Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Kelana Dewantara
"Kompleksitas regulasi pemilu yang ada menghasilkan permasalahan serius diantaranya adanya tumpang tindih regulasi; pengulangan pengaturan; standar beda atas isu yang sama; dan tidak koheren dalam mengatur sistem pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Masalah-masalah tersebut menyebabkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum pemilu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut kelompok masyarakat sipil membentuk koalisi yang bernama Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, mempunyai agenda menyatupadukan/kodifikasi regulasi pemilu demi menciptakan kepastian dan keadilan hukum. Sebagaimana dijelaskan Reynolds (1997) penyusunan kerangka hukum pemilu merupakan salah satu aspek standar pemilu demokratis.
Penelitian ini melihat bagaimana strategi advokasi yang dilakukan oleh koalisi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, pendekatan ini digunakan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang aspek-aspek yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang merupakan proses pencarian dan pengungkapan, dilakukan dengan metode wawancara dengan aktor masyarakat sipil dan penentu kebijakan, mempelajari risalah-risalah pertemuan dan dokumen lainnya. Dalam mengadvokasi RUU Pemilu, pilihan strategi advokasi yang digunakan oleh koalisi masyarakat sipil berupa networking, lobbying dan media.
Kesimpulan dari penelitian ini melihat kelompok masyarakat sipil bukanlah kelompok yang homogen, sehingga kelompok masyarakat sipil merupakan kekuatan yang terpecah/fragmentasi, sebagian kelompok tergabung dalam koalisi sekber, sebagian lainnya tergabung dalam tim perumus kebijakan yang mendorong perubahan dari dalam.

The complexity of the existing electoral regulations produces serious problems including overlapping regulations; repeat settings; different standards on the same issue; and incoherent in regulating the legislative and executive election systems. These problems cause uncertainty and unfairness of election law. To overcome these problems, civil society groups formed a coalition called the Joint Secretariat of the Election Law Codification, which had an agenda to integrate/codify election regulations in order to create legal certainty and justice. As Reynolds (1997) explained, the electoral legal framework is one aspect of standard democratic elections.
This research looks at how the advocacy strategy carried out by the coalition in the formation of Law No. 7 of 2017 concerning Elections. The research approach used is a qualitative approach, this approach is used to obtain a comprehensive picture of the aspects studied. The data collection technique, which is a process of searching and disclosing, is carried out by means of interviews with civil society actors and policy makers, studying the minutes of meetings and other documents. In advocating for the Election Bill, the choice of advocacy strategies used by the civil society coalition in the form of networking, lobbying and the media.
The conclusion of this study is that civil society groups are not homogeneous groups, so civil society groups are fragmented, some groups are part of the Joint Secretariat coalition, others are part of a policy-making team that encourages change from within.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vino Devanta Anjaskrisdanar
"ABSTRAK
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran yang penting dalam penegakan hukum di Indonesia serta sama-sama menjalankan tugas konstitusional. Salah satu amanah konstitusional antara PTUN dan MK yaitu sama-sama menjadi lembaga pengadilan dalam memeriksa perselisihan yang muncul dalam proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Kewenangan antara PTUN dan MK sudah dibedakan secara tegas dalam Pemilukada. PTUN untuk menangani perselisihan administrasi Pemilukada dan MK untuk menangani perselisihan hasil Pemilukada. Namun, kedua putusan di lembaga pengadilan yang berbeda tersebut juga bisa memberikan implikasi hukum yang berbeda terhadap legalitas pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Secara teoritis, apabila melihat prinsip kekuatan hukum yang mengikat erga omnes, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK sama-sama memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Problem yang muncul adalah KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota sebagai pejabat yang wajib untuk selalu melaksanakan putusan pengadilan berada dalam dilema yuridis untuk melaksanakan putusan antara putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK yang memiliki implikasi hukum yang berbeda. Di sisi yang lain, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK memiliki kendala dalam penerapannya apabila terkait dengan proses Pemilukada baik itu diakibatkan oleh kultur hukum, kendala teknis, posibilitas konflik sosial yang ditimbulkan, dan sebagainya. Perbedaan implikasi putusan antara PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK diakibatkan oleh tidak adanya batasan waktu penanganan perselisihan administrasi dan tidak harmonisnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepemiluan. Hal ini mencerminkan politik hukum terkait dengan pengaturan pengisian posisi jabatan pasangan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya setiap periode selalu harus ada perbaikan dan evaluasi.

ABSTRACT
State Administrative Court (PTUN) and the Constitutional Court ( MK ) has an important role in law enforcement in Indonesia and constitutional duties equally. One of the constitutional mandate of the Administrative Court and the Constitutional Court is equally into the courts in examining the disputes that arise in the General Election of Regional Head (Pemilukada) process. Authority between the Administrative Court and the Court has explicitly distinguished in the General Election. The Administrative Court to handle administrative disputes and the Constitutional Court to handle election result disputes. However, two decisions on different courts could also provide different legal implications of the legality the chosen of Regional Head and Deputy Head. This study is a juridical-normative research using qualitative methods of data analysis. Theoretically, based on principle legally enforceable erga omnes, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has the same binding legal force. The problem is KPU/ KPU Province/Regency/City (election commission) as officials are obliged to execute court decisions are always in a dilemma between the judicial decision to execute the decision of the permanent legal binding Administrative Court or the Constitutional Court which has different legal implications. On the other hand, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has disadvantages in its application if either linked to Election process was caused by the legal culture, technical constraints, posed for the possibility of social conflict, etc. The difference between the implications of the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court due to the absence of a time limit and has a problem about the harmony of electoral legislation. This reflects the ‘politics of law’ related to the charging arrangements positions of Regional Head and Deputy Head that always should be improvements and evaluation periodically."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Partai politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Sementara itu pemilu adalah arena untuk mengekspresikan kebebasan rakyat dalam memilih dan menyeleksi pemimpinnya. Namun demikian, partai politik sebagai mesin politik yang efektif harus dapat memahami selera publik terutama terkait penentuan calon legislatif, calon preside dan clon wakil presiden dalam strateginya untuk menghadapi pemilu 2014. Jika tidak, partai politik akan ditinggalkan publik."
POL 4:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"In the election head of region can be used as a momentum of fundamental change, thus the attendance of independent candidate is absolute and can not be bargained. Practically and theoritically independent candidate is significant."
JHUII 13:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Satrio Alif Febriyanto
"Sebagai dua negara demokrasi dengan penganut sistem pemerintahan presidensial, Indonesia dan Brazil melakukan pemilihan umum dengan metode serentak yang langsung memlih Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dalam waktu bersamaan. Di samping itu, keduanya juga melaksanakan Pemilihan Umum Anggota DPR dengan sistem pemilihan proporsional dengan memilih nama calon atau sistem pemilihan proporsional terbuka. Berangkat dari kondisi tersebut, penelitian ini akan mengkaji kompatibilitas antara metode pemilihan umum serentak dengan sistem proporsional terbuka di dua negara tersebut. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan historis dan komparatif untuk mengetahui latar belakang pelaksanaan pemilihan umum serentak serta pelaksanaan pemilihan umum serentak di kedua negara tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat kompatibilitas antara metode pemilihan serentak dengan sistem pemilihan proporsional terbuka pada kedua negara tersebut berupa kesamaan tata Kelola pemilihan umum dan berkurangnya selisih suara antar pemilihan umum.

As two democracies with a presidential system of government, Indonesia and Brazil conduct simultaneous elections that directly elect the President as the holder of executive power and Parliament as the holder of legislative power simultaneously. In addition, both also conduct legislative elections with a proportional voting system by selecting the names of candidates or an open proportional voting system. Departing from these conditions, this research will examine the compatibility of the simultaneous general election method with the open proportional system in the two countries. This research will be conducted using normative juridical research methods with historical and comparative approaches to find out the background of the implementation of simultaneous general elections and the implementation of simultaneous general elections in the two countries. Based on the research, there is compatibility between the simultaneous election method and an open proportional voting system in the two countries in the form of similarity in the electoral management and reduced vote difference between elections."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
"Selama penyelenggaraan pemilihan umum tahun 1999 di Indonesia banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan itu sebagian tergolong bersifat adnunistratif, bersifat tatacara pelaksanaan pemilu, tetapi sebagian yang lain tergolong tindak pidana. Tindak Pidana pemilu itu dilakukan baik oleh perorangan, peserta pemilu, maupun aparat pemerintah. Terhadap terjadinya tindak pidana pemilu tersebut seharusnya pihak kepolisian selaku penegak hukum terdapan bersikap proaktif melakukan penyidikan dan pada akhirnya menyerahkan berkas ke Kejaksaan. Pada kenyataannya, dari keseluruhan kasus tindak pidana yang terjadi banyak yang diselesaikan oleh pihak Panwas. Hal itu dimaksudkan untuk menyaring kasus-kasus yang terjadi sehingga kasus-kasus yang diteruskan kepada pihak kepolisian adalah benar-benar kasus yang memang mengandung dugaan kuat merupakan tindak pidana.
Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana kasus-kasus tindak pidana pemilu yang terjadi pada tahun 1999 diselesaikan. Penelitian menghasilkan temuan bahwa banyak kasus memang tidak diselesaikan melalui jalur sistem peradilan, mulai dari kepolisian. Pihak kepolisian yang sudah diserahi laporan pun sedikit sekali meneruskan kasus itu ke Kejaksaan. Pada sisi lain, ada budaya untuk tidak begitu menaruh perhatian lagi pada kasus-kasus pemilu, termasuk memonitornya, terutama apabila masa pemilu telah terlewati. Dan sisi perundangan perlu diperjelas bagaimana kewenangan Panwas, misalnya apakah perlu untuk menyidik apabila temyata kepolisian kurang menaruh perhatian atau kurang komitmen dalam penyelesaian tindak pidana pemilu."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Harun Alrasyid
"Dengan kalimat tahmid dan salawat saya awali pidato pengukuhan saya pada pagi hari yang berbahagia ini. Saya tidak lupa mengucapkan terima kasih- kepada Allah Yang Maha Kuasa karena dengan rakhmat dan ridho-Nya upacara pengukuhan ini dapat terlaksana. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada hadirin yang telah meluangkan waku untuk menghadiri peristiwa yang besar artinya bagi saya serta keluarga saya. Semoga Allah Yang Maha Pemurah akan memberikan balasan yang berlipat ganda. Amin!
Topik yang saya pilih untuk pidato pengukuhan ini ialah tentang dua peristiwa penting dalam tata negara Indonesia, i.e. pemilihan Presiden dan pergantian Presiden. Hadirin tentu sudah mengetahui bahwa, sejak masa peralihan berakhir, pemilihan Presiden diadakan secara berkala lima tahun sekali. Tetapi mungkin tidak semua hadirin mengetahui bahwa sewaktuwaktu dapat juga diadakan pemilihan Presiden.

Mengapakah soal pemilihan Presiden mendapat perhatian yang besar? Jawabnya ialah karena Presiden memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan politik. Betapa pentingnya tokoh yang memangku jabatan Presiden diungkapkan oleh Bernard. Schwartz, seorang pakar hukum tata negara Inggris, yang menganggap kedudukan Presiden sebagai "the most powerful elective position in' the world".

Ungkapan Schwartz itu, yang. menilai kedudukan Presiden di Amerika Serikat yang memakai sistem "checks and balances"? lebih-lebih berlaku terhadap negara Indonesia yang tidak memakai sistem tersebut. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan dan tanggungjawab terpusat pada Presiden (concentration of powers and responsibilities upon. the President). Bahkan Supomo mengatakan: "buat (pelaksanaan pemerintahan, pen.) sehari-hari Presidenlah yang merupakan'penjelmaan kedaulatan rakyat." Beliau menegaskan lagi: "Yang merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat ialah Presiden; bukan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, Supomo menghendaki "a very strong position of the President".
Perlu juga diketahui bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat pernah memperbesar wewenang Presiden yang dapat dibaca terakhir dalam Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VI/MPR/1988 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional, yang bunyinya:
"Melimpahkan wewenang kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengambil .langkah-langkah yang perlu demi penyelamatan dan terpeliharanya persatuan dan kesatuan Bangsa serta tercegah dan tertanggulanginya gejolak-gejolak sosial dan bahaya terulangnya . G-30-S/PKI dan bahaya subversi lainnya, yang pada hakekatnya adalah penyelamatan Pembangunan Nasional sebagai Pengalaman Pancasila dan kehidupan Demokrasi Pancasila serta menyelamatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Saya katakan "terakhir", karena pasal yang, serupa juga terdapat di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) sebelumnya, i.e. TAP MPR No. VII/MPR/1983, 'TAP MPR No. VI /MPR/1978, dan TAP MPR No. X/MPR/1973, namun tidak lagi. dikeluarkan pada Sidang Umum.MPR 1993. Hal ini tentu saja menimbulkan tanda-tanya dan saya mencoba untuk menjawabnya.
Memang keempat TAP MPR tersebut, yang pada hakekatnya adalah mengenai wewenang untuk menyelamatkan negara, dalam ilmu hukum tata negara sudah dikenal dengan istilah hak darurat negara (staatsnoodrecht), yaitu kewenangan kepala negara (Raja, Presiden) untuk mengambil tindakan apa saja, kalau perlu dengan melanggar peraturan yang berlaku, bahkan undang-undang dasar sekalipun, demi untuk menyelamatkan negara.
Jadi, kalau selama ini sudah merupakan wewenang Presiden, dan berpegang pada definisi istilah "pelimpahan" (delegatie) dalam ilmu hukum tata negara' adalah janggal kalau MPR menyerahkan wewenangnya."
Jakarta: UI-Press, 1995
PGB 0082
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pustaka Yustisia, 2013
324.959 8 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Jafar
Jakarta: Kemitraan, 2006
324.6 PEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
Jakarta: Sinar Grafika, 2019
324 TOP p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>