Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 433 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Uigwe are royal protocols created for important royal ceremonies from the Josen dynasty,which adopted confucianism as the official state philosophy. During the Joseon era,uigwe helped to presere and pass down the traditions and practices foe such ceremonies....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Zakaria
"Masyarakat melihat ada kejahatan di dalam kejahatan di mana aparat penegak hukum bekerja tidak profesional dan lebih banyak mencari keuntungan dari permasalahan hukum orang lain. Jual beli perkara sudah menjadi kebiasaan dan sulit dihindari apalagi bisa diberantas. Maka penulis melihat ketidak pastian hukum dan ketidakadilan ingin berbuat sesuatu baik secara tindakan nyata maupun dari segi ilmiah.
Penulis menggambarkan secara umum apa peranan dan fungsi pengacara lain menjelaskan tentang Mafia Peradilan yang terjadi di PN Jakarta Selatan. Pertanyaan penelitian apakah mungkin pengacara dalam menjalankan tugasnya membela kepentingan klien pada proses pemeriksaan peradilan harus selalu melakukan Mafia Peradilan.
Dalam penelitian dipakai studi kasus empati dengan metode pertanyaan tidak berstruktur dengan klien, para terdakwa/tersangka berserta keluarganya, rekan-rekan sesama pengacara, rekan-rekan sesama aparat penegak hukum baik para hakim, para jaksa, para polisi maupun petugas pengawalan tahanan kejaksaan, staff/karyawan pengadilan dan petugas lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan, rekan para wartawan serta para kalangan akademisi, pengamat hukum dan masyarakat awam yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tapi karena Kode Etik pengacara maupun sebagai peneliti informasi narasumber dan informan yang diberikan tidak bisa diungkapkan, tapi kebenaran info dapat dipertanggung jawabkan.
Penemuan penelitian yang dimaksud Mafia Peradilan pada intinya adalah persekongkolan antara sesama aparat penegak hukum yang menguntungkan pihak-pihak pencari keadilan (penggugat/terdakwa kontra tergugat/korban) yang putusan hukumnya sangat merugikan masyarakat dan menusuk rasa keadilan. Ternyata Mafia Peradilan tidak hanya dilakukan dengan uang semata, tapi mengancam, mengintimidasi, melanggar hukum acara pidana/perdata secara sengaja, negoisasi/perundingan maupun memberi fasilitas tertentu, koneksi, memo, intervensi, pendekatan hubungan baik individual serta pengerahan massa pendukung Sehingga jawaban permasalahan Mafia Peradilan tidak bisa diberantas karena kendala utamanya sulitnya mencari alat bukti, tidak adanya pengakuan korban maupun pelaku, budaya birokrasi, adat ketimuran, perilaku bekerja asalkan mendapatkan bayaran (bukan gaji yang telah ditetapkan Pemerintah), masih adanya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta ketidakadaan sanksi yang keras bagi pelaku yaitu sanksi pidana hukuman penjara yang lama (mengenal atas minimalisasi hukuman), sanksi perdata mengganti kerugian beserta bunga dan dendanya, sanksi administrasi penurunan jenjang karir maupun pemecatan, sanksi sosial seperti pemberian labbeling atau kerja paksa sosial, sanksi adat pengusiran maupun penyelenggaraan upacara adat, dan sanksi agama seperti dilakukan acara taubat maupun memberikan Zakat Infak Shadagah (ZIS).
Studi kasus ini juga memberikan gambaran sepak terjang pengacara yang ingin cepat terkenal dan kaya sehingga tidak ragu lagi melakukan praktek Mafia Peradilan dan juga memakai pola peniruan kinerja pengacara/advokat yang sudah senior. Kinerja para pengacara dalam membela kepentingan klien secara sengaja telah melanggar hukum maupun menafsirkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan demi kepentingan opini publik dan menjadi baik. Dianjurkan peranan Dewan Kehormatan Organisasi Profesi Pengacara ditingkatkan da diberdayakan sehingga malpraktek hukum pengacara dapat dikurangi. Harapan selanjutnya hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan ikut penciptakan peradilan yang bersih."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T10502
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Ratu Sari
"Kita mengenal apa yang dinamakan kebebasan pers. Kebebasan pers itu sendiri tidak bersifat mutlak. Salah satu pembatasnya adalah kode etik jurnalistik. Pasal-pasal dalam kode etik jurnalistik merupakan saringan bagi kebebasan pers. Dengan begitu, pers tidak dapat menyajikan berita sebebas-bebasnya. Ada suatu pedoman yang harus dijadikan pegangan, yang harus dihormati agar beritanya tidak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan dalam kode etik jurnalistik. Dengan mematuhi kode etik jurnalistik misalnya, pemberitaan di media massa diharapkan tidak menghukum seseorang bersalah atau tidak.
Di Indonesia belum terdapat peraturan yang mengatur tentang trial by the press. Padahal, pemberitaan yang sudah "memvonis" seseorang tersangka dilihat dari sudut tata negara sudah merupakan trial by the press, karena sudah merupakan perusakan sistem ketatanegaraan (Loqman, 1994:10).
Dalam suatu negara hukum, dilarang main hakim sendiri (Eigenrichting). Karena itu, tindakan pers yang "memvonis" tersangka padahal hakim belum menjatuhkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, merupakan pelanggaran terhadap fungsi kekuasaan kehakiman. Seharusnya kekuasaan kehakiman yang menentukan kesalahan seseorang tersangka, tidak boleh dipengaruhi kekuasaan apapun termasuk media massa. Kekuasaan kehakiman harus bebas.
Menurut Padmo Wahyono (dalam Logman, 1994:10), trial by the press dapat dilihat dari dua sisi, yakni pers yang bebas menghakimi seseorang. Jadi ada suatu pertentangan dengan kebebasan seseorang dan pers yang bebas ikut campur atau mempengaruhi kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Dalam hal sisi yang pertama bila dikaitkan dengan Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945, maka kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Karena itu, tidak ada pemberian kekuasaan di luar kehakiman dalam menghakimi seseorang. Jadi, penghakiman oleh pers merupakan perbuatan yang melanggar konstitusi.
Sedangkan sisi yang kedua, hakim yang profesional dalam kariernya tidak akan terpengaruh oleh tanggapan pers yang bebas. Bila pemberitaan pers sampai mempengaruhi jalannya suatu proses peradilan, maka hal itu merupakan masalah yang sifatnya konstitusional. Karena di satu pihak kebebasan pers harus dihormati, di lain pihak kebebasan pers jangan sampai menghakimi tersangka (jangan sampai terjadi trial by the press).
Di beberapa negara, bila sampai terjadi penghakiman oleh pers, maka media massa tersebut diberi sanksi dengan dasar telah melakukan contempt of court (kejahatan terhadap proses peradilan). Ini berarti, media massa tersebut dianggap telah melakukan trial by the press dan harus mempertanggungjawabkannya melalui peradilan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinuhaji, Rony Agustinus
"Upaya paksa dan tidak ditahannya terdakwa atau penangguhan penahanan banyak menimbulkan banyak perdebatan di masyarakat, yang dalam batas-batas apakah upaya paksa penahanan diperlukan dalam proses pemeriksaan terdakwa di peradilan. Suatu hal yang menarik perhatian apabila penangguhan penahanan tidak diperlukan lagi ditingkat peradilan, mengingat pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa dan penuntut umum diwajibkan menghadirkan terdakwa di persidangan. Di dalam upaya penangguhan penahanan paling tidak terkait oleh dua kepentingan yaitu apabila dilihat dari hak terdakwa adalah memperjuangkan asas praduga tidak bersalah sedangkan disisi aparat penegak hukum upaya paksa penahanan adalah guna kepentingan proses pemeriksaannya yang patutnya dalam rangka perlindungan masyarakat dimana sifat dari pelaksanaan upaya paksa di satu sisi adalah upaya untuk menciptakan ketentraman dalam masyarakat. Dalam hal kaburnya terdakwa di perlukan perhatian dalam hal perlunya dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa baik ditingkat penyidikan atau penuntutan. Pemahaman mengenai tujuan sistem peradilan pidana ini sangatlah penting. Menjadi keharusan dalam sebuah sistem berorientasi pada tujuan yang lama, untuk mencapainya dibutuhkan mekanisme yang terarah, kitidakpaduan antara sub system administrasi peradilan pidana akan menyebabkan terhambatnya proses peradilan pidana."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16403
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Kejahatan yang dilakukan anak-anak memerlukan penangganan khusus yang berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Majelis Umum PBB telah mengadopsi suatu ketentuan yang lebih dikenal engan Beijing Rules yang memuat kondisi minimum dalam penangganan anak-anak yang melakukan kejahatan oleh negara yang meratifikasinya. Indonesia juga telah membuat suatu peraturan yang mengatur tentang Peradilan Anak yaitu dalam UU No. 3 Tahun 1997 (UUPA). Dalam artikel ini penulis mengkaji beberapa bagian dari peraturan tersebut yaitu dengan melihat apakah falsafah yang menjadi landasan pembentukan undang-undang ini mengacu pada kesejahteraan anak sebagaimana dalam Beijing Rules tersebut."
Hukum dan Pembangunan, XXVIII (1-3) Januari Juni 1998: 113-123,
HUPE-XXVIII-1.3-JanJun1998-113
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyono Darmabrata
Jakarta: Setio Acnees , 2001
346 WAH h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Independensi dan akuntabilitas merupakan dua prinsip kunci dalam kekuasaan kehakiman yang kadangkala sering bertolak belakang.Secara teori kedua prinsip ini dapat dijelaskan secara gamblang,namun dalam tataran pelaksanaan tidak mudah menjalankan prinsip-prinsip ini...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tanpa terasa dua tahun lebih berlalu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap permuhonan pengujian Undang-Undang (Judicial review) yang diajukan 31 (Tiga puluh satu) Hakim Agung pada Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ardili Nuryadi
"Bureaucracy, business sector, and people are three main pillars in carrying out good governance system. The implementation of governmental functions, such as public services, basically have already been supported by bureaucracy. Bureaucracy, which is reliable and able to perform well, has been a wish/an expectation of all Indonesian people. The expectation, which was also one of things demanded in a bureaucratic reformation movement in 1998, in order to make bureaucracy more responsive inexpensive, indiscriminative, and more transparent in its service. Besides bureaucracy, law enforcement and justice are also the reformation movement mandates that people expect to come to pass. Reformation in judiciary institutions with notorious reputation and considered fail in fulfilling people`s sense of justice has been the central demand / the main point in the reformation era. However, until more than a decade after the reformation movement begun in 1998, that/such expectation have not yet come to reality. Bureaucracy and judiciary institutions in Indonesia are still considered lacking of the betterment spirit and considered not standing up for people. Until recently, not many bureaucratic institutions have been considered to provide optimum services for the people and, at the same time, implement the good governance principles successfully. One of the few institutions manages to implement both service excellence and good governance, is The Constitutional Court of Republic of Indonesia. This research is aimed at examining a clear picture of the organization of The Constitutional Court in its effort to become a modern and credible judiciary institution as well as to provide fast, simple, and inexpensive services to justice seekers. The analysis of Constitutional Court`s organization in this research is conducted by using McKinsey`s 7-S model framework in organization, which are System, Strategy, Structure, Style, Staff, Skill, and Shared Values. This research also using positivist approach (Neuman, 1991) with mix method in gathering the research data, they are in depth interview and survey. The interview was made with several officer who are responsible in organizational policies, while survey`s respondents are employees those already work in the Constitutional Court for two years or more. The type of this research is applied-descriptive.
The result of this research showed that the organization of Constitutional Court is indeed designed to become an open organization by setting out its slogan: Filing a petition at Constitutional Court is free of charge. The Constitutional Court was also a pioneer by developing an information and communication technology (ICT) network system for bringing up fast, inexpensive, simple, and transparent judiciary system. Judiciary services were conducted in one-stop-service system through The Constitutional Court`s official website in the internet. Meanwhile, The Constitutional Court`s fundamental strategy in developing its organization is by being consistent with its vision and mission and by positioning the organization as a clean, modern, and credible judiciary institution. The Court is also designed its bureaucracy organization with slim-but-abounds-with-functions structure; consequently, the span of control could be much shorter. In human resources development area, every staff is demanded to possess multi-tasking ability. For this intention, the organization has facilitated the staff to continually increase their capabilities through many training programs, as well as providing opportunity to study in local or overseas universities. Meanwhile, the organization shared values that could increase the level of productivity and services are togetherness and kinship among the staff. Nevertheless, contrary to the perception of those outside the organization, the leadership in The Constitutional Court has not been successful in assuring all its employees about the idea of creating a bureaucratic institution which fully adopts and implements the good governance principles.

Birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat merupakan tiga pilar utama dalam upaya mewujudkan pelaksanaan kepemerintahan yang baik (good Governance). Pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan seperti pelayanan publik, pada dasarnya telah ditopang oleh birokrasi. Birokrasi yang handal dan mampu bekerja dengan baik, merupakan harapan bagi seluruh bangsa Indonesia. Harapan tersebut, merupakan salah satu tuntunan gerakan reformasi birokrasi 1998, agar birokrasi menjadi tempat layanan masyarakat yang cepat, murah, tidak diskriminatif dan transparan. Selain birokrasi, penegakan hukum dan keadilan juga merupakan amanat reformasi yang menjadi harapan setiap masyarakat agar dapat terlaksana. Reformasi terhadap lembaga peradilan yang dianggap belum mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat telah menjadi satu tuntutan sentral dalam era reformasi. Namun, hingga lebih dari satu dekade reformasi berlalu, harapan tersebut belum sepenuhnya terealisasi. Birokrasi dan lembaga peradilan di Indonesia masih dianggap belum memiliki semangat perbaikan dan keberpihakan kepada masyarakat. Belum banyak instansi birokrasi dan lembaga penegakan hukum yang dianggap mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakt sekaligus juga berhasil dalam pelaksanaan nilai-nilai good governance. Salah satu organisasi birokrasi sekaligus lemabag penegak hukum dan peradilan yang dianggap mampu mewujudkaan kedua hal tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini berusaha mengkaji upaya Mahkamah Konstitusi dalam membangun organisasinya menjadi lembaga peradilan yang kredibel, modern, terpercaya, sekaligus mampu memberikan pelayanan yang cepat, mudah, dan murah kepada masyarakat. Analisis organisasi Mahkamah Konstitusi pada penelitian ini menggunakan teori model 7-S McKinsey yang terdiri atas System, Strategy, Structure, Style, Staff, Skill, dan Shared Values. Pendekatan penelitian yang digunakan dengan menggunakan pendekatan positivist (Neuman, 1991) dengan metode campuran (mix method) untuk pengumpulan datanya, yakni wawancara dan survey. Wawancara dilakukan terhadap para pejabat pengambil kebijakan di Mahkamah Konstitusi sedangkan survey dilakukan terhadap para pegawai yang telah bekerja di Mahkamah Konstitusi selama 2 (dua) tahun atau lebih. Tipe penelitian ini adalah deskriptif terapan.
Temuan penelitian menunjukkan, sistem organisasi Mahkamah Konstitusi didesain menjadi sebuah organsiasi yang terbuka dengan mengedepankan slogan `Berperkara di Mahkamah Konstitusi Tidak Dipungut Biaya`. Mahkamah Konstitusi juga membangun sistem jaringan teknologi informasi dan komunikasi untuk memelopori sistem peradilan yang cepat, murah, sederhana atau mudah, dan transparan. Pelayanan peradilan dilakukan dengan sistem one stop services melalui laman atau website Mahkamah Konstitusi. Sementara, strategi utama Mahkamah Konstitusi dalam mengembangkan organisasi adalah konsisten dengan visi dan misi serta positioning institusi sebagai lembaga peradilan yang bersih, modern dan terpercaya. Mahkamah Konstitusi juga mendesain organisasi birokrasinya menjadi organisasi yang ramping namun kaya akan fungsi kerja sehingga rentang kendali (span of control) organisasi menjadi lebih pendek. Pada bidang pengembangan SDM, setiap pegawai juga dituntut memiliki kemampuan kerja dengan ragam kecakapan (multi tasking). Organisasi juga memfasilitasi setiap pegawai dalam peningkatan kemampuan (capability) melalui berbagai program diklat serta magang dan tugas belajar di luar negeri. Sementara nilai bersama (shared values) organisasi yang mampu meningkatkan kinerja dan pelayanan adalah kebersamaan dan kekeluargaan di antara sesama pegawai. Namun berbeda dengan persepsi ekstrenal organisasi, kepemimpinan di Mahkamah Konstitusi belum mampu memberi keyakinan kepada seluruh pegawai dalam mewujudkan institusi birokrasi yang secara penuh melaksanakan prinsip-prinsip good governance."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T26360
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>