Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sanjaya Normansah
"Latar belakang: Kejadian pada manajemen jalan napas yang sulit sebesar 0,86%. Sebesar 0,07% kejadian membutuhkan tindakan bedah darurat, sebesar 0,04% merupakan kejadian ‘tidak bisa intubasi tidak bisa ventilasi’. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut diantaranya skor LEMON, ketinggian meja operasi, posisi kepala pasien, pemilihan bilah laringoskop dan teknik serta pengalaman pelaku intubasi. Pada penelitian ini. ketinggian meja operasi yang digunakan adalah setinggi umbilikus dan xyphoid pelaku intubasi. Kebiasaan residen pemula di RSCM adalah mengambil posisi awal dan melakukan intubasi dengan posisi meja setinggi umbilikus dan hal ini kadang memberikan kesulitan visualisasi dan intubasi. Sedangkan ketinggian meja operasi yang dapat menghasilkan kualitas visualisasi laring yang baik adalah mendekati setinggi xyphoid pelaku intubasi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan (preliminary study) dengan uji klinis randomized clinical trial dengan Open Trial. Pengambilan data penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat, CCC, dan Kirana RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Oktober sampai Desember 2021. Intubasi dilakukan oleh residen Anestesiologi dan Terapi Intensif minimal tahap III. Populasi subjek adalah pasien yang akan menjalani pembedahan elektif dengan pembiusan total dan menggunakan ETT.
Hasil: Visualisasi laring cenderung lebih baik pada kelompok ketinggian meja operasi xyphoid. Perbandingan waktu intubasi antara ketinggian meja operasi umbilikus dan xyphoid memiliki perbedaan yang signifikan. Pelaku intubasi pada studi ini menilai ketinggian meja operasi xyphoid memiliki kenyamanan yang lebih baik dalam melakukan tindakan intubasi.
Kesimpulan: Ketinggian meja operasi xyphoid memberikan visualisasi laring, waktu intubasi dan kenyamanan yang lebih baik dibandingkan ketinggian meja operasi umbilikus.

Background: The incidence of difficult airway management was 0,86%. The 0,07% need surgical emergencies, 0,04% were ‘can’t intubate can’t ventilate’ incidence. Factors that influence this include LEMON score, the height of the operating table, patients head position, selection of the laryngoscope blade and technique and experience of the intubation operator. From this study, the height of the operating table used was at the level of umbilicus and xyphoid of the operator. The resident habit at RSCM was to take the initial position and intubate at the level of the umbilicus, this sometimes makes difficulty in visualization and intubation. Meanwhile, the height of the operating table that can help good visualization quality was close to the xyphoid position of the operator.
Methods: This study was a preliminary study with open trial randomized clinical trial. research data collection was carried out at the Central Surgical Installation, CCC and Kirana RSUPN Cipto Mangunkusumo from October to December 2021. Intubation was carried out by an Anesthesiology and Intensive Therapy resident at least stage III. The subject population was patients who undergo elective surgery under general anesthesia and using ETT.
Results: Laryngeal visualization tends to be better in the xyphoid operating table height group. Comparison of intubation time between the height level of umbilical and xyphoid operating table has a significant difference. Intubation operator in this study assessed that the height of the xyphoid operating table had better comfort in performing intubation procedures.
Conclusion: The xyphoid level of operating table height has better laryngeal visualization, intubation time and comfort than the umbilicus level of operating table height.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Sonata Miguna
"Latar Belakang: Tatalaksana kegawatdaruratan jalan napas pada populasi pediatrik dapat menyebabkan kejadian katastrofik kasus tersebut tidak ditangani dengan baik. Neonates- children study of anaesthesia practice in Europe melaporkan adanya 5.8% kasus sulit intubasi pada populasi neonatus dan bayi, di mana dua per tiga diantara kasus tersebut merupakan kasus sulit jalan napas yang tidak terprediksi sebelumnya. Adanya tim tatalaksana jalan napas yang terlatih dapat menjadi jawaban terhadap masalah ini karena tim telah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menangani kasus tatalaksana jalan napas pediatrik.
Tujuan: Menilai efektivitas pelatihan dan simulasi berkala dalam meningkatkan performa tim interprofesional sebelum dan setelah menjalani pelatihan dan simulasi berkala dalam tatalaksana pasien pediatrik dengan jalan napas sulit
Metode: Dua puluh empat residen telinga hidung dan tenggorokan, ilmu kesehatan anak, dan anestesi mengikuti empat modul pembelajaran dan dua sesi pelatihan keterampilan berupa pelatihan task training, dan simulasi kasus kritis menggunakan manikin high fidelity. Skenario simulasi disesuaikan dengan kasus klinis dan kemudian dilakukan debriefing pasca simulasi. Evaluasi kognitif dan keterampilan secara individual dan penilaian non-technical skills pada simulasi dinilai menggunakan daftar tilik yang sudah divaluasi kemudian hasil dianalisis secara statistik.
Hasil: Secara keseluruhan didapatkan peningkatan nilai yang signifikan antara penilaian kognitif pre-test dan post-test untuk semua modul pelatihan (p<0.05). Non-technicall skills yang dinilai saat simulasi kelompok menggunakan manikin high fidelity manikin juga menunjukkan peningkatan nilai yang signifikan dengan nilai p 0.028. Nilai keterampilan intubasi secara personal menunjukkan adanya penurunan nilai meskipun tidak signifikan secara statistik
Simpulan: Pelatihan dan simulasi berkala pada penelitian ini adalah salah satu metode yang efektif untuk pengajaran tatalaksana jalan napas dan keterampilan non technical skills bagi residen telinga hidung dan tenggorokan, ilmu kesehatan anak, dan anestesi

Background: Pediatric airway emergency might cause a catastrophic event if the responders do not understand well how to handle the case. Neonates- children study of anaesthesia practice in Europe reported 5.8% cases of difficult intubation in neonates and babies, where two thirds of the cases serve as an unpredicted case. A well developed airway team might be the anwer to those problem because they are trained and obligated to have the skills and knowlegde before managing the case
Objectives: To assess the effectivity of a well developed simulation based longitudinal curriculum method to increase knowlegdge and practical skills especially interprofessional interaction in managing pediatric difficult airway cases
Materials and Methods: Twenty-four residents from otolaringology, pediatrics, and anesthesiology participated in four modules and two simulation-based training session using task trainers, and crisis scenarios using high fidelity manikin. Scenarios were based on various clinical settings and were followed by video-assisted structured debriefings. Individual cognitive and skill assessment, and non-technical skills during team simulation were assessed using validated checklist then analyzed statistically
Result: Overall, there is statistically significant improvement between the pre-test and post-test knowledge for all airway module (p<0.05 for all). Non-technicall skills during repeated team simulation with high fidelity manikin also show significant improvement with p-value 0.028. As for personal intubation skills, the result shows score reduction three months after the first traning.
Conclusion: A longitudinal simulation-based medical curriculum can be an effective method to teach airway management and non-technical skills to otolaryngology, pediatrics, and anesthesiology residents.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library