Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Appleton, Richard
London : Martin Dunitz, 1998
616.853 APP e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Amril Amirman Burhany
"Proses tumbuh kembang yang merupakan ciri khas anak, dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor penyakit. Epilepsi merupakan suatu penyakit pada anak dengan insidens yang cukup tinggi yaitu 50/100.000 populasi anak (Shorvon, 1988). Pada pasien epilepsi, makin sering serangan, makin banyak sel-sel otak yang rusak, yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat kecerdasan pasien (Aicardi, 1986).
Menurut Sofijanov (1982) epilepsi merupakan kondisi kronik yang ditandai oleh timbulnya serangan kejang berulang, tanpa panas dengan abnormalitas disritmik spesifik pada EEG dan minimal dua kali serangan dengan interval minimal 24 jam.
Dalam penatalaksanaan epilepsi terdapat tiga jenis pengobatan yaitu terapi medikamentosa, terapi operatif dan terapi non-medikamentosa lain (Davidson dan Falconer, 1975; Aicardi, 1986).
Pemakaian obat antiepilepsi bertujuan untuk mengurangi frekuensi dan/atau beratnya serangan (Hoskins, 1974) dan merupakan terapi terpenting karena dapat mengontrol sebagian besar serangan (Aicardi, 1986).
Di antara banyak obat anti epilepsi yang digunakan sekarang ini, fenobarbital merupakan salah satu yang disukai karena efektivitasnya yang cukup tinggi, efek samping minimal, mudah didapat dan harganya yang murah serta terjangkau (Gilman dkk., 1985; Ismael, 1990). Eenobarbital bekerja dengan meningkatkan ambang rangsang kejang korteks motorik dan/atau membatasi penjalaran aktivitas serangan dari fakusnya ke organ-organ efektor (Hoskins, 1974; Gilman dkk., 1985).
Menurut Lampe (1986) fenobarbital per oral diserap dengan baik, konsentrasi puncak serum tercapai dalam 1 - 6 jam. Pada anak waktu paruhnya adalah 3 - 4 hari, sehingga diperlukan waktu 3 - 4 minggu (kira-kira 5-7 kali waktu paruh) untuk memperoleh konsentrasi plasma steady state dalam rentangan 15 - 40 ug/ml.
Dosis ganda (loading dose) untuk 4 hari pertama mempercepat pencapaian konsentrasi plasma efektif tetapi menambah efek sedasinya. Dosis per hari yang banyak dipakai adalah 4 - 6 mg/kg berat badan yang dibagi dalam dua dosis. Namun pemakaian satu kali sehari sudah adekuat pada anak dan dewasa setelah dosis rumatan diketahui/ditentukan?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawaty Hawari
"Bagi orang dengan penyakit kronis seperti epilepsi, kesembuhan kadang sulit dicapai dan pengobatan memakan waktu lama, sehingga kualitas hidup menjadi salah satu tujuan utama. Tujuan tulisan ini adalah untuk mendapatkan skor kualitas hidup penderita epilepsi serta faktor-faktor demografik dan medik yang mempengaruhi. Penelitian potong lintang menggunakan instrumen Quality of Life in Epilepsy (QOLIE)-31 untuk menilai kualitas hidup penderita epilepsi yang berobat jalan di Poliklinik Epilepsi RSCM. Sampel diambil secara konsekutif sejak Agustus 2005-Desember 2005. Dilakukan deskripsi demografi dan medik. QOLIE-31 terdiri dari komponen kekhawatiran akan serangan, kualitas secara umum, kesejahteraan emosional, energi/fatigue, fungsi kognitif, efek pengobatan, dan fungsi sosial. Dari 145 subjek, didapatkan skor total QOLIE-31 antara 28 ? 95 (rerata = 67.6 ; standar deviasi = 14.55). Rendahnya skor total QOLIE berhubungan dengan pendidikan yang rendah, frekuensi serangan yang sering, penggunaan obat antiepilepsi (OAE) politerapi dan jenis serangan epilepsi umum. Penggunaan obat antiepilepsi politerapi merupakan faktor yang paling dominan terhadap rendahnya skor total QOLIE-31. Penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya di India, Georgia dan Korea Selatan. Di samping itu peneliti juga menemukan pendidikan sebagai faktor risiko terhadap total skor QOLIE-31. (Med J Indones 2007; 16:101-3).

Persons with chronic disease such as epilepsy, where a cure is not attainable and therapy may be prolonged, quality of life (QoL) has come to be seen as an important goal. The objective of this study was to identify scores of quality of life (QoL related to clinical factors. A cross-sectional study using QOLIE-31 instrument to identify quality of life among ambulatory epileptic patients at Epileptic Clinic of Department of Neurology-Cipto Mangunkusumo Hospital. Samples were taken consecutively from August 2005 to December 2005. Several demographic data as well as clinical were collected. QOLIE-31 components consisted of seizure worry, overall quality of life, emotional well-being, energy/fatigue, cognitive function, medication effect and social function. We found among 145 subjects the total score of QOLIE-31 ranged from 28-95 (mean = 67.6; standard of deviation = 14.55). The total score of QOLIE-31was corelated with low education, more frequent of seizures, antiepileptic drug politherapy and type of generalized seizure. antiepileptic drug politherapy was the most dominant risk factor for lowering total score of QOLIE-31. Our finding was in accordance with previous studies in India, Georgia, South Korea. In additioin we found that education was also a risk factor for total score of QOLIE-31. (Med J Indones 2007; 16:101-3)."
Medical Journal of Indonesia, 2007
MJIN-16-2-AprJun2007-101
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Oxley, Jolyon
London: Faber and Faber, 1991
R 616 853 OXL e
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
"Diasumsikan bahwa pendidikan dan penerangan kesehatan telah dilakukan dan diberikan melalui wahana pelayanan kesehatan serta media massa, namun nampaknya di kalangan penderita dan masyarakat awam tingkat pengetahuan mereka tentang epilepsi kurang memadai. Dalam penelitian ini telah dilakukan wawancara terhadap 127 penderita epilepsi di klinik rawat jalan Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang, 95 orang keluarga pasien, dan 95 orang awam untuk mengungkap pengetahuan mereka tentang organ utama tubuh yang terganggu, etiologi, gejala-gejala dan tanda-tanda, dan faktor pemicu bangkitnya kejang berulang pada epilepsi. Jawaban-jawaban para responden dicatat secara verbatim, kemudian dianalisis dengan mencocokkan jawabannya dengan jawaban yang benar menurut literatur. Hasil analisis didapatkan pengetahuan yang jelek dan kurang tentang organ tubuh yang terganggu, etiologi, gejala-gejala dan tanda-tanda, dan faktor pemicu bangkitnya kejang berulang pada epilepsi pada kelompok pasien, keluarga pasien, dan orang awam. Pada ketiga kelompok tersebut tidak terdapat perbedaan bermakna tingkat pengetahuan mengenai epilepsi. Tingkat pengetahuan pasien terendah dibanding dua kelompok yang lain. Tingkat pendidikan tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan responden. Temuan tersebut menggambarkan kurang memadainya komunikasi antar dokter dan pasien pada wahana pelayanan kesehatan serta pendidikan kesehatan masyarakat tentang epilepsi yang diterima oleh keluarga pasien dan orang awam. (Med J Indones 2003; 12: 29-39)

It is assumed that health education has been done and health information has been given through health service institutions and mass media, but it seems that the patients as well as common people have insufficient knowledge about epilepsy. Interviews had been carried out upon 127 epilepsy patients in out patient clinic Dr. Kariadi Hospital Semarang, 95 patients’ family, and 95 common people to explore their knowledge on the main disturbed organ, etiology, symptoms and signs, and trigger factors of repeating seizure in epilepsy. The respondents’ answers were recorded verbatim, and analyzed by matching to the right answers according to references. Bad and insufficient knowledge on the main organ disturbed in epilepsy, etiology, symptoms and signs, and trigger factors for repeated seizure was founded among the epilepsy patients, their family, and common people. There were no significant differences of the level of knowledge among the three groups of respondents. The patients’ knowledge was the worst, compared to the others. The level of education of the respondents did not influence their level of knowledge. In conclusion, this study reflects an insufficient communication between doctors and the patients in the health service institution, and an insufficient public health education about epilepsy received by the patients’ family and common people. (Med J Indones 2003; 12: 29-39)"
Medical Journal of Indonesia, 12 (1) January March 2003: 29-39, 2003
MJIN-12-1-JanMar2003-29
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Manajemen epilepsi pada lanjut usia memerlukan pemahaman tentang ciri-ciri khas menyangkut aspek biokimiawi dan farmakologi. Keputusan manajemen harus berdasar atas klasifikasi serangan atau sindrom epilepsi, pemeriksaan neurologis menyeluruh untuk mencari faktor etiologi, dan penilaian tentang status kesehatan dan kehidupannya. Penyakit lain yang menyertai misalnya gangguan jiwa, metabolik, jantung dan gangguan saraf lainnya memerlukan perhatian, perencanaan dan instruksi spesifik. Dibandingkan dengan golongan anak, golongan lanjut usia mempunyai berbagai masalah yang sangat berbeda. Masalah-masalah tersebut antara lain penyebab epilepsi yang beraneka ragam, diferensial diagnosis yang lebih bervariasi, penyakit lain yang tidak berhubungan dengan epilepsi, perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik, dan efek psikososial. (Med J Indones 2003; 12: 40-7)

Management of epilepsy in elderly requires understanding the unique biochemical and pharmacological characteristics of these patients. Management decisions must be based on accurate classification of seizures or epilepsy syndromes, a thorough neurological assessment to define etiology, and a comprehensive assessment of the patient’s health and living situation. Concomitant illnesses such as neurological, psychiatric, metabolic, or cardiac disorders will require individualization of plans and instructions. Specific problems of treatment of epilepsy in the elderly compared to childhood patients are as follows: distinctive range of causes of epilepsy, distinctive differential diagnosis, concurrent pathologies unrelated to epilepsy, pharmacokinetic and pharmacodynamic differences, and distinctive psychosocial effects. (Med J Indones 2003; 12: 40-7)"
Medical Journal of Indonesia, 12 (1) January March 2003: 40-47, 2003
MJIN-12-1-JanMar2003-40
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irawaty Hawari
"Latar Belakang: Bagi orang dengan penyakit kronis seperti epilepsi, dimana kesembuhan sulit dicapai dan pengobatan memakan waktu lama, kualitas hidup menjadi salah satu tujuan utama.
Tujuan: Untuk mendapatkan rerata skor kualitas hidup serta faktor-faktor demografik dan medik yang dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita epilepsi.
Metodologi: Penelitian potong lintang deskriptif menggunakan instrumen Quality of Life in Epilepsy (QOLIE)-31 untuk menilai kualitas hidup 145 penderita epilepsi yang berobat jalan di Poliklinik Epilepsi RSCM. Sampel diambil secara konsekutif sejak Agustus 2005-Desember 2005. Dilakukan deskripsi demografi dan medik, serta analisis bivariate, multivariate untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan skor total QOLIE maupun skor masing-masing komponen QOLIE (kekhawatiran akan serangan, kualitas secara umum, kesejahteraan emosional, energilfatigue, fungsi kognitif, efek obat, fungsi sosial).
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan rerata skor total QOLIE 67.62 ± 14.55. Faktor-faktor yang mempengaruhi (p< 0.05) rendahnya skor total QOLIE-31 adalah tingkat pendidikan, frekuensi serangan dan jenis pengobatan. Tingkat pendidikan berhubungan kuat dengan kekhawatiran akan serangan; frekuensi serangan dengan kekhawatiran akan serangan dan fungsi sosial; jenis pengobatan dengan fungsi kognitif dan efek obat.
Simpulan: Tingkat pendidikan rendah, frekuensi serangan yang sering dan jenis pengobatan politerapi berhubungan kuat dengan rendahnya kualitas hidup.

Background: For persons with a chronic disease such as epilepsy, where a cure is not attainable and therapy may be prolonged, quality of life (QoL) has come to be seen is an important goal.
Objective: is determine mean scores of QoL, demographic and clinical factors that influence the epileptic patient?s QoL.
Method: Cross-sectional study using QOLIE-31 instrument to determine the quality of life of 145 ambulatory epileptic patients at Epileptic Clinic of Department of Neurology-Ciptomangunkusumo Hospital. Samples were taken consecutively from August 2005 to December 2005. Clinical and demographic data were collected Bivariate and multivariate analysis were used to determine which factors influenced QOLIE-3 either the total scores or the scores from each component of the QOLIE-31 (seizure worry, overall quality of life, emotional well-being, energy/fatigue, cognitive function, medication effect and social function).
Result: The mean total score of QOLIE-31 was 67.62 t 14.55. The variables that were most strongly predicted (p
Conclusion: low education level, high frequency of seizures, and antiepileptic polytherapy are correlated with lower QOLIE-31 scores."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priguna Sidharta, 1924-2003
Jakarta: Gaya Favorit Press, 1986
616.853 PRI e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, S.M.
Jakarta : Depkes , 1994
616.853 LUM e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Arifianto
"Latar belakang: Epilepsi Rolandik adalah salah satu sindrom epilepsi terbanyak pada anak dan umumnya dianggap benign dan self-limited. Tetapi komorbiditas kognitif dan perilaku dapat ditemukan pada anak-anak dengan epilepsi yang bernama lainnya benign Rolandic epilepsy with centrotemporal spikes (BECTS) ini. Pasien epilepsi Rolandik harus dievaluasi adanya komorbiditas kognitif dan perilaku.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara usia awitan kejang dan jumlah hemisfer yang menjadi fokus kejang dengan kemampuan kognitif dan gangguan perilaku pada anak-anak dengan epilepsi Rolandik.
Metode: Penelitian potong-lintang di sembilan RS/klinik dengan konsultan neurologi anak di Jakarta dan Banten, terhadap anak-anak berusia 6 – 12 tahun dengan epilepsi Rolandik. Penelitian meliputi anamnesis semiologi kejang, interpretasi hasil elektroensefalografi (EEG) oleh dua orang konsultan neurologi anak, dan pemeriksaan intelligence quotient (IQ) oleh psikolog.
Hasil: Nilai verbal IQ sebagai parameter kognitif berbicara/berbahasa lebih banyak bernilai  average pada subjek dengan usia awitan kejang yang lebih muda (< 6 tahun). Nilai verbal IQ < average lebih banyak didapatkan pada subjek dengan fokus gelombang kejang pada salah satu sisi hemisfer. Jumlah subjek yang mengalami gangguan perilaku berupa gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) dan gangguan spektrum autism (GSA) lebih banyak pada kelompok usia awitan kejang < 6 tahun dan fokus kejang hemisfer bilateral. Tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara usia awitan kejang dan jumlah hemisfer yang menjadi fokus kejang dengan komorbiditas kognitif dan perilaku.
Simpulan: Anak-anak dengan epilepsi Rolandik dapat memiliki komorbiditas kognitif berupa gangguan berbicara/berbahasa dan komorbiditas perilaku berupa GPPH/GSA, dan dapat dipengaruhi oleh usia awitan kejang dan jumlah hemisfer yang menjadi fokus kejang, meskipun hubungannya tidak bermakna secara statistik.

Background: Rolandic epilepsy is one of the most common epilepsy syndromes in children and is generally considered benign and self-limited. But cognitive and behavioral comorbidities can be found in children with this epilepsy, which has another name: benign Rolandic epilepsy with centrotemporal spikes (BECTS). Rolandic epileptic patients should be evaluated for cognitive and behavioral comorbidities.
Objective: To determine the relationship between age at onset of seizures and the number of hemispheres that are the focus of seizures with cognitive abilities and behavioral disorders in children with Rolandic epilepsy.
Methods: Cross-sectional study in nine hospitals/clinics with pediatric neurology consultants in Jakarta and Banten, on children aged 6-12 years with Rolandic epilepsy. The research includes interviews on seizure semiology history, interpretation of electroencephalographic (EEG) results by two child neurology consultants, and intelligence quotient (IQ) tests performed by psychologists.
Results: The verbal IQ score as a cognitive speaking/language parameter  average was found more in subjects with younger seizure onset (<6 years). Verbal IQ < average scores were greater in subjects with seizure focus on one side of the hemisphere. The number of subjects who experienced behavioral disorders in the form of attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) and autism spectrum disorders (ASD) was more in the age group of seizure onset < 6 years and bilateral hemispheric seizure focus. There was no statistically significant relationship between age at onset of seizures and the number of hemispheres that were the focus of seizures with cognitive and behavioral comorbidities.
Conclusion: Children with Rolandic epilepsy may have cognitive comorbidities in the form of speech/language disorders and behavioral comorbidities in the form of ADHD/ASD, and may be affected by the age of seizure onset and the number of hemispheres that are the focus of seizures, although the relationship is not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>