Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusuf Musafir Kolewora
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama angka kesakitan dan kematian di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalens PPOK di Indonesia sebanyak 3,7% dan menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengetahui prevalens PPOK di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan metode consecutive sampling pada pasien PPOK yang berkunjung di RSUP Persahabatan Jakarta pada bulan April-September 2018. Diagnosis PPOK dilakukan dengan menggunakan COPD Diagnostic Questionnaire (CDQ) dan pemeriksaan spirometri.
Hasil: Subjek penelitian sebanyak 875 subjek. Sampel akan dilakukan penapisan awal menggunakan CDQ dengan skor nilai ≥19,5 sebanyak 332 subjek. Hasil pemeriksaan spirometri pada 332 subjek sebelum pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 83 subjek (25%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% dan 249 subjek (75%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70%. Hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 78 subjek (94%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% yang berarti menderita PPOK dan 5 subjek (6%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70% yang berarti tidak menderita PPOK sehingga prevalens PPOK adalah 8,9% dari keseluruhan sampel. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk (43,6%), terdapat dahak (50%), dan sesak (39,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur (nilai-p = 0,040), lama merokok (nilai-p = 0,012), jumlah rokok yang dihisap per hari (nilai-p = 0,000) dan derajat berat merokok (nilai-p = 0,000) sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin (nilai-p = 0,585) dan indeks massa tubuh (nilai- p = 0,953).
Kesimpulan: Prevalens PPOK di rumah sakit Persahabatan Jakarta adalah 8,9%. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk, terdapat dahak dan sesak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur, lama merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan derajat berat merokok sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin dan indeks massa tubuh.

ABSTRACT
Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is the main cause of morbidity and mortality rates in the world including in Indonesia. The result of Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) in 2013 showed the prevalence of COPD in Indonesia was 3.7% and was ranked 6th from 10 causes of death in Indonesia. This study is the preliminary study to determine of prevalence of COPD in Persahabatan Hospital.
Method: This is a cross sectional study design with consecutive sampling method in COPD patient who visited to the Persahabatan Hospital Jakarta in April- September 2018. COPD diagnosed by using COPD Diagnostic Questionnare (CDQ) and spirometry examination.
Result: Study subject were 875 subject. The sample will be screened preliminary by using CDQ whom get score ≥ 19.5 only 332 subject. The results of spirometry tests on 332 subject before inhaled bronchodilators showed that 83 subject (25%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 249 subject (75%) had results VEP1/KVP ≥70% which means not diagnose COPD. The results of spirometry after inhaled bronchodilators showed that as many as 78 subject (94%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 5 subject (6%) had results VEP1/KVP ≥70%, which means not diagnose COPD so that the prevalence of COPD is 8.9% from all the sample. There were some of symptoms of COPD patients reported such as daily coughing (43,6%), coughing with phlegm (50%), and wheezing (39,7%). Statistical test results indicate that factors associated with COPD in this study are age, duration of smoking, number of cigarettes smoked per day and the degree of smoking-free while the unrelated factors are gender and Body Mass Index."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vebiyanti Tentua
"Latar belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit kronik yang menjadi masalah kesehatan utama di dunia dan menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Uji kondensasi udara napas merupakan metode non invasif, yang dapat digunakan untuk menilai kadar sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien PPOK berdasarkan GOLD 2017.
Metode penelitian : studi potong lintang dengan melibatkan 77 subjek pasien
PPOK stabil yang tidak eksaserbasi dalam 4 minggu terakhir dan berobat di poli asma-PPOK serta menyetujui informed consent. Pasien ini dilakukan wawancara dengan skoring CAT dan mMRC dan dilakukan pemeriksaan fisis serta mengambil data foto toraks atau CT Scan toraks pasien kemudian data spirometri terakhir diambil untuk mendiagnosis pasien tersebut PPOK. Pasien lalu digolongkan derajat PPOK stabilnya berdasarkan kriteria GOLD 2017, dan diambil sampel uji kondensasi udara napas untuk diperiksakan kadar sitokin interleukin (IL) -6, 8, 13 dan tumor necrosis factor (TNF)-α di laboratorium IMERI dengan pemeriksaan ELISA untuk masing-masing sitokin.
Hasil: Interleukin 8 dapat terdeteksi pada 8 (10,4 %) pasien dari jumlah 77 pasien
dengan nilai rata-rata 2,4 pg/mL, sedangkan kadar IL-13 dan TNF-α hanya terdeteksi pada 1 (1,3 %) pasien dengan nilai IL-13 6,912 pg/mL dan TNF-α 8,766 pg/mL. Kadar IL-6 terdeteksi pada 71 (92,2 %) pasien PPOK stabil dengan nilai rata-rata 0,7 pg/mL. Tidak ada hubungan antara kadar IL-8, IL-6, IL-13 dan TNF- α dengan derajat PPOK (p > 0,05), meskipun kadar IL-8 dan IL-6 ditemukan mengalami peningkatan pada masing-masing kelompok PPOK. Hanya satu pasien ditemukan semua kadar sitokinnya terdeteksi yang setelah ditelusuri, pasien
tersebut memiliki jumlah eosinofil darah 1120 /ÅμL dan nilai CRP darah 5,8 mg/L.
Kadar TNF-α dan IL-13 pada penelitian ini memiliki hubungan bermakna dengan
status merokok pasien (p = 0,00).
Kesimpulan: Uji kondensasi udara napas merupakan metode non invasif yang dapat digunakan pada pasien PPOK stabil untuk menilai kadar sitokin proinflamasi pada pasien PPOK stabil.

Background: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a chronic systemic inflammatory disease which is associated with high morbidity and mortality rates. The exhaled breath condensation (EBC) test is a non-invasive test method to assess pro-inflammatory cytokines levels in COPD patients based on GOLD 2017.
Methods: We performed a cross-sectional study involving 77 subjects with stable COPD who had not exacerbated in the past 4 weeks and treated at asthma-COPD outward clinic in Persahabatan National Respiratory Referral Hospital. Subjects were interviewed with CAT and mMRC scoring system and were examined for their radiographic imaging by chest x-ray or CT. Patients were classified as stable COPD levels based on the GOLD 2017, and EBC were examined for levels of interleukin (IL) -6, 8, 13, and tumor necrosis factor (TNF)-α using ELISA methods.
Results: Interleukin 8 was detected in 8 (10.4%) patients out of 77 patients with an average value of 2.4 pg/mL, whereas IL-13 and TNF-α levels were only detected in 1 (1.3%) patient at 6.912 pg/mL and TNF-α 8.766 pg/mL, respectively. IL-6 levels were detected in 71 (92.2%) with average value of 0.7 pg/mL. There were no relationship between IL-8, IL-6, IL-13 and TNF-α levels with COPD degrees (p> 0.05), although IL-8 and IL-6 levels were found to be increased in each COPD group. Only one patient presented with all cytokine detected whose had a blood
eosinophil count of 1120 /ÅμL and a blood CRP level of 5.8 mg/L. TNF-α and IL-
13 levels in this study were correlated with the subject's smoking status (p = 0.00).
Conclusion: The EBC test is a non-invasive method that can be used in stable COPD patients to assess pro-inflammatory cytokines levels in stable COPD patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Nur Ghania
"Latar belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan masalah kesehatan yang menempati peringkat ketiga penyebab kematian di seluruh dunia. PPOK secara umum dapat terjadi karena adanya paparan zat/partikel secara terus menerus sehingga memicu adanya penyempitan saluran napas. Kabupaten Karawang dan Kota Bogor sebagai wilayah industri dapat memicu peningkatan kejadian PPOK. Selain itu, prevalensi perokok ≥ 35 tahun di Kabupaten Karawang sebesar 63,05% dan Kota Bogor sebesar 56,83% juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya PPOK.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian PPOK pada penduduk usia ≥ 40 tahun di Kabupaten Karawang dan Kota Bogor tahun 2022.
Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan desain studi cross-sectional yang menggunakan data deteksi dini PPOK pada tahun 2022.
Hasil: Penelitian ini memperlihatkan adanya faktor yang berhubungan dengan kejadian PPOK yaitu usia (POR 1,83; 95% CI 0,69 – 4,86; dan POR 17,6; 95% CI 3,60-85,9), riwayat asma (POR 4,84; 95% CI 1,05-22,21), derajat merokok (POR 5,8; 95% CI 2,17-15,50; dan POR 16,61; 95% CI 4,40-62,69), pekerjaan (POR 1,49; 95% CI 0,20-10,68; POR 0,10; 95% CI 0,02-0,46; POR 1,14; 95% CI 0,19-6,91; dan POR 0,03; 95% CI 0,004-0,25) serta konsumsi sayur/buah (POR 8,36; 95% CI 1,93- 36,21).
Kesimpulan: Angka kejadian PPOK yang diketahui sebesar 2,1% memperlihatkan adanya hubungan antara usia, riwayat asma, derajat merokok, pekerjaan, dan konsumsi sayur/buah dengan kejadian PPOK pada penduduk usia ≥ 40 tahun di Kabupaten Karawang dan Kota Bogor tahun 2022.

Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a health problem that ranks third as the cause of death worldwide. COPD can generally occur due to continuous exposure to substances/particles that trigger narrowing of the airways. Karawang Regency and Bogor City as industrial areas can trigger an increase in the incidence of COPD. In addition, the prevalence of smokers ≥ 35 years in Karawang Regency is 63.05% and in Bogor City is 56.83%, which can also increase the likelihood of COPD.
Objective: This study aims to determine the factors associated with the incidence of COPD in residents aged ≥ 40 years in Karawang Regency and Bogor City in 2022.
Methods: The method used in this study is a quantitative method with a cross-sectional study design that uses early detection data for COPD in 2022.
Results: This study shows the factors associated with the incidence of COPD, namely age (POR 1,83; 95% CI 0,69 – 4,86; and POR 17,6; 95% CI 3,60-85,9), history of asthma (POR 4.84; 95% CI 1.05-22.21), smoking status (POR 5,8; 95% CI 2,17-15,50; dan POR 16,61; 95% CI 4,40-62,69), occupation (POR 1.49; 95% CI 0.20-10.68; POR 0.10; 95% CI 0.02-0.46; POR 1.14; 95% CI 0.19-6.91; and POR 0.03; 95% CI 0.004-0.25), and consumption of vegetables/fruits (POR 8,36; 95% CI 1,93-36,21).
Conclusion: The incidence rate of COPD is known to be 2.1%, which shows the relationship between age, history of asthma, smoking degree, occupation, and consumption of vegetables/fruits with the incidence of COPD in residents aged ≥ 40 years in Karawang Regency and Bogor City in 2022.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Kematian akibat PPOK ini menyumbang 6% dari semua kematian secara global. Data prevalensi spesifik untuk PPOK di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 yaitu 3,7 per seribu orang. Penelitian terdahulu di Indonesia menyatakan bahwa terapi salmeterol-flutikason lebih efektif-biaya apabila dibandingkan dengan terapi formoterol-budesonid. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas-biaya yang lebih baik antara terapi terapi salmeterol-flutikason dan terapi formoterol-budesonid pada pasien PPOK rawat jalan di RSUP Persahabatan tahun 2021-2022. Penelitian retrospektif ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan menggunakan data rekam medis pasien, yaitu nilai COPD Assesmen Test (CAT), jenis kelamin, usia, dan komorbiditas. Selain itu, digunakan data billing pasien dilihat dari perspektif rumah sakit yang terdiri atas biaya obat, biaya obat lain, biaya laboratorium, biaya jasa tenaga kesehatan, dan total biaya pengobatan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 64 sampel, yang terdiri atas 32 sampel terapi salmeterol-flutikason dan 32 sampel terapi formoterol-budesonid. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan nilai inkremental efektivitas antara kedua terapi sebesar 46,9%. Kemudian didapatkan nilai inkremental biaya antara kedua terapi sebesar Rp11.561. Sementara itu, berdasarkan perhitungan didapatkan rasio efektivitas-biaya (REB) untuk terapi salmeterol-flutikason adalah sebesar Rp982.164 /unit efektivitas dan untuk terapi formoterol-budesonid adalah sebesar Rp2.287.610/unit efektivitas. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa terapi salmeterol-flutikason lebih memiliki efektivitas-biaya dengan nilai rasio inkremental efektivitas-biaya terapi sebesar Rp247/unit efektivitas.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease characterized by airflow limitation that is not completely reversible. The total number of deaths from COPD reaches 6% of all deaths globally. Specific prevalence data for COPD in Indonesia are based on Basic Health Research (RISKESDAS) data in 2013 is 3.7 per thousand people. Previous research in Indonesia stated that salmeterol-fluticasone therapy is more cost-effective than formoterol-budesonide therapy. The purpose of this study is to analyze the better cost-effectiveness between salmeterol-fluticasone therapy and formoterol-budesonide therapy in COPD outpatient at Persahabatan General Hospital in 2021-2022. This retrospective study is an observational study with cross-sectional study design using patient medical record data, which consisted of COPD Assessment Test (CAT) scores, gender, age, and comorbidities. In addition, patient billing data is used from a hospital perspective which consisted of drug costs, other drug costs, laboratory fees, health worker service fees, and total medical costs. There were 64 samples used in this study, consisting of 32 samples from salmeterol-fluticasone group and 32 samples from formoterol-budesonide group. Based on results of the study, the increased effectiveness value between the two therapies was 46,9%. Then, the incremental cost value between the two therapies was obtained at IDR11.561. Meanwhile, based on calculations, the average cost-effectiveness ratio (ACER) for salmeterol-fluticasone therapy was IDR 982.164/effectiveness unit and for formoterol-budesonide therapy was IDR 2.287.610/effectiveness unit. Based on the research, it can be concluded that salmeterol-fluticasone therapy is more cost-effective with an incremental cost-effectiveness ratio is Rp247 per unit of effectiveness.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astari Pranindya Sari
"Pendahuluan: Neutrofil merupakan sel inflamasi yang diyakini berperan pada patogenesis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Telah terdapat bukti korelasi antara hambatan aliran udara pada pasien PPOK dengan kadar neutrofil sputum. Penelitian beberapa tahun terakhir membuktikan nilai rasio neutrofillimfosit (RNL) dan protein C-reaktif (CRP) dari darah perifer berpotensi menjadi petanda inflamasi sistemik, tidak terkecuali PPOK. Beberapa penelitian membuktikan nilai RNL dan CRP lebih tinggi pada pasien dengan PPOK dibanding orang normal. Begitu pula saat kondisi eksaserbasi, nilai RNL dan CRP lebih tinggi daripada kondisi stabil. Selain itu terdapat bukti korelasi antara hasil spirometri dengan nilai RNL dan CRP. Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan sejauh ini menunjukkan bahwa nilai RNL dan CRP dapat menjadi suatu penilaian yang layak diperhatikan dalam PPOK.
Tujuan: Memperoleh data mengenai nilai RNL dan CRP pada pasien PPOK eksaserbasi dan stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.
Metode: Analisis observasional kohort prospektif di RS Persahabatan, Jakarta Indonesia sebanyak 31 sampel dari Juli 2018 hingga Desember 2018. Kami mengikutsertakan 31 pasien PPOK eksaserbasi untuk dilakukan pemeriksaan spirometri dan pemeriksaan darah dan membandingkan hasil pemeriksaan pasien yang sama pada kondisi stabil.
Hasil: Petanda inflamasi yang diperiksa pada penelitian ini RNL dan CRP keduanya menunjukkan penurunan kadar pada kondisi stabil, bertutut-turut dari 7,95 ± 6,8 menjadi 4,6 ± 5,5 dan 43,4 ± 71 menjadi 12,2 ± 18,5 dengan nilai p < 0,01. Didapatkan pula korelasi negatif yang bermakna antara RNL dan nilai VEP1/KVP pada kondisi eksaserbasi. Nilai CRP menunjukkan korelasi negatif hanya dengan VEP1 pada saat eksaserbasi. Di samping itu, terdapat pula subjek penelitian dengan nilai CRP yang sangat tinggi pada saat eksaserbasi, meninggal dunia dalam kurun waktu dua bulan setelah eksaserbasi.
Kesimpulan: Nilai RNL dan CRP pada subjek dengan PPOK lebih tinggi pada kondisi eksaserbasi dan mungkin dapat menggambarkan status eksaserbasi pada pasien PPOK.

Introductions: Although COPD has been believed to be characterized by respiratory disease, currently limited study conducted to evaluate inflammation markers and exacerbation rate in COPD by noninvasive method. We observed the COPD severity, future exacerbation by using peripheral blood test. We did a prospective cohort study to observe the alteration of Neutrophyl-Lymphocyte Ratio (NLR) and C-reactive protein (CRP) in COPD patients to find any possible correlation with COPD exacerbation status.
Aims: To study the value of NLR and CRP of COPD patients during exacerbation and stable in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods: Starting from July to December 2019, a prospective cohort study was performed with blood and pulmonary function test in 31 COPD patients in two different conditions: during exacerbation and stable. The mean of both inflammation markers was compared and correlated them with pulmonary function test.
Results: Both inflammation markers NLR and CRP value decreased during stable condition (from 7,95 ± 6,8 to 4,6 ± 5,5 and 43,4 ± 71 to 12,2 ± 18,5) with p < 0,01 respectively. In addition, we also found a significant inverse correlation between NLR and FEV1/FVC during exacerbation but not during the stable condition, and CRP showed inverse correlation only with FEV1 during exacerbation. Another interesting finding was subject with very high CRP whose value remained above nomal limit during stable, died within 2 month after exacerbation.
Conclusions: NLR and CRP in COPD patients increased during exacerbation and may reflect lung function and exacerbation status in COPD patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fadil Moch Al-Ridha
"Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang ditandai dengan kelainan pada alveolar yang disebabkan oleh paparan signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya sehingga mengakibatkan penyumbatan pada paru-paru dan keterbatasan aliran udara. Dalam upaya pencegahan dan pengobatan PPOK, apoteker berperan peting dalam pelayanan farmasi klinik yang berkaitan dengan sediaan farmasi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengkajian resep merupakan salah satu pelayanan farmasi klinik yang dapat dilakukan oleh apoteker untuk menganalisa masalah terkait obat serta mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek administrasi, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis, serta kerasionalan 5 resep pasien paru di Apotek Kimia Farma Raya Bogor periode April 2023. Penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan dan pengkajian resep pasien paru pada bulan april 2023. Hasil penelitian menunjukkan kelima resep pasien paru di Apotek Kimia Farma Raya Bogor telah memenuhi aspek administratif, aspek kesesuaian farmasetik, aspek pertimbangan klinis, dan resep rasional.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease characterized by alveolar abnormalities caused by significant exposure to harmful particles or gases, resulting in blockage of the lungs and limited air flow. In efforts to prevent and treat COPD, pharmacists play an important role in clinical pharmacy services related to pharmaceutical preparations to improve the quality of life of patients. Prescription review is one of the clinical pharmacy services that can be carried out by pharmacists to analyze drug-related problems and prevent medication administration errors. This research aims to examine administrative aspects, pharmaceutical suitability and clinical considerations, as well as the rationale for 5 prescriptions for pulmonary patients at Kimia Farma Raya Bogor for the period April 2023. This research was conducted by collecting and reviewing pulmonary patient prescriptions in April 2023. The research results showed that the five prescriptions for pulmonary patients at Kimia Farma Raya Bogor Pharmacy had fulfilled administrative aspects, pharmaceutical suitability aspects, clinical consideration aspects, and rational prescriptions.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Okta Hariza
"Rehabilitasi pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang stabil bertujuan untuk mengurangi sesak, meningkatkan toleransi latihan, dan meningkatkan status kesehatan. Pada dekade terakhir banyak dikembangkan teknik terapi mandiri salah satunya adalah menggunakan perangkat positive expiratory pressure (PEP). Penelitan ini bertujuan untuk menilai efektivitas latihan pernapasan menggunakan perangkat PEP pada volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), kapasitas fungsional, dan kualitas hidup pada pasien PPOK. Desain penelitian yang digunakan yaitu studi intervensional prospektif yang membandingkan efek sebelum dan sesudah latihan pernapasan menggunakan PEP selama 8 minggu. Subjek yang menyelesaikan penelitian sebanyak 20 orang. Latihan pernapasan dilakukan dua kali sehari dengan durasi 15 menit pada masing-masing sesi latihan. Tekanan yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan pasien yaitu inspirasi berbanding ekspirasi 1:3. Tekanan ditentukan sebelum memulai latihan dan dievaluasi setiap dua minggu. Hasil keluaran yang dinilai adalah nilai VEP1, kapasitas fungsional yang diukur dengan kecepatan berjalan dalam uji jalan 4 meter dan kualitas hidup yang diukur dengan kuesioner St. George s Respiratory Questionnaire (SGRQ). Nilai VEP1 sebelum intervensi adalah 1369,5±569,63 ml dan sesudah sebesar 1390±615,01 ml (p=0.585). Kecepatan berjalan sebelum intervensi 1,43±0.31 m/s dan sesudah 1,56±0,40 m/s (p=0.248). Skor kuesioner SGRQ domain gejala terdapat penurunan dari rerata 44,00±17,88% menjadi 25,31±14,06% (p=0.000), domain aktivitas dari rerata 54,22±28,18% menjadi 40,38±24,25% (p=0.006), domain dampak dari 32,83% (0,00-67,46) menjadi 16,32% (0,00-61,33) (p=0.002), dan skor total dari 39,46% (6,30-75,42) menjadi 25,96% (5,24-61,34) (p=0.001). Peningkatan kecepatan berjalan dan perbaikan skor SGRQ memenuhi nilai minimum clinically important difference (MCID). Latihan pernapasan menggunakan perangkat PEP selama 8 minggu dapat meningkatkan nilai VEP1, kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien PPOK.

Rehabilitation of stable chronic obstructive pulmonary disease (COPD) aims to reduce dyspnoe, increase exercise tolerance, and improve health status. In the last decade, many independent therapy techniques have been developed, one of them is positive expiratory pressure (PEP). The aim of this study was to assess the effectiveness of breathing exercises using a PEP device on Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1), functional capacity, and quality of life in COPD patients. The study design was a prospective interventional studies that compared the effects before and after breathing exercises using PEP for 8 weeks. Twenty subjects completed the study. Breathing exercises were carried out twice a day, 15 minutes duration at each session. The pressure used is adjusted to the patient's ability, reaching inspiration to expiration ratio of 1:3. Pressure was determined before starting the exercise and evaluated every two weeks. The outcome were FEV1, functional capacity measured by walking speed in the 4 meter gait speed assesment and quality of life as measured by the St. George s Respiratory Questionnaire (SGRQ). FEV1 ​​before intervention were 1369,5±569,63 ml and after 1390±615,01 ml (p=0.585). Walking speed before intervention was 1,43±0,31 m/s and after 1,56±0,40 m/s (p=0,248). The symptom domain SGRQ questionnaire score has a decrease from 44,00±17,88% to 25,31±14,06% (p=0,000), the activity domain from 54,22±28,18% to 40,38±24,25% (p=0.006), the impact domain of 32,83% (0,00-67,46) to 16,32% (0,00-61,33) (p=0,002), and the total score of 39,46% (6,30-75,42) to 25,96% (5,24-61,34) (p=0.001). Increase in walking speed and SGRQ score exceed the minimum clinically important difference (MCID). Breathing exercises using a PEP device for 8 weeks can increase FEV1, functional capacity and quality of life of COPD patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Nafrah Albar
"Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit umum yang menyebabkan keterbatasan aliran udara dan masalah pernapasan. Penderita PPOK biasanya datang dengan keluhan sesak napas, batuk, produksi sputum, dan adanya suara napas wheezing. Perburukan gejala pada pasien seperti saturasi oksigen yang rendah dinamakan PPOK eksaserbasi. Karya tulis ini bertujuan untuk menganalisis asuhan keperawatan pada pasien PPOK eksaserbasi dengan intervensi tripod positioning dan active cycle of breathing exercise (ACBT). Karya ilmiah ini menggunakan metode case study pada satu pasien yang dirawat selama lima hari. Evaluasi dari intervensi didapatkan adanya peningkatan saturasi oksigen setelah diberikan intervensi tripod positioning dan ACBT.
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a common disease that causes airflow limitation and breathing problems. COPD patients usually present with complaints of shortness of breath, cough, sputum production, and wheezing breath sounds. Worsening symptoms in patients such as low oxygen saturation are called COPD exacerbations. This paper aims to analyze nursing care for COPD exacerbation patients with tripod positioning and active cycle of breathing exercise (ACBT) interventions. This scientific paper uses a case study method on one patient who was treated for five days. Evaluation of the intervention found an increase in oxygen saturation after being given tripod positioning and ACBT interventions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Tresia Fransiska U
"Objektif : Untuk menilai efikasi latihan pemapasan menggunakan incentive spirometry
terhadap kemampuan inspirasi maksimal, skala derajat sesak (skala BORG), kapasitas
fungsi paru dan kualitas bidup (SGRQ) pada penderita penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK).
Desain : Studi intervensi pre dan post eksperimental pada grup kasus dan kontrol.
Tempat : Departemen Rehabilitasi Medik dan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
subdivisi Pulmonologi FKUI, RSUPNCM. Instalasi Rehabilitasi Medik RS Persahabatan,
Jakarta.
Metode : Total 20 pasien PPOK derajat sedang dibagi menjadi 2 grup : grup kontrol ( 10
orang ) dan grup kasus ( 10 orang ). Semua subjek dilakukan pemeriksaan data dasar
berupa kemampuan inspirasi maksimal, skala derajat sesak, kapasitas fungsi paru dan
kualitas bidup. Pada grup kasus diberikan kombinasi latihan kontrol pemapasan dengan
menggunakan incentive spirometry sedangkan pada grup kontrol hanya diberikan latihan
kontrol pemapasan saja. Setelah 8 minggu kembali dilakukan pemeriksaan data dasar.
Semua subjek tetap mengkonsumsi obat-obatan.
Hasil : Kemampuan inspirasi maksimal (KIM) pasca perlakuan meningkat secara
bermakna pada kedua kelompok. Skala derajat sesak (BORG) dan nilai komponen SGRQ
untuk gejala, aktivitas, dampak dan total pada kelompok kasus pasca perlakuan
mengalami penurunan yang secara statistik bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok
kontrol. Selisih rerata nilai SGRQ pada awal dan akhir perlakuan menunjukkan
perbedaan bermakna pada komponen aktivitas, dampak dan total (P<0,05), sedangkan
pada komponen gejala tidak didapat perbedaan bermakna (P>0,05). Tidak didapatkan
perbedaan bermakna untuk kapasitas fungsi paru (FEV I %) yang ditemukan pada kedua
kelompok.
Simpulan : Kombinasi latihan kontrol pemapasan dengan incentive spirometry dapat memperbaiki kemampuan inspirasi maksimal, skala derajat sesak dan kualitas bidup pada penderita PPOK sedang dalam 8 minggu."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library