Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyahris Koentartiwi
"Latar belakang: Hipertensi paru (HP) merupakan penyulit yang sering terjadi pada anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB) lesi pirau kiri ke kanan. Penatalaksanaan HP yang reversibel adalah tindakan korektif terhadap PJB. Morbiditas dan mortalitas HP pasca-tindakan korektif cukup tinggi. Penggunaan vasodilator oral (sildenafil) dikatakan bermanfaat untuk menurunkan tekanan arteri pulmonalis pasca-tindakan korektif.
Tujuan: menganalisis perbedaan tekanan arteri pulmonalis serta luaran klinis antara kelompok sildenafil dan kelompok placebo, pada pasien HP akibat PJB, yang telah mendapat tindakan korektif.
Metodologi: Pasien PJB pirau kiri ke kanan usia < 18 tahun yang direncanakan dilakukan tindakan korektif, dirandomisasi secara acak ganda ke dalam kelompok sildenafil atau plasebo. Sildenafil diberikan per-oral dengan dosis berdasarkan berat badan, diberikan 3 hari pasca-tindakan selama 30 hari. Pemeriksaan klinis dan tekanan arteri pulmonalis yang dianalisis dengan ekokardiografi dilakukan sebelum, 3 hari, serta 30 hari pasca-tindakan korektif.
Hasil: Selama periode Juli 2013 - Juni 2014 terdapat 36 pasien yang direkrut (17 plasebo dan 19 sildenafil). Tidak ada perbedaan tekanan arteri pulmonalis pasca-tindakan korektif dan 30 hari pasca-perlakuan pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada luaran klinis pasca-tindakan korektif antara kedua kelompok. Tidak dijumpai reaksi samping obat.
Simpulan: Sildenafil tidak memengaruhi penurunan tekanan arteri pulmonalis pasca-tindakan korektif, disebabkan HP akibat hiperkinetik yang turun karena penutupan defek.

Background. Pulmonary hypertension (PH) was a common complication congenital heart defect (CHD) due to left to right shunt. Corrective procedure by surgery or catheterization intervention is the therapy of choice for reversible PH. Since morbidity and mortality of PH after correction was high, Sildenafil as a selective vasodilator for pulmonary artery was used in many recent studies to decrease pulmonary artery pressure.
Objectives. To evaluate the role of sildenafil in pulmonary artery pressure and clinical outcome after corrective procedure of left to right shunt CHD.
Methods. Left to right shunt patients aged < 18 year-old were scheduled for corrective treatment were randomized, double-blind, to receive either sildenafil or placebo orally, given day 3rd to day 30th after corrective procedure. Clinical and pulmonary artery pressure were evaluate using echocardiography before, 3 days and 30 days after corrective procedure and receiving the drug.
Results. During July 2013 - June 2014, 36 patients were included, 17 in placebo and 19 in the sildenafil groups. There was no differences in pulmonary artery pressure and clinical outcome after corrective procedure in the two groups. There were no adverse events during the treatment.
Conclusion. Sildenafil seems has no effect for decreasing pulmonary artery pressure since the PH was due to hyperkinetic, therefore, pulmonary artery pressure is back to normal soon after corrective procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Veny Kartika Yantie
"Latar Belakang: Saat ini masih terdapat perdebatan mengenai usia terbaik untuk dilakukan koreksi total pada tetralogi Fallot (TF). Koreksi lebih dini mempunyai keuntungan serta kerugian. Koreksi total TF saat usia yang terlambat dapat mengakibatkan disfungsi ventrikel kanan dan terkadang disfungsi ventrikel kiri. Parameter disfungsi ventrikel yaitu TAPSE, MPI, franksi ejeksi.
Tujuan: Untuk mengevaluasi durasi QRS, TAPSE, dan lama rawat ICU pasien TF yang dilakukan koreksi total ≤ 3 tahun lebih panjang dibandingkan koreksi total pada usia > 3 tahun.
Metode: Studi kohort retrospektif pada subjek pasien anak dan dewasa yang menjalani koreksi total, minimum pemantauan 6 bulan pasca-koreksi total. Analisis data menggunakan Mann Whitney U Test serta uji Chi square.
Hasil: Sebanyak 358 pasien TF telah menjalani koreksi total sejak 1 januari 2007 sampai 31 Juni 2013 dan sebanyak 52 subjek (18 subjek pada usia koreksi < 3 tahun dan 34 subjek dengan usia koreksi > 3 tahun) dengan median rentang lama pemantauan 24,5 dan 30 bulan. Rentang usia pada kelompok koreksi ≤ 3 tahun 1,8 (0,7-3) tahun dan kelompok koreksi > 3 tahun 5,2 (3,1-25,5) tahun. Rerata waktu PJP 79,1 (27,5) menit dibanding 78,8 (28,7) menit dan rerata aortic cross clamp 35,6 (13,2) dibanding 34,7 (19,1) menit tidak bermakna pada kedua kelompok. Penggunaan ventilator dengan median 1 hari, penggunaan chest tube dengan median 3 hari, lama penggunaan inotropik dengan median 2 hari tidak berbeda pada kedua kelompok. Terdapat abnormalistas rerata pengukuran RVMPI dan LVMPI pada kedua kelompok. Sebagian besar terdapat gangguan irama berupa complete RBBB, dan sekitar 50% didapatkan regurgitasi tricuspid. Residual stenosis pulmonal didapatkan pada 3/34 dan residual DSV pada 2/34 subjek pada koreksi > 3 tahun. Median lama rawat ICU [2 (1-9) hari dibanding 1,5 (1-46) hari, p=0,016] serta median durasi QRS [118 (78-140) ms dibanding 136 (80-190) ms, p=0,039] berbeda bermakna pada kedua kelompok, sedangkan tidak terdapat hubungan antara TAPSE dengan usia koreksi dengan RR 0,85; IK 95% 0,26-2,79 p=0,798.
Simpulan: Pasien TF yang dilakukan koreksi total ≤ 3 tahun memiliki durasi QRS lebih pendek, TAPSE yang tidak lebih baik dibandingkan dengan koreksi > 3 tahun, dan waktu rawat ICU lebih panjang.

Background: Timing for correction in patients with tetralogy of Fallot (TF) is controversial. Repair at < 3 years old shows good myocardial performance. Late repair can shows prolonged QRS duration, ventricular dysfunction with parameters myocardial performance index (MPI) and TAPSE, but longer intensive care unit (ICU) stays.
Aims: To evaluate QRS duration, right ventricle function measured by TAPSE, ICU length of stays (LOS) of patients after correction TF which is repaired in age ≤ 3 versus > 3 years old.
Methods: Cohort retrospective study was performed in children and adults who were underwent correction with minimal follow up was 6 months. The TAPSE and QRS duration was evaluated during follow up. We compared using Mann Whitney U test and Chi square test analyses.
Results: Among 358 children recruited, there were 52 subject completed the study, 18 in correction age ≤ 3 years old group and 34 at age > 3 years old group who underwent total correction since January 2007 – June 2013. Age when underwent total correction ranging from 7 months – 25 years old, with follow up data was took at 24-30 months after discharge. There were abnormalities at right ventricle and left ventricle MPI, but weren’t different between groups. There were a significant difference between ICU LOS [2 (1-9) days vs. 1.5 (1-46) days p=0.016] and QRS durations [118 (78-140) ms vs 136 (80-190) ms, p=0.039]. Aged repaired didn’t increase risk of having abnormality TAPSE (RR 0.85; 95% CI 0.26-2.79; p = 0.798).
Conclusion: TF total correction at ≤ 3 years old has shorter QRSdurations at follow up and longer ICU LOS. Correction at > 3 years old didn’t proven as a risk to have abnormality TAPSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Made Satria Murti
"Latar belakang. Indonesia merupakan salah satu dari 11 negara di dunia yang memiliki angka kelahiran prematur terbanyak. Salah satu morbiditas bayi prematur yang umum dijumpai adalah anemia. Hal ini menyebabkan mereka sering mendapatkan transfusi darah di minggu-minggu pertama kehidupannya. Mencegah beratnya anemia akan mengurangi kemungkinan tranfusi dan risiko komplikasinya.
Tujuan. Mengetahui karakteristik bayi prematur yang mengalami anemia sebelum usia kronologis 4 minggu di unit Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta.
Metode. Studi deskriptif retrospektif terhadap rekam medis semua bayi baru lahir prematur yang menjalani perawatan di unit perinatologi RSCM periode 1 Januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2013. Pemilihan subyek penelitian secara simple random sampling. Penilaian karakteristik bayi prematur meliputi kadar Hb, berat lahir, usia gestasi, riwayat tranfusi PRC, status sepsis, lama rawat dan status keluar.
Hasil. Sebanyak 393 subjek memenuhi kriteria penelitian, terdapat 94 (23,9%) subjek yang mengalami anemia dan 123 (31,3%) subjek yang mendapatkan transfusi PRC minimal satu kali. Frekuensi tersering anemia adalah 4 kali sedangkan frekuensi tersering pemberian PRC adalah 7 kali. Usia pertama kali anemia paling banyak ditemukan pada usia ≤7 hari (66%) serupa halnya dengan usia pertama kali mendapatkan transfusi PRC (51,2%). Perbedaan proporsi karakteristik antara bayi prematur yang mengalami anemia dengan yang tidak mengalami anemia menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik pada variabel jenis kelamin, usia gestasi, berat lahir, transfusi PRC, status sepsis, lama rawat, dan status keluar. Hampir sama dengan hal tersebut, perbedaan proporsi karakteristik bayi prematur yang mendapatkan transfusi PRC dengan yang tidak mendapatkan transfusi PRC menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik pada variabel usia gestasi, berat lahir, status sepsis, lama rawat, dan status keluar.
Simpulan. Insidens bayi prematur yang mengalami anemia adalah 23,9% sedangkan insidens transfusi PRC adalah 31,3%. Kejadian anemia dan transfusi PRC paling banyak dialami pada satu minggu pertama kehidupan. Perbedaan proporsi antar variabel untuk kejadian anemia dan kejadian transfusi PRC secara statistik bermakna ditemukan pada variabel yang sama yaitu usia gestasi, berat lahir, status sepsis, lama rawat, dan status keluar.

Background. Indonesia is one of 11 countries with high number of premature birth rate. One of the morbidity commonly seen ini premature infants is anemia This cause frequent blood transfusion on their first weeks of life. Anemia prevention will reduce transfusion and its complication.
Objectives. To study characteristics of premature infants with anemia before 4 weeks chronological age in Perinatology Unit Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Methods. A retrospective descriptive study from medical records of premature infants who had hospitalized from January 1st 2012 until Desember 31st 2013 in Perinatology Unit Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects was selected by simple random sampling. Characteristics evaluation include Hb concentration, birth body weight, gestational age, length of stay, history of PRC transfusion, septic status, and discharge status.
Results. There were 393 subjects fulfilled research criteria. Incidence of anemia was 23,9%, while PRC transfusion was done in 31,3% subjects. The most frequent anemia episode is 4 times and PRC transfusion is 7 times. First episode anemia is mostly found at age ≤7 days (66%) as well as PRC transfusion (51,2%). Proportion difference of characteristic between premature infants with anemia and not anemia revealed statistically significant in gestational age, birth weight, PRC transfusion, septic status, length of stay, and discharge status. Proportion difference of premature infants with PRC transfusioan also statistically significant in gestational age, birth weight, PRC transfusion, septic status, length of stay, and discharge status.
Conclusions. Incidence of anemia in premature infants 23,9% while incidence of PRC transfusion is 31,3%. Anemia and PRC transfusion most frequently happened at first week of life. Characteristic proportion difference with significant result between premature infants who had anemia and got PRC transfusion was similar in gestational age, birth weight, PRC transfusion, septic status, length of stay, and discharge status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ezy Barnita
"Latar belakang: Asma merupakan penyakit kronik yang paling sering dijumpai pada anak. International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) merupakan kerjasama intemasional yang melakukan studi prevalensi asma dan alergi pada anak di berbagai populasi, dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Tujuan: Mengetahui prevalensi asma pada pada anak kelompok usia 13-14 tahun di Jakarta Timur, derajat berat serangan asma, dan faktor risiko yang memengaruhinya. Metodologi: Penelitian analisis deskriptif pada populasi anak usia 13-14 tahun di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kotamadya Jakarta Timur Daerah Khusus lbukota (DKI) Jakarta. Waktu penelitian adalah Februari - April 2011. Pengolahan data menggunakan peranti lunak statistical package for social studies version 17.0 for windows PC (SPSS Inc). Analisis faktor risiko dilakukan dengan uji Chi-Square atau uji mutlak Fisher Hasil: Terdapat 562 subyek penelitian, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1:1,25. Frekuensi kejadian pemah mengi adalah 8,9%; mengi dalarn 12 bulan terakhir 5,2%; asma yang didiagnosis dokter 9,4%. Frekuensi serangan mengi 1-3 kali per-bulan sebesar 3,9%; 4-12 kali per-bulan 1,1%; >12 kali perbulan 0,2%. Serangan mengi yang menyebabkan gangguan tidur sebesar 3%, dan mengi yang menyebabkan terjadi kesulitan bicara 1 ,8%. Tidak ada hubungan jenis kelamin (p=0,821; IK 95% 0,59:0,92), terpapar asap rokok (p=0,735; IK 95% 0,55:2,34), ataupun dermatitis alergi (p=0,054; IK 95% 0,97:4,63), dengan kejadian mengi. Terdapat hubungan bermakna anak pertarna (p=0,015; IK 95% 1,14:3,69), sosio ekonomi (p=0,001; IK 95% 0,02:0,36), dan rinitis alergi (p<0,05; IK 95% 2,5:10,43), terhadap kejadian mengi. Simpulan: Prevalensi asma pada anak usia 13-14 tahun di Jakarta Timur sebesar 12,5%. Faktor risiko kejadian mengi adalah anak pertarna, sosio ekonomi tinggi, dan rinitis alergi. Tidak ada hubungan jenis kelarnin, paparan asap rokok, dan dermatitis alergi terhadap kejadian mengi.

Background: Asthma is the most common chronic disease in childhood. International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) s a unique worldwide epidemiological research programmed to investigate asthma, rhinitis and eczema in children, using standardized questionnaire. Aim: To investigate asthma symptoms prevalence among population 13-14 yearold in East Jakarta, along with the severity and risk factors of asthma. Method: This is an analytical- cross sectional study, conducted from FebruaryApril 2011. Risk factors were analyzed using chi square or Fisher exact test. Result: Sample size is consisted of 562 children. The prevalence of wheeze ever 8.9%; 12-month wheeze 9,4%; asthma physician-diagnosed 9,4%. The prevalence of recureece wheezing as follows: 1-3 times a month 3.9%; 4-12 times a month 1.1 %; > 12 times a month 0,2%. Sleep distubance related wheeze 3%, and speech disorder related wheeze 1.8%. The prevalence of current wheezing did not show differences according to sex (p=0.821; IK. 95% 0.59:0.92), smoke exposure (p=0.735; IK 95% 0.55:234), nor allergic dermatitis (p=0.054; IK 95% 0.97:4.63). But it was significantly higher in children with no sibling (p=O.Ol5; IK 95% 1.14:3.69), high social economy (p=0.001; IK 95% 0.02:0.36), and allergic rhinitis (p<0.05; IK 95% 2.5:10.43) Conclusion: Asthma prevalence in 13-14 year-old in Jakarta Timur is 12.5%. Having no sibling, upper middle social economy level, and allergic rhinitis are wheezing ever risk factors, while sex differences, smoking exposure, and allergic dermatitis are not.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2011
T58261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library