Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cut Yasmin
"Latar Belakang : Proses pematangan sperma terjadi karena adanya interaksi antara sel sperma dan protein yang disekresikan oleh sel epitel yang melapisi saluran epididimis, sehingga menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada membran spermatozoa. Sekresi protein pada saluran epididimis ditentukan oleh gen-gen yang diekspresikan secara spesifik di region tertentu misalnya pada region initial segmen, caput, corpus atau cauda sehingga pada masing-masing segmen terbentuk lingkungan spesifik (microenvironment) yang diperlukan untuk proses pematangan sperma. Gen yang menyandi protein yang terlibat dalam proses pematangan sperma diekspresikan secara spesifik pada epididimis dan ekspresinya diregulasi oleh androgen. Salah satu gen yang diduga berperan dalam proses pematangan sperma adalah gen Serpina1f. Berdasarkan urutan asam amino, Serpina1f dianggap sebagai anggota baru dari keluarga serpin dengan fungsi putatif sebagai serin protease inhibitor. Karakterisasi Serpina1f pada organ reproduksi pria khususnya epididimis dapat memberikan petunjuk mengenai perannya dalam proses pematangan sperma.
Tujuan : Mengkarakterisasi gen Serpina1f di epididimis mencit.
Desain : Penelitian ini menggunakan analisis bioinformatika dan eksperimental
Metode : Struktur gen, batas ekson-intron dan domain fungsional serta deteksi signal peptide pada Serpina1f dilakukan analisis bioinformatika. Untuk menganalisis ekspresi SERPINA1F tingkat protein dilakukan western imunoblotting, sedangkan untuk mengetahui lokasi protein SERPINA1F dilakukan imunohistokimia dan imunositokimia.
Hasil : SERPINA1F merupakan anggota family SERPIN. Berdasarkan analisis Signal peptide, SERPINA1F merupakan protein sekretori. Hasil imunohistokimia pada jaringan epididimis mencit menunjukkan adanya reaksi antibodi dengan terwarnainya nukleus dan sitoplasma pada sel epitel initial segment dan caput. Sedangkan pada corpus dan cauda SERPINA1F terdeteksi hanya pada sitoplasma. Hasil analisis western imunoblotting dan imunositokimia pada protein sperma menunjukkan adanya asosiasi SERPINA1F dengan spermatozoa dan terdapat di seluruh bagian spermatozoa.
Kesimpulan : SERPINA1F memiliki signal peptide pada asam amino 1 - 27 dan termasuk protein sekretori. Berdasarkan urutan asam aminonya, SERPINA1F yang termasuk famili SERPIN. Protein SERPINA1F diekspresikan di sel epitel initial segment, caput, corpus dan cauda. SERPINA1F berasosiasi dengan spermatozoa dan terdapat pada seluruh bagian spermatozoa.

Background: Sperm maturation occur due to the interaction between the sperm cell and the proteins secreted by the epithelial cells lining the epididymis duct, causing morphological and biochemical changes in the sperm membrane. The secretion of proteins in epididymis duct is determined by genes that are expressed specifically in certain regions, for example in the region of the initial segment, caput, corpus or cauda that each segment forms microenvironment that is required for sperm maturation process. Genes that encode proteins involved in the process of sperm maturation in the epididymis specifically expressed and its expression is regulated by androgens. One of the genes thought to play a role in sperm maturation process is Serpina1f. Based on the amino acid sequence, Serpina1f considered as a new member of the serpin family with putative functions as a serine protease inhibitor. Characterization Serpina1f on male reproductive organs, especially the epididymis may provide a clue as to its role in sperm maturation process.
Objective: To characterize Serpina1f in the epididymis of mice.
Design: This study used a bioinformatics analysis and experimental.
Methods: Bioinformatics analysis were used to know gene structure, exon-intron boundaries and functional domains as well as the detection of signal peptide on Serpina1f. To analyze protein expression levels SERPINA1F performed western immunoblotting, whereas for the location of the protein immunohistochemistry and immunocytochemistry SERPINA1F done.
Results: SERPINA1F a member of the serpin family. Based on the analysis of signal peptide, a protein secretory SERPINA1F. The results of immunohistochemistry on epididymis tissue of mice showed an antibody reaction with colored nucleus and cytoplasm in epithelial cells of the initial segment and caput. While SERPINA1F detected only in the cytoplasm corpus and cauda. The results of western imunoblotting analysis and immunocytochemistry showed SERPINA1F associated with spermatozoa and found in all parts of the spermatozoa.
Conclusion: SERPINA1F has a signal peptide at amino acids 1-27 and include secretory proteins. Based on their amino acid sequence, which includes SERPINA1F serpin family. The protein is expressed in epithelial cells SERPINA1F initial segment, caput, corpus and cauda. SERPINA1F associated with spermatozoa and found on all parts."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Saat ini wanita sudah mempunyai kesempatan untuk bekerja
diluar rumah, baik yang bertujuan ekonomis ataupun untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya. Tetapi di lain pihak
wanita tetap dituntut untuk sukses dalam rumah tangga. Artinya
wanita dituntut untuk berperan ganda, sebagai wanita bekerja yang
sekaligus pula sebagai ibu rumah tangga. Bagaimana dengan para
ayah/suami saat ini ?
Dengan bekerjanya ibu/istri, para suami seharusnya ikut
turun 'tangan dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Pada
kenyataannya, para suami tampaknya tidak menambah waktunya untuk
bekerja di rumah. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk
meneliti tingkah laku para ayah/suami dalam mengerjakan pekerjaan
rumah tangga.
Dalam konsep tradisional, sudah ada pembagian kerja antara
wanita dan pria, dimana pembagian tersebut sudah tidak perlu lagi
ditegaskan. Tiap individu akan bertingkah laku sesuai dengan
peran jenis kélamin yang telah dibentuk oleh masyarakat.
Kebalikan dari konsep tradisional adalah konsep androgini, dimana
individu dapat bebas menentukan perilakunya tanpa terikat pada
peran jenis kelamin. Dengan demikian individu dapat
mengembangkan potensinya secara optimal.
Remaja sebagai anggota keluarga, secara teoritis akan
mengidentifikasikan diri dengan tokoh yang paling penting dalam
hidupnya. Ayah sangat. memegang peranan penting dalam proses
identifikasi ini. Dengan keadaan itu, penulis ingin melihat
huhungan antara sikap remaja terhadap penerapan konsep androgini
dengan tingkah laku ayah dalam mengerjakan pekerjaan rumah
tangga.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
skala sikap, kuesioner data pribadi/data kontrol dan kuesioner
pembagian tugas rumah tangga. Dan subyek yang dipilih adalah
ayah dengan remaja putranya yang telah memasuki tahap remaja
akhir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap remaja cenderung
negatif terhadap penerapan konsep androgini dalam mengerjakan
pekerjaan rumah tangga. Dan tingkah laku ayah juga cenderung non
androginious dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Walaupun
antara sikap dan tingkah laku ayah sejalan, tetapi tidak
ditemukan hubungan yang signifikan antara keduanya. Hal tersebut
mungkin terjadi karena alat yang kurang dapat memberi skor secara
lebih halus atau remaja tidak hanya dipengaruhi oleh ayahnya saja
dalam proses belajar konsep androgini, tetapi juga oleh
lingkungan di sekitarnya atau masyarakat luas yang masih memegang
konsep non androgini dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Untuk penelitian selanjutnya, diperlukan alat yang dapat
memberi skor lebih terinci sehingga dapat membedakan individu
yang androgini dan non androgini."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1993
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Stefanus Raditya
"ABSTRAK
Salah satu kendala yang dihadapi manusia saat ini adalah pertambahan penduduk yang tidak terkendali yang menimbulkan banyak masalah baru di berbagai aspek kehidupan. Oleh sebab itu, pengendalian pertumbuhan penduduk harus dilakukan dengan berbagai metode kontrasepsi. Pengembangan kontrasepsi pria non-hormonal dengan menghambat proses pematangan sperma di epididimis menjadi hal yang menjanjikan. Sayangnya, gen yang berperan di dalam proses pematangan sperma di epididimis masih belum banyak dipelajari. Kami menganalisis beberapa kandidat gen yang diekspresikan di epididimis, salah satunya adalah Defensin Beta-42 (Defb42). Beberapa langkah metode yang kami lakukan adalah isolasi epididimis dan ekstraksi RNA, analisis bioinformatika, dan real-time Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) untuk menganalisa ketergantungan ekspresi terhadap androgen dari gen Defb42 karena pematangan sperma bergantung pada androgen. Selain itu, proses pematangan sperma juga terjadi akibat interaksi antara sperma dan protein yang disekresikan oleh epitel epididimis. Oleh sebab itu, peptida sinyal harus dianalisis juga untuk mengecek apabila gen ini adalah protein sekretori. Hasilnya adalah gen ini diregulasi oleh androgen dan memiliki peptida sinyal. Hal ini membuat gen Defb42 menjadi kandidat gen yang menjanjikan untuk diteliti lebih lanjut dalam upaya pengembangan kontrasepsi non-hormonal pada pria.

ABSTRACT
One of the problem nowadays is the uncontrolled population growth. This raises many other problems in every aspect of life. Therefore, the population growth must be controlled with many types of contraceptive agents. The development of male non-hormonal contraceptive agent by inhibiting the sperm maturation process in epididymis seems to be promising. We analyzed several candidates of gene which are expressed in epididymis; one of them is Defensin Beta-42 (Defb42) gene. Several method we conducted in this research are epididymis isolation and RNA extraction, bioinformatics analysis, and real time Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) to analyze the expression dependency towards androgen of Defb42 gene because the sperm maturation is androgen-dependent process. Besides, the sperm maturation process occurs due to the interaction between sperm and protein secreted by epididymal epithelium. Therefore, the signal peptide has to be analyzed to confirm whether the candidate gene is a secretory protein. The results are this gene is regulated by androgen and has signal peptide properties. Therefore we can conclude that the gene is promising to be studied further in effort to develop male non-hormonal contraceptive agent."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S70359
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meidika Dara Rizki
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pematangan spermatozoa di epididimis terjadi melalui interaksi antara spermatozoa dengan protein yang disekresikan oleh sel epitel yang melapisi duktus epididimis. Sekresi protein tersebut menciptakan microenvironment yang diregulasi oleh gen-gen tertentu. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa gen yang terlibat dalam pematangan spermatozoa pada umumnya terekspresi secara spesifik di epididimis dan dipengaruhi oleh androgen. Spink2 merupakan salah satu gen yang terekspresi di epididimis, namun regulasi ekspresinya masih belum diketahui. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi ekspresi dan regulasi gen Spink2 pada epididimis mencit jantan.Metode: Analisis secara in silico digunakan untuk mengetahui struktur gen dan prediksi sinyal peptida, serta domain fungsional gen Spink2. Quantitative real-time RT-PCR digunakan dalam mengukur ekspresi relatif gen Spink2 pada analisis spesifisitas jaringan, ketergantungan terhadap androgen dan faktor testikuler, serta post-natal development.Hasil: Spink2 termasuk dalam famili serine protease inhibitor yang ditandai dengan adanya domain Kazal type 2. Analisis signal peptide menunjukkan bahwa Spink2 merupakan protein sekretori. Spink2 terekspresi di testis dan epididimis, dengan ekspresi tertinggi berada di kaput epididimis. Ekspresi Spink2 pada mencit yang digonadektomi mengalami peningkatan setelah 6 jam, kemudian menurun mulai dari hari ke-1 hingga hari ke-5. Pemberian testosteron mampu mempertahankan ekspresi Spink2 pada 3 dan 5 hari setelah gonadektomi. Selain itu, pada analisis pengaruh faktor testikuler, ekspresi Spink2 menunjukkan adanya regulasi dari faktor testikuler pada semua kelompok setelah dilakukan efferent duct ligation EDL . Spink2 menujukkan regulasi post-natal yakni mulai terekspresi pada umur mendekati 22 hari.Kesimpulan: SPINK2 merupakan protein sekretori yang terekspresi pada kaput epididimis, serta diregulasi oleh androgen dan faktor testikuler. Spink2 tidak terekspresi secara konstitutif. Berdasarkan data tersebut Spink2 sangat berpotensi terlibat dalam proses pematangan spermatozoa di epididimis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi potensi tersebut.

ABSTRACT
Background Sperm maturation in the epididymis occurs through interactions between sperm and proteins secreted by epithelium cells lining the epididymal duct. The secretion of these proteins creates a microenvironment that is regulated by certain genes. Previous studies showed that genes which are involved in sperm maturation process are expressed specifically in the epididymis and regulated by androgen. Spink2 is one of the epididymal genes, but the regulation of its expression is still unknown. Therefore, this study was aimed to characterize Spink2 expression and its regulation in the mouse epididymis.Method s In silico analysis was performed to determine the gene structure and identify the signal peptide, as well as the functional domain of Spink2. Quantitative real time RT PCR was performed to measure relative expression of Spink2 in the analyses of the tissue specificity, androgen dependency, testicular factor and post natal development.Result s Spink2 belongs to the serine protease inhibitor family which is characterized by the presence of Kazal type 2 domain. Signal peptide analysis showed that Spink2 amino acid sequence contains a signal peptide, indicating Spink2 is a secretory protein. Spink2 was expressed specifically in the testis and epididymis, with the highest level of its expression was in the epididymal caput. Spink2 expression increased after six hours and started to decrease on day 1 throughout day 5. Interestingly, administration of exogenous testosterone was able to maintain expression at the physiological level. In addition, Spink2 was slightly affected by testicular factors. During post natal development, Spink2 start to be expressed at day 22 before increased dramatically throughout day 60.Conclusion s Spink2 is a secretory protein that is expressed in caput region of the mouse epididymis and regulated by androgen. Spink2 is not constitutively expressed throughout development. Based on our data, may be involved in epididiymal sperm maturation process. Further studies are required to confirm its role. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andira Hardjodipuro
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) merupakan penyebab kebotakan rambut yang paling sering ditemui dan mengganggu kualitas hidup. Meskipun AAG tidak mengancam nyawa, namun berbagai studi menunjukkan bahwa AAG tidak hanya dianggap sebagai penyakit kulit/estetik semata namun berkaitan dengan kondisi-kondisi sistemik, salah satunya adalah sindrom metabolik (SM). Beberapa studi menunjukkan juga bahwa pola kebotakan pada AAG memiliki risiko yang berbeda terhadap penyakit tertentu. Penelitian ini bertujuan hubungan antara pola kebotakan AAG tipe verteks dan tipe frontal terhadap SM.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang yang dilakukan terhadap 24 laki-laki dengan AAG tipe verteks dan 24 laki-laki dengan AAG tipe frontal. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis AAG berdasarkan skala Norwood-Hamilton, serta dilakukan pengambilan foto, pemeriksaan trikoskopi, TrichoScan® pada masing-masing subjek penelitian. Sindrom metabolik ditegakkan berdasarkan kriteria National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel (ATP) III melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium darah vena.
Hasil: Prevalensi SM pada kelompok AAG tipe verteks adalah sebesar 37,5%, sedangkan pada tipe frontal sebesar 20,8%. Tidak didapatkan hubungan antara SM dengan AAG tipe verteks ataupun tipe frontal (p = 0,341). Pada kelompok AAG tipe verteks didapatkan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok AAG tipe frontal (p = 0,043). Tidak ada perbedaan bermakna gambaran trikoskopi ataupun TrichoScan® antara AAG tipe verteks dan tipe frontal.
Kesimpulan: Prevalensi SM pada kelompok AAG tipe verteks lebih besar dibandingkan pada kelompok AAG tipe frontal. Tidak ada hubungan bermakna antara pola kebotakan AAG dengan SM. Tidak ada hubungan bermakna gambaran trikoskopi dan TrichoScan® antara kelompok AAG tipe verteks dengan tipe frontal.

Background: Androgenetic alopecia (AAG) is the most common cause of hair loss, impacting quality of life. Although AAG is not life-threatening, various studies indicate that it is not merely a cosmetic skin condition but is associated with specific systemic conditions, including metabolic syndrome (MS). Some studies also suggest that the pattern of baldness in AAG poses varying risks for specific diseases. This research aims to explore the relationship between AAG vertex and frontal patterns of baldness and metabolic syndrome.
Methods: This study adopts a cross-sectional design involving 24 males with vertex AAG and 24 males with frontal AAG. Anamnesis and physical examinations were conducted to diagnose AAG using the Norwood-Hamilton scale. Each subject underwent photography, trichoscopy, and TrichoScan®, examination. Metabolic syndrome diagnosis followed the National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III) criteria through physical examination and venous blood laboratory tests.
Results: The prevalence of metabolic syndrome in the AAG vertex group is 37.5%, whereas in the frontal group, it is 20.8%. No significant relationship was found between metabolic syndrome and AAG vertex or frontal types (p = 0.341). The AAG vertex group showed a significantly higher prevalence of hypertension than the frontal group (p = 0.043). There were no significant differences in trichoscopy or TrichoScan®¸ findings between AAG vertex and frontal types.
Conclusion: The prevalence of metabolic syndrome is higher in the AAG vertex group compared to the AAG frontal group. There is no significant association between metabolic syndrome and the pattern of AAG baldness. Additionally, there is no significant difference in trichoscopy and TrichoScan®¸ findings between AAG vertex and frontal groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willi Irawan
"ABSTRAK
Terapi Androgen Deprivation Therapy (ADT) adalah salah satu tatalaksana untuk pasien dengan kanker prostat stadium lanjut yang berhubungan dengan adanya perubahan dari komposisi masa tubuh dan mencetuskan adanya resistensi dari insulin perifer. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik, Medan sejak Juni 2014 hingga Juni 2015. Terapi ADT menyebabkan peningkatan secara signifikan sebelum dan 6 bulan sesudah pemberian kadar gula darah post prandial 121.12 21 mg/mL vs 134.64 33.35 mg/mL, p-value=0.011 dan Glycosylated hemoglobin HbA1C 5 0.5 vs 5.5 0.79 , p-value = 0.000 . Pemberian ADT selama 3 sampai 6 bulan juga secara signifikan meningkatkan kadar Trigliserida TG 104.4 38.67 vs 131.2 32.27 vs 127 33.43, p-value = 0.005 .

ABSTRACT
Therapy ADT is one of the treatments in patients with advanced prostate cancer in which has been linked to the changes in body mass composition and induction of insulin peripheral resistance in many studies. This research was conducted at Dr H. Adam Malik, Medan from June 2014 to June 2015. ADT administration is found to cause a significant elevation of 2 hour postprandial blood glucose 121.12 21 mg mL vs 134.64 33.35 mg mL, p value 0.011 and Glycosylated hemoglobin 5 0.5 vs 5.5 0.79 , p value 0.000 HbA1c after 6 months of therapy. Additionally, ADT administration within 3 and 6 months of duration had also significantly increased triglyceride TG level when compared to before treatment 104.4 38.67 vs 131.2 32.27 vs 127 33.43 respectively, P value 0.005 ."
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library