatkan oleh kegiatan deforestasi baik itu untuk keperluan memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu maupun kebutuhan untuk lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi strategi pembangunan pemerintah kabupaten Kutai Timur. Akibat lainnya adalah illegal logging yang tidak dapat dikontrol oleh pemerintah kabupaten, sehingga areal hutan mengalami penurunan khususnya diareal hutan lindung, hutan suaka alam dan wisata kabupaten Kutai Timur. Kemudian seberapa jauhkah kebijakan pemerintah kabupaten Kutai Timur dan kegiatan masyarakatlpengusaha yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap reforestasi dalam rangka melestarikan kembali areal hutan yang mengalami degradasi akibat adanya deforestasi.
Berdasarkan basil perhitungan secara struktural Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Kutai Timur Tabun 2000 dengan model pengganda rata rata dan Structural Path Analysis (SPA), terdapat adanya pengaruh langsung dan tidak langsung dari sektor Tenaga Kerja dan Modal terhadap kegiatan deforestasi. Kegiatan ekonomi yang mempengaruhi kegiatan deforestasi disebabkan adanya pengaruh Perdagangan, Restoran, dan Hotel (PRH) yang ditunjukkan oleh empat jalur Modal Swasta Dalam Kabupaten (MSDK) ke Kayu yang memiliki pengaruh global paling kuat adalah melalui PRH. Dengan kata lain pengaruh MSDK terhadap kegiatan penebangan hutan paling besar terjadi melalui PRH. Sektor PRH ini sangat besar pengaruhnya, karena sektor inilah yang banyak menggunakan kayu untuk keperluan usaha, bangunan, dan untuk bahan bakar. Hal ini ditunjukkan oleh upaya membangun hotel (Penginapan) dengan modal besar yang masih memerlukan kayu dan untuk keperluan memasak sebagian besar hotel menggunakan tungku dengan bahan bakamya kayu.
Secara meyeluruh dan pengaruh kegiatan ekonomi terhadap kegiatan reforestasi disebabkan adanya pengaruh sektor Tenaga Kerja Pertanian Bukan Penerima Upah & Gaji (TKPBUG). Sektor TKPBUG ini sangatlah besar pengaruhnya sebagai garnbaran kegiatan masyarakat/pengusaha yang bekerja di sektor pertanian. TKPBUG ini juga menggambarkan pemilik lahan yang berusaha dibidang pertanian dengan menanam beberapa jenis tanaman seperti sawit, karat, umbi-umbian, lada, dan lain sebagainya Hal ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun untuk mendapatkan keuntungan dari hasil panen pertanian. Adapun kegiatan dalam penanaman pemilik lahan dibantu oleh anggota keluarga mereka. Sektor inilah yang banyak melakukan kegiatan penanaman untuk keperluan sehari-hari dan usaha agar mereka dapat meningkatkan pendapatan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dorongan kegiatan Rumah Tangga Bukan Pertanian Golongan Rendah dan Golongan Atas."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T20429
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Wiriadidjaja
"Hutan Indonesia merupakan hutan yang kedua terbesar di dunia setelah Brasil. Lebih dari tiga dekade dengan eksploitasi hutan tanpa terkendali membuat hutan-hutan tersebut semakin hilang dengan tingkat yang mengkhawatirkan. Studi terakhir tentang kehutanan mengindikasikan bahwa apabila tingkat kerusakan hutan tidak dapat ditahan, maka hutan yang tersisa akan hilang dalam waktu 10-15 tahun.
Selama bertahun-tahun Komisi Eropa telah membangun substansi program pembangunan kerjasama dengan Pemerintah Indonesia di sektor kehutanan. Program kerjasama yang dikenal dengan Program Kehutanan Komisi Eropa - Indonesia (ECIFP) didasarkan pada keperluan untuk melindungi dan mengelola secara lestari sumber daya hutan dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat, pembangunan umum ekonomi Indonesia dan ekonomi global. Analisa penelitian difokuskan terhadap lima proyek ECIFP yang secara total kontribusi bernilai sekitar 110 juta Euro. Pada saat sekarang tinggal hanya satu proyek aktif yang tersisa yaitu Proyek Pengelolaan Kebakaran Hutan Sumatera Selatan.
Dalam implementasinya proyek-proyek tersebut menemui beberapa kendala yang banyak disebabkan oleh kondisi dalam negeri Indonesia, seperti lemahnya penegakan hukum dan tata pemerintahan yang belum stabil. Namun sisi kelemahan juga terdapat pada konsep kerjasama itu sendiri. Adanya perbedaan agenda antara Komisi Eropa dan Indonesia, serta kurangnya kepercayaan dan transparansi membuat proyek-proyek tersebut tidak efektif dan efisien dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Saat ini sedang dijalankan sebuah proyek baru dengan skala yang lebih kecil dibandingkan dengan proyek-proyek sebelumnya. Komisi Eropa dan pemerintah Indonesia dalam agenda kerjasama kali ini lebih memfokuskan kepada isu penataan pemerintahan yang baik, penegakan hukum dan perdagangan. Tujuan dari proyek yang disebut sebagai FLEGT ini adalah untuk memperkuat fasilitas pemerintah Indonesia dalam mengelola sumber daya hutan secara lestari, dan dengan demikian dapat mengatasi kegiatan pembalakan liar yang telah banyak terjadi

The forests of Indonesia are currently the second largest in the world, after those of Brazil. However they are disappearing at an alarming rate following more than three decades of uncontrolled exploitation. Recent studies indicate that, if the current rate of deforestation is not arrested, the remaining forests will disappear within 10-15 years.
The European Commission has had a substantial development co-operation program with the Government of Indonesia (Goal) in the forestry sector for many years. Previously known as the EC-Indonesia Forest Program (ECIFP), conserve and sustainable manage Indonesia's forest resources taking account of the welfare of local populations, general development of the Indonesian economy and global concerns. This research focuses on five of the ECIFP projects which had a total value of 110 million Euro. At the moment there is just one residual project active under the ECIFP: The South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP).
In the implementation phases, those projects met some challenges caused by the state condition of Indonesia, such as weaknesses in law enforcement and unstable governance. On the other side the concepts of the projects weren't relevant enough with the condition they had to face. Conflict of interests between European Commission and Indonesia, and lack of trust and transparency lead the projects to inefficiency and ineffectiveness.
Currently the European Commission and Government of Indonesia is focusing their agendas in a smaller scale project named Forest Law Enforcement, Good Governance and Trade (FLEGT). The project aims to build good governance in Indonesia, strengthen law enforcement and trade. Those aims are planed to strengthen the GoI's capacity in managing the forests sustainable and therefore able to tackle the increasing illegal logging activities."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20772
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jansen Tangketasik
"Masalah pengelolaan hutan tidak hanya terletak pada aspek manajemen, teknik budidaya, dan pengolahan hasil hutan, melainkan juga mencakup aspek sosial-budaya yang berhubungan dengan status dan batas kawasan hutan, kewenangan dan kepentingan masyarakat lokal dan pemerintah. Kepentingan masyarakat lokal dan pemerintah atas hutan bersifat kompleks karena dipengaruhi kewenangan dan kesejarahan, nilai sosial, ekonomi, dan ekologi sumberdaya hutan. Tarik menarik kepentingan dan hak penguasaan hutan antara negara dan masyarakat lokal memperlihatkan wujud bekerjanya kekuasaan melalui relasirelasi para pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Bekerjanya kekuasaan memengaruhi strategi dan hubungan yang dijalankan kedua pihak untuk mewujudkan tujuan melalui proses ruang lobi dan negosiasi yang akhirnya melahirkan suatu titik temu berupa akomodasi dan integrasi kepentingan individu menjadi kepentingan bersama.
Kerangka pemikiran demikian memunculkan pertanyaan: (1) Bagaimana masyarakat lokal dan aparat pemerintah memerankan diri sebagai representasi individu dan representasi otoritas institusi dalam penguasaan hutan? (2) Bagaimana para pihak memerankan otoritas secara berubah-ubah dalam penguasaan sumberdaya hutan? (3) Bagaimana kekuasaan bekerja dan strategi untuk memenangkan proses pembuatan konsensus baru melalui proses negosiasi mencari titik temu berupa akomodasi dan integrasi kepentingan antar-para pihak dalam menyelesaikan konflik? (4) Apa implikasi teoritis memahami hubungan kekuasaan dan strategi dinamis antarpihak dalam pembentukan ruang-ruang negosiasi baru pada penguasaan sumberdaya hutan? Untuk mempelajari bagaimana kekuasaan bekerja dalam praktek-praktek sosial pengelolaan hutan maka teori kekuasaan Michel Foucault dan teori strukturasi Anthony Giddens menjadi inspirasi konseptual. Metode kerja dan analisis memberi penekanan pada tekanan yang terjadi sekarang serta melakukan penelusuran historis (history recall) melalui teknik wawancara mendalam dan pengamatan terlibat. Penelitian lapangan berlangsung dari bulan Agustus 2007 hingga Juli 2009 pada para pihak yang terlibat dalam praktek-praktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Kajian ini memperlihatkan, dinamika penguasaan hutan dan hubungan kekuasaan yang terbangun antarpihak dipengaruhi klaim otoritas masing-masing pihak berbasis hukum negara dan adat. Dualisme kekuasaan dengan basis hukum berbeda tersebut terlihat dalam strategi yang dijalankan. Para agen memerankan strategi peran ganda dengan cara mengedepankan kekuatan regulasi formal yang berasal dari negara atau pemerintah dan kekuatan norma-norma adat dan simbol simbol tongkonan untuk mencapai tujuannya. Usaha menonjolkan regulasi formal dan simbol negara bertujuan menciptakan suatu order kepada masyarakat. Namun, pada saat tertentu simbol kekuatan lokal seperti tongkonan beserta adat istiadatnya ditonjolkan untuk meraih kepatuhan masyarakat dan menawar kekuasaan negara. Hal ini menunjukkan, kekuasaan yang ada pada setiap agensi mampu memengaruhi dan mengintervensi serangkaian peristiwa sehingga ia dapat mengubah jalannya peristiwa tersebut sesuai dengan tujuannya. Hubungan kekuasaan dan peran agensi dalam penguasaan sumberdaya hutan terjadi secara kompleks dan berkaitan. Meski menyandang status kawasan hutan negara dengan sistem tata kelola yang diatur negara, namun masyarakat lokal terus menguasai sumberdaya hutan berdasarkan hukum adat, kebiasaan, dan simbol legitimasi yang dimiliki. Situasi itu melahirkan klaim masing-masing agensi sesuai otoritas yang dimilikinya sebagai pemerintah atau penguasa adat. Dominasi negara memunculkan elit lokal untuk melakukan negoisasi dan renegoisasi penguasaan sumberdaya dengan basis legitimasi hukum adat, kebiasaan, dan simbol yang dimiliki masing-masing. Pada sisi lain, kajian ini memperlihatkan, dinamika penguasaan hutan dan hubungan kekuasaan yang terbangun antarpihak tidak hanya dipengaruhi klaim otoritas yang melekat pada masing-masing pihak. Dinamika hubungan yang terjadi ikut dipengaruhi konsekuensi modernitas yang berlangsung di sekitarnya. Kekuatan pasar, intervensi teknologi, perubahan waktu dan ruang sangat berdampak kepada aktivitas sosial dan berimplikasi kepada penilaian-penilaian sosial ekonomi masyarakat. Situasi di mana masing-masing agensi mengklaim sebagai penguasa dengan basis hukum negara dan norma adat melahirkan perubahan dinamis dalam interaksi antaragensi yang terlihat dalam pola hubungan konflik, perlawanan, dan klaim-klaim sumberdaya hutan. Meski demikian, hubungan kekuasaan yang berlangsung dalam realitas pengelolaan hutan oleh negara sering bersifat cair dan dapat dinegosiasikan dengan masyarakat dalam suatu ruang negosiasi baru.
Hubungan yang tercipta saat penguasaan hutan ada dalam kekuasaan Tongkonan juga sering bersifat cair dan dinegosiasikan. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam proses interaksi sosial tersebut berlangsung atau bekerjanya hubungan kekuasaan dalam suatu proses strukturasi antara agensi dan budaya berupa simbol-simbol relasi, gagasan, keyakinan, nilai dan norma terhadap perubahan dalam suatu dialektik menuju ruang akomodasi dan integratif sebagai suatu kompromi dalam ruang negosiasi baru. Dinamika yang berlangsung dalam hubungan kekuasaan seperti dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa kekuasaan yang bekerja secara dinamis melalui suatu proses interaksi sosial para agensi dalam praktek-praktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang dalam tindakannya dipengaruhi oleh dimensi kesadaran praktis (practical consciousness). Kesadaran praktis ini merupakan seperangkat pengetahuan yang secara implisit digunakan oleh para pelaku bertindak di dalam menghadapi situasi usaha penguasaan hutan yang terjadi secara terus menerus yang lambat laun menjadi struktur. Ketika kesadaran praktis ini dibawa kedalam konteks budaya dan struktur yang bertstrukturisasi dengan tindakan penguasaan sumberdaya hutan maka reproduksi gagasan, identitas, nilai dan norma akan berlangsung secara dinamik dan inovatif yang secara terus menerus berproses (procesual) dalam suatu dialektika struktur dan tindakan. Dalam kompleksitas kepentingan antarpihak, situasi tersebut mendorong lahirnya negosiasi dan konsensus baru dalam suatu ruang negosiasi baru penguasaan hutan. (*).

Problems emerged in the management of forest resources are not only emphasized on management, silviculture technique, and forest industrial aspects, but also include socio-cultural aspects related to forest border and status, and authority or interest for local people and government. Interests of local communities and state government toward forest resources are complex. These situations are mainly affected by state authority and historical aspects among them, and values of forest resources such as economic, social and ecological ones. Different point of views and interests on rightbased forest resource control between state government and local communities, emerge because of power exercises among stakeholders on managing social aspects on forest resources. The exercise of power affects the strategies and relationships among them in order to achieve common goals. Achieving the goals is carried out through negotiations and dialogues in order to reach consensus to accommodate and integrate individual interest to become collective agendas.
The framework of this study, then, comes out with some research questions: (1) How do local communities and personnel of state government, as individual and institutional representatives, exercise their roles on forest resource control? (2) How do stakeholders exercise their roles interchangeably on forest resource control? (3) How do the exercise of power from state government, and what are strategies to achieve new agreement through negotiations in order to reach common goals on accommodation and integration of interests among them for conflict resolutions? (4) What are theoretical implications on the study of power relations and dynamic strategies among stakeholders on formulating new form of negotiations for managing forest resources?. In order to analyze the exercise of power in the social aspects of managing forest resources among stakeholders, the conceptual framework are inspired from theory of power from Michael Foucault and structuration theory from Anthony Giddens. Methods and analysis on this study emphasize on current situation and historical recall through in depth interviews and purposive participatory observation. Field study related with forest resources management and utilization and involved stakeholders, has been accomplished in Tana Toraja, South Sulawesi from August 2007 to July 2009. Result of this study shows that the dynamic of forest resource control, and social interactions among agents, is affected by authority claims among actors based on state and customary laws. Dualism of power based on the different laws, emerged from the executed strategies. These agents exercise double role strategy through relying on the power of state formal regulation and the power of customary law and tongkonan symbols in order to reach their goals. Efforts to exercise formal regulations and symbols of state, have an objective to achieve social order. However, in certain cases, local symbol of power such as tongkonan and its customary law, is exercised in order to gain social obedience and to compete with state power. In fact, the power from each agent is able to influence and intervene situations so that it can alter the situations in line with intended objectives.
The interrelationship of power and roles of agents on forest resource control is very complex and related each other. Indonesian Republic State law stated that forest resources are state domain or state property. On the other hand, local people has been controlling forest resource based on customary laws and legitimated local symbols. So, every agents exercise their claims on the resources based on their authority, whether they are as a state government or as a local leaders. State dominations, then, develop local elites in order to negotiate on the forest resource control based on customary laws, local values, norms, and customary symbols. On the other hands, the study for dynamic of forest resource control and power relationship among actors is not only caused by claim authority embedded from each actor, but also other factors. The dynamic of interrelationship is also influenced by the development of modernity. The power of markets, technology interventions, and social changes are strongly affects social activities and causes social-economic valuation of the community.
Situation, in which each agents exercise their claims based on state and customary laws, has caused dynamic change on agents? social interaction on conflicts, resistances and claims over forest resource control. On the other hand, power relationship in the state forest resource control is often flexible and negotiable with local people in a new room of negotiations. The interrelationship emerged in Tongkonan is also flexible and often negotiable. These can be inferred that the social interaction process of power relationship in the structuration between agents and culture (symbols, ideas, beliefs, values, and norms) toward dialectic change on accommodation and integration, perceived as a compromise on new room of negotiation.
The dynamic of power relationship shows that the dynamic power exercises through social interaction process among agents in the management and utilization of forest resource, are caused by dimension of practical consciousness. The practical consciousness is a set of knowledge that implicitly used continuously by agents in order to act toward the forest resource control so that it become structure in the local community. When the practical consciousness is emerged in the culture and structure of forest resource control, the reproduction of ideas, identities, values, and norms will be procesual dynamically and innovatively in dialectic structure and actions. In the complexity of interest among actors, the situation will cause the emergence of new consensus and negotiation in the context of new room of negotiation for forest resource control.(*)
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
D628
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bogor: Pustaka Latin, 2005
634.9 PEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lahjie, Abu Bakar
Jakarta: UPN Veteran, 2000
574.5 Lah t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Poedji Churniawan
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2005
T39421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>