Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Heru Triatma Jaya
"Pengaturan Keuangan yang sangatlah luas dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, berakibat pula pada meluasnya penerjemahan kerugian negara itu sendiri. Hal ini mengakibatkan menjadi kesulitan juga dalam menentukan apakah suatu perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Dalam  Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memasukkan kekayaan negara yang dipisahkan sebagai salah satu unsur yang dipenuhi dalam tindak pidana korupsi untuk menilai adanya kerugian negara yang timbul dalam hubungan hukum yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara ataupun Daerah. Hal ini tentu bertentangan dengan UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan bahwa BUMN maupun BUMD tunduk pada UU Nomor 40 tahun 2007. Sehingga negara hanya bertanggung jawab sebatas modal yang diberikan yang telah di konversi menjadi saham.Jadi, kekayaan negara dalam BUMN maupun BUMD hanya sebatas saham itu sendiri. Perdebatan mengenai sejauh mana keuangan negara yang dapat dikategorikan sebagai kerugian negara sampai sekarang masih terjadi. Penelitian ini akan melihat sejauh mana kerugian negara dalam dikategorikan sebagai unsur dalam tindak pidana korupsi. Tinjauan analisis didasarkan pada teori transformasi keuangan negara, dan melihat mengenai perbedaan mengenai definsi kerugian negara dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian normatif, yaitu melakukan analisis pada aturan hukum terkait BUMN, BUMD, keuangan negara, kekayaan negara yang dipisahkan, perjanjian,  serta tindak pidana korupsi, merujuk pada Peraturan Perundang-undangan, maupun Peraturan Pemerintah  Jadi, data yang akan diperoleh berupa data sekunder (bahan hukum primer dan sekunder). Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, adalah : Pertama, Salah satu unsur untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi adalah kerugian negara yang timbul terhadap keuangan negara, serta kerugian pada BUMN maupun BUMD tidak dapat dikategorikan secara langsung sebagai tindak pidana korupsi. Kedua, kedudukan debitur dalam suatu perjanjian pada dasarnya adalah setara dengan kreditur, dimana debitur dan kreditur memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi. Ketiga, dalam kasus kredit macet terhadap Bank Papua dan PT. Vitas tidak dapat hanya bertumpu pada kerugian negara semata untuk menyatakan bahwa debitur termasuk dalam tindak pidana korupsi, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa adanya tindak pidana korupsi dalam kasus ini.

Financial arrangements that are very broad in a number of current laws and regulations have also resulted in the widespread translation of losses of the state itself. This has caused difficulties in determining whether an act can be categorized as a criminal act of corruption. In Law No.31 of 1999 concerning Corruption Crime, including separated state assets as one of the elements fulfilled in corruption acts to assess the existence of state losses arising in legal relations carried out by State or Regional State-Owned Enterprises. This is certainly contrary to Law Number 19 of 2003 concerning BUMN which states that BUMN and BUMD are subject to Law No. 40 of 2007. So that the state is only responsible as limited as the capital provided which has been converted into shares. So, state wealth in BUMN and BUMD only limited to the stock itself. Debates about the extent to which state finances can be categorized as state losses have still occurred. This study will look at the extent to which state losses are categorized as an element of corruption. The analysis review is based on the theory of state financial transformation, and looks at the differences regarding the definition of state losses in several applicable laws and regulations. The study was conducted using a normative research methodology, namely conducting an analysis of the legal rules relating to BUMN, BUMD, state finance, separated state assets, agreements, as well as corruption, referring to the Laws and Regulations, as well as Government Regulations in the form of secondary data (primary and secondary legal materials). The conclusions that can be obtained from this study are: First, one element to determine whether or not an action can be categorized as a criminal act of corruption is state losses arising from state finances, and losses to BUMN or BUMD cannot be categorized directly as corruption. Second, the position of the debtor in an agreement is basically equivalent to the creditor, where the debtor and creditor have their respective rights and obligations that must be fulfilled. Third, in the case of bad loans to Bank Papua and PT. Vitas cannot only rely on state losses alone to state that debtors are included in corruption, so it cannot be said that there is a criminal act of corruption in this case."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardo Krisnanta Da Silva
"Kejaksaan dalam menjalani fungsi kekuasaan yudikatif di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan, juga melakukan fungsi-fungsi yudikatif lain yang diberikan oleh undang-undang. Terutama dalam penanganan perkara korupsi yang salah satu tujuan utamanya ialah untuk memulihkan atau mengembalikan kerugian keuangan negara akibat Tindak Pidana Korupsi. Dengan mengoptimalkan kewenangan diskresi Kejaksaan yang sudah
diakui sejak pertama kali diundangkan Undang-Undang Kejaksaan Pokok Kejaksaan Nomor 15 Tahun 1961 bahwa di Indonesia Jaksa Agung berwenang mengenyampingkan perkara
pidana berdasarkan kepentingan umum. Maka seharusnya eksistensi diskresi kejaksaan dengan berlandaskan asas oportunitas dapat dijadikan acuan para jaksa untuk melawan praktik-praktik korupsi yang sudah merajalela dan banyak menimbulkan kerugian keuangan negara, agar proses pengembalian tersebut dapat dilakukan tanpa harus melewati tahapan persidangan yang begitu panjang. Untuk itu maka diperlukan adanya regulasi khusus dan pemahanan komperhensif agar dapat menemukan suatu formula yang tepat dan efektif dalam mengantisipasi berbagai bentuk kejahatan korupsi. Dengan mencari korelasi antara penerapan asas oportunitas dan asas oportunitas, serta dengan menggunakan metode perbandingan hukum terhadap peraturan-peraturan di berbagai negara di dunia.

State Attorney, in running the function of judicial power in prosecution field for law enforcement and justice, also performs other judicial functions which are given by the law. Especially in handling corruption cases that one of the main objectives (purposes) is to recover or restore state financial losses due to Corruption. By optimizing the state Attorneys discretion authority that has been recognized since it was first enacted by the Generals Attorney Law Number 15 of 1961 that in Indonesia the Attorney General has the authority to disregard criminal cases based on public interests. So the existence of a prosecutors (state attorneys) discretion based on the principle of opportunity can be used as a reference to fight corruption practices that are already rampant and cause a lot of state financial losses, so that the return process can be carried out without having to go through such a long trial. For this reason, special regulations and comprehensive understanding are needed in order to find an appropriate and effective formula in anticipating various forms of corruption. By looking for
correlations between the application of the legality of principle and the principle of opportunity, and by using the method of comparing laws against regulations in various countries in the world."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Bethesda
"Mempidana terdakwa tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan hanya didasarkan atas perbuatan yang menimbulkan akibat yakni kerugian negara, akan tetapi cukup dengan apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Namun dalam prakteknya bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara membutuhkan adanya kerugian negara yang nyata atau riil. Di samping itu bahwa rumusan ancaman pemidanaan dalam kedua pasal a quo memberikan kontribusi akan terjadinya disparitas pemidanaan karena selain memuat alternatif mengenai jenis-jenis pidana juga memuat ancaman pidana minimum dan maksimum. Keadaan rumusan demikian merupakan ancaman pemidanaan dalam bentuk ruang hampa yang harus dikonkretisasi dalam penjatuhan pemidanaan. Dengan begitu pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menilai efektivitas implementasi pemidanaan dalam kaitannya dengan jumlah kerugian keuangan negara. Kajian yang dilakukan juga merupakan bentuk kajian yuridis normatif melalui pendekatan undang-undang (statute approach)dan analisa putusan (decision analysis). 

Convicting the defendants of corruption in Article 2 and Article 3 of Law Number 20 of 2001 on Amendment to Law Number 20 of 2001 on Corruption Eradication is not only based on acts affecting the state financial or economic losses, but it is rather considered as despicable because it is not corresponding to the sense of justice or the norms of social life in the society. However, state financial or economic losses require real state losses. In addition, the formulation of criminal punishment in the two a quo articles contributes to the disparity of punishment as those do not only contain alternatives regarding types of crime, but also minimum and maximum criminal punishment. This situation is a criminal punishment in the form of vacuum which must be concretized in the criminal conviction. Therefore, the approach used in this research was to assess the effectiveness of implementation of criminalization in relation to the amount of state financial losses. The study conducted was also a form of normative juridical study through a statute approach and decision analysis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54998
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Jaya P.
"Penelitian ini didasarkan pada metode penelitian hukum normatif (pure legal) dengan penggunaan Ajaran Positivisme Hukum Analitis atau analytical legal positivism melalui Teori ?The pure theory of law? dan ?Stufenbau Theorie? dari Hans Kelsen serta Teori Kebenaran Pragmatis untuk menganalisa praktik penerapan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Hakim di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta maupun Mahkamah Agung RI.
Melalui kajian terhadap studi kasus diperoleh hasil penelitian bahwa belum terdapat kesatuan pemahaman oleh Hakim pada judex facti maupun judex juris dalam memahami dan menerapkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terhadap pelaku yang berstatus kepala daerah dalam perkara tindak pidana korupsi yang terkait penggunaan anggaran kas daerah untuk kepentingan pribadi atau yang tidak sesuai peruntukannya. Dalam konteks ini, masih terdapat kekeliruan cara pandang normatif dalam menentukan siapa subyek hukum yang menjadi sasaran norma (addressat norm) yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001; serta dalam mengkualifikasikan suatu perbuatan sebagai ?perbuatan melawan hukum? dan ?perbuatan penyalahgunaan wewenang? dalam konteks tindak pidana korupsi.

The study was based on normative legal research methods (pure legal) with the use of analytical legal positivism through ?The pure theory of law? and "Stufenbau Theorie" of Hans Kelsen and The Pragmatic Theory of Truth to analyze the practice of application of Article 2 Paragraph (1) and Article 3 of Law No. 31 of 1999 as amended by Act No. 20 of 2001 on Corruption Eradication Corruption Court Judge at the Central Jakarta District Court and High Court of Jakarta and the Supreme Court.
Through a review of case studies obtained results that do not have the unity of the understanding by the Judge on judex facti and juris judex in understanding and applying the provisions of Article 2 Paragraph (1) and Article 3 of Law Number 31 Year 1999 jo. Law Number 20 Year 2001 on the status of actors in the regional heads of corruption crimes related to the use of the cash budget for personal or not its designation. In this context, there is still a normative perspective error in determining who the legal subject to whom the norm (norm addressat) contained in the provisions of Article 2 Paragraph (1) and Article 3 of Law Number 31 Year 1999 jo. Act No. 20 of 2001; and in an act qualifies as an "unlawful act" and "works of abuse of authority" in the context of corruption.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31041
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Wahyudi
"Berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal seharusnya menjadi tonggak penting bagi terjaminya penegakan hukum dalam seluruh kegiatan di pasar modal, sehingga tercipta kepastian hukum bagi para pelaku pasar modal. Undang-undang Pasar modal memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada Bapepam-LK, hal ini dapat dilihat dari berbagai ketentuan pasalnya seperti penetapan Bapepam-LK sebagai pengawas, pengatur perijinan, ketentuan pidana, bahkan Bapepam-LK diberi kewenangan untuk melakukan tindakan penyidikan apabila diduga telah terjadi tindak pidana di Pasar Modal. Bagi perusahaan efek yang melakukan tindak pidana Pasar Modal dimana yang bersangkutan berstatus hukum sebagai badan hukum perseroan maka dapat pula diberlakukan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Salah satu tindak pidana yang dapat masuk dalam ruang lingkup Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbuka adalah bilamana tindak pidana tersebut dilakukan di dalam pasar modal yang dilakukan oleh badan hukum perseroan menyangkut perihal tindakan tersebut merugikan nasabah di satu sisi pasar modal dan sisi lain tindak pidana tersebut telah merugikan perseroan yang bukan merupakan tujuan dari perusahaan tersebut. Adapun terkait dengan persoalan tersebut, telah terjadi dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Perusahaan Sekuritas yang merupakan suatu badan hukum perseroan yakni PT. Sarijaya Permana Sekuritas dimana Komisaris Utamanya, Herman Ramli yang diduga telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan rekening nasabah. Atas tindakan Komisaris Utama tersebut, nasabah telah dirugikan atas dana nasabah yang ada di perusahaan sekuritas itu. Terhadap kasus tersebut diharapkan Bapepam mengambil tindakan tegas karena akibat yang timbul berdampak sangat luas. Selain jumlah uang yang begitu besar juga berdampak pada kepercayaan masyarakat pemodal. Skripsi ini mencoba untuk membuat tinjauan apakah secara yuridis terhadap tindakan Komisaris Utama PT. Sarijaya Permana Sekuritas yang telah membuat 17 rekening baru atas nama Sarijaya merupakan tindak pidana di bidang pasar modal. Selanjutnya sejauh mana tanggung jawab komisaris dilihat dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas bilamana terjadi kekurangan dana untuk mengembalikan dana nasabah. Serta bagaimana tindakan Bapepam-LK atas kasus Sarijaya ini guna terciptanya kepastian hukum dan mengembalikan kepercayaan masyarakat pemodal atas rasa aman.

By the issuance of Law Number 8 Year 1995 on Capital Market, it should be a significant milestone for the assurance of law enforcement in all activities of the capital markets, so that there is a legal certainty for the perpetrators of the capital market. Law on Capital Markets provide very broad powers to Bapepam-LK, it can be seen from various provisions of the articles, such as the determination of Bapepam-LK as the supervisor, regulator of licensing, criminal provision, even Bapepam-LK is given the authority to take investigation action when there is suspected a crime occurred in the Capital Market. For the Stock companies committing criminal action in the Capital Market where the person concerned is as a legal entity of the Limited Liability Company, then it may also be enforced the Law Number 40 Year 2007 on Limited Liability Company. One of the crimes included in to the scope of Law No. 8 Year 1995 on Capital Market and the Law Number 40 Year 2007 on Opened Company is where the crime was committed in the capital markets by a corporate legal entity and the action has inflicted at one side the Capital Markets and on the other hand, the crime has inflicted the company’s goal. In relation to such matters, there has been an allegation of crime committed by a Security Company constituting as an incorporated company that is PT. Sarijaya Permana Sekuritas, where its President Commissioner, Herman Ramli has been alleged to have committed criminal abuse of customer accounts. On the action of the President Commissioner, client has been inflicted for the customer's funds deposited in the securities of the company. Toward such case, Bapepam is expected to take decisive action because the consequences arising out thereof has very large impact. Besides the large amount of money, it has also very large impact on the trust of investor societies. This thesis is arranged to make a juridical review to the action of President Commissioner of PT. Sarijaya Permana Sekuritas, who have made 17 new accounts in the name of Sarijaya constituting as a crime in the capital market. Furthermore, how far the responsibilities of the Board of Commissioners seen from the Law Number 40 Year 2007 on Limited Liability Company when there is lack of funds to refund the customer's funds. And how the actions of Bapepam-LK on the case of Sarijaya in order to create legal certainty and to restore the trust of investors on the sense of security. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S24936
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Susilo Budiono Djarot
"Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara implisit maupun eksplisit menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum atau negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (machstaat). Lebih jauh bila dikaitkan dengan ide-ide dasar yang terkandung dalam Pembukaan (preambul) UUD 1945, menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin hak dan kewajiban setiap warganegara dengan mengedepankan asas kesetaraan dihadapan hukum (equality before tha law) dan pemerintahan wajib menjunjung tinggi hukum dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dengan tidak ada pengecualian. Maka bagi yang melakukan perbuatan melanggar Peraturan Perundang-undangan akan dapat dikenakan sanksi berupa hukuman kurungan atau penjara.
Sistem pemenjaraan yang semata menekankan pada prinsip balas dendam dan penjeraan, berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem yang tidak sejalan dengan falasafah kehidupan bangsa yang menjunjung tinggi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” sebagaimana disebutkan dalam Sila Kedua, Pancasila dan penyelenggaraan Hak Asasi Manusia. Dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungan masyarakat dalam rangka penegakan hukum melalui proses peradilan yang seadil-adilnya. Maka lahirlah Konsep Pemasyarakatan yang mendasarkan pada prinsip “pembinaan” yang bertujuan merehabilitasi dan reintegrasi narapidana dengan tidak meninggalkan teori pemidana yang mendasarkan pada prinsip pembalasan dan penjeraan (ritributif theory/ absolute).
Pemasyarakatan yang dimaksud dalam hal ini harus diartikan dalam konteks "memasyarakatkan" (resosialisasi) yang bertujuan mengembalikan narapidana menjadi warga biasa yang baik dan berguna (helthily re-entry into community). Pemasyarakatan adalah suatu konsep kegiatan pembinaan bagi narapidana atau Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan prinsip penanggulangan tindak pidana dan kesejahteraan bersama melalui cara-cara pembinaan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Terkait dengan Konsep Pemasyarakata di atas, Remisi atau pengurangan masa pidana mempunyai kedudukan strategis sebagai instrument pengukur atau paremeter bagi terselenggaranya tujuan Lembaga Pemasyarakatan. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44540
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekjen DPR RI, 2013
345.023 IND p I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekjen DPR RI, 2013
345.023 IND p II
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Farhani
"[ABSTRAK
Kekuasaan kehakiman menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah
Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang
dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruhpengaruh
lainnya. Mahkamah Agung dalam memberikan pemberatan dalam hukuman
harus sesuai dengan nilai-nilai, norma hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Hal-hal yang menjadi dasar Mahkamah Agung dalam
memperberat hukuman antara lain: UUD 1945 sebagai landasan hukum negara
Indonesia, asas hukum yang adil yang merupakan dasar untuk memutus suatu
perkara, dan kekuasaan kehakiman, yakni kebebasan hakim dalam memutus suatu
perkara terlepas dari pengaruh negara, pemerintah ataupun kekuasaan politik lainnya.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa, dikatakan demikian karena tindak pidana
korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakatnya,
membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat
pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak
membudayanya tindak pidana korupsi. Maka dari itu diperlukan upaya hukum yang
luar biasa pula untuk memberantas tindak pidana korupsi. Salah satunya adalah
dengan memberikan pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Pemberatan hukuman terhadap terdakwa tindak pidana korupsi tidak semata-mata
sebagai pembalasan yang tidak beralasan, pemberatan hukuman terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini mempunyai
beberapa tujuan antara lain: untuk menegakkan hukum dan keadilan, untuk
kesejahteraan rakyat dan untuk pembaharuan hukum dan pembangunan hukum.

ABSTRACT
Judicial power by the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 is the
independent power carried by a Supreme Court and judicial bodies underneath, and
by a Constitutional Court, to organize judiciary to enforce the law and justice. The
Supreme Court is the Supreme Court of the State of all courts, which in carrying out
their duties free from the influence of government and other influences. The Supreme
Court in giving the weighing of punishment should be in accordance with the values,
norms, laws and regulations in force in Indonesia. Matters on which the Supreme
Court in aggravate the punishment include: 1945 is the legal foundation of the
Indonesian state, the legal principle of fair which is the basis for deciding a case, and
judicial authorities, namely the independence of judges in deciding a case apart from
the influence of the state, government or other political powers. Corruption is an
extraordinary crime, said that because of corruption may endanger the stability and
security of the state and society, endanger the social and economic development of
society, politics, and may even undermine democratic values and morality as they
affect the unsupported corruption. Therefore required extraordinary legal remedy
anyway to eradicate corruption. One way is to give a weighting of convictions for
corruption. Weighting the punishment of the accused of corruption is not solely in
retaliation unwarranted, weighting the punishment of perpetrators of criminal acts of
corruption committed by the Supreme Court has several objectives: to enforce the law
and justice, for the welfare of the people and for the renewal of the law and legal
development.;Judicial power by the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 is the
independent power carried by a Supreme Court and judicial bodies underneath, and
by a Constitutional Court, to organize judiciary to enforce the law and justice. The
Supreme Court is the Supreme Court of the State of all courts, which in carrying out
their duties free from the influence of government and other influences. The Supreme
Court in giving the weighing of punishment should be in accordance with the values,
norms, laws and regulations in force in Indonesia. Matters on which the Supreme
Court in aggravate the punishment include: 1945 is the legal foundation of the
Indonesian state, the legal principle of fair which is the basis for deciding a case, and
judicial authorities, namely the independence of judges in deciding a case apart from
the influence of the state, government or other political powers. Corruption is an
extraordinary crime, said that because of corruption may endanger the stability and
security of the state and society, endanger the social and economic development of
society, politics, and may even undermine democratic values and morality as they
affect the unsupported corruption. Therefore required extraordinary legal remedy
anyway to eradicate corruption. One way is to give a weighting of convictions for
corruption. Weighting the punishment of the accused of corruption is not solely in
retaliation unwarranted, weighting the punishment of perpetrators of criminal acts of
corruption committed by the Supreme Court has several objectives: to enforce the law
and justice, for the welfare of the people and for the renewal of the law and legal
development., Judicial power by the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 is the
independent power carried by a Supreme Court and judicial bodies underneath, and
by a Constitutional Court, to organize judiciary to enforce the law and justice. The
Supreme Court is the Supreme Court of the State of all courts, which in carrying out
their duties free from the influence of government and other influences. The Supreme
Court in giving the weighing of punishment should be in accordance with the values,
norms, laws and regulations in force in Indonesia. Matters on which the Supreme
Court in aggravate the punishment include: 1945 is the legal foundation of the
Indonesian state, the legal principle of fair which is the basis for deciding a case, and
judicial authorities, namely the independence of judges in deciding a case apart from
the influence of the state, government or other political powers. Corruption is an
extraordinary crime, said that because of corruption may endanger the stability and
security of the state and society, endanger the social and economic development of
society, politics, and may even undermine democratic values and morality as they
affect the unsupported corruption. Therefore required extraordinary legal remedy
anyway to eradicate corruption. One way is to give a weighting of convictions for
corruption. Weighting the punishment of the accused of corruption is not solely in
retaliation unwarranted, weighting the punishment of perpetrators of criminal acts of
corruption committed by the Supreme Court has several objectives: to enforce the law
and justice, for the welfare of the people and for the renewal of the law and legal
development.]"
2015
T43101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prabowo Hario Tri Cahyo
"Penulisan dari tugas karya akhir ini membahas mengenai Program perlindungan yang diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK terhadap Justice Collaborator tindak pidana korupsi. Program tersebut dijalankan oleh LPSK sebagai upaya pemberantasan korupsi dengan melindungi Justice Collaborator agar ia dapat bersaksi di pengadilan. Melalui tahapan-tahapan perlindungan seperti pra-perlindungan, perlindungan, dan post-perlindungan, penulis menganalis menggunakan kebijakan kriminal, Sistem Peradilan Pidana, dan konsep program sebagai dasar analisa terhadap perlindungan kepada Justice Collaborator tindak pidana korupsi. Hasil yang diberikan kemudian adalah keberhasilan program perlindungan kepada Justice Collaborator tindak pidana korupsi.

This final paper writing about the Program given by Witness and Victim Protection Agency LPSK to Justice Collaborator of corruption crime. The program conducted by LPSK as an effort to eradicate corruption by protecting Justice Collaborator so that he can testify in court. Through these protection steps, pre protection, protection, and post protection, the authors analyze with criminal policy, criminal justice system, and program concept as the basis for the analysis of the protection of the Justice Collaborator of corruption. The result given later is the success of the protection program to the Justice Collaborator of corruption.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>