Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Esti Cahyaningrum
"ABSTRAK
Salah satu masalah kesehatan yang umum dialami oleh anak adalah demam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan orang tua tentang demam dan manajemen demam anak di rumah. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi dengan cross sectional di RSUD Cibinong pada bulan Mei-Juni 2014. Alat penelitian yang gunakan yaitu kuesioner.. Uji hipotesis dalam penelitian ini adalah menggunakan uji Fihser’s Exact. Jumlah responden yang terlibat dalam penelitian adalah 56 orang, 77% diantaranya jenis kelamin perempuan, 91% kategori dewasa awal, 57% memiliki tingkat pendidikan SMA/SMK dan 64%-nya tidak bekerja/Ibu Rumah Tangga (IRT). Tingkat pengetahuan tentang demam yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0% kategori baik, 50% kategori cukup dan 50% kategori kurang. Sebanyak 86% tidak mampu melakukan manajemen demam di rumah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan orang tua tentang demam dan manajemen demam anak di rumah (p=0,0022). Oleh sebab itu diperlukan usaha peningkatan tingkat pengetahuan orang tua mengenai demam, sehingga kemampuan manajemen demam juga akan ikut meningkat.

ABSTRACT
One of the common diseases sufferred by children is fever. This research aims at finding out the relationship of the knowledge of parents about fever and children’s fever management at home. This research was conducted with the descriptive-coorelative research design with the cross sectional in RSUD Cibinong on May-June 2014. The tools of this research was questionnaire. The hypothesis examination done for this research was Fisher’s Exact test. The number of respondents involved in this research were 56 parents, with 77% female respondents, 91% were categorized as early adults, 57% with Senior High School/ Vocational School education, and 64% were unemployed/ housewives. The data for the knowledge of these parents about fever that was collected in this research were 0% for good category, 50% for sufficient category, and 50% for insufficient. There were 86% of parents could not do the fever management at home. This result showed that there was a meaningful relationship between the parents’ knowledge about fever and the children fever management at home (p=0,0022). Therefore efforts to improve the level of knowledge of parents about fever until fever management capability will also follow up."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S56334
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Khabib Burhanuddin Iqomh
"Demam merupakan respon tubuh terhadap infeksi, menyebabkan rasa tidak nyaman, gelisah, gangguan fisiologis pada anak. Tatalaksana demam dilakukan dengan metode farmakologi dan non farmakologi. Asuhan keperawatan menggunakan model konservasi Levine bertujuan untuk mempertahankan konservasi energi, konservasi integritas struktur, konservasi integritas personal dan konsevasi integritas sosial. Tepid water sponging (TWS) merupakan salah satu intervensi keperawatan mengatasi masalah demam, kombinasi TWS dengan terapi farmakologi lebih cepat menurunkan demam dibanding terapi farmakologi saja. Hasil pemberian asuhan keperawatan menggunakan model konservasi Levine dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan demam.

Fever is the body's response to infection, causing discomfort, anxiety, physiological disorders in children. Management of fever performed with pharmacological and non-pharmacological methods. Nursing care using the model of conservation Levine aims to maintain energy conservation, structural integrity conservation, personal integrity conservation and social integrity conservation. Tepid Water sponging (TWS) is one of the nursing interventions to overcome the problem of fever, TWS combination with pharmacological treatment more quickly reduce fever than pharmacological treatment alone. The results of nursing care using Levine?s conservation model can be used as a reference in providing nursing care in children with fever.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maryati
"Penumonia menjadi penyebab utama kematian balita. Penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan memberi gambaran asuhan keperawatan pada balita dengan pneumonia. Berdasarkan hasil pengkajian pada klien dengan pneumonia didapatkan tanda dan gejala demam, batuk, pilek, sesak, pernafasan cuping hidung, frekuensi pernafasan meningkat, hasil laboratorium leukositosis, serta gambaran foto thorak terkesan gambaran pneumonia. Intervensi tepid water sponge adalah salah satu tindakan mandiri perawat untuk menurunkan gejala demam. Evaluasi menunjukan bahwa tindakan tepid water sponge yang disertai dengan pemberian antipiretik adalah tindakan efektif untuk menurunkan demam pada anak. Karya ilmiah ini memberikan saran bagi perawat rumah sakit agar mengoptimalkan tindakan tepid water sponge untuk menurunkan demam pada anak dan penerapanya dapat melibatkan keluarga.

Pneumonia is to be the main cause of infant death. Final Scientific Writing nurses aims to give an overview of nursing care in children with pneumonia. Based on the results of the assessment on a client with pneumonia found the signs and symptoms of fever, cough, cold, breathless, nostril breathing, increased respiratory rate, leukocytosis laboratory results, as well as an overview of photos thoracic impressed pneumonia. Intervention tepid water sponge is one nurse independent action to reduce fever. Evaluation shown that tepid water sponge action coupled with antipyretic treatment is effective measures to reduce fever in children. This paper provided advice to nurses in order to optimize tepid water sponge action to reduce fever on children and their applicability can involve the family.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Paramita
"Latar belakang: Pengukuran suhu tubuh sebenarnya (core body temperature) tidak lazim dilakukan pada anak karena invasif dan sulit, sehingga pengukuran suhu aksila dan membran timpani lebih disukai. Namun sampai saat ini ketepatan hasil pengukuran suhu membran timpani dan aksila masih diperdebatkan.
Tujuan: Membandingkan ketepatan hasil pengukuran suhu membran timpani dan aksila dengan rektal, mengetahui metode terbaik pengukuran suhu tubuh, dan cut off demam pada anak berdasarkan masing-masing metode pengukuran suhu.
Metode: Penelitian diagnostik potong lintang pada anak demam berusia 6 bulan ? 5 tahun yang dipilih secara konsekutif di Poliklinik Anak, IGD Anak, dan Ruang Perawatan Anak Gedung A RSCM antara bulan Desember 2014 ? Januari 2015.
Hasil: Dengan cut off demam suhu aksila 37,4oC dan membran timpani 37,6oC didapatkan sensitivitas 96% (IK 95% 0,88-0,98) dan 93% (IK 95% 0,84-0,97), spesifisitas 50% (IK 95% 0,47-0,84) dan 50% (IK 95% 0,31-0,69), NDP 90% (IK 95% 0,81-0,95) dan 85% (IK 95% 0,75-0,91), NDN 83% (IK 95% 0,61-0,94) dan 69% (IK 95% 0,44-0,86). Cut off optimal demam suhu membran timpani dan aksila pada penelitian ini adalah 37,8oC (AUC 0,903 dan 0,903).
Simpulan: Hasil pengukuran suhu aksila sama baik dengan membran timpani dalam mendeteksi demam dan dapat digunakan dalam praktik klinis sehari-hari maupun di rumah. Dengan cut off demam 37,8oC didapatkan sensitivitas 81% dan 88%, spesifisitas 86% dan 73%, NDP 95% dan 91%.

Background: Core body temperature measurement is not common in pediatric population because it is invasive and difficult. Therefore tympanic and axillary temperature measurement are prefereble but their accuracy still debated.
Objective: To compare the accuracy of axillary and tympanic temperature to rectal temperature in children with fever and measure the cut off point for fever based on each temperature measurement method.
Methods: A cross-sectional diagnostic study was conducted among children age 6 months ? 5 years which was selected consecutively at Pediatric Out-patient clinic, Pediatric emergency unit, and the in-patient wards in building A RSCM from December 2014 to January 2015.
Results: With the cut off for fever on axilla 37,4oC and tympanic membrane 37,6oC the sensitivity was 96% (95% CI 0,88-0,98) and 93% (95% CI 0,84-0,97), specificity 50% (95% CI 0,47-0,84) and 50% (95% CI 0,31-0,69), NDP 90% (95% CI 0,81-0,95) and 85% (95% CI 0,75-0,91), NDN 83% (95% CI 0,61-0,94) and 69% (95% CI 0,44-0,86). Optimal cut off of tympanic membrane and axilla temperature was 37,8oC (AUC 0,903 dan 0,903).
Conclusions: Axillary temperature measurement is as good as the tympanic membrane temperature measurement and can be used at the daily clinical practice or at home. By increasing the optimum fever cut off point for axilla temperature and tympanic membrane to 37,8oC, we found sensitivity 81% and 88%, specificity 86% and 73%, NDP 95% and 91%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Herya Kusmawati
"Demam merupakan respon tubuh terhadap adanya infeksi. Anak dengan demam dapat mengalami gangguan fisiologis, gelisah, dehidrasi, dan ketidaknyamanan. Penanganan demam dilakukan dengan menurunkan suhu tubuh secara perlahan dan memberikan kenyamanan pada anak. Salah satu penanganan demam nonfarmakologi berupa tepid water sponge yang menjadi rekomendasi jika dipadukan dengan terapi farmakologi. Pendekatan keperawatan untuk memberikan kenyamanan pada pasien didasarkan pada teori Comfort Kolcaba yang meliputi aspek kenyamanan fisik, psikospiritual, sosiokultural, dan lingkungan. Asuhan keperawatan menggunakan teori Comfort Kolcaba dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan demam.

Fever is the body's response to infection. Children with fever may experience physiological disorders, anxiety, dehydration, and discomfort. Handling fever is done by slowly lowering the body temperature and provide comfort to the child. One of non pharmacological treatment to fever is tepid water sponge that recommended when it combined with pharmacological therapy. The nursing approach to comforting patient is based on Kolcaba Comfort theory which includes aspects of physical comfort, psychospiritual, sociocultural, and environment. Kolcaba comfort theory can be used as a reference in the provision of nursing care in children with fever.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiany Futihat Maulida
"Demam merupakan masalah yang sering terjadi pada balita dan menjadi hal yang dikhawatirkan orang tua. Penelitian ini bertujuan mengetahui penggunaan obat tradisional untuk penatalaksanaan demam pada anak balita di rumah oleh orang tua. Penelitian ini dilakukan di Desa Karyasari, Kabupaten Bogor, dengan desain penelitian deskriptif menggunakan kuesioner yang dikembangkan sendiri oleh peneliti. Jumlah responden yang berpartisipasi 106 orang yang dipilih dengan teknik cluster random sampling. Seluruh responden berjenis kelamin perempuan dengan usia minimum 20 tahun dan maksimum 53 tahun, tingkat pendidikan dasar dan menengah 93, status pekerjaan tidak bekerja 95 dan memiliki penghasilan kurang dari UMP Kabupaten Bogor 91. 90.6 orang tua mengidentifikasi demam dengan menggunakan tangan. Obat tradisional yang sering digunakan adalah bawang merah 86.8 digunakan dengan campuran minyak 64.2 dengan cara dibalur 86.8. Oleh sebab itu, perlu adanya pendidikan kesehatan mengenai penggunaan obat tradisional untuk membantu penyembuhan penyakit dan tanda bahaya pada anak untuk segera dibawa ke rumah sakit.

Fever regularly affects toddlers and may put their parents at unease. This study aimed to identify the common traditional medicines used by parents to treat their children rsquo s fever at home. The study took place in Karyasari, Bogor District, by the study design was descriptive and the instrument used was questionnaire developed by author himself. 106 respondents were selected by cluster random sampling method. All respondents were females with the youngest was being 20 years old and the oldest was 53 years old, majority of them were graduated from elementary and junior high school 93, currently unemployed 95, and having household income less than Regional Minimum Wage RMW of Bogor 91. 90.6 of parents identified fever by tactile perception. The most common traditional medicines used by respondents were onion 86.8 mixed with oil 64.2 and applied on the body 86.8. Study result suggested the need for health education concerning the use of traditional medicine to treat a disease and the danger sign of the child to bring to the hospital."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S69045
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Dwi Putri
Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia , 2018
617.22 NIN b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ganda Ilmana
"Latar belakang: Demam neutropenia dan komplikasinya adalah salah satu penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pasien anak dengan kanker, termasuk di RSCM. Selain antibiotik empiris, tata laksana lain seperti stratifikasi risiko, eskalasi dan modifikasi antibiotik, inisiasi antijamur dan penggunaan GCSF belum disusun menjadi suatu algoritme khusus sehingga praktiknya masih bervariasi. Salah satu antibiotik empiris yang banyak direkomendasikan adalah piperasilin tazobaktam. Tata laksana yang seragam direkomendasikan untuk menjaga kualitas layanan dan memperbaiki luaran.
Tujuan: Mengetahui efektivitas algoritme Kiara dibandingkan tanpa algoritme dalam tata laksana demam neutropenia risiko tinggi pada anak dengan luaran bebas demam, kenaikan absolute neutrophil count (ANC) >500/µL dalam 7 hari, dan pertumbuhan mikroorganisme serta resistensi antibiotik.
Metode: Uji klinis terbuka, terandomisasi dengan kontrol pada anak 0-18 tahun dengan demam neutropenia risiko tinggi, sejak Januari-Mei 2024. Kelompok uji mendapat antibiotik empiris piperasilin-tazobaktam. Eskalasi, modifikasi antibiotik, antijamur, dan G-CSF diberikan sesuai algoritme. Kelompok kontrol mendapat seftazidim serta tata laksana tanpa menggunakan algoritme. Pasien dipantau selama 7 hari.
Hasil: Terkumpul 58 subjek, terbanyak adalah pasien tumor padat dengan gejala infeksi saluran pencernaan. Komplikasi dialami oleh 8 subjek, setengahnya merupakan kasus pneumonia, dengan 75% merupakan pasien malnutrisi, 37,5% menggunakan akses sentral dan 87,5% memiliki hasil kultur yang positif. Hasil kultur positif terbanyak adalah pada urin (14,5%), feses (10,2%), dan darah (6%). Kuman gram negatif terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae (37%), Acinetobacter sp (20%), dan Escherichia coli (14,2%), sedangkan kuman gram positif terbanyak adalah Staphylococcus aureus (40%), Enterococcus faecalis (30%), dan Staphylococcus epidermidis (20%). Resistensi seftazidim didapatkan lebih tinggi (50% vs 31,1%) dan eskalasi-modifikasi antibiotik lebih banyak di kelompok kontrol.
Simpulan: Algoritme Kiara tidak lebih baik dalam hal lama demam dan capaian kondisi bebas demam dalam 7 hari pemantauan. Pemberian GCSF di kelompok uji yang lebih selektif terbukti dapat meningkatkan kadar ANC >500/µL, sama baik dengan kelompok kontrol yang menggunakan GCSF dua kali lebih banyak.

Background: Neutropenic fever and its complications are one of the main causes of high morbidity and mortality in pediatric cancer patients, including in Cipto Mangunkusumo Hospital. Apart from empiric antibiotics, other management such as risk stratification, antibiotic escalation and modification, antifungal initiation, and use of GCSF have not been compiled into a specific algorithm so practice still varies. Piperacillin-tazobactam is one of treatment choice in children with neutropenic fever. Local guidelines are recommended to maintain quality of care and improve outcomes.
Objective: To determine the effectiveness of the Kiara algorithm versus without algorithm in the management of high-risk febrile neutropenia in children with outcomes of fever-free, increase in absolute neutrophil count (ANC) >500/µL in 7 days, as well as the growth of bacteria and antibiotic resistance.
Methods: Open, randomized clinical trial with controls in children aged 0-18 years with high-risk febrile neutropenia, from January-May 2024. Experimental groups received piperacillin-tazobactam empirically. Escalation and modification of antibiotics, antifungals, and G-CSF were administered according to the algorithm. The control group received ceftazidime and treatment without an algorithm. Patients were followed up to 7 days of monitoring.
Results: A total of 58 subjects were included, most of whom were solid tumor patients with symptoms of digestive tract infections. Complications were experienced by 8 subjects, half of them were pneumonia and 75% were malnourished, 37,5% with central venous catheter and 87,5% had positive culture. Highest bacteria growth is in urine (14,5%), feces (10,2%), and blood (6%). The majority of gram-negative bacteria are Klebsiella pneumoniae (37%), Acinetobacter sp (20%), and Escherichia coli (14,2%) while the gram-positive bacteria are Staphylococcus aureus (40%), Enterococcus faecalis (30%), and Staphylococcus epidermidis (20%). Antibiotic resistance was higher in the control group (50% vs 31,1%) as well as the antibiotic escalation and modification rate.
Conclusion: The Kiara algorithm was not proven to be better in achieving fever-free conditions within 7 days of monitoring. The more selective administration of GCSF in the algorithm was proven to increase ANC levels to >500/µL, comparable to the control group with twice GCSF use.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sawitri Dhewi
"Latar belakang: Rinitis alergi (RA) merupakan penyakit respiratori kronik utama dengan prevalens yang semakin meningkat di seluruh dunia. Pada anak, masalah health-related quality of life (HRQL) antara lain gangguan belajar, ketidakmampuan bergaul dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga. Penting untuk mengenali dan menatalaksana RA pada anak sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
Tujuan: (1) Mendapatkan karakteristik pasien RA di RSCM. (2) Mengetahui kualitas hidup dan faktor-faktor yang berhubungan pada pasien RA.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada 92 anak RA usia 6-17 tahun yang datang ke Klinik Alergi Imunologi Departemen IKA dan THT-KL RSCM, sejak bulan Mei hingga Agustus 2015. Penelitian menggunakan Pediatric Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (PRQLQ) dan Adolescent Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (ARQLQ) untuk menilai HRQL.
Hasil: Proporsi pasien rinitis alergi di RSCM pada anak (6-11 tahun) sebesar 45,7% dan remaja (12-17 tahun) sebesar 54,3% dengan jenis terbanyak pada kedua kelompok tersebut adalah rinitis alergi persisten sedang-berat (39,1%). Rerata skor total kualitas hidup RA anak 1,5 (SB 1,16) dan RA remaja 1,9 (SB 1,28). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hidup adalah gejala klinis (p = 0,031 pada anak; dan 0,014 pada remaja) dan respons klinis (p = 0,000). Pada analisis multivariat, faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas hidup adalah respons klinis (p = 0,000).
Simpulan: Proporsi pasien rinitis alergi di RSCM pada anak lebih sedikit dibanding remaja, dengan jenis terbanyak adalah rinitis alergi persisten sedangberat. Kualitas hidup pada pasien rinitis alergi usia anak lebih baik dibanding remaja dan faktor yang paling berhubungan dengan kualitas hidup pasien adalah respons klinis.

Background: Allergic rhinitis is a major chronic respiratory disease in children, its prevalence is increasing in the world. In children, health-related quality of life (HRQL) issues include learning impairment, inability to integrate with peers, anxiety, and family dysfunction. It is important to recognize and treat AR in children to enhance quality of life.
Objectives: (1) To identify the characteristics of AR in children patients at Cipto Mangunkusumo Hospital. (2) To measure quality of life in children with AR and to assess the correlation of contributing factors.
Methods: A cross-sectional study was performed among 92 children with AR age 6-to-17-year-old visiting Allergy Immunology Outpatient Clinic Departement of Pediatric and ENT at Cipto Mangunkusumo Hospital from May to August 2015. The Pediatric Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (PRQLQ) and Adolescent Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (ARQLQ) was used to assess HRQL.
Results: The proportion of allergic rhinitis in CM Hospital in children (6-to-12-year-old) and 54.3% in adolescents (12-to-17-year-old) with the most type was the moderate-severe persistent group (39,1%). The mean quality of life score was 1.5 (SD 1.16) in children and 1.9 (SD 1.28) in adolescents. The correlated factors were clinical symptom (p = 0.031 in children; and 0.014 in adolescents) and clinical response (p = 0.000). A multivariate study, the most correlated factor was clinical response (p = 0.000).
Conclusions: The proportion of allergic rhinitis in CM Hospital in children was less than that in adolescents with the most type was the moderate-severe persistent group. Quality of life in children with allergic rhinitis was better than adolescents and the most correlated factors was clinical response.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library