Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aldo Ferly
"Pengantar: Anemia pada anak adalah masalah nutrisi yang sering dihadap di Indonesia. Stunting adalah salah satu perlambatan tumbuh-kembang anak yang berhubungan dengan gangguan pertumbuhan kognitif, penurunan tinggi badan, penurunan tingkat produktivitas dan kesulitan bersekolah. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa kadar hemoglobin berkaitan erat dengan GH-IGF-1 yang sangat penting dalam proses pertumbuhan anak. Studi ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara gagal tumbuh dan kadar hemoglobin pada anak berumur 6 sampai 8 bulan.
Bahan dan Metode: Sebuah studi cross sectional dilakukan pada 55 anak berusia antara 6 sampai 8 bulan di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Indonesia. Pemeriksaan antrophometric berupa pengukuran tinggi badan dan berat badan dilakukan menggunakan WHO-Anthro 2005 untuk mendeteksi gagal tumbuh. Kadar hemoglobin diukur menggunakan metode HemoCue. Analisa statistik menggunakan spearman correlation test.
Hasil: Korelasi antara tinggi/umur Z-score sebagai indikator dari tumbuh dapat dilihat di penelitian ini (r:0.394, P<0.05). Selain itu, kita juga melihat korelasi antara berat/umur Z-score dengan kadar hemoglobin (r: 0.332, P<0.05). Tidak ada korelasi yang dapat kita lihat antara tinggi badan/berat badan Z-score dengan kadar hemoglobin (r:0.113, P>0.05).
Kesimpulan: Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa kadar hemoglobin berkorelasi dengan tinggi badan/umur sebagai indikator pertumbuhan kronik yang ada pada anak. Hal ini dimungkinkan dengan kerja IGF-I yang menghambat apoptosis dari sel hematopoetik. Perhatian yang lebih tinggi pada nutrisi anak sangatlah penting. Skrinning terhadap tingkat kadar hemoglobin dan juga menyusui harus dilakukan untuk mencegah anemia.

Introduction: Anemia in infant is a common nutritional problem in Indonesia. Stunting as a form of growth and development retardation that is associated with delayed cognitive development, decreased adult stature, decreased productivity and fewer years of schooling is important to be prevented in early age. Previous study found out that hemoglobin level has association with GH-IGF-I level which is important in growth process. This study aims to find out correlation between stunting and hemoglobin level among infants aged 6 to 8 months old.
Materials and Methods: A cross-sectional study was done on a total of 55 infants aged between six to eight months old at several clinics in Kampung Melayu, East jakarta-Indonesia. Anthropometric measurements of weight and height were done and analyzed using WHO-Anthro 2005 to detect stunting. Hemoglobin level was measured using hemoCue method. Statistical analysis was done using spearman correlation test.
Results: Correlation between height/age Z-score as an indicator of growth with hemoglobin level was observed in this study (r: 0.394, P<0.05). In addition, we also observed the correlation between weight/age Z-score with hemoglobin level (r: 0.332, P<0.05). No correlation was observed between weight/height Z-score with hemoglobin level. (r: 0.113, P>0.05).
Conclusion: The result of this study shows that hemoglobin level correlates with height/age Z-score which is a chronic growth indicator of infants. This is possible due to action of IGF-I which inhibits apoptosis of hematopoietic cells. Therefore, greater concern regarding nutrition, especially in infants is imperative. Steps such as hemoglobin level screening and breastfeeding must be done in order to prevent anemia which correlates with stunting.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deon Raditya Hibbattino
"Anemia merupakan salah satu sindrom yang menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling umum di dunia. Anemia dapat terjadi pada setiap orang termasuk remaja usia 13-18 tahun. Salah satu kelompok masyarakat yang rentan terhadap anemia adalah santri pondok pesantren. Masalah pola makan sering dijumpai sehingga dapat mempengaruhi status gizi santri tersebut. Penelitian ini merupakan studi cross sectional dengan menggunakan pengukuran indeks massa tubuh dan kadar hemoglobin dalam darah dari santri Pesantren Tapak Sunan tahun 2011. Pengukuran indeks massa tubuh dikonversi menjadi status gizi berdasar acuan standar antropometri penilaian status gizi anak Kementerian Kesehatan Indonesia, sedangkan kadar hemoglobin akan dikonversi menjadi status anemia menggunakan batasan anemia dari WHO. Dari penelitian didapatkan prevalensi anemia sebesar 25,5% dengan tingkat prevalensi pada status gizi baik sebesar 16% dan prevalensi anemia pada gizi lebih sebesar 9,5%. Data dianalisis dengan menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan nilai kemaknaan p=0,397. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara status gizi dengan terjadinya anemia pada santri pesantren tersebut.

Anaemia is a syndrome which occur wideworld and become one of the common health problem around the world. Everyone can suffer anaemia include adolescent aged at 13-18 years old. One of the society member whose at risk to develop anaemia is students of pesantren, they tend to ignore their needs include the needs to eat healthy food. This problem can influence their nutritional status. This study is a cross-sectional study using measurement of body mass index and the concentration of haemoglobin in blood from student of Pesantren Tapak Sunan in 2011. The measurement of body mass index will be converted to nutritional status based on anthropometric assessment of child nutrition standards of Indonesian Ministry of Health, while the concentration of haemoglobin in blood will be converted to anaemic status according to WHO cut-off point. Result show that 25.5% subjects with anaemia and 16% subjects with anaemia have good nutritional status while 9.5% subjects with anaemia have excess nutritional status. Data is analyzed with chi-square and obtained p=0.397 which means that the relationship between nutritional status and anaemia prevalence in the student of pesantren doesnt have a significant means.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrian Setiabakti
"Insiden terjadinya infeksi dari Necator americanus masih cukup tinggi, khususnya di negara berkembang. Komplikasi tersering dari infeksi geohelminth adalah anemia, dimana apabila terjadi pada anak-anak dalam jangka panjang akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan. Anak-anak adalah kelompok umur yang paling rentan terhadap infeksi parasit ini dikarenakan korelasi antara kebiasaan anak kecil dan metode penularan cacing ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara prevalensi infeksi N.americanus dan anemia pada anak sekolah di Nangapanda.
Penelitian ini dilakukan di desa Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 262 anak berusia 6-17 tahun berpartisipasi pada penelitian ini. Data personal anak dari tingkat SD dan SMP di Nangapanda diperoleh dengan mengisi kuesioner dan dikumpulkan 262 sampel darah dan tinja. Infeksi cacing ditentukan dengan metode RT-PCR dan status anemia ditentukan melalui pemeriksaan darah. Informasi yang didapat lalu diuji dengan metode chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infeksi N.americanus adalah 40.8% dan prevalensi anemia 9.9%. Uji statistik chi-square menunjukkan bahwa infeksi N.americanus bukan merupakan faktor yang cukup signifikan sebagai penyebab anemia (p =0.155).
Kesimpulan yang di dapat adalah tidak adannya korelasi antara infeksi N.americanus dan anemia pada anak sekolah di desa Nangapanda, kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

The prevalence of Necator americanus is still high, especially in developing country. The most common infection because of geohelminth infection is anemia, which in the long run can cause stunted growth on children. Children age group is the most prone age group towards this parasite infection due to its corelation between children habits with its mode of infection.
This research is done in Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. 262 children with age range between 6-17 years old participate in this research. Children personal data was obtained through questionnaire form and 262 sample of blood and stool are obtained. RT-PCR is use to detect the presence of helminth infection and anemia status is checked with blood test. The result is then analyzed using chi-square method.
Result of this research shows that the prevalence of N.americanus infection is 40.8% and the prevalence of anemia is 9.9%. Data analysis using chi-square shows that N.americanus infection is not a significant factor to cause anemia (p=0.155).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Rama Sulaiman
"Stunting merupakan kegagalan pertumbuah liner yang dilihat dari indikator tinggi badan terhadap usia jatuh dibawah persentil 5 (WHO). Prevalensi stunting di Indonesia (30,7%) tergolong dalam kategori High Severity (WHO). Stunting sebagai masalah gizi kronis dan multifaktorial memiliki banyak dampak antara lain peningkatan morbiditas, peningkatan mortalitas, gangguan fungsi metabolisme, komplikasi obstetrik saat hamil, gangguan perkembangan, dan penurunan produktivitas sosioekonomi. Salah satu yang menjadi faktor risiko adalah asupan nutrisi. Zat besi merupakan mikronutrien yang memiliki banyak fungsi bagi tubuh manusia termasuk dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Asupan zat besi yang tidak adekuat dapat menyebabkan anemia defisiensi zaat besi, peningkatan risiko infeksi, gangguan perkembangan kognitif, dan gangguan perilaku. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional dengan tujuan untuk mencari korelasi antara asupan zat besi dan indikator tinggi badan terhadap usia (TB/U). Penelitian ini menggunakan data sekunder (usia, tinggi badan dan asupan zat besi) dari penelitian primer pada anak usia 5-6 tahun yang tinggal di Jl. Kimia, Jakarta. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah tidak ada korelasi bermakna antara asupan zat besi dan indikator TB/U (p=0,964). Namun tidak ada hubungan bermakna antara kecukupan asupan zat besi harian (AKG 2012) dan angka kejadian stunting (p=0,719).

Stunting is linear growth failure that defined by WHO with low height for age indicator (percentile 5). Stunting prevalence in Indonesia (30,7%) categorized as High Severity (WHO). Stunting as chronic multifactorial nutritional problem has many effect such as increase the risk of morbidity, increase the risk of mortality, impaired metabolism function, obstetric complication in pregnant women, developmental disorder, and decrease in socioeconomic productivity. Stunting has many risk factor, and one of them is nutrional intake. Iron is micronutrient that has many function in human body such as in child growth and development. Inadequte iron intake can cause iron deficiency anemia, increase in risk of infection, cognitive development disorder, and behavioural disorder. This research use cross-sectional design with purpose to find correlation between iron intake and high for age indictator. This research use secondary data (age, height, iron intake) from primary research on child age 5-6 years that live in Kimia St., Jakarta. Result of this research is there is no significant correlation between iron intake and height for age indicator (p=0,964). This research also found out that there is no significant correlation between inadequate iron intake (AKG 2012) and stunting incidence (p= 0,719).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sopi Puji Astuti
"Remaja adalah seseorang yang berusia 10-19 tahun dari masa anak-anak menjadi masa dewasa yang mengalami banyak perubahan. Perubahan yang terjadi pada remaja yaitu perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Remaja putri belum dapat memilih makanan yang bergizi dan mengalami menstruasi setiap bulannya. Hal tersebut membuat remaja putri akan mengalami anemia gizi besi. Dampak anemia gizi besi tidak diatasi yaitu menurunnya kemampuan tubuh, menurunnya konsentrasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh, dan menghambat tumbuh kembang. Intervensi unggulan dalam mengatasi anemia gizi besi yaitu variasi menu makanan yang mengandung zat besi. Hasil evaluasi menunjukkan Ibu P mampu menyediakan variasi menu makanan yang mengandung zat besi bagi An W dalam mengatasi masalah anemia gizi besi.

Adolescent are a person aged 10-19 years from childhood into adulthood is undergoing many changes. Changes that occur in adolescence are physical changes, cognitive, and psychosocial. Adolescent have not been able to choose foods that are nutritious and menstruate every month. This makes young women will experience iron deficiency anemia. Impact of iron deficiency anemia is decreased ability of the body, decreasing the concentration of learning, immune deficiencies, and inhibit growth. Intervention featured in addressing iron deficiency anemia is a varied menu of foods that contain iron. The evaluation results showed Mrs. P is able to provide a varied menu of foods that contain iron for An W in addressing iron deficiency anemia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Rahmadi Ruslie
"Trichuris trichiura adalah soil-transmitted helminths (STH) yang umum ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dengan sanitasi yang buruk. Banyak anak-anak usia prasekolah dan sekolah tinggal di daerah dimana parasit ini secara intensif ditransmisikan, dan membutuhkan pengobatan dan intervensi pencegahan segera. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan prevalensi anemia pada anak-anak baik yang terinfeksi T. Trichiura maupun anak-anak yang tidak terinfeksi yang tinggal di daerah endemik desa Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai Juni 2010. Metode analisa feces yang digunakan adalah konsentrasi formol-ethyl asetat and analisa darah dengan menggunakan alat sysmex KX 21 untuk mengukur anemia. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional analitik. Data sekunder diperoleh dari Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jumlah peserta bertotal 262 anak.
Penelitian ini menunjukkan bahwa risiko terinfeksi Trichuris pada anak usia 12-14,99 tahun secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dalam kelompok usia 5-11,99. Namun, korelasi antara infeksi T.trichiura dan status anemia ditemukan tidak signifikan bahkan setelah disesuaikan dengan jenis kelamin dan usia anak. Pada kesimpulan, tidak ada hubungan yang signifikan antara infeksi trichiura Trichuris dengan status anemia peserta penelitian. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memperjelas adanya hubungan Trichuris trichiura dan anemia, beserta dengan jenis cacing lainnya.

Trichuris trichiura is a soil-transmitted helminth (STH) which is commonly found throughout the world, especially in tropical areas with poor sanitation. Many preschool-age children and school-age children live in areas where these parasites are intensively transmitted. The objective of this study was to determine the prevalence of anemia in T. trichiura infected children and non-infected children living in endemic area of Nangapanda village, Ende district, East Nusa Tenggara. The research was performed from May to June 2010. Formol-ethyl acetate concentration method was used to analyze the stool sample and blood analysis sysmex KX21 was used to measure anemia. This study used analytical cross sectional design. Secondary data was obtained from the Department of Parasitology, Faculty of Medicine University of Indonesia. Total participants were 262 children.
The risk of having Trichuris infection in children aged 12-14.99 years was significantly lower compared to those in the 5-11,99 age group. However, the relationship between T. trichiura infection and anemia status was not significant even after adjusted to age and gender. In conclusion, there were no significant relationship between T. trichiura infection with the anemia status of the participants. Further study by using cohort design should made to elucidate the relationship between Trichuris trichiura and anemia, including other types of helminthes as well.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faizah Khusnayain Wijayanti
"Anemia merupakan suatu masalah bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pada anak-anak, anemia telah diketahui berdampak pada perkembangan kognitif dan keterlambatan pertumbuhan. Pertumbuhan anak yang terhambat berdasarkan tolak ukur usia sebagai dampak dari anemia disebut stunting. Istilah risiko stunting dalam penelitian ini mengacu kepada HAZ score berdasarkan standar dari NCHS yakni antara -1,1 hingga -2. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dan melibatkan seluruh populasi terjangkau (total sampling) pada anak usia 3-9 tahun di pesantren Tapak Sunan Condet pada tahun 2011. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui prevalensi anemia dan hubungannya dengan risiko stunting. Dari penelitian ini didapatkan data hasil pengukuran tinggi badan, tanggal lahir untuk menentukan usia, dan kadar hemoglobin. Hasilnya, 13 (26%) anak menderita anemia dan 1 dari 13 penderita anemia terkena risiko stunting. Hasil analisis statistik chi-square menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara anemia dengan risiko stunting (p=0,962).

Anemia has been known as one of the worst health problems in develop country, such as Indonesia. Based on study, anemia has impact on children’ cognitive development and growth failure. Children growth failure related age is called stunting. The term of mild stunting is derivated from HAZ score based of NCHS standard which is between -1,1 to -2. This study, which use cross sectional design and included 50 children aged 3 to 9 years old, was held in Pesantren Tapak Sunan in 2011. This study has goal which are to determine the prevalence of anemia and its association with mild stunting. This study use data of height of the children, their date of birth to determine thier age, and hemoglobin levels. The result, 13 (26%) children was known suffering anemia and 1 of 13 of them was in mild stunted. The result of statistic analyze used chi-square showed there was no association between anemia and mild stunting (p=0,962).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Finka Reztya Sutanto
"Anemia pada balita di Indonesia masih tergolong cukup tinggi diantara Negara di wilayah Asia dengan hasil yang tidak mengalami perubahan selama 6 tahun (tahun 2007-2016). Berbagai penelitian menunjukkan prevalensi anemia balita pada wilayah pedesaan ditemukan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Ibu merupakan pintu terdepan dalam pemenuhan kebutuhan zat gizi balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor ibu dengan kejadian anemia pada balita umur 12-59 bulan. Penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas 2013, jumlah sampel penelitian 986 balita dan analisis data menggunakan regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor ibu yang menentukan kejadian anemia pada balita umur 12-59 bulan di wilayah perkotaan adalah sosial ekonomi sedangkan di wilayah pedesaan tidak ada faktor ibu yang dapat menentukan kejadian anemia pada balita umur 12-59 bulan. Disarankan kepada pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan untuk mengadakan edukasi kepada ibu rumah tangga, kader dan petugas kesehatan untuk mendeteksi gejala awal anemia dan pemanfaatan sumber dana keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi balita.

In Indonesia, anemia among preschool children under five years old is still quite high among countries in region Asia with the result that has not changed for 6 years (2007-2016). Various studies show that prevalence of anemia among preschool children in rural areas is higher than in urban areas. Mother is a main people to fulfillment of nutritional substances of preschool children. The purpose of this study is to determine the relationship of maternal factors with the incidence of anemia in infants aged 12 – 59 months. This study uses secondary data Riskesdas 2013, with total sample of 986 preschool children and data analysis using multiple logistic regression. The results show that the maternal factors that determine the incidence of anemia among preschool children in urban areas is the social economy while in rural areas there is no maternal factors that may determine the incidence of anemia among preschool children. The study suggest to the Government especially the Ministry of Health to conduct education to mothers of preschool children, framework and health officials to detect early symptoms of anemia and utilization of family funds to fulfill nutritonal needs of infants."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Akbar
" ABSTRAK
Latar Belakang: Thalassemia merupakan hemoglobinopati herediter yang menyebabkan anemia kronis, sehingga pasien membutuhkan transfusi darah secara rutin yang dapat menyebabkan kelebihan besi. Kelebihan besi dapat memicu beberapa komplikasi, salah satunya adalah gangguan pertumbuhan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin dan profil besi dengan gangguan pertumbuhan pada pasien thalassemia. Metode: Studi cross-sectional pada 102 pasien thalassemia di Pusat Thalassemia RSCM Jakarta. Hasil: Empat puluh lima 44,1 subjek adalah perempuan dan 57 55,9 subjek adalah lelaki dengan rentang usia 9-14 tahun. Tiga puluh sembilan 38,2 subjek memiliki perawakan pendek dan 63 61,8 subjek memiliki perawakan normal. Nilai median kadar feritin serum pada pasien perawakan pendek adalah 2062 318-8963 ng/mL dan pada pasien perawakan normal adalah 3315 422,9-12269 ng/mL p.

ABSTRACT
Background Thalassemia is a hereditary hemoglobinopathy which causes chronic anemia, thus the patients need regular blood transfusion which can cause iron overload. It leads to some complications, one of them is growth retardation. Aim To determine the association between hemoglobin level and iron profile with growth retardation on thalassemia patients. Methods cross sectional study on 102 patients in Thalassemia Center of RSCM Jakarta. Results Forty five 44.1 subjects are girls and 57 55.9 subjects are boys. Their age range was 9 14 years old. Thirty nine 38.2 subjects had short stature and 63 61.8 subjects had normal stature. Median of serum ferritin level in the short stature patients was 2062 318 8963 ng mL and normal stature was 3315 422.9 12269 ng mL p 0.001 . Median of transferrin saturation in the short stature patients was 88 19 100 and normal stature was 83 35 100 p 0.94 . Mean of pra transfusion hemoglobin level in the short stature patients was 8.14 SD 0.93 g dL and normal stature was 8.07 SD 0.86 g dL p 0.68 . Conclusion there is a significant association between serum ferritin level and growth retardation, but there is no significant association between transferrin saturation and pra transfusion hemoglobin level with growth retardation."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library