Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tandyo Triasmoro
"Pendahuluan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah CD4, infeksi HPV, faktor risiko, dan terjadinya lesi prakanker pada pasien terinfeksi HIV.
Metode: Studi potong-lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo, Indonesia. 80 subjek penelitian dikumpulkan dari bulan Juli-Oktober 2021. Data subjek penelitian dikumpulkan menggunakan kuesioner terstruktur, meliputi usia, pendidikan, paritas, inisiasi seksual dini, jumlah pasangan seksual, riwayat merokok, riwayat kontrasepsi oral, riwayat penyakit menular seksual, dan jumlah CD4 terendah. Pemeriksaan sitologi, kolposkopi, dan tes HPV-DNA dilakukan pada seluruh subjek penelitian, dan 11 subjek melakukan pemeriksaan lanjutan histopatologi karena ditemukan abnormalitas pada pemeriksaan awal. Penginputan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan IBM SPSS versi 25. Analisis bivariat, perhitungan odd ratio dan p value dilakukan untuk mengidentifikasi jumlah CD4, HPV-DNA, dan faktor risiko yang terkait dengan lesi prankanker serviks.
Hasil: Dari data penelitian didapatkan bahwa 81,2% memiliki jumlah CD4 yang baik, dengan rata-rata jumlah CD4 sebesar 437,05 sel/mm3. Sebagian besar subjek memiliki HPV-negatif; namun, terdapat 22,2% subjek yang diketahui HPV-positif, memiliki lesi prakanker. Penelitian kami juga menemukan bahwa jumlah CD4 (p=0,01, OR 7,625; CI 95% 1,744-33,331) dan HPV-DNA (p<0,01, OR 12,286; CI 95% 1,456–103,65) secara signifikan berhubungan dengan lesi prakanker serviks. Kami juga menemukan korelasi antara inisiasi seksual dini dan hasil sitologi (p=0,05, OR 6,4; CI 95% 1,1306–36,2292).
Kesimpulan: Jumlah CD4 yang rendah dan HPV-DNA positif berhubungan dengan perkembangan lesi prakanker. Pasien terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah juga dikaitkan dengan hasil HPV-DNA positif. Inisiasi seksual dini, sebagai faktor risiko kanker serviks, diketahui meningkatkan hasil skrining yang tidak normal. Oleh karena itu, metode skrining co-testing direkomendasikan sebagai strategi untuk mencegah kanker serviks pada semua pasien terinfeksi HIV.

Introduction: This study aimed to determine the association between CD4 count, human papillomavirus (HPV) infection, risk factors, and the occurrence of precancerous lesions among HIV-infected patients.
Methods: This cross-sectional study was conducted at the Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Indonesia. All samples were collected between July and October 2021, and 80 HIV-infected subjects were included in the study. All participant data were collected using a structured questionnaire, including age, education, parity, early sexual initiation, number of sexual partners, history of smoking, history of oral contraception, history of sexually transmitted diseases, and the lowest CD4 count. Cytological examination, Colposcopy, and HPV DNA tests were performed on all participants, and 11 subjects underwent biopsy due to abnormalities. Data entry and analysis were performed using IBM SPSS 25th version. Bivariate analysis was performed, and odds ratios and p-values were computed to identify the CD4 count, HPV DNA, and risk factors associated with histopathology results.
Results: Among the participants, 81.2% had a good CD4 count, with a mean CD4 count of 437.05 cells/mm3. Most of the subjects were HPV-negative; however, 22.2% of HPV-positive subjects had precancerous lesions based on histopathologic results. Our study found that CD4 count was correlated with precancerous lesions (p=0.01, OR 7.625; CI 95% 1.744-33.331) and HPV DNA was significantly associated with cervical precancerous lesions (p<0.01, OR 12.286; CI 95% 1.456–103.65). Another finding was the correlation between early sexual initiation and cytology results (p = 0.05, OR 6.4; CI 95% 1.1306–36.2292).
Conclusion: Low CD4 counts and HPV DNA positivity are associated with the development of precancerous lesions. HIV-infected patients with low CD4 counts were also associated with positive HPV DNA results. Early sexual initiation, as a risk factor for cervical cancer, was found to increase abnormal screening results. Therefore, co-testing screening methods are recommended as a strategy to prevent cervical cancer in all HIV-infected patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadina Huliah
"Sedikitnya 17 juta bayi yang dilahirkan setiap tahun mempunyai berat badan lahir yang rendah (BBLR), mewakili 16% bayi yang lahir tiap tahunnya. Penyebab BBLR adalah preterm dan pertumbuhan janin terhambat (PJT, intra uterine growth restriction IIUGR). Preterm terutama terdapat di negara maju sedangkan sebagian besar PJT ada di negara berkembang. '?x. Sulitnya mengetahui angka pasti insiden NT karena pencatatan tentang usia gestasi yang sahib sering tidak tersedia di negara yang sedang berkembang. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah persalinan yang banyak terjadi di rumah sehingga pencatatan tentang bayi yang dilahirkan tidak ada.
Janin PJT mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas perinatal yang lebih tinggi serta kemungkinan mengalami gangguan perkembangan kognitif dan neurologik pada usia kanak-kanak. Hipotesis foetal origin of adult diseases menyatakan bahwa gangguan nutrisi pada periode kritis pertumbuhan janin di dalam rahim akan menyebabkan perubahan permanen pada struktur dan metabolisme tubuh. Perubahan ini akan meningkatkan kerentanan terhadap hipertensi, penyakit jantung koroner dan non-insulin dependent diabetes mellitus (NIIDM) pada masa dewasa.
Penyebab PJT sangat kompleks, di negara sedang berkembang faktor risiko utama adalah faktor maternal berupa status gizi ibu yang tidak adekuat sebelum konsepsi, kekurangan gizi dan infeksi yang terjadi pada masa kanak-kanak, nutrisi yang jelek saat kehamilan, genetik, penyakit sistemik, dan faktor eksternal. Faktor lain sebagai penyebab PJT adalah faktor janin, faktor plasenta. Adapun manifestasi klinis dari PJT yang paling sating muncul adalah perubahan pada plasenta.
Selama kehamilan normal, terjadi perubahan fisiologi yang panting sebagai adaptasi ibu untuk menjamin tersedianya aliran aliran darah yang adekuat bagi janin. Plasenta manusia adalah organ multifungsi yang menyediakan oksigen, homeostasis cairan, nutrisi dan sinyal endokrin bagi janin selama dalam kandungan sampai terjadinya persalinan. Perfusi plasenta yang tidak adekuat merupakan hal yang fundamental dalam terjadinya PJT. Gangguan perfusi plasenta yang akan menyebabkan hipoksia intraplasenta akan mengakibatkan berkurangnya transfer oksigen dan nutrien dari ibu ke janin sehingga oksigenasi dan pertumbuhan janin akan terganggu. Bagaimana regulasi perfusi uteroplasenta masih belum jelas sampai saat ini, dikatakan berada dibawah kontrol beberapa mediator yang dihasilkan oleh plasenta. Sebagai akibat dari hipoksia intraplasenta akan terjadi resistensi plasenta yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan yaitu berkurangnya jumlah kapiler terminal, meningkatnya vasokonstriksi pada villi karena dikeluarkannya substrat vasoaktif lokal dan berkurangnya zat vasorelaksan. Terjadi pula peningkatan kontraktilitas pembuluh darah plasenta dan pasien dengan janin PJT dibandingkan wanita hamil yang normal7. Kenyataan ini menandai adanya kerusakan endotel atau disfungsi endotel pada sirkulasi uteroplasenta akibat dari hipoksia intraplasenta."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18043
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Fauziah
"Selama ini kasus karsinoma ovarium yang datang ke RSCM ditangani oleh Subbagian Ginekologi Onkologi, dan telah membuat panduan tatalaksana karsinoma ovarium. Karsinoma ovarium stadium lanjut sejak tahun 1994. dilakukan pemberian neoadjuvant kemoterapi yang dilanjutkan dengan pembedahan sitoreduksi. Kurangnya data awal maupun kajian dalam bentuk penelitian mengenai perubahan metode pemberian kemoterapi, dari metode konvensional yaitu pembedahan sitoreduksi (tanpa neoadjuvant kemoterapi) yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian adjuvant kemoterapi, menjadi pemberian neoadjuvant kemoterapi tcrlcbih dahulu kemudian dilanjutkan pembedahan sitoreduksi menimbulkan pertanyaan, bagaimana efek pemberian neoadjin.ant kemoterapi pada karsinoma stadium lanjut di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Pada pasien karsinoma ovanium stadium lanjut yang dilakukan pengobatan kemoterapi selama kurun waktu tertentu di Subbagian Ginekologi Dnkologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
1. Bagaimanakah praktek pemberian neoadjuvant kemoterapi pada karsinoma ovarium stadium lanjut?
2. Bagaimanakah efek pemberian neoadjuvant kemoterapi terhadap pencapaian sitoreduksi optimal?
3. Bagaimanakah efek pemberian neoadjuvant kemoterapi terhadap morbiditas pembedahan?
4. Bagaimanakah efek pemberian neoadjuvant kemoterapi terhadap kualitas hidup?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Rahmadi
"ABSTRAK
Tujuan Penelitian: Untuk melihat keakuratan koding diagnosis dan prosedur medis serta faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perbedaan klaim INA CBGs RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Deskriptif observasional, simple random sampling, perhitungan kuantitatif menggunakan data retrospektif, data resume medis elektronik pasien.
Hasil: Didapatkan 43% coding diagnosis utama oleh dokter tidak sesuai. 62% koding diagnosis sekunder DPJP tidak sesuai, namun mengalami perbaikan setelah dilakukan reseleksi dan entry data oleh coder sebesar 97%. Kesesuaian coding prosedur medis sebesar 98% dan 100% grouper yang sesuai, tapi masih ditemukan kesalahan coding dan severity level sebesar 27,7%. Akibat ketidaksesuaian coding dan grouping severity level menimbulkan kerugian Rp 584.099 per kasus pada tahun 2016, dan bila dihitung berdasarkan biaya riil terhadap klaim INA CBGs maka didapatkan selisih negatif yang jauh lebih besar yaitu Rp 17.263.241 per kasus.
Kesimpulan: Penyebab kerugian klaim RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo diakibatkan ketidakcermatan dokter dalam penulisan resume medis elektronik dan coding, serta diperburuk oleh ketidaktelitian coder dalam melakukan reseleksi dan prosedur entry coding.

ABSTRACT
Objective : To know the accuracy of diagnostic coding, medical procedures and factors affecting the difference in claims of hospital INA CBGs and BPJS Health
Methods: observational descriptive, simple random sampling methode,retrospective data sourced from patient's electronic medical resume .
Results: 43% of the principal diagnosis codes were not appropriate. 62% of secondary diagnosis codes by Doctor are not appropriate, but improved to 97% after the reselection and data entry by the coder.The suitability of medical procedures coding reaches 98% and 100% accuracy of diagnosis grouping. However, there is still 27.7% cases of difference in severity level due to mismatch of coding and causing potential loss of Rp 584.099 IDR each case during period of 2016, If calculated based on the ratio of hospital real cost tariff to the INA CBGs claims, there will be a much larger negative difference of 17.263.241 IDR each case.
Conclusion: Causes of negative claims (loss) of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo with BPJS payments due to incompleteness in electronic medical resume input and bad coding standard, and continued with the coder s inaccuracy in reselection diagnosis and data entry that causes potential losses."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Caecilia Herawati S.R. Dewi
"Latar belakang: Kanker ovarium merupakan penyebab kematian kelima terbanyak karena kanker pada wanita. Diperlukan uji diagnostik preoperatif dan intraoperatif yang tajam dan akurat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas karena kanker ovarium.
Tujuan: Mengetahui nilai diagnostik RMI, Skor Purwoto, dan potong beku terhadap pemeriksaan histopatologi pada tumor ovarium suspek ganas.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) dari data sekunder yang berasal dari 114 rekam medis pasien suspek keganasan ovarium yang menjalani pembedahan antara bulan Januari 2010 hingga Desember 2010 di RSCM.
Hasil: Nilai diagnostik untuk RMI adalah sensitivitas 85%, spesifisitas 63%, NDP 68%, NDN 82%, RKP 2,29, RKN 0,23, akurasi 74%, dan AUC 0,800. Nilai diagnostik untuk Skor Purwoto adalah sensitivitas 80%, spesifisitas 59,3%, NDP 65%, NDN 76%, RKP 1.97, RKN 0,34, akurasi 69%, dan AUC 0,780. Nilai diagnostik untuk potong beku adalah sensitivitas 93%, spesifisitas 98%, NDP 98%, NDN 94%, RKP 54,7, RKN 0,07, akurasi 96%, dan AUC 0,968.
Kesimpulan: RMI dan skor Purwoto dapat digunakan untuk evaluasi diagnostik keganasan ovarium praoperatif. Meskipun telah dilakukan evaluasi kemungkinan keganasan praoperatif, tetap diperlukan pemeriksaan potong beku. Hasil evaluasi RMI dan Skor Purwoto jinak dapat ditatalaksana di pusat pelayanan dengan fasilitas yang tidak memerlukan surgical staging. Meskipun hasil evaluasi RMI dan skor Purwoto jinak sebaiknya tetap dilakukan pemeriksaan potong beku untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan yang masih belum dapat dibuktikan dengan pasti melalui evaluasi praoperatif.

Introduction: Ovarian cancer is the fifth leading cause of death from cancer in women. The sharp and accurate preoperative and intraoperative diagnostic tests are needed in reducing morbidity and mortality due to ovarian cancer.
Purpose: This study aims to determine the diagnostic value of RMI, Purwoto Score, and frozen section compared to histopathologic examination in suspected malignant ovarian tumors.
Methods: This study used cross-sectional design of secondary data from the medical records of 114 patients with suspected ovarian malignancy who underwent surgery between January 2010 and December 2010 at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Results: The diagnostic value for RMI are sensitivity 85%, specificity 63%, PPV 68%, NPV 82%, positive likelihood ratio 2.29, negative likelihood ratio 0.23, accuracy 74%, and AUC 0,800. Diagnostic value for Purwoto Score are sensitivity 80%, specificity 59.3%, PPV 65%, NPV 76%, positive likelihood ratio 1.97, negative likelihood ratio 0.34, accuracy 69%, and AUC 0.780. Diagnostic value of frozen section are sensitivity 93%, specificity 98%, PPV 98%, NPV 94%, positive likelihood ratio 54.7, negative likelihood ratio 0.07, accuracy 96%, and AUC 0.968.
Conclusion: RMI and Purwoto Score can be used for preoperative diagnostic evaluation of ovarian malignancies. Although it has been performed preoperative evaluation of malignancy, is still required frozen section examination. Benign case of RMI and Purwoto Score can be managed at the service center with facilities that do not require surgical staging and still need to be confirmed with frozen section examination to rule out malignancy that still has not been proven with certainty through preoperative evaluation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trestyawaty
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan menilai hubungan laktat ibu dan laktat arteri umbilikalis dengan asidemia janin.
Metode: Penelitian desain uji diagnostik dengan 42 ibu hamil dengan janin tunggal hidup usia gestasi ≥ 34minggu dengan FDJP < 5 atau kecurigaan asidemia janin di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan November 2012 hingga Februari 2013. Laktat ibu dievaluasi segera saat ditegakkan diagnosis kecurigaan asidemia janin, analisa gas darah dan laktat arteri umbilikalis diambil segera saat bayi lahir. Asidemia janin ditegakkan dengan pH arteri umbilkalis < 7,2. Kadar laktat diukur dengan menggunakan Lactate Pro. Nilai diagnostik laktat ibu dan laktat a.umbilikalis untuk memprediksi asidemia janin diuji dengan metode Receiver Operating Character (ROC).
Hasil: Sebanyak 39 subyek penelitian yang diperoleh data laktat ibu & laktat arteri umbilikalisnya dan 3 subyek penelitian yang diperoleh data laktat ibunya saja. Untuk memprediksi asidemia janin laktat ibu mempunyai akurasi 88.9% (IK 95% 0,791-0,987). Secara statistik terdapat asosiasi antara laktat ibu dengan asidemia janin (p<0,001). Bila kadar laktat ibu ≥ 4,70 mmol/l akan dapat diprediksi akan terjadi asidemia janin sebesar 92%. Sedangkan bila kadar laktat ibu < 4,7 mmol/l maka prediksi tidak akan terjadi asidemia janin sebesar 58,8%. Untuk memprediksi asidemia janin laktat arteri umbilikalis mempunyai akurasi 82,4% (IK 95% 0,660-0,988). Secara statistik terdapat asosiasi antara laktat arteri umbilikalis dengan asidemia janin (p=0,035). Bila kadar laktat arteri umbilikalis ≥ 4,1mmol/l maka akan diprediksi akan terjadi asidemia janin sebesar 88,89%. Sedangkan bila kadar laktat arteri umbilikalis < 4,1mmol/l maka prediksi tidak akan terjadi asidemia janin sebesar 75%. Secara statistik terdapat hubungan antara laktat ibu dengan laktat arteri umbilikalis (p=0,017). Semakin bertambah laktat ibu maka semakin besar laktat arteri umbilikalisnya (r=0,238). Tidak ada hubungan secara statistik antara nilai Apgar dengan laktat ibu (AUC 60,6%), laktat arteri umbilikalis (AUC 65%) dan asidemia janin (AUC 65%). Tidak ada perbedaan nilai AUC antara laktat ibu dan laktat arteri umbilikalis dalam memprediksi asidemia janin (p=0,515).
Kesimpulan: Laktat ibu dan laktat arteri umbilikalis memenuhi standar uji diagnostik yang baik untuk memprediksi kejadian asidemia janin. Laktat ibu dapat memprediksi asidemia janin sebelum bayi lahir.

Objectives: To asses the association among maternal lactate and umbilical arterial lactate with fetal acidemia.
Methods: This was a diagnostic test study, which was held on the 42 pregnant women with a singleton live fetus, gestational age ≥ 34 weeks and modified biophysical profile < 5 or suspected fetal acidemia at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from November 2012 until February 2013. Maternal lactate was evaluated immediately at the time that the diagnosed of suspected fetal acidemia was established. Blood gas analysis and umbilical arterial lactate were taken immediately when the baby was born. Fetal acidemia is defined as umbilical arterial pH <7.2. Lactate levels were measured using the Lactate Pro. Diagnostic value of maternal lactate and umbilical arterial lactate to predict fetal acidemia was tested by the method of Receiver Operating Character (ROC).
Results: Both maternal and umbilical arterial lactate were obtained from 39 subjects. Maternal lactate only was obtained from 3 subjects. To predict a fetal acidemia, the maternal lactate has an accuracy of 88,9% (CI 95% 0,791- 0,987). There was an association between fetal acidemia and maternal lactate statistically ( p<0.001). If maternal lactate levels ≥ 4.70 mmol / l, it would be predicted that 92% fetal acidemia are occurred. Meanwhile, if maternal lactate levels <4.7 mmol/l then there will be a prediction that 58.8% was no fetal acidemia. To predict a fetal acidemia, the umbilical arterial lactate has an accuracy 82,4% (CI 95% 0,660-0,988). There was an association between fetal acidemia and umbilical arterial lactate statistically (p=0,035). If umbilical arterial lactate levels ≥ 4,1 mmol/l, it would be predicted 88,89% fetal acidemia are occurred, meanwhile if umbilical arterial lactate levels < 4,1 mmol/l then there will be a prediction that 75% was no fetal acidemia. Statistically there was an association between maternal lactate and umbilical arterial lactate (p=0,017). If maternal lactate increased, the umbilical arterial lactate would be increased (r=0.238). Statistically there was no association between Apgar score with maternal lactate (AUC 60.6%), umbilical arterial lactate (AUC 65%) and fetal acidemia (AUC 65%). There is no difference in AUC values between maternal lactate and umbilical arterial lactate in predicting fetal acidemia (p = 0.515).
Conclusion: Maternal lactate and umbilical arterial lactate meet a good standard diagnostic test for predicting the incidence of fetal acidemia. Maternal lactate can predict fetal acidemia before the baby is born.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Derdameisya Soedibjo
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi terjadinya dismenorea pada remaja perempuan usia sekolah menengah umum (SMU) di indonesia serta hubungannya dengan karakteristik menstruasi dan pengaruhnya terhadap proses belajar.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang, dilaksanakan pada bulan November 2013, bertempat di tiga sekolah menengah atas di Jakarta, yaitu SMU 6, SMU 68, dan SMU 70. Remaja perempuan di ketiga sekolah tersebut diminta mengisi kuesioner yang dibagikan terkait dengan nyeri haid. Data dari kuesioner tersebut kemudian dianalisis dengan uji statistik.
Hasil: Dari ketiga sekolah tersebut didapatkan 110 kuesioner yang terisi dengan lengkap. Subjek memiliki median usia 15 tahun dan sebagian besar berada di kelas 1 SMA. Proporsi dismenorea didapatkan sebesar 65,5%. Usia menarche didapatkan lebih tinggi pada subjek yang tidak menderita dismenorea (p = 0,039). Dismenorea tampak mengganggu proses belajar secara bermakna, terutama terkait kehadiran (p = 0,026), aktivitas (p = 0,049), dan konsentrasi (p < 0,001). Nilai rapor terakhir sebagai faktor keluaran tidak dipengaruhi oleh kejadian dismenorea primer pada remaja perempuan.
Kesimpulan: Dismenorea mengganggu proses belajar secara bermakna sehingga diperlukan edukasi dan tatalaksana farmakologis sedini mungkin agar tidak menurunkan kualitas hidup pelajar remaja wanita.

Objective: This study was aimed to assess the prevalence of dysmenorrhea in female teenagers of high school age in Indonesia and its relation with menstrual characteristic as well as study process.
Methods: This study used cross sectional design, were conducted on November 2013 in three different high schools: SMU 6, SMU 68, and SMU 70. Female students were asked to answer given questionnaires about menstrual pain. Data were collected and further analyzed using statistical analysis.
Results: Out of the three high schools, there were 110 questionnaires which were fully answered. Subjects had median age of 15 years old and most of them were in the first grade. Dismnenorrhea proportion were found 65.5%. Menarche age was found higher in subjects who didn’t suffer from dysmenorrheae (p = 0.039). Study process was disturbed by dysmenorrheae significantly, especially associated with absence (p = 0.026), activity (p = 0,049), and concentration (p < 0.001). Final report score was not affected by primary dismenorrehae in the female students.
Conclusion: Dysmenorrheae disturbed study process significantly so that education and pharmacology treatment are to be given as soon as possible in order to prevent decreased quality of life of female students.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kade Yudi Saspriyana
"Tesis ini membahas manfaat pelatihan navigasi kamera laparoskopi di kotak pelvik dalam meningkatkan keterampilan navigasi kamera laparoskopi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) 1 Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Juga untuk mengetahui hubungan faktor umur, jenis kelamin, minat, pendidikan, pengalaman, dan pengetahuan laparoskopi sebelum pelatihan terhadap perubahan keterampilan navigasi kamera laparoskopi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental (pre-post interventional study). Jumlah subyek 23 orang, intervensi berupa pelatihan navigasi kamera laparoskopi menggunakan kotak pelvik. Penilaian dikerjakan sebelum pelatihan, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu setelah pelatihan dengan menggunakan Objective Structured Assessment Of Camera Navigation Skills (OSA CNS) oleh dua orang Konsultan. Analisis data menggunakan perbandingan rerata 2 kelompok berpasangan, yaitu: paired-T test. Hasil penelitian: terdapat perubahan skor OSA CNS sebelum dan setelah penelitian yang bermakna secara statistik, di mana penilaian 3 minggu setelah pelatihan menunjukkan perubahan terbesar. Analisis lebih lanjut didapatkan bahwa jenis kelamin perempuan dan pengalaman merupakan faktor yang berhubungan dengan perubahan keterampilan navigasi kamera laparoskopi setelah pelatihan.
Kata kunci: kamera laparoskopi; keterampilan navigasi; OSA CNS; pelatihan

This research objective were to know benefits of laparoscopic camera navigation training in the pelvic box in improving laparoscopic camera navigation skills of participants in the Obstetric and Gynaecology recidency program Faculty of Medicine Universitas Indonesia. Other objective was to find out the relationship between age, sex, interests, education, experience, and laparoscopic knowledge before training on changes in laparoscopic camera navigation skills. This research was experimental study (pre-post interventional study). The number of subjects was 23 samples, the intervention was camera navigation training in the pelvic box. Assesment was carried out before training, 1 week, 2 week, 3 week after traing used Objective structured assessment of camera navigation skills (OSA CNS) by two consultants. Data analysis used mean comparison of 2 pair groups: paired-T test. Results: there was statistically significant different OSA CNS score before and after training, where asessment 3 weeks after training showed the greatest change. Further analysis revealed female gender and low experience were related to changes in laparoscopic camera navigation skills after training.
Keywords: laparoscopy camera; navigation skill; OSA CNS; training
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58690
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Anindya Tyagitha
"Latar belakang : Angka kejadian infertilitas di Indonesia diperkirakan kurang lebih mencapai 6% atau terdapat kurang lebih 3-4,5 juta pasangan yang mengalami kesulitan mempunyai keturunan. Pada tahun 2012 dilaporkan bahwa 28,4% siklus merupakan transfer embrio beku dibandingkan pada tahun 2003 dimana dilaporkan siklus embrio beku dilakukan hanya 16,1% pada program Fertilisasi In Vitro (FIV). Walaupun transfer embrio beku telah semakin sering dilakukan, tetapi metode untuk persiapan endometrium yang paling efektif, antara alamiah atau artifisial, masih belum diketahui secara jelas. Tahap persiapan endometrium sebelum transfer embrio merupakan tahap yang sangat penting dalammencapai reseptivitas endometrium dan keberhasilan kehamilan. Tujuan : Mengetahui luaran program FIV pada transfer embrio beku dengan metode alamiah dan artifisial di Klinik Yasmin, RSCM Kencana. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik dengan menggunakan metode uji potong lintang, periode 1 Januari 2011-31 Desember 2018. Pengambilan sampel dengan cara total sampling. Subjek penelitian ini merupakan seluruh wanita yang mengikuti FIV dengan tranfer embrio beku yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang dilakukan di RSCM. Data yang didapatkan dianalisis secara bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahui angka implantasi dan kehamilan pada transfer embrio beku dengan metode alamiah dan artifisial. Hasil : Dari 147 subyek yang memenuhi kriteria penelitian, didapatkan 19 subyek menjalani persiapan endometrium dengan metode alamiah dan 128 menjalani persiapan endometrium dengan metode artifisial. Angka implantasi metode alamiah vs metode artifisial (32 % vs 29%); angka kehamilan biokimiawi (89,5% vs 53,1%; p < 0,05); angka kehamilan klinis (42,1% vs 34,4%; p > 0,05); serta angka kehamilan lanjutan (36,8% vs  28,9%; p > 0,05). Kesimpulan :  Persiapan endometrium secara alamiah memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terjadinya implantasi dan kehamilan biokimiawi dibandingkan persiapan secara artifisial. Sedangkan angka kehamilan klinis dan kehamilan lanjutan tidak berbeda bermakna. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menambah besar sampel, terutama pada kelompok persiapan endometrium secara alamiah.

Background : Infertility incidence in Indonesia is estimated to reach approximately 6% or approximately 34.5 million couples who have difficulty having children. In 2012 it was reported that 28.4% of cycles were frozen embryo transfers compared to 2003 where it was reported that only frozen embryo cycles performed only 16.1% in the In Vitro Fertilization (FIV) program. Although frozen embryo transfers have increasingly been done, the most effective method for endometrium, between natural or artificial, is still not clearly known. The endometrial preparation stage before embryo transfer is a very important stage in achieving endometrial receptivity and the success of pregnancy. Objective : Knowing the outcome of the FIV program on frozen embryo transfer using natural and artificial methods at the Yasmin Clinic RSCM Kencana. Methods : This research was an restropective analytical study using a cross-sectional test method for the period of January 1, 2011-December 31, 2018. Sampling by total sampling. The subjects of this study were all women who took part in FIV with frozen embryo transfer that met the inclusion and exclusion criteria performed at RSCM. The data obtained were analyzed bivariately using the chi-square test to determine implantation and pregnancy rates in frozen embryo transfer using natural and artificial methods. Results : 1 47 subjects who met the study criteria, 19 subjects underwent endometrial preparation by natural methods and 128 were subjects who underwent endometrial preparation by artificial methods. The rate of implantation of natural methods vs. artificial methods (32% vs 29 %); biochemical pregnancy rates (89,5% vs 53,1%; p < 0,05); clinical pregnancy rate (42,1% vs 34,4%; p > 0,05) and on going  pregnancy rates (36.8% vs 2 8,9%; p > 0,05). Conclusion : Natural endometrial preparations have a higher tendency for implantation and biochemical pregnancy, while  clinical pregnancy rate and on going pregnancies not significantly difference. Further research is needed to increase sample size, especially in natural preparation group."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fita Maulina
"Latar Belakang: Histerektomi adalah salah satu prosedur ginekologis yang paling banyak dilakukan pada wanita. Salah satu efek buruknya adalah perubahan fisik dan penampilan dalam bentuk gejala menopause, sering kali mengurangi kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gejala menopause yang dialami oleh wanita premenopause yang menjalani histerektomi dengan salpingo-ooforektomi bilateral.
Metode: Penelitian deskriptif dengan metode kohort retrospektif dilakukan di RSUD dr. Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Semua wanita yang menjalani histerektomi total dengan salpingo-ooforektomi bilateral dilibatkan dalam penelitian ini. Pasien yang buta huruf atau tidak kooperatif dikeluarkan. Gejala menopause dibagi menjadi gejala vegetatif, psikosomatik, dan somatotropik. Setiap mata pelajaran ditindaklanjuti selama 6 bulan, mencatatmenopause gejala bulanan.
Hasil: Di antara 37 subjek dalam penelitian ini, 100% subjek mengalamimenopausegejala dalam 6 bulan pertama masa tindak lanjut. Kategori gejala yang paling sering dikeluhkan adalah gejala vegetatif (97,3%), diikuti oleh somatotropik (83,8%) dan gejala psikosomatik (70,3%). Prevalensi tertinggi keluhan darimenopause gejalanya adalah berkeringat (78,4%) dan muka memerah (75,7%), diikuti oleh nyeri otot (59,5%), suasana hati tidak stabil (54,1%), penurunan libido (51,4%), kelainan kencing (45,9%), kekeringan vagina (43,2%) ), masalah konsentrasi (43,2%), Insomnia (40,5%), kelelahan (29,7%), sakit kepala (5,4%), dan palpitasi (2,7%).
Kesimpulan: Wanita premenopause yang menjalani histerektomi akan mengalami gejala menopause dalam enam bulan pertama. Mengatasi dan mengelola setiap gejala menopause yang terjadi akan sangat penting dalam perawatan pasien pasca HTSOB.

Background:  Hysterectomy is among the most gynecological procedure done on women. One of its adverse effects is physical and appearance changes in form of menopausal symptoms, often reducing the quality of life. This study aims to investigate menopausal symptoms experienced by premenopausal woman undergoing hysterectomy with bilateral salpingo-oophorectomy.
Methods: A descriptive study with retrospective cohort method was conducted in dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Indonesia. All women undergoing total hysterectomy with bilateral salpingo-oophorectomy were included in this study. Illiterate or uncooperative patients were excluded. Menopausal symptoms were divided into vegetative, psychosomatic, and somatotropic symptoms. Each subjects was followed up for 6 months, noting menopausal symptoms monthly.
Results: Among 37 subjects in this study, 100% of subjects experienced menopausal symptoms in the first 6 months follow up period. The most commonly complained symptom category was vegetative symptoms (97.3%), followed by somatotropic (83.8%) and psychosomatic symptoms (70.3%). The highest prevalence of complaints from menopausal symptoms is sweating (78.4%) and hot flushes (75.7%), followed by muscle soreness (59.5%), unstable mood (54.1%), decreased libido (51.4%), urinary disorders (45.9%), vaginal dryness (43.2%), concentration problem (43.2%), Insomnia (40.5%), fatigue (29.7%), headache (5.4%), and palpitation (2.7%).
Conclusion: Premenopausal women undergoing hysterectomy would experience menopausal symptoms in the first six months. Addressing and managing each menopausal symptoms occurring would be essential in post HTSOB patient treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>