Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 250 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Husnaniah B. Sukiman
"Katarak merupakan penyebab utama kebutaan terutama di negara berkembang. Di Indonesia dari hasil survei morbiditas Departemen Kesehatan tahun 1982, didapatkan angka kebutaan pada kedua mata sebanyak 1,2%, dimana 0,76% disebabkan oleh katarak, 0,13% kekeruhan kornea, 0,10% glaukoma, 0,06% refraksi, 0,03% retina dan 0,02% kekurangan giz (1). Dari kenyataan ini dapat dimengerti mengapa hampir setiap dokter mata lebih sering melakukan bedah katarak dibandingkan dengan bedah mata lainnya.(2)
Penderita katarak datang kepada dokter mata bukan dengan maksud untuk mengangkat kataraknya melainkan dengan tujuan untuk dapat melihat lagi. Hal ini membuat dokter mata berkewajiban untuk lebih menyempurnakan prosedur operasinya dalam mengurangi risiko komplikasi (2).
Salah satu komplikasi yang paling ditakuti adalah endoftalmitis pasca bedah. Meskipun dengan diagnosis yang cepat serta pengobatan yang agresif, mata yang telah terinfeksi ini sukar kembali normal.(3,4)
Berbagai sumber infeksi dapat mencemari isi bola mata sewaktu dilakukan bedah katarak, salah satunya adalah flora normal dari jaringan mata penderita sendiri.(3,5,6,7) Locatcher-Khorazo, Seegal, Goodner (dikutip oleh Forster) dan Indrakesuma di Bagian Mata FKUI/RSCM, mendapatkan bahwa Stafilokokus epidermidis merupakan flora normal yang terbanyak terdapat pada jaringan mata penderita pra bedah katarak, disamping Stafilokokus aureus.(5,8)
Forster dan Valenton menemukan Stafilokokus epidermidis dari isolasi kuman sebagai penyebab endoftalmitis pasca bedah katarak, sedangkan Allen menemukan Stafilokokus aureus disamping Pseudomonas aeruginosa dan miselaneus.(5,9,10)
Dari keadaan tersebut diatas jelas tergambar bahwa flora normal pada jaringan mata penderita dapat mencemari isi bola mata sewaktu dilakukan bedah katarak. Dikatakan bahwa penggunaan antibiotika topikal pra bedah katarak .masih merupakan kontroversi. Hal ini karena efek toksis, resistensi kuman dan reaksi alergi, terutama bila antibiotika tersebut nantinya juga dipakai secara sistemik.(11, 12)
Pemakaian povidon yodium sebagai antiseptik topikal merupakan pilihan lain untuk mencegah pertumbuhan kuman pra bedah katarak. Selain harganya yang cukup murah, yodium yang dilepas akan bekerja sebagai bakterisid berspektrum luas yang membunuh semua bakteri dalam waktu kurang dari satu menit, kecuali yang berbentuk spora akan lebih lambat dipengaruhi. Belum pernah dilaporkan adanya resistensi kuman terhadap povidon yodium, disamping itu penggunaannya tidak menyebabkan toksik terhadap kornea dan konjungtiva.(13,14,15,18)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ailinda Theodora Tedja
"Kesesuaian antara reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He) dan reticulocyte hemoglobin content (CHr) untuk menilai status besi pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis (PGK-HD) belum diketahui. Penelitian ini bertujuan mendapat kesesuaian antara RET-He dan CHr, serta nilai cut off RET-He sebagai target terapi besi pasien PGK-HD.
Desain penelitian potong lintang. Subyek 106 pasien PGK-HD yang diperiksa RET-He menggunakan Sysmex XN-2000 dan CHr dengan Siemens ADVIA 2120i. Didapatkan korelasi sangat kuat (r=0,91; p<0,0001) dan kesesuaian yang baik antara RET-He dan CHr (perbedaan rerata 0,5 pg). Nilai cut off RET-He 29,2 pg sebagai target terapi besi pasien PGK-HD memiliki sensitivitas 95,5%, spesifisitas 94%.

The concordance between reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He) and reticulocyte hemoglobin content (CHr) to assess iron status in chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis (CKD-HD) was unknown. The aim of this study was to evaluate the concordance between RET-He and CHr, and to obtain the cut off value of RET-He as iron supplementation target in CKD-HD patients.
A cross sectional study from 106 CKD-HD patients were analysed on both Sysmex XN-2000 and Siemens ADVIA 2120i. There was very strong correlation (r=0.91; p<0.0001) and good concordance between RET-He and CHr (mean bias 0.5 pg). The cut off value of RET-He 29.2 pg were obtained to assess iron supplementation target in CKD-HD patients with sensitivity and specificity were 95.5% and 94% respectively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rohani Agustini
"Hiperglikemia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya nefropati diabetik pada pasien diabetes melitus tipe 2. American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan pemeriksaan albumin-to-creatinine ratio (ACR) setiap tahun untuk mendeteksi adanya nefropati diabetik. Pemeriksaan 1,5-anhydroglucitol (1,5-AG) merupakan salah satu pemeriksaan untuk monitoring kontrol glikemik. 1,5-AG merupakan penanda yang lebih sensitif untuk mengetahui adanya fluktuasi glukosa dan hiperglikemia postprandial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hiperglikemia yang terjadi secara intermiten lebih merusak endotel dibandingkan hiperglikemia yang stabil. Desain studi pada penelitian ini adalah potong lintang. Pada penelitian ini dilakukan analisis statistik untuk mendapatkan hubungan 1,5-AG dan HbA1c, 1,5-AG dan glukosa darah 2 jam PP, area under curve dan titik potong 1,5-AG sebagai indikator kontrol glikemik, dan perbedaan median kadar 1,5-AG serta HbA1c pada pasien dengan ACR < 30 mg/g dan ≥ 30 mg/g. Hasil penelitian ini didapatkan koefisien korelasi Spearman antara kadar 1,5-AG dan HbA1c pada pasien DMT2 adalah -0,74 (p<0,001), sedangkan nilai koefisien korelasi antara kadar 1,5-AG dan glukosa darah 2 jam PP pada pasien diabetes melitus tipe adalah -0,45 (p<0,001). Luas area under curve 1,5-AG sebagai indikator kontrol glikemik sebesar 87,1%. Titik potong 1,5-AG untuk indikator kontrol glikemik adalah 10,7 μg/mL. Pasien DMT2 dengan kadar ACR ≥ 30 mg/g memiliki median kadar 1,5-AG yang lebih rendah (6,4 μg/mL) dibandingkan pasien DMT2 dengan ACR < 30 mg/g (median kadar 1,5-AG 12,4 μg/mL), p = 0,007. Terdapat perbedaan median kadar HbA1c yang bermakna (p<0,001) pada pasien DMT2 dengan ACR < 30 mg/g dan ACR ≥ 30 mg/g. Pasien DMT2 dengan kadar ACR ≥ 30 mg/g memiliki median kadar HbA1c yang lebih tinggi (7,9%) dibandingkan kadar HbA1c pasien DMT2 dengan ACR < 30 mg/g (6,9%). Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan terdapat korelasi negatif kuat bermakna antara 1,5-AG dan HbA1c; dan korelasi negatif sedang bermakna antara 1,5-AG dan glukosa darah 2 jam PP. Terdapat perbedaan rerata kadar 1,5-AG dan HbA1c yang bermakna antara pasien diabetes melitus dengan ACR < 30 mg/g dan ≥ 30 mg/g. Titik potong 1,5-AG yang direkomendasikan sebagai indikator kontrol glikemik adalah 10,7 μg/mL.

Hyperglycemia is one of the risk factors for diabetic nephropathy in type 2 diabetes mellitus patients. American Diabetes Association (ADA) recommended annual albumin-tocreatinine ratio (ACR) screening to detect the presence of diabetic nephropathy. 1,5-anhydroglucitol (1,5-AG) is one of the parameters for monitoring glycemic control. 1,5-AG is a more sensitive marker to detect glucose fluctuations and postprandial hyperglycemia. Previous studies showed that intermittent hyperglycemia is more damaging to endothelials than stable hyperglycemia. The study design was cross sectional. In this study, the statistical analysis was performed to obtain the association between 1,5-AG and HbA1c, 1,5-AG and 2-hour postprandial blood glucose; the area under curve and the cutoff of 1,5-AG as an indicator of glycemic control; and the median difference of 1,5-AG and HbA1c value from patients with ACR <30 mg/g and ≥ 30 mg/g. In this study, the coefficient of correlation between the value of 1,5-AG and HbA1c in patients with T2DM is -0,74 (p<0,001), while the coefficient of correlation between 1,5-AG and 2-hour postprandial blood glucose in patients with diabetes mellitus type is -0,45 (p<0,001). The area under curve of 1,5-AG as a glycemic control indicator is 87,1%. The 1,5-AG cutoff point for the glycemic control indicator is 10,7 μg/mL. Patients with T2DM with ACR levels ≥30 mg/g had significantly lower median value of 1,5-AG (6,4 μg/mL) than patients with T2DM with ACR <30 mg/g (12,4 μg/mL). There was significant difference in median HbA1c value from patients with T2DM with ACR <30 mg/g and ≥ 30 mg/g. Patients with T2DM with ACR levels ≥30 mg/g had higher median HbA1c value (7,9%) than HbA1c patients with T2DM with ACR <30 mg/g (6,9%). In this study concluded that the there was a strong and significant negative correlation between 1.5-AG and HbA1c and a moderate and significant negative correlation between 1.5-AG and 2-hour postprandial blood glucose. There was a significant difference of median value of 1,5-AG and HbA1c between patients with diabetes mellitus and ACR <30 mg/g and ACR ≥ 30 mg/g. The cutoff of 1,5-AG which was recommended as a glycemic control indicator was 10,7 μg/mL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Aulia
"Pemeriksaan hematologi banyak dilakukan dengan menggunakan alat hitung sel darah otomatis yang mencakup parameter pemeriksaan seperti jumlah leukosit, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, hematokrit, volume eritrosit rata-rata (VER), hemoglobin eritrosit rata-rata (HER), konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER), red distribution width (RDW), jumlah trombosit, mean platelet volume (MPV) dan platelet distribution width (PDW). Untuk pemeriksaan tersebut perlu diperhatikan beberapa hal, seperti persiapan penderita, cara pengambilan bahan dan pengiriman bahan bila bahan tersebut dirujuk serta antikoagulan yang dipakai. Kesalahan yang terjadi pada hal-hal tersebut di atas dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
Untuk pemeriksaan hematologi tersebut, biasanya dipakai darah vena yang dicampur dengan antikoagulan, agar bahan darah tersebut tidak menggumpal. Antikoagulan yang sering dipakai antara lain garam EDTA seperti tripotassium EDTA (K3EDTA). Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa penggunaan garam EDTA yang berbeda dan atau konsentrasinya yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan kuantitas maupun kualitas hasil pemeriksaan. Lamanya penundaan pemeriksaan juga dapat memberikan hasil yang berbeda untuk parameter tertentu.
Saat ini banyak penelitian yang memerlukan pemeriksaan hematologi dilakukan di lapangan sehingga ada kecenderungan untuk melakukan penundaan pemeriksaan hematologi yang dibutuhkan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ingin diketahui batas waktu lamanya penyimpanan darah dengan antikoagulan K3EDTA dalam tabung vacuette pada suhu kamar dan lemari es sebelum terjadinya perubahan kuantitas maupun kualitas yang minimal pada beberapa pemeriksaan hematologi serta pengaruh perbedaan suhu penyimpanan bahan tersebut.
BAHAN, ALAT DAN REAGENSIA
Behan penelitian : Behan penelitian berasal dari 27 orang yang memerlukan pemeriksaan hematologi di laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSUPN CM) antara tanggal 1 Maret 1998 sampai dengan tanggal 10 April. 1998. Diharapkan bahan penelititan mewakili kadar hemoglobin tinggi, normal dan rendah masing-masing 3 orang, jumlah leukosit tinggi, normal dan rendah masing-masing 3 orang, jumlah trombosit tinggi, normal clan rendah masing-masing 3 orang. Bahan penelitian tersebut berupa darah vena sebanyak 6 mL, yang diambil dengan menggunakan semprit 10 mL, dimasukkan ke dalam dua tabung vacuette 3 mL dengan antikoagulan K3EDTA (selanjutnya disebut darah K3EDTA) dan dibuat sediaan hapus langsung tanpa antikoagulan. Preparat sediaan hapus langsung dikeringkan pada suhu kamar (21 - 30 ° C), setelah kering {kira - kira 30 menit) difiksasi dengan metanol kemudian diberi pulasan Wright. Darah dalam tabung vacuette pertama (3mL) segera diperiksa parameter hematologinya menggunakan alat hitung sel darah otomatis Sysmex K-1000, sisa darah disimpan pada suhu kamar . Darah dalam tabung vacuette yang kedua (3mL) segera dimasukkan ke dalam lemari es pada suhu 40 C. Selanjutnya darah dalam tabung vacuette yang disimpan pada suhu kamar dan lemari es tersebut diperiksa parameter hematologinya secara serial pada menit ke dua puluh, jam pertama, jam ke dua, jam ke empat, jam ke enam, jam ke duabelas dan jam ke dua puluh empat.
Kriteria masukan untuk bahan penelitian ini adalah bahan pemeriksaan darah yang mempunyai jumlah leukosit, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah trombosit masih dalam batas linearitas alat hitung sel darah otomatis Sysmex K ? 1000."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Yusra
"Telah dilakukan penelitian unruk menetapkan nilai rujukan masa trombin di Bagian Patologi Klinik FKUI-RSUPNCM, dengan menggunakan reagen Bovine thrombin. dengan kadar 10 NIB unit/ml. Penelitian ini berhasil mendapatkan nilai rujukan untuk laki-laki sebesar 8,49 - 15.61 detik dan wanita sebesar 9.13 - 12.89 detik. Pada penyimpangan larutan kerja trombin pada suhu -20°C ternyata reagen Bovine Thrombin stabil sampai minggu ke 4. Pada uji sensitivitas terhadap fibrinogen kadar rendah, reagen Bovine Thrombin 10 NIH unit/ml lebih sensitif daripada reagen Fibrindex 3 NIH unit/mi. Pada uji sensitivitas terhadap heparin, larutan kerja Bovine Thrombin 10 Ni-I unit/ml lebih sensitif sedikit dari pada larutan kerja Fibrindex 3 NIH unit/ml."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Riadi Wirawan
"ABSTRAK
Hemogiobinopati adalah kelainan hemoglobin bawaan yang diturunkan, merupakan salah satu penyakit genetik tersering dan menjadi masalah kesehatan masyarakat bagi banyak negara didunia. Sampai saat ini masih terdapat masalah gizi utama yang dihadapi di Indonesia seperti kurang kalori protein, gangguan akibat kurang yodium, kekurangan vitamin A dan anemia gizi.
Tujuan penelitian ini adalah pertama, ingin mengetahui angka kejadian dan pola hemoglobinopati pada siswi SLTP Negeri Curug Tangerang. Kedua, ingin mengetahui angka kejadian defisiensi besi pada siswi SLTP Negeri Curug Tangerang tersebut.
Sebagai bahan penelitian adalah darah vena sebanyak 6m1 dari 69 orang siswi SLTP Curug Tangerang yang berusia antara 13-15 tahun, dimasukkan kedalam 2 tabung penampung vacuette 3mL yang berisi antikoagulan K3EDTA. Pemeriksaan hematologi meliputi kadar hemoglobin, volume eritrosit rata-rata (VER), hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) dan konsentrasi eritrosit rata-rata (KHER), dilakukan terhadap semua bahan pemeriksaan. Pemeriksaan kadar feritin dilakukan terhadap semua bahan pemeriksaan. Pemeriksaan elektroforesis hemoglobin dilakukan pada semua bahan pemeriksaan dan terhadap fraksi yang tebal dilakukan pencacahan. Uji dichlorophenol indophenol (DCIP) dilakukan terhadap kelompok kasus hemoglobin varian dengan fraksi HbA2 yang tebal. Pewarnaan supravital dengan brilliant cresyl blue (BCB) 1% dilakukan pada kelompok kasus eritrosit mikrositik hipokrom tanpa hemoglobin varian. Pemeriksaan kadar HbA2 dan HbF hanya dilakukan terhadap kelompok kasus eritrosit mikrositik hipokrom dengan kadar feritin >20 nglmL.
Hasil penelitian : Dari 69 orang siswi didapatkan kelompok kasus anemi 5169 (7,25%) dan kelompok kasus non anemi 64/69 (92,75%). Kelompok kasus anemi 5169 (7,25%) terdiri dari kasus anemi disertai defisiensi besi 4/69 (5,80%) dan kasus anemi tanpa defisiensi besi 1169 (1,45%) merupakan kasus anemi normositik normokrom. Anemi disertai defisiensi besi 4169 (5,80%) terdiri dari kasus anemi defisiensi besi lanjut 2169 (2,89%) dan kasus anemia defisiensi besi dini 2/69 (2,89%). Kelompok kasus non anemi 64169 (92,75%) dibedakan menjadi kasus non anemi disertai defisiensi besi dan kasus non anemi tanpa defisiensi besi. Kelompok kasus non anemi disertai defisiensi besi 14.169 (20,29%) terdiri dari kasus defisiensi besi prelaten 6169 (8,70%), kasus hemoglobin AE disertai defisiensi besi prelaten 2/69 (2,89%) dan kasus defisiensi besi laten 6169 (8,70%). Sedangkan kelompok kasus non anemi fanpa defisiensi besi 50/69,(72,46%) terdiri dari kasus hemoglobinopati tanpa defisiensi besi '12169' (17,39%}` dan sesuai dengan kemungkinan kasus "normal 38/69 (55,07%). Kelompok kasus hemoglobinopati tanpa defisiensi besi 12169 (17,39%) terdiri dari kasus hemoglobin AE 6/99 (8,70%), kasus thalassemia trait 4/69 (5,80%) dan kemungkinan kasus thassemia at trait 2169 (2,89%).
SARAN : Pada kelompok kasus defisiensi besi setelah defisiensi besi teratasi, bila morfologi eritrosit masih tetap memperlihatkan mikrositik hipokrom, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang analisa hemoglobin.

ABSTRACT
Hemoglobinophaty and Iron Deficiency of Female Students in SLTP Negeri Curug TangerangHemogIobinopathy is an inheridited disorder and the most prevalent genetic disease, and is the cause of major public health problem in many parts of the world. Until now Indonesia has nutritional problems such as protein calory deficiency, iodium deficiency, vitamin A deficiency and nutritional anemia.
The first purpose of the study is to know the prevalence and pattern of hemoglobinopathy of female students in SLTP Curug Tangerang. The second purpose is to know the prevalence of iron deficiency of the female students in SLTP Curug Tangerang.
The samples were 6 cc of blood vein of 69 subjects about 13-15 years old. It was kept in 2 tubes of 3 cc tube vacuette each with anticoagulant K3EDTA. The hematologic examinations which were done for all samples were hemoglobin concentration, mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH) and mean corpuscular hemoglobin concentration (MCI-IC). The determination of ferritin concentration was done for all samples. Hemoglobin electrophoresis was done for all samples, and samples with thick fraction were scarred. Dichlarophenol indophenol (DCIP) was done for variant hemoglobins with thick HbA2. Supraviital stain with brilliant cresyl blue (BCB) 1% was done for microcytic hypochromic eritrocyte without variant hemoglobin group. The determination of HbA2 and HbF were only done for microcytic hypochromic erytrocyte group with feritin concentration >20 ng/mL.
The results showed that anemia cases were 5/69 (7.25%) and non anemia cases were 64169 (92.75%). The group of anemia cases with iron deficiency were 4169 (5.80%) and anemia case without iron deficiency was 1169 (1.45%) of normocytic normochromic anemia. Iron deficiency anemias were 4169 (5.80%) containing advanced iron deficiency anemias of 2169 (2.89%) and early iron deficiency anemias of 2169 (2.89%). Non anemia cases were 64/69 divided into non anemias with iron deficiency group and non anemias without iron deficiency group_ Non anemias with iron deficiency contained prelatbnt iron deficiency of 6169 (8,70%), hemoglobin AE with prelatent iron deficiency of 2169 (2.89%) and latent iron deficiency of 6169 (8.70%)_ Non anemias without iron deficiency were 50169 (72.46%) containing hemoglobinopathy without iron deficiency of 12169 (17.39%) and the possibility of "normal' cases of 38/69 (55.07%). Hemoglobinopathy without iron deficiency were 12169 (17.39) containing hemoglobin AE of 6/69 (8.70%), thalassemia ¢ trait of 4/69 (5.80%) and the possibility of thalassemia a? trait cases of 2169 (2,89%).
Suggestion for the iron deficiency group : If after the therapy was done, the morpgology erytrocyte is still microcytic hypochromic then hemoglobin analysis should be done.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntjoro
"ABSTRAK
Dalam usaha untuk meningkatkan ketajaman diagnosis potong beku jaringan tiroid diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan, antara lain dengan sitologi imprint. Pembuatan sediaan sitologi imprint ini cukup mudah dan cepat. Dengan sitologi imprint, sel ganas pada umumnya lebih mudah dikenali daripada sediaan potong beku, kecuali pada kelainan tertentu terutama Iasi folikuler. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan nilai ketepatan keganasan dengan metode sitologi imprint pada jaringan tiroid terhadap diagnosis sediaan parafin dari kasus yang sama.
Penelitian ini dilakukan dua tahap.Pertama meneliti semua sediaan imprint yang telah dipersiapkan selama dua tahun. Kedua meneliti sediaan parafin kasus yang sama. Semua sediaan imprint diteliti baik mengenai sel maupun latar belakangnya. Dibuat kriteria tertentu untuk tiap jenis kelainan tiroid.
Untuk menilai ketepatan diagnosis sitologi imprint diperlukan analisa uji kemampuan yaitu menggunakan angka acak binomial dengan menirukan tabel 2 x 2 dan sediaan paraffin sebagai baku emas. Dari uji dengan sediaan paraffin sebagai baku emas menghasilkan: sensitifitas 75%, spesifisitas 100%, nilai ramalan positif 100%, nilai ramalan negatif 76% dan ketepatan 93,88%.
Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa sitologi imprint mempunyai ketepatan tinggi dalam hal membedakan antara kelainan tiroid jinak dan ganas. Sitologi imprint berguna sebagai pemeriksaan tambahan pada potong beku jaringan tiroid.

ABSTRACT
To increase the ability diagnosis of frozen section of thyroid lesion we need some additional examinations, for example, imprint cytology. In making cytology preparation is not difficult. With imprint cytology, the detail of cell are better preserved than that in frozen section. Usually the malignant cell is rather well differentiated, except for follicular lesions.
The aim of research is to get a value of accuracy of imprint cytology diagnosis of thyroid malignancy, compared with paraffin section diagnosis from the same cases.
There are two investigations for this research. First we evaluated all imprint slides prepared in two years. All the imprint slides where examined of their cells and backgrounds. We made some criteria for each thyroid lesions. The second evaluation was about paraffin slides.
To evaluate the imprint cytology diagnosis accuracy, analysis of capability was necessary, using binomial random numbers, imitating table 2 x 2 and paraffin slide as gold standard.
From the analysis we found that sensitivity was 75%, spesificity was 100%, positive predictive value was 100%, negative predictive value was 76% and accuracy was 93,88%.
From this examination we conclude that imprint cytology has high accuracy in distinguishing malignancy lesions from benign ones. The imprint is valuable as an addition to the frozen section.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Riadi Wirawan
"Talasemia B merupakan penyakit herediter yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan fisik maupun mental. Penyebaran penyakit ini terutama bersifat etnis dan adanya perkawinan antar bangsa menyebabkan angka kejadian semakin tinggi dan merata. Penemuan penderita talasemia B heterozigot berdasarkan pemeriksaan analisis Hb dinilai mahal dan cukup sulit. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pola kadar HbA2 dan HbF serta gambaran parameter hematologi penderita talasemia B heterozigot dan talasemia B - HbE.
Dari 1 Maret 1992 sampai 31 September 1992 di UPF Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM telah dilakukan pemeriksaan analisis Hb terhadap 740 contoh darah penderita. Sejumlah 31,1% (230/740) didiagnosis sebagai talasemia B heterozigot dan sejumlah 2,2% (16/740) sebagai talasemia R - HbE. Rasio penderita wanita terhadap pria adalah 1,005:1 untuk talasemia 0 heterozigot dan 1,67:1 untuk talasemia 0 - HbE. Pola HbA2 normal HbF tinggi merupakan bentuk talasemia B heterozigot yang paling sedikit ditemukan, namun mempunyai gambaran parameter hematologi yang lebih berat dibandingkan pola lainnya.
Kadar Hb pada talasemia B heterozigot berkisar antara 5,8-16,5 g/dl dengan rata-rata 11,63 g/dl dan pada talasemia B - HbE antara 3,2-8,2 g/dl dengan rata-rata 6,10 g/dl. Nilai Ht pada talasemia B heterozigat berkisar antara 20,9-57,1% dengan rata-rata 35,48% dan pada talasemia B - HbE antara 9,4-26,5% dengan rata-rata 19,57%.
Kedua parameter hematologi di atas berbeda bermakna dibandingkan kontrol. Terdapat kadar Hb dan nilai Ht yang lebih rendah seoara bermakna pada penderita talasemia B heterozigot dibandingkan talasemia bentuk HbA2 tinggi. Demikian juga halnya pada penderita wanita dibandingkan penderita pria.
Jumlah eritrosit pada penderita talasemia B heterozigot berkisar antara 2,20-8,27 juta/µl dengan rata-rata 4,67 juta/µl dan pada talasemia B - HbE antara 1,54-4,08 juta/µl dengan rata-rata 3,01 juta/µl. Perbedaan ini bermakna. Pada penderita wanita jumlah eritrosit lebih rendah dibandingkan penderita pria.
Nilai VER pada penderita talasemia. 0 heterozigot berkisar antara 55-111 fl dengan rata-rata 76,9 fl, sedangkan pada talasemia f3 - HbE antara 52-80 fl dengan rata-rata 64,7 fl. Nilai HER pada penderita talasemia 0 heterozigot antara 15,1-33,5 pg dengan rata-rata 25,19 pg dan pada talasemia 0 - HbE 17,0-23,9 pg dengan rata-rata 20,27 pg. Kedua parameter ini berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.
Jumlah trombosit yang meningkat pada talasemia B heterozigot dan talasemia B - HbE, karena peningkatan eritrosit mikrositik yang terukur sebagai trombosit. Hitung retikulosit absolut yang meningkat dengan RPI normal inenunjukkan terjadinya eritropoisis yang tidak efektif.
Kesimpulan penelitian ini adalah talasemia B heterozigot dan talasemia B - HbE mengakibatkan terjadinya perubahan parameter hematologi. Perubahan ini meliputi kadar Hb, nilai Ht, nilai VER & HER, jumlah trombosit dan hitung retikulosit absolut serta morfologi eritrosit pada sediaan hapus darah tepi. Selain itu pada penderita wanita dan talasemia B heterozigot perubahan parameter ini menjadi semakin nyata.

Hematological Changes in Patients with Heterozygote Thalassemia and Thalassemia Hemoglobin E Disease in the Department of Clinical Pathology FKUI/RSCMBeta thalassemia is a hereditary disorder which can cause physical and mental abnormalities. This disease is ethnically distributed, and marriage between individuals of different nations cause a higher prevalence and a wider distribution. Detection of cases based on hemoglobin analysis is relatively expensive and difficult.
The aim of this study is to obtain pattern of HbA2 and HbF levels, and hematologic parameters in patients with heterozygote thalassemia and thalassemia - HbE.
From March to September 1992 in the Department of Clinical Pathology FKUI/RSCM has been performed hemoglobin analysis of 740 patients. The diagnosis of heterozygote thalasemia was made on 31,1 % (230/740) of samples and B thalassemia hemoglobin on 2,2 % (16/740) of samples. Female to male ratio was 1,005 to 1 for heterozygote B thalassemia and 1,67 to 1 for l thalassemia - HbE. Pattern of normal HbA2 and high HbF was the most infrequently round among heterozygote 8 thalassemia, but gave the most severe hematologic abnormalities.
Hemoglobin levels of patients with heterozygote thalassemia were between 5,8 - 16,5 g/dL with mean value 11,6 g/dL, whereas the level of patients with p thalassemia - HbE were between 3,2 - 8,2 g/dL with mean value 6,1 g/dL. Hematocrit values were between 20,9 - 57,1 with mean value 35,5 % in patients with heterozygote thalassemia, and were between 9,4 - 28,5% with mean value 19,6% in patients with thalassemia - HbE. Both parameters were significantly lower than control. Hemoglobin and hematocrit of patients- with heterozygote E thalassemia were higher than patients with high HbA2 thalassemia. Female patients had lower values compare to male.
Erythrocyte count in patients with heterozygote thalassemia were between 2,2 -- 8,3 millions/uL with mean value 4,7 millions/ uL, significantly higher than the value in patients with p thalassemia - HbE which were between 1 , 5 - 4,1 millions./ut., with mean value 3,01 millions/uL. Female patients also had lower values compare to male.
MCV were between 5S - 111 fL with mean value 76,9 fL in patients with heterozygote thalassemia and between 52 - 80 fL with mean value 64,7 fL, in patients with (3 thalassemia - HbE. MCH were between 15,1 -.33,5 pg with mean value 25,2 pg in patients with Heterozygote thalassemia and between 17,0 - 23,9 pg with mean value 20,3 pg in patients with thalassemia HbE. Both parameters were significantly lower than control.
Thrombocyte count was Increase in patients with heterozygote thalassemia and (El thalassemia - HbE, due to microcytic erythrocytes which were counted as thrombocyte. High absolute number of reticulocyte with normal RPI suggested an ineffective erythropoiesis.
In conclusion, heterozygote thalassemia and r thalassemia - HbE caused hematologic changes such as a decrease of hemoglobin, hematocrit, MCV and MCH values; an increase of thrombocyte and absolute reticulocyte count; and an abnormal erythrocyte morphology on peripheral blood smear. In female and heterozygote E thalassemia patients these changes were more prominent.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sudarto Pringgoutomo
"Di Indonesia angka kematian karena kanker terus meningkat dari 1,4% tahun 1972 menjadi 4,4% tahun 1992. Dari studi orospektif dan retrospektif diketahui bahwa karotenoid mengurangi risiko mendapatkan kanker payudara. Beta-karoten adalah salah satu karotenoid yang dikandung oleh minyak kelapa sawit (600.000 ug/Kg). Karena cara pengobatan kanker payudara yang berlaku selama ini (dengan pembedahan, radioterapi dan kemoterapi) cukup mahal, dan acapkali tidak terjangkau oleh sebagian golongan masyarakat, maka perlu dicari cara lain, di antaranya memanfaatkan beta-karoten yang ada dalam minyak kelapa sawit, namun perlu diteliti dosis ekstrak minyak kelapa sawit yang tepat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak minyak kelapa sawit yang mengandung beta-karoten sebanyak 0,02 ug/ml, 0,1 ug/ml dan 0,5 ug/m1 terhadap pertumbuhan in vitro sel tumor kelenjar susu mencit C3H, menggunakan 5 kelompok masing-masing 7 ulangan dan terdiri atas 3 kelompok perlakuan dan 2 kelompok kontrol.
Dengan melakukan analisis Ovarian diketahui tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan perlakuan dosis 0,02 ug/ml. Kemaknaan terjadi pada dosis 0,1 ug/ml dan 0,5 pug/ml. Ditemukan bahwa makin besar dosis yang diberikan makin kecil rasio pertumbuhan biakan sel tumor. Selain itu dari hasil analisa varian indek label BUdR diketahui bahwa pemberian EMKS memperkecil nilai indek labelnya sesuai dengan dosis yang diberikan. Dengan demikian terlihat adanya pengaruh betakaroten dalam ekstrak minyak kelapa sawit terhadap pertumbuhan biakan in vitro sel tumor kelenjar susu mencit C3H, dalam wujud menurunnya rasio pertumbuhan dan indek label BUdR yang berarti dihambat sel yang memasuki fase s, sehingga laju pertumbuhan sel dihambat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Agoeng Tjahajani Sarwono
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan Cara penelitian : Karies gigi merupakan kelainan yang bersifat multifaktorial. S.mutans merupakan bakteri penting penyebab karies gigi dan fluor merupakan bahan pencegah karies. Mengingat : (1) di dalam rongga mulut individu yang sama dapat ditemukan lebih dari satu spesies S.mutans yang berbeda-beda; dan (2) formula fluor sebagai bahan aplikasi sangat menentukan efektivitas pencegahan karies, maka dilakukan penelitian eksperimental secara in vitro, terhadap peranan S.mutans FA-1 (ATCC 19645) pada email yang diberi aplikasi fluor. Peneiitian dilakukan terhadap 64 gigi yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok pengeraman 4 dan 8 minggu. Ke dalam tiap-tiap tabung reaksi berisi 20 ml media perbenihan cair yang terdiri atas tioglikolat, glukosa, bakteri dan gelatin gel dimasukkan masing-masing 2 gigi yang diberi aplikasi akuades atau fluor. Evaluasi dilakukan dengan memperhatikan terbentuknya bercak putih dan lapisan badan lesi.
Hasil dan kesimpulan : Pada kelompok pengeraman 4 dan 8 minggu ditemukan pembentukan bercak putih dan lapisan badan lesi dengan jumlah yang sedikit meningkat. Pengamatan terhadap pengukuran hasil rata-rata kedalaman lapisan badan lesi ditemukan adanya perbedaan. Hal-hal tersebut di atas diperjelas dengan gambaran ultra struktur.
Pengujian statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok. Berdasarkan hasil pengamatan disimpulkan bahwa secara in xitro S.mutans FA-1 (ATCC 19645) dapat menyebabkan karies email dan aplikasi fluor dapat menghambat terjadi karies."
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>