Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendra Oktawira
"ABSTRAK
Penerapan inspeksi berbasis resiko pada unit cracking heater merupakan
suatu langkah jitu dalam mencegah terjadinya kegagalan secara tiba-tiba akibat
korosi yang dapat menyebabkan kerugian. Hal ini dikarenakan unit cracking
heater merupakan unit yang sangat vital di dalam kegiatan operasional pada
industri petrokimia sehingga perlu dibuat skala resikonya.
Penelitian bertujuan untuk membuat suatu analisa probabilitas kegagalan
dan konsekuensi kegagalan dengan menggunakan sistem inspeksi berbasis resiko
(Risk-Based Inspection) dengan bantuan perangkat lunak pada unit cracking
heater, khususnya pada circuit piping yang menuju cracking heater pada pabrik
etilena yang telah beroperasi bertahun-tahun, sehingga dapat diperoleh peringkat
resikonya dan untuk dapat memberikan jadwal inspeksi dan metode inspeksi di
masa yang akan datang.
Risk-Based Inspection merupakan metode inspeksi yang menggunakan
resiko sebagai dasar untuk memprioritaskan dan mengatur kegiatan di dalam
program inspeksi. Resiko dapat didefinisikan sebagai kombinasi probabilitas dan
konsekuensi. Probabilitas adalah kemungkinan kegagalan untuk terjadi, dan
konsekuensi adalah ukuran kerusakan yang dapat terjadi sebagai hasil dari
kegagalan.
Hasil assessment terhadap circuit piping CL01A menunjukkan bahwa
mekanisme degradasi yang terjadi adalah aerated-water corrosion dan flowinduced
corrosion. Pipa tersebut memiliki tingkat probabilitas kegagalan medium.
Penilaian terhadap konsekuensi kegagalan yang mencakup beberapa tinjauan,
seperti kerugian ekonomi, efek terhadap kesehatan dan keselamatan dan dampak
terhadap lingkungan memberikan peringkat resiko medium. Peringkat resiko total
pada circuit piping CL01A adalah medium-high dan dengan tingkat kepercayaan
high, maka akan menghasilkan interval faktor sebesar 0,4. Interval inspeksi
maksimum atau maximum inspection interval (MII) yang merupakan hasil
perkalian antara sisa umur pakai (remnant life) dan interval faktor memberikan
nilai 5,16 tahun, sehingga jadwa inspeksi berikutnya adalah pada tahun 2016. Inspeksi dilakukan secara non instrusive dengan uji tidak merusak dengan
menggunakan teknik ultrasonic thickness (UT) dan visual pada titik eksternal
pipa. Selain itu, teknik inspeksi yang cukup aplikatif untuk memantau proses
penipisan adalah dengan radiografi (RT). Resiko dapat direduksi dengan
menggunakan sistem yang dapat menghilangkan atau mengurangi kandungan air,
yang bertujuan untuk mengurangi probabilitas kegagalan, sehingga nafta yang
masuk ke dalam aliran proses dapat diminimalisasi.

Abstract
Application of risk-based inspection in unit of cracking heater is a
recommended method to avoid sudden failure which may cause losses as the
result of corrosion process. Unit of cracking heater is a vital unit in petrochemical
industry so that it is required to determine its risk-rank.
The purpose of this study is to make probability of failure and
consequence of failure assessment by using risk-based inspection system
supported by software which is applied to the unit of cracking heater that focuses
on circuit piping located before entering the cracking heater in the ethylene plant
which has been operating for years so that risk-rank can be determined properly.
Furthermore, inspection schedule and inspection method can be fixed based on the
risk-rank. Evaluation to reduce risk is also established by applying system which
may be able to remove or reduce water content in the process flow.
Risk-based inspection is an inspection method which is applying risk as a
base to obtain priority scale in inspection activity. Risk can be defined as the
combination of probability failure and consequence of failure. Probability is a
measure of failure to occur, and consequence is desribed as the measure of
damage which may occur as the result of failure.
Assessment result of circuit piping CL01A shows that degradation
mechanism which may occur in CL01A piping is aerated-water corrosion and
flow-induced corrosion. Probability of failure assessment gives result medium.
Assessment of consequence of failure which is considering some aspect including
economic cost, health and safety effect and environment impact shows medium
risk-rank. Total risk-rank of circuit piping CL01A is medium-high and its
confidence rating is high so that the obtained interval factor is 0,4. Maximum
inspection interval (MII) as the result of multiplication of remnant life with
interval factor gives value 5,16 years. Based on the result, then, next inspection
date will be performed in 2016. Inspection is carried out intrusively by non
destructive test method using ultrasonic thickness test (UT) and visual test on the
eksternal location of the pipe. Radiography as the additional method is also be able to be applied to monitor thinning mechanism. Risk can be minimized by
applying system which may eliminate or reduce water content in the process
stream so that probability of failure can be reduced."
2011
T 29885
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Zahirabudi Darayani
"Bio-hidrokarbon dapat dihasilkan dari konversi asam lemak minyak nabati non-pangan melalui reaksi perengkahan katalitik. Pada penelitian ini dilakukan perengkahan minyak jarak kepyar untuk menghasilkan bio-hidrokarbon dengan bantuan katalis zeolite. Katalis zeolite didapatkan dari preparasi fly-ash dengan metode pencucian asam (HCl) dan peleburan alkali (NaOH), yang kemudian diimpregnasi dengan atom boron (B) dan fosfor (P) untuk memodifikasi keasamannya. Untuk mendapatkan konversi minyak jarak kepyar setinggi mungkin, maka dilakukan variasi suhu reaksi (450, 500, dan 550°C) serta variasi katalis. Hasil reaksi perengkahan berupa bio-oil akan dikarakterisasi dengan GC-MS dan FTIR; sedangkan hasil preparasi katalis dikarakterisasi dengan XRD dan XRF. Berdasarkan hasil penelitian, minyak jarak kepyar berhasil dikonversi menjadi senyawa bio-hidrokarbon. Konversi terbesar dihasilkan oleh variasi katalis zeolite fly-ash terimpregnasi 5%wt boron (5%B/FA) pada suhu 550°C sebesar 72.86% dan variasi rasio massa katalis terhadap minyak umpan 10%wt pada suhu 550°C sebesar 81.55%. Berdasarkan hasil GC-MS, katalis campuran boron dan fosfor dengan rasio massa 10% terhadap minyak umpan (10%wt B/P/FA) memiliki selektivitas terhadap senyawa alkana dan alkena yang terbesar, masing-masing sebesar 24.77% dan 21.07%. Sedangkan jika ditinjau berdasarkan sifat fisiknya, karakteristik dari bio-hidrokarbon hasil variasi katalis zeolite fly-ash terimpregnasi 1%wt fosfor (1%P/FA) pada suhu 550°C bersifat mendekati standar biodiesel dengan nilai densitas, viskositas kinematik, dan angka RON masing-masing sebesar 796 kg/m3, 2.72 cSt dan 87.

Bio-hydrocarbons can be produced through the catalytic cracking of non-edible vegetable oil fatty acids. In this study, the cracking of castor oil was conducted to produce bio-hydrocarbons using zeolite catalyst. The zeolite catalyst was obtained from fly ash through acid (HCl) leaching and alkali (NaOH) fusion methods, followed by impregnation with boron (B) and phosphorus (P) atoms to modify its acidity. To achieve the highest possible conversion of castor oil, reaction temperature variations (450, 500, and 550°C) and catalyst variations were performed. The resulting cracking products, in the form of bio-oil, were characterized using GC-MS and FTIR, while the prepared catalysts were characterized using XRD and XRF. Based on the research result, castor oil was successfully converted into bio-hydrocarbon compounds. The highest conversion was achieved with the 5%wt boron-impregnated fly ash zeolite catalyst (5%B/FA) at 550°C by 72.86%, also the variation of a catalyst-to-feedstock mass ratio of 10%wt at 550°C, resulting in 81.55% conversion. According to the GC-MS analysis, the catalyst with a 10%wt boron and phosphorus mixture (10%wt B/P/FA) exhibited the highest selectivity towards alkane and alkene compounds, at 24.77% and 21.07% respectively. When considering the physical properties, the bio-hydrocarbon produced using a 1%wt phosphorus-impregnated fly ash catalyst (1%P/FA) at 550°C exhibited characteristics close to biodiesel standards, with density, kinematic viscosity, and research octane number values of 796 kg/m³, 2.72 cSt, and 87 respectively."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Widjaja
"Proses perengkahan katalitik termal pada penelitian ini bertujuan untuk mengolah lemak hewani menjadi bahan bakar bio. Pada penelitian ini, bahan bakar bio jenis disintesis dari lemak sapi dalam reaktor autoclave berpengaduk menggunakan katalis MgO dengan variabel perbedaan suhu (370℃ dan 400℃) dan jumlah katalis yang digunakan sebanyak 3%wt dan 5%wt dari berat umpan. Reaksi dilakukan dengan harapan mendapatkan yield dan konversi terbaik dari keempat sampel, sehingga dapat ditentukan pengaruh kondisi operasi untuk sintesis renewable jet fuel. Setelah berhasil disintesis produk cair organik didistilasi untuk mendapatkan fraksi renewable jet fuel dan dikarakterisasi berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan ASTM D7566 untuk melihat nilai viskositas, bilangan asam, densitas, titik beku, dan bilangan iodin, serta menggunakan Gas Cromatography and Mass Spectroscopy (GC-MS) untuk mengidentifikasi fraksi komponen dan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) untuk mengidentifikasi gugus fungsi dari hasil sintesis. Renewable jet fuel akan dibandingkan antar sampel untuk memperoleh karakteristik terbaik yang kemudian akan dibandingkan dengan avtur konvensional. Persentase nilai konversi dan yield tertinggi diperoleh pada sampel RJF-D dengan suhu 400℃ dan katalis MgO sebanyak 5% wt, diperoleh konversi sebesar 38,25% dan yield sebesar 14,75%. Dari hasil pengujian sampel terbaik yaitu sampel RJF-D diperoleh spesifikasi renewable jet fuel seperti densitas dan viskositas sudah memenuhi standar SNI, sehingga sampel RJF-D dapat dicampur dengan avtur bersandar SNI sehingga dapat menghasilkan avtur berstandar ASTM D7566 dengan kadar campuran maksimal 17,17%.

The thermal catalytic cracking process in this study aims to process animal fats into biofuels. In this study, biofuel was synthesized from beef tallow in a stirred autoclave reactor using MgO as a catalyst with a variable temperature difference (370℃ and 400℃) and the amount of catalyst used was 3%wt and 5%wt of the weight of the feed. The reaction was carried out in the hope of obtaining the best yield and conversion from the four samples, so that the effect of operating conditions on the synthesis of renewable jet fuel could be determined. After successfully synthesized, the organic liquid product was distilled to obtain a renewable jet fuel fraction and characterized based on the Indonesian National Standard (SNI) and ASTM D7566 to see the value of viscosity, acid number, density, freezing point, and iodine number, as well as using Gas Chromatography and Mass Spectroscopy (GC-MS) to identify component fractions and Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) to identify functional groups of the synthesized products. Renewable jet fuel will be compared between samples to obtain the best characteristics which will then be compared with conventional jet fuel. The highest percentage of conversion value and yield was obtained in the RJF-D sample with a temperature of 400℃ and as much as 5%wt MgO catalyst, 38.25% conversion and 14.75% yield were obtained. From the results of testing the best sample, namely the RJF-D sample, the specifications for renewable jet fuel such as density and viscosity have met the SNI standard, so that the RJF-D sample can be mixed with SNI-based jet fuel so that it can produce jet fuel with ASTM D7566 standard with a maximum mixture content of 17.17%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nursetiawan Suroso
"Balok beton prategang sebagian umumnya dirancang untuk diperbolehkan mengalami
retak pada saat menerima beban kerja. Namun adanya retak ini dapat mengakibatkan korosi pada tulangan sehingga mengurangi kekuatan balok tersebut. Oleh karena im retak harus dikendalikan sedemikian rupa agar Iebamya tidak berleblhan. Untuk dapat mengendalikan lebar retak tersebut maka perlu diketahui terlebih dahulu perilaku dari Iebar retak di balok beton prategang sebagian.
Lebar retak pada balok beton prategang sebagian dipengaruhi oleh banyak fhktor. Hal
ini menyebabkan kerumitan dalam penyusunan persamaan untuk menghitung lebar retak yang dilakukan oleh para peneliti. Namun secara umum pendekatan yang digunakan oleh peneliti- peneliti tersebut untuk menghitung lebar retak dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) metode, yaitu metode yang berdasarkan tegangan tarik khayal beton dan metode yang berdasarkan tegangan baja setelah tahap dekompresi. Masing~masing metode memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Metode yang didasarkan pada tegangan tarik khayal beton sangat sederhana dalam proses perhitungannya tetapi mengasumsikan penampang balok dalam kondisi yang tidak retak, meskipun sebenarnya tegangan tarik beton ini sudah melampaui kekuatan tarik beton (modulus keruntuhan baton). Sedangkan perhitungan untuk metode yang
didasarkan pada tegangan baja cukup rurnit tetapi menggunakan penampang balok yang retak dalam analisanya sehingga menyerupai keadaan balok yang sebenamya.
Tulisan ini membahas kedua metode tersebut di atas bersama-sama dengan beberapa
persamaan untuk menghitung lebar retak yang telah dibuat oleh para peneliti dan batasan lebar retak yang diijinkan oleh peraturan. Untuk mengetahui seberapa jauh persamaan-persamaan tersebut dapat memberikan hasil yang memadai maka dilakukan pula perbandingan antara hasil yang didapat dari perhitungan dengan hasil yang didapat dari percobaan yang dilakukan di laboratorium oleh beberapa peneliti. Selain itu akan dilakukan simulasi untuk mengetahui pengaruh dari beberapa parameter pada balok beton prategang sebagian terhadap perilaku lebar retak yang muncul. Parameter-parameter tersebut meliputi bentuk penampang balok, tingkat
prategang, kombinasi tulangan prategang dan non-prategang, jumlah tulangan, indeks
penulangan, dan letak/kedalaman tulangan prategang."
1996
S34603
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Suryanto
"Fire safety issues are becoming increasingly important in modern society, as it is characterised by information technology and complex process production system, by the development of new materials, by the larger storage of highly valuable goods and sometimes more hazardous in characteristics, or even by process parameter extremes and last but not least by dense population of human being in certain areas. One of the major hazard facilities is Pertamina?s oil refinery located at Balongan Indramayu, West Java, Indonesia that such facility has been the object of this study in which major fire, explosion and toxic releases, even catastrophic events, might be happened.
A FERA (Fire and Explosion Risk Assessment) study has been undertaken for the RCC (Residue Catalytic Cracking) Plant of Balongan Refinery to assess persormel risks in temis of potential loss of life.
In addition to the base case FERA, a number of sensitivity studies and other study have been undertaken in order to examine the level of risk reduction possible for a number of potential improvements.
The main conclusions drawn from the Base Case FERA and the sensitivity studies are as follows:
- The risk level, in term of potential loss of life, predicted for the personnel working around the RCC Plant, during normal operations, ranges from about 1.09 X 10 -7 per year to 6.01 x 10 -2 per year.
- Comparison of the predicted personnel risk levels with agreed Risk Criteria indicates that the risks to the workers and contractors on the RCC Complex are in Intolerable Region.
- There is potential escalation of accident to the adjacent plants due to an explosion in the RCC Complex.
- Combination of PFP (passive tire protection), vessel deluge and area deluge has the highest sensitivity (26.6%) in affecting risk level in RCC Plant.
- Risk level of RCC Plant is increased by the existence of public vehicles caused by increased probability of ignition when LPG (liquefied petroleum gas) released into the public road.
- To reduce the risk level of RCC Complex into the acceptable region, the ALARP (as low as reasonably practicable) principle has been adopted. Based on this calculation, any additional safety design features costing in excess of approximated USS 24 million is considered not justifiable.

Isu keselamatan kebakaran telah meningkatkan perhatian dalam masyarakat modern, sebagaimana dicirikan dengau teknologi informasi dan sistem proses produksi yang makin komplek, dengan berkembangnya teknologi bahan, sarana penyimpanan yang lebih besar serta kadang-kadang melibatkan bahan lebih berbahaya atau parameter proses yang ekstrim dan tidak ketinggalan kerapatan hunian yang meningkat pada daerah tertentu. Salah satu fasilitas yang digolongkan sebagai bahaya besar adalah kilang minyak Pertamina yang terletak di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, Indonesia dimana fasilitas tersebut telah menjadi obyek studi ini.
Studi FERA (Fire and Explosion Risk Assessment) telah dilakukan terhadap Unit RCC (Residue Catalytic Cracking) untuk mengkaji tingkat risiko personil dalam bentuk Potensi Kehilangan Kehidupan.
Disamping studi FERA, sejumlah Studi Kepekaan dan Studi tambahan lain telah dilakukan untuk melihat sejauh mana keefektifan kemungkinan upaya pengurangan risiko yang teridentifikasi.
Kesimpulan utama dari studi dasar FERA dan Studi Kepekaan adalah sebagai berikut:
- Tingkat risiko Potensi Kehilangan Kehidupan yang diperkirakan pada personil yang terlibat di Unit RCC, pada operasi normal, adalah berkisar antara 1.09 x 10 -7 per tahun sampai dengan 6.01 x 10 -2 per tahun.
- Kajian terhadap Kriteria Risiko yang disetujui mentmjukkan bahwa risiko personil di Unit RCC dan unit sekitarnya adalah pada Daerah Yang Tidak Dapat Ditoleransi.
- Terdapat potensi terjadi eskalasi insiden pada unit di selcitarnya jika terjadi ledakan di Unit RCC.
- Kombinasi proteksi kebakaran pasiil sistem anti kebakaran curah di bejana (vessel) dan area dimana bejana berada mempunyai tingkat kepekaan paling tinggi (26.6%) dibandingkart parameter lain dalam mempenganihi tingkat risiko di Unit RCC.
- Tingkat risiko di Unit RCC meningkat dengan keberadaan kendaraan bermotor umum disebabkan meningkatnya probabilitas penyalaan jika LPG (liquefied petroleum gas) terlepas ke arah jalan umum.
- Untuk mengurangi tingkat risiko di Unit RCC ke Daerah Yang Dapat Diterima telah diadopsi prinsip ALARP (as low as reasonably practicable). Berdasarkan evaluasi ekonomi maka penambahan sistem keselamatan yang melebihi USD 24 juta dinyatakan tidak layak."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
T16161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulil Amri Nizhamul
"Fluid Catalytic Cracking (FCC) merupakan tempat dilakukannya proses pemutusan rantai karbon dengan menggunakan katalis pembagi (id cracker). Adapun, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sisa umur pakai dan kelayakan operasi kekomponen tersebut, yang merupakan salah satu bagian dari program pemeliharaan PT. X. Dengan demikian, hasil ini dapat digunakan dalam merencanakan sistem evaluasi, inspeksi, proses perbaikan bahkan penggantian komponen tersebut kedepannya.
Hasil inspeksi pada Fluid Catalytic Cracking tersebut ditemukan adanya retak sebesar 12 mm pada bagian shell plenum Riser Fluid Catalytic Cracking Unit (RFCCU). Material dari shell plenum ini baja tahan karat austentitik 304H dengan spsesifikasi ASTM A-240 dan beroperasi pada temperatur 690°C. Dengan adanya retak tersebut maka akan dapat mempengaruhi kinerja dari komponen tersebut. Tercatat sebelum terjadi retak telah terjadi temperatur up-set sebesar 930°C selama 200 jam. Oleh karena itu selanjutnya akan dilakukan pengujian kelayakan operasi pada komponen tersebut, apakah dengan kondisi yang mengandung retak komponen masih dapat tetap dioperasikan. Pengujian kelayakan operasi ini dilakukan berdasarkan API 579 section 9. Selain itu dilakukan pula pengkajian umur sisa dari komponen tersebut berdasarkan kondisi yang telah terjadi, apakah kondisi yang telah dialami oleh komponen tersebut mempengaruhi umur sisa pakai komponen yang menyebabkan timbulnya retak pada komponen tersebut.
Setelah dilakukan analisa didapatkan bahwa dengan terjadinya up-set temperature menyebabkan habisnya umur pakai komponen RFCCU yang juga menyebabkan terjadinya retak. Selanjutnya pada pengkajian kelayakan operasi, ditemukan bahwa dengan kondisi adanya retak sebesar 12 mm, komponen RFCCU sudah tidak layak lagi untuk digunakan dalam operasi pada kondisi operasi normal.

Fluid Catalytic Cracking (FCC) is component that cracking the carbon chain with fluid cracker. Objective of this research is for assessing remaining life and fitness for service of the component, as a part of FCC maintenance program at PT. X. Thereby the results can be used in planning evaluation system, inspection, reconditioning even replacement program to that component in the future.
The inspection result of Fluid Catalytic Cracking Unit (FCCU) found that there is a crack about 12 mm at the shell of plenum Riser Fluid Catalytic Cracking Unit (RFCCU). The material of this shell plenum is Austenitic Stainless Steel 304H with specification ASTM A-240 and operated at 690°C temperature. With existence of the crack, it can be influence performance of the component. It?s recorded, that before found of the crack there are up-set temperature about 930°C in 200 hours. Therefore, fitness for service assessment will be apply for the component, whether the component is acceptable or no to continue the operation. Fitness for Service assessment will be appropriate with API 579 section 9. Else, remaining life assessment also will apply for the component, to know if the condition that has been happened on the component influencing the remaining life of the component that causing the crack of the component.
After analyzing, it found that up-set temperature influence the remaining life the component, and causing the crack. Furthermore on the fitness for service assessment, existence of the 12 mm crack, make the RFCCU component are not acceptable to used on the operation on the normal operation condition.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S41675
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiqullah
"ABSTRAK
Pada pengelasan baja, fenomena cold cracking atau retak dingin merupakan problem yang sangat signifikan. Fenomena ini sering terjadi setelah proses pengelasan selesai. Retak ini bisa terjadi pada daerah heat affected zone (HAZ) maupun pada logam las. Secara umum, cold cracking dapat diketahui dan dinyatakan sebagai hadirnya hidrogen dan tegangan pada struktur mikro yang sensitif terhadap retak pada kondisi temperatur di bawah 150oC. Proses pengelasan pelat tebal baja paduan rendah kekuatan tinggi (high strength steel) dalam pembuatan komponen memiliki resiko yang cukup tinggi terhadap terjadinya fenomena cold cracking. Hal ini disebabkan adanya dua parameter yang saling mendukung yaitu pelat tebal dan baja paduan rendah untuk kemungkinan terbentuknya struktur mikro yang sensitif terhadap retak.
Baja paduan rendah kekuatan tinggi memiliki sensitivitas terhadap retak relatif tinggi karena memiliki nilai karbon ekuivalen (CE) yang tinggi. Sedangkan pelat tebal, laju pendinginan pengelasan menjadi lebih cepat karena daya serap panas lebih besar jika dibanding dengan pelat tipis. Pengontrolan laju pendinginan menjadi faktor utama pada proses pengelasan pelat tebal baja paduan rendah kekuatan tinggi untuk mendapatkan hasil lasan yang bebas dari cold cracking. Dalam penelitian ini dilakukan pengontrolan laju pendinginan pada proses pengelasan baja HSLA dengan tebal 40mm dengan menggunakan media pendinginan udara, blanket dan heater electric. Proses pengelasan yang digunakan Gas Metal Arc Welding (GMAW) dengan parameter pengelasan mengikuti parameter yang tercantum pada standar.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa cold cracking dapat dihindari dengan mengontrol waktu pendinginan pada temperatur rendah (T300- T100) agar lebih besar dari waktu pendinginan kritisnya. Penggunaan media pendinginan berupa electric heater dapat mencegah terjadinya cold cracking pada daerah HAZ lasan HSLA. Retak dapat terjadi karena adanya konsentrasi tegangan, variasi lokal kekerasan dan struktur mikro serta adanya patahan getas pada permukaan retak.

ABSTRACT
Cold cracking phenomenon is a very significant problem on steel weld. This phenomenon usually occurs after welding process finished. Crack often occurr on heat affected zone area. Generally, cold cracking is caused due to hydrogen diffuse during welding process and stress on micro structure which is susceptible to the crack at low temperature (under 150oC). Welding process on thick plate high strength low alloy steel has high risk to cold craacking phenomenon.
The cooling rate of thick plate during welding will increase the absorbtion of heat compare to thin plate. On the other hand, high strength low alloy steel is susceptible to the crack due to high carbon equivalent (CE). Controlling cooling rate is the main factor on thick plate HSLA welding process in order to prevent cold cracking phenomenon. This research will be done by controllong cooling rate on welding process of HSLA steel which have thickness of 40mm and using cooling media such as air, blancket and electric heater. Welding process is carried out by using Gas Metal Arc Welding (GMAW) with welding parameter as stated on the WPS.
The result showed that prevention of cold cracking can be done by controlling cooling time at low temperature (T300 - T100) in order to keep cooling time larger than critical cooling time. The use of cooling media with electric heater can prevent the cold cracking at the HAZ of HSLA weldment. Crack can be found on the weldment due to the present of stress concentration, local variation of hardness and micro structure and present of brittle fracture on the crack surface.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
T26011
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Handrito I. Bharata
"Dalam rangka usaha memperbaiki kondisi permukaan slab baja hasil pengecoran sinambung agar relatif bebas cacat retak melintang di suatu pabrik baja dilakukan penelitian Hot Tensile Test terhadap baja aluminium killed dengan kandungan unsur pemadu titanium. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pola keuletan baja tersebut pada suhu relatif tinggi serta berusaha memperbaiki keuletannya dengan menambahkan unsur pemadu titanium.
Berdasarkan penelitian sebelumnya [1] diketahui bahwa penambahan unsur pemadu titanium dapat memperbaiki keuletan baja dengan cara menghambat pertumbuhan butir, sehingga ukuran butir relatif lebih kecil yang dapat memberikan peningkatan keuletan baja pada temperatur tinggi. Dengan adanya peningkatan keuletan pada akhirnya dapat menghindari terbentuknya cacat retak melintang pada permukaan slab baja hasil pengecoran sinambung.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa, keuletan kritis berada pada temperatur 800 °C dan pengaruh penambahan titanium terhadap peningkatan keuletan secara kualitatif terjadi dari analisis metalografi ukuran butir baja dengan dan tanpa titanium. Keuletan yang diperoleh dari slab baja yang mengandung titanium pada penelitian ini memiliki nilai sebesar 31 % reduksi penampang untuk daerah temperatur kritisnya. Nilai ini diketahui masih tergolong dalam katagori ulet [1] yang diperkuat dengan fraktografi patahan hasil pengamatan menggunakan scanning electron microscope."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2001
T39706
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriyadi
"Fatik inerupakan salah saiu fakmr icegagalan akibar reiak (crack) yang rimbul dari adanya silclus iegangan pada maierial terienlu. Kegagalan ini selalu diawali pada permukaannya dan ie/jadi lceiika regangannya beraafa di bawah legangan lululi material iersebur. Falik memegang peranan penling dalam apiikasi perancangan indusiri terulama pada komponen-komponen yang sering rnenerima pembebanan lzverzilang Ulucfuaiing l0aaD, sehingga material dapat mengalami lrerusalcan.
Kompanen Low Pressure Turbine Cooling i\/lanifold General Eleciric Aircraj? Engine CF6-50C dalam pesawal McDonnel Douglas DCI 0-30 yang ierbuat dari material baja rahan karat AISI 347 sering mengalami crack yang berawal di daerah lasan saat operasi berlangsung Berdasarkan referensi di lapangan, prosedur repair unlulc penanggulangan crack pada lcomponen iersebut adalah non deslruclive ies: spar FP] (Fluaresceni Peneirani lnslaectionj dan welliing. Akibatnya malriks austeni! tilialc culcup kuat untulc mendukung lzasil lasan sehingga kelangguhan sambungan lasan berlcurang lcetika lingkungan mengalami sikl us geraran dan ier/nal.
Perlalcuan panas-stress relieving dan perlakaan panas stress relieving plus sho! peening ililakukan lerhadap material baja tahan karat AISI 347 laasil las GTAW zinruk melilial pengarulmya Ierhaclap urnur fatik. Pada penelilian ini pengujian faiilc clengan metode bending dilakukan pada dua buah sample uniulc musing-masing perlakaan rerseb ui. Unruk mempercepai iijormasi da/a nmurjarik yang clilzasilkan aicibar perlakuan yang cliberikan, malca digunakan pernbebanan 90% dari lcelcuatan luluh material.
Hasil penelilian menunjiilfkan balrwa pada kondisi perlakuan panas-stress relieving dan perlaka/an panas stress relieving plus sho! peening ma/erial baja ialian karat AISI 347 memiliki lcecenclerungan zimur fafik yang lebilz cepal clibanflingkan malerial yang lzanya mengalaini proses pengelasan."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
S41558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adithiya P. Adia
"Penelitian yang dilakukan adalah merupakan studi kasus yang terjadi pada PT. Gemala Kempa Daya Group, terutama pada divisi workshop yang memproduksi komponen-komponen (part) untuk mesin-mesin potong, forming, dan pembuatan cetakan (dies) melalui proses permesinan. beberapa hambatan sering dijumpai pada proses produksinya, terutama sekali masalah kehadiran cacat retak untuk produk-produk part yang menggunakan material dasar baja JIS S 45C. Cacat ini muncul setelah proses pengerasan dilakukan.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mencari solusi yang efektif untuk menghindari terjadinya cacat retak tersebut, di mana salah satu solusi yang ada adalah dengan melakukan perlakuan panas pada saat setelah permesinan dan sebelum pengerasan. Penelitian ini terfokus untuk mencari waktu perlakuan panas stress relief yang optimal sehingga didapatkan produk hasil pengerasan tanpa kehadiran retak, dengan tidak mengorbankan spesifikasi standar produk itu sendiri. Untuk mendukung hal tersebut dilakukan beberapa pengujian penunjang, yaitu pengujian kekerasan, pengujian die penetrant, pengamatan struktur mikro dan struktur makro.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran cacat retak mengalami kecenderungan penurunan seiring dengan makin lamanya waktu perlakuan panas stress relief, dengan nilai kekerasan yang cukup memenuhi standar. Hasil yang didapat juga menunjukkan adanya suatu korelasi yang erat antara bentuk geometri produk komponen (part) dengan kehadiran cacat retak, di mana untuk geometri-geometri tertentu diperlukan proses perlakuan panas stress relief yang lebih lama."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2003
S41298
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>